November 23, 2020

,


Oleh: Basiruddin Salim (A Bas)


"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan dari jenismu sendiri, menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberikan rezeki dari yang baik..." QS. An-Nahl. 


Potret kehidupan memang banyak menghabiskan masa hidup untuk mencari. Siapapun bisa saja berada di puncak keberuntungan, atau malah mungkin jatuh dalam keterpurukan. Dalam kondisi tertentu, kadang kala seseorang sangat bersemangat untuk mengejar. Namun, entah lebih dari sekian kalinya, ia mungkin hanya pasrah menunggu dan berdiam. Berharap nasib baik kian bertandang. Bagi yang tergerak hatinya, ia percaya bahwa cinta adalah final dari segalanya. Ia adalah ujung peraduan dari penatnya perjalanan. 


Inikah bagian dari obsesi itu? Memantapkan langkah dalam memilih pendamping. Berpasangan hingga tutup usia. Berpadukasih dalam dekapan mesra, yang tidak hanya megah saat suasana pesta. Tidak juga hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat, sarana pemuas keterbuaian syahwat. Di sanalah kisah nyata dimulai; pengembangan hidup, melatih kesabaran, mengontrol karakter, berkomitmen, berkorban. Mengecap jannah, merajut cinta. Meniti jalan kembali kepada-Nya.


"Hira... Hira tunggu! 

"Iya, cepetan dong Li! Aku buru-buru nih, mau ke ruang Prof. Dr. Lukman, urus skripsiku" 

"Ooh. Okey.. nih!" Lia langsung menyodorkan sesuatu terbungkus plastik tepat di depan mukanya. 

"Wah.. Siapa lagi ini Li?" tanya Hira keheranan dengan kaca mata sedikit terangkat ditambah kerut alisnya yang runcing. Semakin tampak anggun dan cantik. 

"Tuh keliatan kok ra! Eh.. sana gih cepet urus skripsimu biar lekas nyusul resepsi. hehehe.. Katanya buru-buru. Jangan lupa hadir ya sayaang!" 

"Ok. siap boss. Insyaallah. Selamat ya Li! Maaf ya, sekarang aku harus segera pergi, Bye!" Hatinya mulai gerimis. Sambil menuruni anak tangga, antara bahagia, iri juga ketir merana, Hira melambaikan tangan pada Lia. Teman Hira itu hanya menyunggingkan senyum, menyaksikan lambaian tangannya. 


Tepat ba'da Isya dan masih dalam balutan mukena, Hira perlahan membuka tasnya. Ia raih undangan pernikahan berdesain anggun yang baru tadi dikasih Lia, sahabatnya yang selalu terlihat tegar dan energik. Matanya sibuk mengikuti lengkung-lengkung rangkaian huruf bertinta perak yang menghiasi lembar undangan itu. Satu persatu, sahabat-sahabatnya telah mendahuluinya duduk di kursi pelaminan. Baru satu bulan yang lalu, Bilal teman seangkatan dengannya telah mempersunting Khumaira, gadis cantik asal pulau Mataram. Alias pulau Madura tanah garam. Bahkan Novita salah satu teman pegiat kajian bersamanya, menurut sumber berita sudah mulai ada rambu hijau sama si Deni. Lain lagi dengan Ulya, teman seperjuangan di Madrasah Aliyah dulu. Karena tidak bisa melanjutkan kuliah karena faktor ekonomi, justru ia malah segera dipertemukan dengan jodohnya. Hampir setahun, ia telah dianugerahi anak yang imut dan lucu. Begitu beruntungnya mereka semua. 


"Mas Fardan... Andai saja saat itu kau lebih tegas dan mau memberiku satu titik jelas saja, tentu aku takkan pernah pergi darimu mas.." Gumam Hira dalam lamunan. Kenangan itu kembali berputar, menyisakan pilu, mengiris setiap inci luka. 

 ***

Merindukan kekasih impian agar datang lebih cepat, memang hal yang sangat wajar dan lazim terjadi. Nikah dinipun akan dirasa sangat tepat daripada terlalu lama menahan himpitan gundah. Barangkali, inilah buah dari tren nikah muda yang biasa digelorakan kaum hijrah itu. Sama halnya seperti yang kerap dialami banyak mahasiswi semester akhir masa kini; entah ia yang terlalu meradang, galau, khawatir, gelisah sekaligus baper jika kedatangan si calon imam belum juga menunjukkan tanda-tanda. Pikirnya, sedangkan yang lain sudah punya bahu untuk bersandar, teman berkisah juga membimbing kala salah. 


Hira baru saja menginjak umur dua puluh tiga tahun. Usia perempuan yang dikira sudah cukup matang untuk membina mahligai rumah tangga. Sebentar lagi, ia juga bakal menyandang gelar sarjananya. Namun yang namanya jodoh, tetap tak kunjung menampakkan jati dirinya. Kegelisahan mulai terasa. Jodoh yang katanya akan datang tepat dan indah pada waktunya, kini menjadi kalimat paling akrab sebagai pelipur lara. Beginilah cara menyemangati diri agar tetap sabar menanti. Dia adalah Zahira Hibbatillah yang selalu tertegun ketika mengingat kisah cinta Bakri, orang tuanya. Ia lihat, betapa tegar serta begitu tulusnya cinta mereka. Merupakan sosok figur nyata yang selalu setia dengan istri pertama sekaligus terakhir dalam sisa hidupnya. Betul, ia telah ditinggal Hana sekian lama. Namun cintanya tetaplah cinta yang sama. Kerinduan itu, menyelimuti kepergiannya. Separuh hatinya ikut terbawa pergi. Cinta yang tak tergantikan. 


Berbeda dengan Hira. Tepat enam bulan lalu akhir segala cerita cinta itu. Menjadi jelas baginya, bahwa Fardan yang tak mampu menunjukkan ke-gentle-lannya. Sungguh sangat disayangkan. Setahun lebih bertahan dalam jalinan kisah asmara, namun tak ada yang tahu ujung sebuah peraduan. 


"Tapi mas, aku juga butuh kepastianmu lo! Sudah lama aku menunggu hal itu. Kamu tega ya, selalu menggantung harapanku. Sudah sekian kali mas Fardan mengatakan lain kali-lain kali dan terus begitu. Aku mau segara jadi yang halal buatmu, dan tentu kau halal bagiku mas. Itu saja permintanku!" 


"Ah, sudahlah ra. Kamu pikir ini gampang, gitu?! Tidak buat aku loh ra.. Kalau kamu sudah tidak mau bersabar lagi, ya udah kita selesai aja. Pertemuan ini adalah yang terakhir. Aku berkata begini, ya karena aku tidak bisa memberimu kepastian sekarang. Aku juga tidak mau berlarut-larut memberimu kepalsuan sebagaimana perkiraanmu itu. Sebetulnya aku juga bingung dari kemarin. Bahkan sempat aku terbersit bagaimana kalau kita putus saja. Dan sekarang bisa kita putuskan bersama. Hira, kamu bebas dariku. Terimakasih ya, dan aku mohon maaf untuk semuanya." Kenangan itu, kembali menyapanya. Sosok yang sempat ia kira sebagai calon imam. Lelaki utusan Tuhan. 


Di sisi lain, Fardan dengan segala keterbatasannya juga menelan pahit. Tidak ada kesempatan untuk ia jelaskan bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Sang matelu; mahasiswa telat lulus, cap baru oleh teman-temannya. Maklum saja, sejak awal ia memang terbilang sangat aktif di berbagai kegiatan dan civitas-organisasi luar Kampus. Fokus kuliahnya, sedikit ia kesampingkan. Sudah berulang kali revisi skripsi, belum juga menuai sidang. Ditambah problem keluarga yang sedang dirundung berbagai masalah. Dengan seperti ini, ia dituntut lebih dewasa. Ia benar-benar diuji, sampai harus rela melepas gandolan hati. Cukuplah pertemuan terakhir mereka di Kafe Tsurayya dekat kampus itu. Hanya karena menjadi korban semesta yang dirasa kini sedang tidak berpihak kepadanya. 

***

Hari berganti, dentuman waktu tetap setia mengitari poros jalannya. Yang telah terjadi biarlah terjadi dan berlalu begitu saja. Tak ada gunanya menangisi susu yang sudah terlanjur tumpah. Saatnya menyaksikan rawut kebahagiaan yang terpancar mempesona. Menyambut masa depan, dalam balutan mahligai cinta yang sebenarnya. Di penghujung kesepakatan bersama; adalah hari yang begitu sakral baginya dan keluarga, hari pernikahan. Senyum mereka, sosok luar biasa. Ibu yang telah bertaruh nyawa saat melahirkan anak-anaknya. Dari segenap jiwa-raganya ia tunaikan kiprah terbaik. Juga dari dirinya tertanam didikan pertama, dengan segala ketelatenan juga penuh kasih-sayang. Begitupun dengan seorang Ayah. Sosok yang selalu berusaha membuat keluarga bahagia, kebutuhan tercukupi, mencarikan rezeki halal dan menjaga keluarga tanpa batas. Di hari yang agung ini, tetap saja mereka tampil dengan sejuta tanggung jawabnya. Turut menyebar undangan, menyiapkan hidangan, menyambut para tamu beserta kesibukan-kesibukan sejenisnya. 


"Hadirin tamu undangan yang berbahagia. Tibalah saatnya untuk mendengarkan pesan sekaligus nasihat pemasrahan tanggung jawab yang akan disampaikan langsung oleh Ayahanda mempelai perempuan. Kepadanya dipersilahkan." Begitulah Mc mempersilahkan seseorang yang tidak ia sebut namanya di acara pernikahan sekaligus walimatul 'urs saat itu. Seketika semua pandangan tertuju pada seorang bapak paruh baya dengan batik khas Nusantara melangkah menuju panggung pelaminan yang dihias indah. Bertabur aneka bunga, penuh dengan ukiran-ukiran layaknya singgasana kerajaan, lengkap dengan lampu klap-klip di setiap sisi. Di sana kedua mempelai duduk berdampingan dengan anggunnya. Sesaat ketika seorang bapak itu menaiki panggung pelaminan, terlihat kedua mempelai berdiri menunjukkan rasa hormat dan takzimnya. Si Bapak sesekali tersenyum, air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Setelah mengucapkan basmalah serta salam, sang bapak mulai menyampaikan sambutan hangatnya.


Saya adalah orang pertama yang merangkulmu putriku. Tangisanmu saat itu adalah kebahagiaan luar biasa buat kami. Kuketukkan azan dan ikamah kala itu, maka seketika dirimu mulai tenang mendengarkannya. Sungguh kau adalah anugerah terindah bagi keluarga kecil ini. Ayahmu ini, adalah orang pertama yang merangkulmu sedari kecil. Saya dan ibumu yang menimang, menggendong dan membopongmu. Letih penatku bisa hilang seketika karena melihat senyum dan tawa kemungilanmu. Sungguh kami sangat menyangimu nak! Masih sempurna ingatanku bagaimana masa kecilmu dulu. Turut kami saksikan pula setiap satu senti dari pertumbuhanmu. Rasanya masih seperti baru kemarin. Satu minggu, satu bulan atau masih baru  setahun yang lalu kau dan masa kecilmu itu. Tapi ternyata, sekarang aku mendadak dikagetkan tentang hari pernikahanmu ini. Waktu dan seperangkatnya melaju dengan cepatnya. Maafkan ayah dan ibumu ini, jika terlalu abai melihat perkembanganmu nak. Kedekatan dan keakraban selama ini, sejatinya selalu kami inginkan. Namun, begitulah perjalanan hidup ini harus terus bergulir... Hadirin khidmat, menyimak setiap ungkapan si bapak. Seakan turut merenungi kenangan masa lalu mereka masing-masing. Terlalu sibuk mengejar dunia, hingga waktu bersama keluarga acap kali tergadaikan.


“Dan untukmu yang kini menjadi menantuku, nak Fajar Abdillah. Saya percayakan putriku padamu nak. Saya orang pertama yang mencintai putriku ini, sebelum dirimu. Saya berharap kamu adalah orang yang tepat untuk bersamanya, selamanya. Saya mohon, bahagiakanlah dia. Tak perlu kau belikan ia pernak-pernik perhiasan. Cukup hargai dia dan jangan pernah kau sakiti hatinya. Jika ia sedih, maka kami jauh lebih sedih menanggug perihnya. Harapan kami, semoga segala kebaikan selalu menyertai kalian berdua. Kami juga minta, cukup perdengarkan dan perlihatkan kepada kami hal-hal baik saja. Kalaupun harus ada masalah dalam rumah tangga kalian, maka selesaikanlah bersama dengan pikiran, hati dan jiwa yang tenang." Ujar si Bapak sambil menyeka air mata, menyampaikan pesan-pesannya kepada putri dan menantunya. Terlihat mempelai perempuan terisak dengan air mata yang menganak sungai di pipi. Sesak rasanya. 

***

Sampai tiba saat menyatunya dua cinta, kerinduan itu tak kan pernah berakhir. Ibrahim bin Adham dalam salah satu gubahan bait sufinya bersenandung: "Dalam hati ini terdapat banyak macam cinta, yang semuanya dapat bersatu sejak mata cintaku melihatmu."

Di detik-detik penghujung megahnya acara, di luar rumah orang-orang dan para panitia masih saja sibuk membereskan tanggung jawabnya masing-masing. Ditemani dengan berbagai alunan musik  cinta yang masih mengalun bertalu-talu, bersahut-sahutan;


Di malam ini kau berada dalam pelukanku 

Eratkan dan jangan sampai kau lepaskan genggaman tanganmu 

Dengan dawai-dawai rindu yang selalu menggebu 

Di waktu ini satukan jiwa dalam hati 

Walau keadaan yang sunyi 

Ku harap engkau mengerti 

Di saat awan turunkan angin serta hujan 

Tetaplah engkau dalam tenang 

Kita luapkan kasih sayang 

Bergoyang-goyang rerumputan kala angin malam 

Laksananya bintang-bintang dan rembulan jua turut senang 

Merasakan kasih dan sayang yang telah kita curahkan 

Di malam ini kau berada dalam pelukanku 

Eratkan dan jangan sampai kau lepaskan genggaman tanganmu 

Bagaikan Raja dan Ratu di singgasana yang menyatu 


Ingar-bingar resepsi pernikahan telah berakhir. Kini, Fajar Abdillah dan Laylia Khairun Nisa' binti Mahmud telah berada di kamar pengantin. Kamar yang beraroma semerbak bunga, dengan ranjang merah dan kelambunya yang berwarna putih. Bersama membelah pekatnya malam, menyusuri setiap sudut bahagia. Bersyukur kepada-Nya atas anugerah segala Cinta. 


"Sungguh kau beruntung Li, Timing-mu begitu tepat pula. Habis Skripsi, langsung bergandeng Resepsi. Indahnya bukan? Dua kenikmatan yang didapat secara beruntun. Sudah kusaksikan sahabatku, Lia. Kau memang beruntung. Bisa merayakan keberhasilan studi dengan wisuda, kemudian dapat mengakhiri status masa lajang dengan riang-bahagia." Jauh di luar sana, Hira masih terpekur dengan lamunan kesendiriannya. Tetap menengadah dalam harap. 


“Apalah arti dari kebingungan ini? Bukankah tugasku hanya bisa beriktiar dan bersabar? Aku bungkam, terdiam. Mengenang kisah berlalu. Kemudian rapuh, berteman pilu yang perih. Aku berharap cinta itu berlabuh dengan indah. Tepat pada masanya. Dengan restu ridha-Nya. Ya Tuhan.. mohon segerakanlah! Aku sungguh telah merindukannya." Sekian.  


Mukattam, 27 September 2019 M.

November 04, 2020

,



Pelantikan Pengurus Forum Silaturrahmi Keluarga Besar Al-Khairat (FOSIKBA), Masa Bakti 2020-2021.


Kairo, selasa 03/11/2020,  Moh. Hidayat resmi menjabat sebagai ketua FOSIKBA menggantikan Abu Bakar. Roda pengurusan jabatan akan terus silih berganti mengikuti waktu yang terus bergulir. Ada yang menyerahkan jabatan dan ada pula yang menerimanya.


Semoga dengan jabatan baru yang diamanahkan kepada Moh. Hidayat mengantarkan FOSIKBA lebih maju dan berkarya.


Dalam acara pelantikan ini dihadiri oleh Penasehat FOSIKBA: Ust. Lukman Hakim Fayadh Lc. Dipl., Ust. Zakaria Asyraf, Lc., serta dewan konsultatif Ust. Fathur Rosi Ahmad, Lc., dan undangan lainnya.


Ketua FOSIKBA Moh Hidayat menyampaikan sambutannya meminta supaya semua Anggota bekerja keras, tuntas dan cerdas, dan berupaya dengan semampunya agar semua kegiatan yang akan direncanakan berjalan dengan sebaik-baiknya. Ungkapnya, karena saya sebagai ketua bertanggung jawab penuh dengan semua yang berkaitan dengan kinerja masing masing Anggota. 


Penasehat FOSIKBA Ust.  Lukman Hakim Fayadh, Lc. Dipl., dalam sambutannya menyampaikan bahwa FOSIKBA ini selain forum silaturahim juga menjadi 'uluran tangan' dari apa yang kita dapat dari AL-Azhar.  Forum ini pula menjadi alat atau media untuk mengolah kemampuan kita dan mendiskusikan apa yang kita tangkap di bangku kuliah. Dan ini juga, mengapa forum ini harus terus berdiri dan sebagai anggota harus ikhlas  lillah, karena dengan begitu akan berkembang dan membuahkan hasil yang maksimal apa yang kita inginkan. Jangan mengharapkan sesuatu pun dari FOSIKBA yang bersifat materi karena ia tidak punya apa-apa. Dan semoga apa yg kita kerjakan untuk FOSIKBA ini dicatat amal baik kita dan menjadi pahala yang besar kelak di akhirat. Dan buatlah FOSIKBA ini jaya dan punya karya.


Acara pelantikan ini ditutup dengan serah terima jabatan dari wakil ketua FOSIKBA lama, Moh FadhaL kepada ketua baru Moh Hidayat.

Tim Reporter Fosikba

Follow Us @soratemplates