Tampilkan postingan dengan label BAHASA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BAHASA. Tampilkan semua postingan

September 26, 2016

,





Prolog

Al-Qur’an, seperti yang sudah digambarkan secara tersurat di dalam dirinya sendiri adalah kitab petunjuk dan pedoman dalam menjalani kehidupan ini atau way of life. Ia adalah lentera bagi mereka yang mencari kebenaran dengan akalnya atau fitrah perasaannya. Sejarah adalah bukti konkrit bahwa al-Qur’an mampu membalikkan peradaban yang tenggelam dalam gelapnya kebodohan menjadi peradaban yang berdiri tegak dengan pancaran cahayanya yang menyebar di sa-antero alam. Al-Qur’an telah mampu membawa peradaban Arab-Islam awal menjadi peradaban yang menelurkan beragam ilmu pengetahuan, dari linguistik, fikih, kalam, fisika, hingga sains dan lain-lainya yang sudah kita hirup di abad modern ini.

Lebih dari itu, al-Qur’an tidak hanya sebagai obor dalam kehidupan ini, melainkan ia juga sebagai bukti tak terbantahkan atas kebenaran kenabian Muhammad Saw.. Seperti nabi-nabi sebelumya yang diutus dengan membawa mukjizat yang sesuai dengan zona masyarakatnya, semisal Nabi Musa yang hidup di tengah-tangah masyarakat yang mengagungkan magic, maka tongkat ajaib sebagai mukjizatnya. Sedangkan Nabi Isa As. dikenal dengan mukjizatnya yang mampu menyembuhkan pelbagai penyakit, bahkan menghidupkan orang yang sudah mati sekalipun. Hal tersebut, karena dia hidup dalam peradaban yang mengunggulkan kemedisan. Begituhalnya Nabi Muhammad Saw., peradaban jahily adalah peradaban syair, sastra, ketinggian bahasa dan kemahiran dalam bersilat lidah. Kemahiran masyarakat jahili dalam menciptakan syair yang indah merupakan senjata mereka dalam menghadapi lawan-lawannya. Bahkan syair terindah akan ditulis dengan tinta emas dan diletakkan di dinding Ka’bah sebagai apresiasi dan penghargaan yang bernilai tinggi. Maka tidak heran, jikalau al-Qur’an dengan bahasanya yang memggugah menjadi mukjizat terdepan atas kebenaran Nabi akhîr-uzzamân.

Bahasa al-Qur’an yang mampu melinglungkan logika Arab-jahily, pun membuat mereka bertekuk lutut menghadapi tantangannya untuk menciptakan semisal dirinya menjadi titik perhatian cendekiawan Muslim, mulai abad ke-III dan ke-IV hijriah hingga sekarang ini. Berbagai spekulasi bermunculan seputar wacana I’jaz al-Qur’an ini. Tulisan ini sedikit ingin mengulas kemunculan wacana tersebut, berikut dialektika yang mengitarinya.

Untuk mempermudah pembaca, ada baiknya penulis mencantumkan beberapa pertanyaan yang berusaha dijawab oleh makalah ini. Di antara pertanyaan itu adalah: apa sebenarnya yang dimaksud dengan I’jaz al-Qur’an? Adakah ia sudah dipahami oleh masyarakat Arab-Islam awal? Kapan sejatinya kemunculan wacana I’jaz ini? Apa yang memungkinkan wacana ini muncul ke permukaan? Dan bagaimana dialektika yang membumbuinya?


Kehadiran Wacana I'jâz dan Dialektika Muktazilah

Sebagai langkah awal untuk memahami isi makalah ini, penting kiranya kita memahami maksud dari kata “i’jâz” dan “mukjizat” terlebih dahulu, baik versi etimologi ataupun terminologinya.
Kata “i’jâz” merupakan derivasi dari kata Arab “’a-ja-za”. menurut imam al-Ashfahani, makna asal dari kata “’a-ja-za” adalah terlambat dari suatu pekerjaan. Kemudian dalam bahasa komunikasi, ia dipakai untuk menunjukkan pada makna “ketidak mampuan terhadap sesuatu”. Ibnu Manzhur dalam Lisân al-Arab-nya mengungkapkan, kata “i’jâz” mempunyai arti melemahkan dan mendahului. Sedangkan Fairuzabadi mendefinisikn mukjizat nabi dengan “sesuatu yang dapat melemahkan lawan saat menghadapi tantangan”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mukjizat diartikan sebagai “kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini tentu berbeda dengan terminologi keagamaan”.

Mukjizat dalam istilah pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada orang yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”.[1] Dari definisi ini, ada beberapa faktor penting agar sesuatu itu bisa dikategorikan ke dalam mukjizat: Pertama, ia adalah peristiwa yang luar biasa. Kedua, ia timbul dari seseorang yang mengaku nabi. Ketiga, adanya tantangan kepada pihak lawan yang meragukan. Dan keempat, sang lawan tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Dan unsur-unsur ini sudah mewujud dalam diri al-Qur’an sebagai bukti atas kebenaran kenabian Muhammad Saw. yang tidak terbantahkan hingga hari kebangkitan.

Pertanyaan yang paling fundamental dalam persoalan i’jâz al-Qur’an ini adalah: apakah bukti konkrit kemukjizatan al-Qur’an? Apa pula bukti referenstatif yang menunjukkan kelemahan orng Arab-jahili mendatangkan al-Qur’an tandingan? Dimana letak kemukjizatan al-Qur’an tersesbut? Untuk menjawab semua pertanyaan ini, kita harus mengkaji sosio-kultural, peradaban, sikap dan kesaksian masyarakat kala itu.

Bukan hal yang asing lagi dalam kajian para ahli bahasa dan sejarawan, bahwa peradaban Arab-jahili adalah peradaban sastra dan retorika bahasa dalam beragam gaya dan bentuknya, baik syair ataupun prosa dengan beragam bentuknya. Mereka dikenal dengan masyarakat yang pandai menyusun kata, merangkai imajinasi, membangun gubahan syair yang dihiasi dengan keindahan uslub dan maknanya. Penyair di mata mereka bagaikan ilmuan yang menjadi rujukan primer di era modern ini, karena dia mampu merangkum pelbagai dinamika kehidupan dalam balutan syairnya. Penyair bagaikan media yang menjadi sumber peradaban saat itu. Bahkan tidak jarang, api peperangan antar golongan mampu dinyalakan oleh seorang penyair hanya dengan beberapa bait syairnya. Medan sayembara para sastrawan pun dapat dijumpai di berbagai tempat. Syair terbaik dan terindah akan ditulis dengan tinta emas dan ditempelkan di dinding Ka’bah sebagai penghargaan yang sangat tinggi.

Di tengah peradaban inilah, sekitar 14 abad yang silam, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi akhir zaman dan menantang siapa pun yang meragukan kebenarannya untuk menghadirkan al-Qur’an tandingan. Tantangan ini hadir secara gradual, yang dimulai dengan tantangan untuk mendatangkan semisal keseluruhan al-Qur’an secara utuh, kemudian tantangan untuk menciptakan semisal sepuluh surat dari al-Qur’an. Dan pada akhirnya, karena kelumpuhan mereka, al-Qur’an menantangnya untuk menghadirkan semisal satu surat terpendek darinya. Namun, karena totalitas kesadaran mereka terhadap ketinggian bahasa al-Qur’an yang tak dapat dijangkau oleh manusia mana pun, mereka berpaling dan menghindar dari tantangan ini.

Cukuplah kiranya bukti kelemahan mereka untuk menghadirkan al-Qur’an tandingan adalah mereka berpaling dari tantangan itu sendiri. Padahal mereka adalah kaum yang pandai bersilat lidah, pandai memainkan kata-kata dalam perdebatan, seperi yang digambarkan oleh al-Qur’an sendiri tentang sikap mereka,[2] pun Tuhan tidak membuat mereka bisu dan al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf yang mereka pakai dalam berbahasa. Untuk menutupi kecacatan ini, mereka mencari jalan pintas dalam menghadapi al-Qur’an, yaitu dengan mengancam Nabi Muhammad, mencela, memboikot, memblokade dan memutus hubungan dengan Nabi dan para pengikutnya. Pun untuk menutupi kelemahan ini, mereka rela mengorbankan harta dan jiwa mereka untuk memerangi Nabi dan Sahabatnya. Padahal jalan termudah dan tanpa pertumpahan darah adalah menghadapi tantangan (menghadirkan al-Qur’an tandingan walau semisal satu surat terpendek darinya) itu. Akan tetapi, lihatlah sikap musuh yang angkuh dan sombong ketika mengalami kelemahan dalam menghadapi lawannya. Seperti itulah kiranya gambaran kondisi mereka.

Klaim masyarakat jahili tentang al-Qur’an bahwa ia adalah syair, bahwa ia adalah perkataan orang gila dan bahwa ia adalah igauan para dukun, semua ini–tidak lebih dan tidak kurang–adalah potret kelinglungan logika mereka dalam menghakami kitab maha dahsyat yang disuguhkan oleh Nabi Muhammad Saw..

Tidak cukup sampai di sini, keagungan bahasa al-Qur’an mendapat pengakuan dan kesaksian, baik dari pihak kawan ataupun lawan. Inilah dedengkot kaum Quraisy, ‘Atbah Ibnu Rabi’ah berkata di hadapan para sahabanya yang kafir: “Sunggah aku telah mendengar perkataannya (al-Qur’an). Demi Tuhan, aku tidak pernah mendengar perkataan serupa sebelum ini. Dan demi Tuhan, ia (al-Qur’an) bukanlah syair, sihir dan juga perkataan dukun”.[3] Dan lihat pula kesaksian al-Walid Ibnu Uqbah setelah mendengarkan bacaan ayat al-Qur’an dari Nabi: Sungguh pada apa yang dia (Muhammad) bacakan terdapat keelokan dan keindahan. Ia bagaikan pohon yang akarnya tertancap ke dalam dan atasnya penuh dengan buah-buahan. Dan sungguh yang berkata ini bukanlah seorang manusia”. Akan tetapi, meski mereka menyadari retorika al-Qur’an yang tak terjangkau itu, kekufuran tetap membutakan hati mereka dan menjauhkannya dari keimanan kepada baginda Nabi Muhammad Saw..

Al-Walid Ibnu al-Mughirah juga bagian dari mereka yang dilinglungkan oleh al-Qur’an karena bahasanya. Dia menolak klaim bahwa Muhammad adalah penyair, pun tidak mengakui bahwa ia adalah seorang yang gila, dan dia juga membantah bahwa Muhammad adalah seorang dukun. Hal tersebut karena dia sadar, klaim seperti itu hanya membuat lelucon yang menggelikan. Siapakah gerangan yang tidak bisa membedakan antara syair, perkataan orang gila dan igauan para dukun? Dan pada akhirnya, setelah melalui pemikiran dan renungan yang panjang, dia mengatakan bahwa bacaan Muhammad adalah sihir.[4]
Di lain fraksi, kita juga menyaksikan bagaimana bahasa al-Qur’an mampu melenturkan kerasnya hati Umar Ibnu al-Khatthab yang sebelumnya tidak ada setetes harapan akan keislamannya. Bahkan seorang dari kaum Quraisy mengatakan: “Orang ini (Umar) tidak akan memeluk Islam sebelum himar peliharaannya masuk Islam terlebih dahulu”. Akan tetapi, setelah mendengar bacaan al-Qur’an, dia langsung terpesona seraya berkata: “Betapa indah nan agungnya kalam ini”.[5]

Kesaksian dan pernyataan mereka ini adalah bukti nyata terhadap kemukjizatan Kitab yang tiada tandingannya. Dan di fase ini, para pakar bayani menyebut mukjizat al-Qur’an dengan istilah“i’jâz dzâtî”.
Namun, yang menjadi poin penting kita kali ini adalah: kapan i’jâz al-Qur’an ini menjadi diskursus dalam dinamika keilmuan Islam? Kapan ia menjadi bola panas di kancah pemikiran umat Islam? Siapakah yang pertama kali mengangkat wacana i’jâz ini? Dan dari rahim ilmu manakah wacana ini hadir?
Sejatinya, kata “i’jâz”  ataupun “mukjizat” tidak akan kita jumpai dalam kamus al-Qur’an dan juga Hadis. Bahkan ulama Islam abad ke-I dan ke-II hijriah tidak pernah memperbincangkan problematika ini. Sehingga tidaklah salah kalau Mahmud Muhammad Syakir mengklaim kata ini adalah kata baru yang digaungkan oleh ulama abad ke-III hijriah.[6] Walaupun demikan, umat Islam di masa awal Islam bukan berarti tidak mengimani kemukjizatan al-Qur’an. Iman tersebut mewujud dalam diri mereka sebagai sebuah totalitas kesadaran yang tidak mampu dirasionalisasikan.

Hadirnya ilmu kalam, sekitar akhir abad ke-II dan awal abad ke-III hijriah, pasca akulturasi budaya Islam dengan budaya asing, khususnya Yunani, mampu membawa warna baru dalam dinamika pemikiran saat itu. Keagamaan yang awalnya hanya bertumpu kepada keimanan dan kesadaran, kini ia harus mampu dirasionalisasikan. Eksistensi ketuhanan dan kenabian harus mampu dibuktikan dengan nalar ilmiah rasionalis. Hal ini, karena musuh-musuh Islam–Yahudi dan Nashrani–bagaikan ular berbisa yang menebarkan racunnya seputar Islam dengan senjata filsafat dan pemikiran asing lainnya yang mengharuskan umat Islam harus menagkal dan melawannya dengan senjata yang sama.

Adalah al-Nazzham (w 231 H), gembong kaum Muktazilah yang aktif mendeklarsikan pemikirannya dalam perdebatan para teolog. Selain ia dikenal ahli retorika, ia lebih dikenal sebagai teolog yang handal dan  disegani pihak lawan ataupun kawan. Dia berusaha merasionalisasi konsep kenabian dalam agama. Seseorang yang mengaku nabi haruslah membawa bukti kenabiaannya yang berupa sesuatu yang luar biasa yang tidak mampu dilakukan oleh kaum dan penentangnya. Di sinilah, al-Nazzham berusaha menelaah dan menyingkap faktor ketidak mampuan suatu umat untuk menghadirkan semisal yang   dihadirkan oleh nabinya.

Menurutnya, bukti kenabian Musa; membelah lautan dan juga Isa; menyembuhkan orang buta, membangkitkan orang yang sudah mati dan lainnya adalah fenomena luar biasa. Keinginan musuh untuk menghadirkan hal serupa sangatlah mustahil, karena ia berada diluar kemampuan manusia. Dan kelemahan ini–menurut al-Nazzham–sangatlah rasional. Akan tetapi, ketika ia menelaah bukti kenabian Muhammad; al-Qur’an, fenomena luar biasa itu tidaklah tampak.[7] Adalah irrasional jikalau orang Arab-jahili, yang pandai bersilat lidah dan membangun gubahan-gubahan syair yang indah, tidak mampu menghadirkan semisal al-Qur’an. Sebab ia tersusun dari huruf, kata dan bahasa yang dikenal dan dipakai mereka dalam kesehariannya.  Maka,–dalam pandangannya–haruslah ada kekuatan eksternal yang tidak berasal dari diri al-Qur’an  yang menjadi fakor kelemahan sang lawan. Di sinilah ia menelurkan konsep sharfahnya; al-Qur’an tidaklah mengandung mukjizat dengan sendirinya, melainkan Tuhan memalingkan orang Arab untuk menghadirkan al-Qur’an tandingan. Dan seandainya Tuhan tidak memalingkan mereka, maka tentu mereka mampu melahirkan al-Qur’an tandingan itu.

Konsep sharfah yang diciptakan al-Nazzham ini sangatlah berbahaya. Karena ia tidak hanya menganggap al-Qur’an biasa-biasa saja, melainkan juga menghapus setiap keistimewan dan keagungan susunan dan bahasanya.[8] Al-Jahizh (w 255 H), sahabat sekaligus murid dan pengagung al-Nazzham, yang mempunyai cita rasa sastra yang tinggi melihat kefatalan yang sangat krusial dalam konsep temannya itu. Sehingga ia dalam berbagai karyannya membela bahasa dan susunan–nazham–al-Qur’an. Menurutnya, jikalau al-Qur’an dibacakan kepada mereka yang ahli sastra dan retorika, walaupun satu surat yang panjang ataupun yang pendek, maka mereka akan bertekuk lutut memperlihatkan kelemahannya.[9] Meski demikian, al-Jahizh yang juga seorang muktazilah tidak serta-merta menolak konsep sharfah ini. Akan tetepi, konsep sharfah al-Jahizh jelas berbeda dengan konsep sharfah al-Nazzham. Kerena sharfah al-Jahizh bukanlah faktor dominan kelemahan lawan, melainkan bahasa dan susunan al-Qur’an adalah sesuatu yang fundamental dalam mukjizat kitab yang menjadi bukti kenabian Muhammad Saw..[10]

Namun demikian, meski mereka berdua (al-Nazzham dan al-Jahizh) yang mula-mula menggaungkan diskursus tentang i’jâz, akan tetapi mereka tidak menggunakan istilah tersebut. Mereka menggunakan istilah “dalâil al-nubuwah”, “hujaj al-nubuwah”–seperti risalah al-Jahizh sendiri yang bertemakan “Hujaj al-Nubuwah”–dan sebagainya untuk menunjukakan kepada peristiwa luar biasa yang menjadi bukti konkrit kenabian. Menurut Mahmud Muhammad Syakir, orang pertama yang menampilakan kata i’jâz adalah al-Wasithi yang juga seorang Muktazilah (w 306 H) . hal itu tetuang dengan jelas dalam kitabnya “I’jâz al-Qur’an”. Ironisnya, kitabnya ini tidak sampai kepada kita sekarang.[11]

Sharfah, sebagai konsep i’jâz al-Qur’an pertama, menjadi bola panas yang terus menyala dan bergulir dalam medan perdebatan para teolog, tak terkecuali di tubuh kaum Muktazilah sendiri. Kita sudah melihat, bagaimana al-Jahizh berusaha dengan keras untuk membuktikan bahwa kemukjizatan al-Qur’an terdapat dalam susunannya. Sehingga dia menulis kitab fenomenalnya “al-Ihtijâj li Nazhm al-Qur’an, meski dia tidak menolak secara simultan konsep sharfah yang didengungkan oleh Sahabatnya, al-Nazzham itu.

Al-Rummani (w 386 H), seorang ahli bahasa dan teolog Muktazilah berpandangan, al-Qur’an mempunyai tujuh sisi kemukjizatan: petama, berpalingnya orang Arab dari tantangan al-Qur’an. Kedua, tantangan al-Qur’an yang ditujukan kepada semua makhluk. Ketiga, sharfah. Keempat, balaghahnya. Kelima, berita gaib yang dibawa al-Qur’an. Keenam, susunannya yang tidak biasa. Dan ketujuh, meng-analogikan al-Qur’an dengan mukjizat yang lain.[12] Akan tetapi, jika kita membaca kitabnya “al-Nukat fi I’jâz al-Qur’an”, kita akan menemukan sisi kemukjizatan al-Qur’an dalam sisi balaghah mendominasi pemikirannya. Dan bahkan bisa dikatakan, setiap halaman kitabnya berbicara tentang balaghah al-Qur’an. Fenomena ini–bagi penulis–adalah geliat untuk melepaskan diri dari konsep sharfah di tubuh Muktazilah sendiri. Walaupun al-Rummani menyatakan dengan tegas bahwa sharfah adalah bagian dari sisi kemukjizatan al-Qur’an yang terang benderang bagi mereka yang menggunakan akalnya.
            “ Adapun sharfah, maka ia adalah memalingkan keinginan untuk menghadapi tantangan. Sebagian pakar ilmu berpedoman bahwa kemukjizatan al-Qur’an terdapat dalam sharfah ini. Dan ini–sharfah–adalah sesuatu yang luar biasa sepertihalnya mukjizat para nabi yang lain. Sharfah ini bagi kami adalah sebagian dari kemukjizatan al-Qur’an yang nyata menurut akal pikiran.”[13]
Bagaimanapun dialektika yang terjadi di tubuh Muktazilah seputar mukjizat al-Qur’an ini,­–hemat penulis–mereka tetap memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan keilmuan i’jâz di era setelahnya.


Konsep Keindahan Retorika–Balaghah–Bahasa al-Qur’an

Seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa kehadiran konsep sharfah dalam diskursus mukjizat al-Qur’an menjadi bola panas di kalangan para teolog Muktazilah sendiri. Dan–kalau boleh dikatakan–sebagian dari mereka secara perlahan berusaha melepaskan diri dari konsep sharfah tersebut.

Di dalam sakte teologi yang berbeda–Asy’ariah–, kita akan melihat bagaimana konsep sharfah ini berusaha ditumbangkan. Meskipun dalam domain teologi konsep ini mendapatkan legalitasnya yang absah, akan tetapi–seperti yang disinggung oleh al-Kahattabi (w 388 H), yang berakidah Asy’ariah–ia bertentangan dengan konsep tahaddi–tantangan–yang tersurat dalam QS. Al-Isrâ’ (17): 88, yang maknanya berbunyi:
            “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain”
Dalam ayat ini sangatlah jelas tantangan al-Qu’ran yang secara tersurat menuntut adanya usaha dan kerja keras dari para penentangnya untuk mendatangkan al-Qur’an tandingan. Berbeda dengan konsep sharfah yang meniadakan secara total usaha dan kerja keras yang disinggung dalam al-Qur’an tersebut.[14]

Al-Baqillani (w 403 H), tokoh Asy’ariah yang juga ahli retorika ini juga menolak konsep sharfah yang dihadirkan oleh rival abadinya–sekte Muktiazilah–. Dalam pandangannya, konsep sharfah akan menghapus semua keistimewaan yang dibawa oleh bahasa al-Qur’an. Dan pada akhirnya, kalam Tuhan tidak ada bedanya dengan kalam manusia biasa. Begitupun seandainya konsep sharfah ini dibenarkan, maka tidak ada gunannya al-Qur’an direkonstruksi dengan susunan yang indah dan bahasa yang fasih serta menakjubkan.[15]

Tumbangnya konsep sharfah dalam kacamata Asy’arian ini tidak menghentikan laju bola panas dalam polemik wacana i’jâz. Ia membuka problematika baru dalam diskursus kemukjizatan al-Qur’an. Para ahli retorika yang mengklaim, kemukjizatan al-Qur’an terdapat dalam keindahan dan ke-balaghah-an bahasanya harus mampu membuktikan keindahan tersebut. PR baru bagi mereka adalah membuktikan bahwa keindahan bahasa al-Qur’an mengungguli dan bahkan tidak mungkin dicapai oleh para penyair dan ahli retorika manapun. Mereka juga harus menggali letak atau faktor yang mampu mempoles keindahan al-Qur’an sedemikian rupa hingga ia berada di puncak kemustahilan untuk direkonstruksi oleh manusia.

Untuk menemukan titik keindahan bahasa al-Qur’an ini tidaklah mudah. Kata Balaghah dan nazhm yang menjadi istilah familier dalam diskursus mukjizat al-Qur’an ternyata tidak menemukan kerangka definitnya. Ia menjadi istilah yang akrab di telinga tanpa diketahui apa maksud dan hakikatnya. Hal ini diungkapkan oleh al-Khattabi sendiri dalam risalahnya “Bayân I’jâz al-Qur’an”:
            “Oleh karenanya, jika mereka ditanyakan tentang definisi balaghah yang menjadi keistimewaan al-Qur’an, dan dengannya al-Qur’an mampu mengungguli retorika selainnya, jika mereka ditanyakan tentang makna yang menjadi keistimewaan dalam retorika bahasa, maka mereka akan berkata, “Sesungguhnya tidaklah mungkin untuk menggambarkan dan mendefinisikan keindahan al-Qur’an dengan penjelasan yang jelas dan pasti”.[16]
Begitupun dengan al-Baqillani, dia tidak memberikan kerangka definitif yang pasti dalam konsep keindahan dan ke-balaghah­-an al-Qur’an. Menurutnya, balaghah al-Qur’an hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh mereka yang mempunyai cita rasa yang tinggi dan mengetahui beragam   retorika dan kefasihan bahasa.[17] Meskipun tidak bisa dipungkiri, kalau karyanya, I’jâz al-Qur’an menjadi rujukan primer bagi mereka yang menelaah kemukijizatan bahasa al-Qur’an setelahnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perspektif al-Rummani yang mengatakan, balaghah adalah pengaruh makna dalam bingkai kata yang indah yang dirasakan oleh hati.[18]

Dalam domain yang berbeda, yaitu diskursus kritik sastra, Ibnu Salam al-Jumahi sebelumnya sudah  mengeluarkan pernyataan, dikutip oleh Muhammad Mandur, yang–kurang lebih–sama dengan statement yang dikeluarkan oleh al-Baqillani. Keindahan dalam sebuah syair–menurut Ibnu Salam–hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mempunyai cita rasa yang tinggi dan berkompeten dalam berbagai fan sastra. Syair diibaratkan mata uang–seperti dirham dan dinar–yang keindahan, keaslian dan kepalsuannya hanya dapat diketahui oleh orang yang ahli dalam penukaran uang.[19]

Hal ini mengindikasikan kalau istilah balaghah belum mampu untuk dijadikan metodologi atau barometer yang jelas untuk menjadi objek kemukjizatan al-Qur’an yang ilmiah dan memuaskan nalar pikir umat Islam saat itu. Dan ini tidaklah aneh, mengingat perkembangan pemikiran metodologis saat itu belumlah matang dan lebih mengedepankan intuisi yang dimiliki seorang pengkaji.

Hadirnya al-Qadhi Abd al-Jabbar (w 415 H), salah satu tokoh muktazilah ternama ini dinilai sedikit mampu mengurangi kebekuan dan menyingkap tabir dari hakikat ­balaghah dan fashahah  yang menjadi titik terang kemukjizatan al-Qur’an. Dalam pandangan Abd al-Jabbar, kefasihan dalam bahasa tidak terdapat di dalam kata perkata, melainkan ia akan tampak ketika kata itu digabung dengan kata yang lain dalam susunan tertentu. Bukanlah makna yang membawa keindahan, akan tetapi kata yang indah adalah faktor keistimewaan di dalam bahasa dan sastra.[20]

Statement Abd al-Jabbar ini mengindikasikan kalau keindahan bahasa al-Qur’an terdapat di dalam bunyi kata dan suaranya. Sebuah karya sastra akan dinilai indah jika kata-katanya menyejukkan telinga dan nada-nadanya membawa gema dan irama syahdu nan merdu.

Akan tetapi, konsep Abd al-Jabbar ini tidak lama berdiri tegak. Karena hadirnya Abd al-Qahir al-Jurjani (w 425 H) mampu merobohkannya. Bagi al-Jurjani, keindahan dalam bahasa dan sastra tidaklah terdapat pada kata dan pernak-perniknya, melainkan ia mengikuti makna dan maksud yang dikandungnya. Agar suatu kata itu dinilai indah, maka makna haruslah indah terlebih dahulu. Bukanlah pendengaran yang menilai keindahan dan keistimewan dalam bahasa, melainkan hati dan nalar pikir yang jernihlah yang mampu mengetahui keistimewaan tersebut.[21] Ke-balgha­h-an dan kefasihan dalam bahasa terdapat dalam ketepatan pemilihan kata untuk menunjukkan kepada makna yang dituju sesuai alur atau siyâqnya. Keindahan makna yang tergambar dalam kata ini dapat diketahui melalui nazhm atau susunannya. Sehingga menurut al-Jurjani, kemukjizatan al-Qur’an berada dalam nazhmnya.[22]

Nazhm versi al-Jurjani ini adalah menggali keistimewaan makna-makna sintaksis (ilmu nahwu atau i’rab) dan hukumnya yang tesimpan diantara susunan katanya. Makna-makna sintaksis itulah yang menjadi sumber ketinggian dan keagungan retorika al-Qur’an. Sehingga objek kajian nazhm ini terpusat kepada kedudukan kata perspektif kaidah sintaksis (ilmu nahwu) dengan melacak keistimewaan makna yang dibawanya, seperti halnya fâ’il, maf’ûl, mubtada’, khabar, hal, nakirah, ma’rifat, taqdîm, ta’khîr dan bentuk-bentuk yang lainnya.

Untuk membangun konsep nazhm ini, al-Jurjani terlebih dahulu membersihkan tuduhan-tuduhan kotor terhadap ilmu nahwu yang dicetuskan oleh Imam Sibawaih dan juga syair. Karena keduanya ini–ilmu nahwu dan syair–adalah pondasi dalam menciptakan konsep nazhm-nya.[23] Dan nazhm versi al-Jurjani inilah yang menjadi pusat perhatian hingga sekarang dalam merasionalisasi kemukjizatan al-Qur’an. Dengan ini, al-Jurjani tidak hanya dinilai mampu membuka tabir kemukjizatan al-Qur’an, namun dia juga berhasil mencetuskan ilmu baru dalam dinamika keilmuan Islam; yaitu ilmu ma’âni dan bayân (ilmu balaghah) dalm kedua karya fenomenalnya; Asrâr al-Balâghah dan Dalâil al-I’jâz.

Untuk sedikit menampilkan keistimewaan konsep nazhm dalam mendedah keindahan retorika al-Qur’an, mari kita perhatikan kedua ayat al-Qur’an ini:
 وسيق الذين كفروا إلى جهنم زمرا حتى إذا جاءوها فتحت أبوابها وقال لهم خزنتها ألم يأتكم رسل منكم يتلون عليكم أيات ربكم وينذرونكم لقاء يومكم هذا...
            “Dan diantarlah orang-orang kafir ke neraka jahanam berbondong-bondong hingga ketika mereka sampai ke sana maka dibukalah pintunya dan berkatalah kepada mereka para penjaganya, “Bukankah sudah datang kepada kamu rasul-rasul dari jenis kamu yang membacakan ayat-ayat Tuhan-mu dan memperingatkan kepadamu  akan pertemuan hari ini?...””[24]
Kemudian bandingkan dengan ayat berikutnya:
وسيق الذين اتقوا ربهم إلى الجنة زمرا حتى إذا جاءوها وفتحت أبوابها وقال لهم خزنتها سلام عليكم طبتم فادخلوها خالدين
            “Dan diantarlah orang-orang yang bertakwa kepad Tuhan mereka ke surga, hingga ketika mereka sampai ke sana dan telah dibukalah pintunya dan berkatalah para penjaganya kepada mereka, “Salam sejahtera untuk kamu semua, berbahagialah dan masuklah ke surga kekal abadi””[25]

Sejenak kita perhatikan kedua ayat di atas dengan seksama, maka akan kita temukan susunan kata dan kalimat yang serupa kecuali nama kelompok, tempat yang mereka huni dan kata sambutan para malaikat kepada masing-masing kelompok itu. Namu, jika kita lebih jeli lagi, terdapat susunan kata yang sedikit berbeda; penambahan huruf wawu setelah kata “futihat” dalam ayat kedua. Sedangkan di dalam ayat pertama, kata “futihat” tidak disandengkan dengan huruf wawu.

Sepintas kita tidak menemukan perbedaan makna yang tergambar dalam huruf wawu ini. Akan tetapi, jika kita dedah susunan ayat di atas dengan konsep nazhm; menyingkap makna sintaksis, maka perbedaan dan keindahan susunan al-Qur’an ini akan tampak di hadapan kita.

Di dalam ilmu balaghah, susunan dengan penghubung wawu disebut dengan washal. Dan susunan yang tidak terdapat kata penghubung wawu disebut dengan fashal. Jika kita melihat kedua ayat di atas dengan kacamata sintaksis, maka kata “futihat” dalam ayat pertama merupakan jawaban dari jumlah syarthiah sebelumnya. Sehingga ayat pertama ini menggambarkan kalau pintu neraka itu terbuka ketika penghuni nerak berada di depannya dan hendak memasukinya.[26]

Sedangkan dalam ayat kedua, kata “futihat” bukan berupa jawaban, melainkan ia diathafkan kepada jumlah sebelumnya, sehingga kedudukannya sama. Seakan ayat kedua ini menggambarkan kalau pintu surga sudah terbuka lebar, jauh sebelum penghuni surga datang. Sangat menarik sekali penggambaran M. Quraish Shihab mengenai kedua ayat ini:
            “Jika anda mengantarkan seorang penjahat ke penjara atau tempat penyikasaan, ketika anda sampai di pintu penjara, anda akan menemukan pintu itu tertutup rapat. Ia baru dibuka apabila terpidana akan dimasukkan ke dalamnya. Ini berbeda dengan seseorang yang anda nantikan kedatangan dan menghormati kedatangannya. Jauh sebelum tibanya, pintu gerbang talah terbuka lebar untuk menyambutnya. Sehingga bukan seperti keadaan penjahat tadi.”[27]
Begitulah kiranya gambaran keistimewaan konsep nazhm yang digaungkan oleh al-Jurjani ini untuk membuktikan keagungan dan keindahan susunan bahasa al-Qur’an. Nazhm, sebagai kemukjizatan al-Qur’an sangatlah komprehensif. Karena ia terdapat dalam setiap surat, ayat, kalimat, kata dan bahkan huruf-huruf al-Qur’an.


Epilog

Konsep nazhm yang dihadirkan oleh al-Jurjani, sebagai kemukjizatan al-Qur’an yang dirasakan oleh masyarakat Islam awal dan diakui oleh para pakar ilmu bahasa di setiap masa, tidak menutup jalan bagi kehadiran mukjizat-mukjizat al-Qur’an yang lain, semisal mukjizat al-Qur’an dalam syariahnya, berita gaib, universalitas hukum, sains, komonikasi dan sebagainya. Akan tetapi, nazhm al-Qur’anlah yang menjadi titik tolak kekuatan al-Qur’an saat menantang para penentangnya di awal kehadirannya. Dan nahzmlah yang membuat masyarakat Arab jahili bertekuk lutut berada dalam totalitas kelemahannya.
Dan terakhir, penulis hanya bisa berkesimpulan, “Makna itu tersimpan dibalik kata-kata. Kaidah sintaksis bagaikan kunci untuk membuka setiap rahasia. Retorika bahasa adalah jalan menuju kepadanya. Maka selayaknya, kita tidak mengabaikan yang sudah nyata”. Wallâhu ta’âlâ a’lam.


                                                                                                                                    
By; Rahmat Hidayat 
Mahasiswa aktif al-Azhar 
Fakultas bahasa Arab




[1] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an; Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Mizan, Jakarta, hal. 25
[2] Lihat QS. Az-Zukhruf (42): 58 dan QS. Maryam (19): 97
[3] Muhammad Abd al-Rahman Abd al-Zhahir dan Zakaria Abd Majid al-Nouti, al-Adab fî ‘Ashray Shadr al-Islâm wa Banî Umayyah, Maktabah al-Iman li al-Nasyr wa al-Tauzik, hal. 7, tt 
[4] Abd al-Qahir al-Jurjani, al-Risâlah al-Syafiyah, dimuat dalam “Stalâst Rasâil fî al-I’jâz”, ditahkik oleh Muhammad khalafullah Ahmad dan Muhammad Zaghlul Salam, Darul Ma’arif, Kairo, cet. VIII, 2015, hal. 122
[5] Muhammad Abd al-Rahman Abd al-Zhahir dan Zakaria Abd Majid al-Nouti , Op. cit., hal. 8
[6] Mahmud Muhammad Syakir, Madâkhil I’jâz al-Qur’an, Mathba’ah al-Madani, Kairo, cet. I, 2002, hal. 23
[7] Ibid., hal. 54
[8] Ibid., hal. 61
[9] Abd al-Qahir al-Jurjani, Dalâil al-I’jâz, ditahkik oleh Mahmud Muhammad Syakir, Mathba’ah al-Madani, cet. III, 1992, hal. 251
[10] Muhammad Abu Musa, al-I’jâz al-Balâghî, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. IV, 2012, hal. 350
[11] Mahmud Muhammad Syakir, Op. cit., hal. 77-78
[12] Abi Hasan Ali al-Rummani, al-Nukat fî I’jâz al-Qur’an, dimuat dalam “Stalâst Rasâil fî al-I’jâz”, Op. cit., hal. 75
[13] Ibid., hal. 110
[14] Abi Sulaiman al-Khatthabi, Bayân I’jâz al-Qur’an, dimuat dalam “Stalâst Rasâil fî al-I’jâz”, Op. cit., hal. 23
[15] Abu Bakar al-Baqillani, I’jâz al-Qur’an, ditahkik oleh Ahmad Shaqar, Darul Maarif, Kairo, cet. VII, 2010, hal. 29
[16] Abi Sulaiman al-Khatthabi, Op. cit., hal 24
[17] Abu Bakar al-Baqillani, Op. cit., hal. 26 dan 171
[18] Abi Hasan Ali al-Rummani, Op. cit., hal. 75-76
[19] Muhammad Mandur, al-Naqd al-Manhajî ‘Ind al-Arab, Daru Nahdet Mishr, Giza, cet. IX, 2014, hal. 18. Lihat juga Ibnu Salam al-Jumahi, Thabaqât al-Syu’arâ’, hal 17
[20] Abd al-Qahir al-Jurjani, Op. cit., hal. 456
[21] Ibid., hal 59 dan 64
[22] Ibid., hal. 39
[23] Ibid., hal. 11-23
[24] QS. Az-Zumar (39): 71
[25] QS. Az-Zumar (39): 73
[26] Abu Qasim Mahmud al-Zamakhsyari, al-Kassyâf, vol. IV, Maktabah Taufiqiah, Kairo, cet. I, 2012, hal. 143  
[27] M. Quraish Shihab, Op. cit., hal 136

Follow Us @soratemplates