April 16, 2015

Menulis Untuk Abadi



Oleh; Ayok Cangkolank

Anne Frank. Umurnya belum genap 16 tahun. Ia dikhianati, entah oleh siapa. Setelah 2 tahun bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain di Amsterdam, sekonyol-konyal sejumlah agen polisi menerobos rumah belakang, tepat di balik rak buku di gedung tempat ayah Anne bekerja, mereka menagkap satu persatu seluruh anggota keluarganya. Jumlahnya sepuluh orang, termasuk Anne dan dua pembantunya, Johannes dan Victor. Mereka diangkut menuju kamp-kamp konsentrasi penampungan. Tak sampai setahun Anne bertahan, ia meninggal pada awal tahun 1945 di kamp Bergen-Belsen, barat laut Jerman. Ditengarai karena tifus yang menggerogotinya.

Anne adalah salah satu korban Holokaus yang paling sering dibicarakan. Ia adalah satu dari jutaan korban genosida Hitler dan pasukannya. Tak ada yang tahu tentangnya hingga Otto Frank, kakak Anne, setelah kembali dari perang dunia kedua menemukan bahwa catatan harian adiknya disimpan oleh salah seorang penolong mereka – saat bersembunyi dari tentara Nazi – yang bernama Miep Gies. Ia mengambilnya. Kemudian, buku harian tersebut ia terbitkan pada tahun 1947. Dari situ, di kemudian hari buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ia kemudian menjadi salah satu buku terlaris yang membuka mata dunia dan sekaligus mencatat salah satu tragedi paling kelam di sepanjang sejarah umat yahudi.


Entah apa yang ada dipikiran Anne hingga ia menulis detil kejadian yang menimpanya pada buku harian yang diberikan pada ulangtahunnya yang ketigabelas tersebut, tapi barangkali, salah satunya tak jauh dari judul di atas, bahwa menulis untuk abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates