Tampilkan postingan dengan label KHAZANAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KHAZANAH. Tampilkan semua postingan

April 11, 2019

,
Keramat Abu al-Barakat; Imam Ahmad Dardir 
Abu al-Barakat adalah laqab atau panggilan umum yang disandangkan kepada Imam Ahmad Dardir (1127-1201 H). Beliau tidak sekedar dikenal sebagai orang Alim, melainkan juga al-Alim ar-Robbani yang dianugerahkan ilmu dhahir dan batin. Hal itu dikarenakan sanad keilmuan beliau dikenal jelas dan terhubung langsung kepada cahaya baginda Rasulullah Saw.
Sementara itu, aliran fikih Imam Dardir yaitu Malikiyah. Hal ini ditandai keluasaan beliau terhadap penguasaan madzhab Maliki sehingga memperoleh sematan Malikiyah al-Syaghir (Maliki kecil) dari para pengikutnya. Di samping juga karya-karyanya, terutama dalam bidang fikih Maliki, yang banyak dikonsumsi para pelajar hingga abad modern ini, seperti Syarah Mukhtasar Khalil, Aqrabul Masalik li Madzhab al-Imam Malik dan lain sebagainya.
Di pesantren dulu, karya Imam Dardir yang menjadi kajian menarik adalah kitab Isra Mikraj. Kitab ini merupakan kajian tahunan yang dibaca setiap malam Isra Mikraj mulai dari pengantar (muqaddimah) sampai selesai, yakni dimulai selesai salat Isyak sampai khatam.
Konon, ada kisah inspiratif yang populer ditelinga para pelajar, termasuk sebagian kalangan masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) tentang Imam Dardir bersama gurunya, Syeh Ali as-Soidi. Semenjak menjadi pelajar, sang guru telah mengetahui potensi Imam Dardir yang tersambung dengan baginda Rasulullah saw. Karenanya, sang guru mengirimkan pesan “Salam” melalui Imam Dardir agar disampai kepada baginda Rasul. Usai disampaikan, Rasulullah menjawab salam Ali  as-Soidi seraya menambahkan, “Kenapa dia (Ali As-Soidi) tidak mengunjungi saya ke Madinah”. Tanyanya.
Pesan Rasul ini kemudian disampaikan lagi kepada sang guru dan dengan seketika, beliau (Ali As-Soidi) menangis deras hingga akhirnya menjawab, “Wahai Dardir ! Mohon sampaikan salam saya kepada Rasulullah bahwa saya tidak mampu mengunjungi beliau di Madinah”.
Sebagai mediator yang amanah, Imam Dardir menghantarkan salam sang guru kepada Rasulullah dan Rasul pun menjawab, “Apabila dia (Ali As-Soidi) ingin mengunjungi saya, maka temuilah saya di makam (Imam) Syafii setiap hari Jum’at setelah ashar sampai fajar hari sabtu”.
Demikian komunikasi ahli makrifat, guru dan murid sama-sama Alim robbani dan terkoneksi dengan baginda Rasulullah Saw. Demikian pula jiwa dan raga mereka senantiasa tersambung dengan baginda Rasulullah Saw.
Karenanya, Habib Umar bin hafidz pernah berpesan agar kita senantiasa bergaul dan memandang orang-orang saleh supaya kelak kita dibangkitkan bersama mereka hingga puncaknya, kita dapat memandang wajah terindah, yaitu cahaya baginda Rasulullah Saw”.
Sekian semoga bermanfaat !
_____
Kisah di atas diperoleh dari sambutan Syeh Emad Khotib Masjid Abul Barakat, Imam Ahmad Dardir pada acara Haul Imam Dardir.  



                                                                                              oleh : Muchtar Makin Yahya

April 04, 2019

,
Mengapa Isra' dan Mi'raj?

Peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah serangkaian peristiwa agung yang terjadi kepada nabi Muhammad Saw. Para pemikir Islam sepakat kebenaran adanya, kendati mereka bersilang pendapat, kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi.

Para pemikir timur dan barat beradu pacu memberi tafsir bagaimana Nabi diisra'kan? Di kalangan pemikir timur hampir menemui kata sepakat bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj bagian dari mukjizat yang Allah kehendaki kepada Rasul-Nya. Tanpa meninggalkan pertanyaan bagaimana detailnya, karena mereka berangkat dari yang namanya iman. Sebagaimana jawaban Abu Bakar saat ditanya oleh orang kafir Quraish. Abu Bakar berkata, "Jika ia (Muhammad) yang berkata, saya percaya." Menurut hemat penulis jalan ini (iman) lebih mudah diterima dan berdamai dengan jiwa mukmin, dari pada harus mempersoalkan bagaimana dan mengapa.
Jalan ini berbeda dengan pemikir barat yang cenderung observatif menanggapi peristiwa agung itu. Berangkat dari teori-teori ilmiah yang mereka tuhankan, bertanya tentang keabsahannya. Bagaimana mungkin Muhammad mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan jauh melampaui kecepatan cahaya? Bagaimana ia mampu menembus gravitasi bumi? Ini sekilas pertanyaan yang diketengahkan oleh pemikir barat. Rasanya amat sulit menyelaraskan dan mengambil kesimpulan dari peristiwa yang domainnya adalah kuasa Tuhan dengan bertumpu pada teori-teori ilmiah yang bersandar pada penelitian yang berulang. Sedangkan Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali. Sehingga jalan keluar yang dihidangkan oleh sementara pemikir, jangan bertanya bagaimana Israj dan Mijraj, namun mengapa Isra' dan Mi'raj?

Berangkat dari pertanyaan kedua, saya mencoba menguraikan di sini.  Isra' dan Mi'raj terjadi setelah Nabi kembali dari Thaif. Lawatan misi dakwah kali ini sangat menguras psikis Nabi. Intimidasi yang dilakukan penduduk Thaif menyisakan pengaruh besar pada jiwa Nabi. Ia menduga kegagalan dakwah akibat kesalahannya yang membuat Tuhan tidak senang kepadanya. Di sini tampak sekali sisi kemanusiaan Nabi  sebagai utusan Allah. Merasa sedih akibat langkah-langkahnya menemui kegagalan. Di saat itulah perlu ada sandaran mampu membangkitkan kembali kaki-kaki yang lemah untuk melanjutkan langkah menggapai asa. Sifat kemanusian yang tampak ini menjadi simbol agung atas penghambaan seorang hamba di hadapan tuhannya. Tiap kali seorang hamba lemah tidak berdaya selalu butuh kepada Sang Tuan, Allah.

Keadaan yang menimpa Nabi diharapkan menjadi catatan bagi umatnya yang datang setelahnya mengganti posisi beliau sebagai penyampai risalah bahwa mereka akan menemui kesulitan-kesulitan sebagai ujian atas kesungguhan dakwahnya. Dai yang benar-benar berkhidmat kepada Agama. Bukan sebaliknya, Agama yang berkhidmat kepadanya. Agama menjadi alat untuk meraih hasrat-hasrat dunia. Wal 'Iyādzu Billah.

Isra' dan Mijra' inilah yang menjadi kehendak Allah untuk menjawab 'prasangka' kekasih-Nya. Allah tidak berkehendak meninggalkan kekasih-Nya 'terluka'. Allah perintahkan Jibril untuk menemani nabi Muhammad dalam perjalanan menemui-Nya. Pertemuan ini menjadi energi baru untuk melanjutkan risalah Allah kepada seluruh alam semesta.

                                                                                                               

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Oleh : Abdurrahman

Maret 07, 2019

,
BIOGRAFI IMAM Al-TAHTAHAWI




Al-Tahtahawi memiliki nama lengkap Rifa’ah Bey Badawi Rafi’ Al-Tahtawi, ia merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19. Beliau lahir di Tahta pada tahun 1801. Tahtahawi merupakan kota di dataran tinggi mesir, yang berada di bagian selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di kairo.

 Saat Muhammad Ali menjadi gubernur mesir pada saat itu, dia mengambil alih kekayaan di Mesir, dan termasuk di dalamnya juga kekayaan keluarga Tahtawi dikuasai olehnya. sehingga beliau terpaksa menempuh pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun al-Tahtawi memutuskan melanjutkan studinya ke al-Azhar untuk menimba banyak ilmu kepada masyayikh al-Azhar dan pada tahun 1822 M. beliau menyelesaikan studinya.
Al-Tahtawi merupakan murid kesayangan dari Syaikh Hasan al-Attar (grand Syaikh Al-Azhar kala itu) yang banyak mempunyai hubungan dengan Napoleon ketika ia datang ke mesir. Syaikh Hasan al-Attar sering mengadakan kunjungan kepada ahli-ahli dari Prancis untuk mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan mereka, Dan mereka pun menerima kunjungan itu dengan senang hati karena mereka bisa belajar bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi ini.
Setelah lulus menyelesaikan studinya di al-Azhar beliau dipercayakan untuk mengajar disana. Pada tahun 1824 al-Tahtawi diangkat menjadi pemimpin tentara, dan dua tahun kemudian al-Tahtawi diangkat menjadi pimpinan para mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali ke Paris. Selama lima tahun di Paris ia tidak menyianyiakan waktunya tersebut. ketika sesampainya disana ia langsung mencari guru khusus bahasa Prancis untuk mengajarinya belajar bahasa Prancis. Dengan waktu singkat ia berhasil menguasai bahasa tersebut karena kesungguhannya dalam mempelajari bahasa itu, dan terbukti selama masa tinggalnya di Paris, al-Tahtawi berhasil menterjemahkan 12 buku dan risalah, diantara risalah tersebut adalah tentang sejarah Alexander Macedonia, mengenai ilmu pasti, risalah tentang ilmu tektik, risalah mengenai hak-hak manusia, risalah tentang jasmani dan sebagainnya.
Selain menterjemahkan buku-buku dan risalah, waktu di Paris ia sempatkan juga untuk membaca buku-buku yang ada disana. buku-buku yang dibaca antara lain buku-buku sejarah, teknik, ilmu politik, ilmu bumi dan lain sebagainya.
Buku-buku yang dibaca al-Tahtawi rupanya mencakup berbagai lapangan ilmu pengetahuan. kelihatannya ia sengaja membaca lapangan-lapangan yang berbeda dan tidak memfokuskan kesatu lapangan ilmu pengetahuan saja, karena tujuannya ialah hanya menterjemahkan buku-buku Prancis kedalam bahasa Arab. dengan demikian pembaca-pembaca Arab dapat mengetahui ilmu pengetahuan barat yang ia rasa perlu mereka ketahui untuk kemajuan mereka.
Sekembalinya dari Paris, al-Tahtawi menjadi seorang guru bahasa Prancis dan penterjemah di sekolah kedokteran. Disini ia membimbing penerjemah buku-buku ilmu kedokteran. Dua tahun kemudian ia pindah ke Artileri untuk mengepali penerjemahan buku-buku tentang ilmu teknik dan kemiliteran.
Ditahun 1836 M. Muhammad Ali mendirikan  “Sekolah Penerjemah” yang kemudian nama sekolah tersebut berubah menjadi “Sekolah Bahasa-Bahasa Asing”. Adapun yang diajarkan sekolah ini antara lain bahasa Turki, Persia, Itali, dan juga ilmu-ilmu teknik, sejara dan ilmu bumi, dan al-Tahtawi dipercaya untuk menjadi pimpinan di sekolah ini. selain mengajar, ia juga mengkoreksi buku-buku yang diterjemahkan murid-muridnnya. Menurut keterangan hampir seribu buah buku yang diterjemahkan sekolah ini kedalam bahasa Arab.
            Setelah Muhammad Ali meninggal ditahun 1848 M. Sekolah tersebut dilanjutkan oleh cucunya, Abas. Kemudian. menggantikannya sebagai pasya (gubernur) di mesir. Karna ketidak senangan Abas pada al-Tahtahawi, lalu ia dipindahkan ke Sudan untuk mengepalai sebuah sekolah dasar disana. Setelah Abas wafat ditahun 1854 M. al-Tahtahawi dipanggil lagi ke Kairo, oleh Said yakni Pasya yang baru, Dan ia diangkat menjadi “kepala sekolah militer”. Disana ia pentingkan pelajaran bahasa asing dan mengadakan satu bagian khusus untuk penerjemahan. Ditahun 1863 M. Khedewi Ismail mengadakan “Badan Penerjemah Undang-Undang Prancis” dan al-Tahtawi dipercayai untuk menjadi pimpinan tersebut.


                                                                                                              Oleh : Abdul Majid Suaify


Agustus 30, 2018

,


























Jika kita berbicara tentang peradaban Islam, tentunya yang ada dalam pikiran kita adalah era keemasan Islam, yaitu kemajuan peradaban Islam dimasa lalu. Entah kemajuan tersebut ditinjau dari sisi keilmuan, kebudayaan, arteristik bangunanya, ekonomi, dan lain sebagainya. Kemajuan peradaban Islam pada waktu itu telah menjadi catatan emas yang tertulis dalam sejarah Islam, seperti contoh peradaban Islam yang bersinar ditanah Syam, Andalus, Baghdad, Konstantinopel dan lain sebagainya. Baik itu dibawah pemerintahan Dinasti Umayyah, Abbasiah, Ustmaniyyah, dan Dinasti-Dinasti yang muncul pada waktu itu. Pakar sejarawan juga telah mengakui kemajuan peradaban Islam tersebut. Betapa hebatnya umat Islam pada masa itu. Nama mereka menjadi cambuk terhadap kerajaan-kerajaan yang menjadi penentangnya, dan mereka disegani oleh sekutu-sekutunya. Mereka ditakuti pada waktu itu, dan mereka disegani pada waktu itu.

Dikarenakan majunya peradaban Islam pada waktu itu, berdampak pada kesejahteraan hidup yang dirasakan oleh umat Islam. Karena tolak ukur dari majunya suatu Negara, salah satunya dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat dalam Negara tersebut. Dan ini menjadi salah satu tolak ukur sebuah Negara maju menurut pakar ilmu. Tidak diragukan lagi bahwa peradaban Islam yang terjadi pada masa Kerajaan mampu bersaing dengan peradaban yang terjadi pada Kerajaan lainnya. Ini membuktikan bahwa, Kerajaan Islam dalam pandangan mereka, sangat diperhitungkan keberadaannya saat itu.

Jika kita bertanya tentang subjek dari kemajuan peradaban Islam saat itu, tentu saja jawabannya adalah umat Islam itu sendiri. Umat yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk menjadi pengikut utusan-Nya yang istimewa (Nabi Muhammad SAW). Dan jika kita bertanya tentang bagaimana cara mereka menempatkan diri mereka pada titik puncak peradaban tersebut, tentunya hal tersebut berada pada keinginan serta usaha yang kuat yang berada pada diri mereka. Telah kita ketahui bahwa umat Islam pada zaman itu memiliki keinginan untuk menyebarkan agama mereka dan mengajarkan agama mereka kepada orang lain yang berada di luar wilayah mereka, dengan cara melakukan ekspedisi-ekspedisi dengan menaklukan wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah kerajaan Islam saat itu. Akan tetapi, umat Islam tidak hanya menaklukan wilayah tersebut dan memperkenalkan serta mengajarkan agama Islam, akan tetapi mereka juga mempelajari serta menelaah peradaban yang terjadi di wilayah itu. Seperti contoh peradaban Yunani yang berada di Andalusia dan lain sebagainya. Dari peradaban tersebut, mereka dapat menjadikan Andalusia sebagai wilayah yang memiliki peradaban sangat maju waktu itu, yang dapat bersaing dengan wilayah-wilayah lain yang juga maju peradabannya.

Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa, peradaban Islam masa lalu maju dikarenakan beberapa faktor. Pertama, mereka melakukan ekspansi-ekspansi, dan penaklukan untuk menyebarkan agama Islam, yang mana dengan cara ini juga mereka dapat mengetahui peradaban yang ada pada wilayah tersebut. Yang kedua, mereka mendalami ilmu-ilmu yang berkembang dalam wilayah tersebut. Dan tidak dapat terlepas dari faktor trsebut ialah kecintaan mereka akan ilmu. Tidak dapat dipungkiri bahwa, kecintaan ulama-ulama terhadap ilmu pada waktu itu sangat besar. Yang mana kecintaan mereka ini, dapat menjadikan mereka sebagai pelopor ataupun first man dalam terjadinya peradaban Islam.

Akan tetapi, kemegahan serta kemajuan peradaban Islam pada saat itu harus berakhir dengan munculnya berbagai macam problem yang menyelimuti umat Islam pada saat itu. Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya peradaban Islam saat itu seperti perselisihan antara dua penguasa yang diteruskan dengan bunuh-membunuh diantara dua kubu itu, para penguasa yang hidup bermewah-mewah, kemerosotan moral, serta budaya korupsi yang telah merakar dalam diri penguasa serta pejabat-pejabat kerajaan. Inilah beberapa faktor yang terjadi pada masa kerajaan Islam yang menyebabkan merosotnya serta runtuhnya peradaban keemasan Islam saat itu. Entah itu terjadi pada masa Dinasti Umayyah, Abbasiyah, ataupun Utsmaniah. Telah kita ketahui bahwa Dinasti Islamiyah yang terakhir adalah Dinasti Ustmaniyah. Dinasti ini runtuh pada abad ke 20, yaitu awal abad ke 20. Setelah kejadian tersebut, wilayah-wilayah yang ada di bawah naungan Dinasti Ustmaniah memisahkan diri dan membangun sistem pemerintahan sendiri. Sejak saat itu eksistensi umat Islam dalam pandangan umat lain mulai runtuh. Tak seperti yang terjadi pada saat dimana peradaban Islam memperlihatkan kejayaannya, umat Islam dipandang sebelah mata, mereka tidak disegani lagi.

Memang sejatinya manusia dihiasi oleh Allah dengan hawa nafsu. Yang mana, dengan adanya hawa nafsu tersebut, manusia berjalan di jalan yang benar, dan dijalan yang salah. Memang banyak yang menyayangkan hal tersebut. Mulai dari kalangan cendekiawan, ulama, ataupun umat Islam sendiri. Yang terjadi sekarang hanya sebuah angan yang menggambarkan kejadian spektakuler tersebut. Tanpa pernah merasakan indahnya hidup dalam keadaan tersebut.

 Oleh: Rizal




















Follow Us @soratemplates