Tampilkan postingan dengan label turbulensi kalimat munafik menjelang pilpres. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label turbulensi kalimat munafik menjelang pilpres. Tampilkan semua postingan

Maret 12, 2019

,

Turbulensi Kalimat Munafik Menjelang Pilpres!
(kajian seputar term munafik dan tuduhan munafik menjelang kontestasi pilpres)
           

            Indonesia sebagai Negara dengan populasi umat islam terbanyak, tidak jarang dalam perjalanan politik kekuasaan sentimen agama dimainkan demi mengejar elektabilitas tertinggi. Retorika delusi dijual ke masyarakat demi kepentingan. Tuduhan kafir, munafik, anti islam, tidak cinta ulama merupakan rutinitas dalam catur perpolitikan. Kalangan menengah ke bawah (awam) adalah target utama menanamkan misi politik jahat sebagai doktrin kebencian. Akibatnya muncul gelombang bagaikan hantaman arus air besar dari kalangan menengah kebawah mengkafirkan, memusyrikkan atau memunafikkan siapapun yang berbeda dengan doktrin yang ditanamkan kepada mereka.
            Tuduhan munafik kepada individu atau kelompok lebih sering dimainkan daripada tuduhan kafir atau musyrik, Itu karena term munafik lebih mudah dilekatkan pada aktor politik daripada tuduhan kafir atau musyrik. Tuduhan munafik tidak butuh bukti empiris tapi cukup dengan indikasi yang menurut mereka masuk katagori munafik. Berbeda dengan justifikasi kafir atau musyrik yang membutuhkan bukti konkrit. Satu contoh TGB misalnya, tokoh yang dikenal sebagai ulama muda tafsir, gubernur yang hafidz Al-Qur’an dan salah satu lulusan terbaik Universitas al-Azhar Cairo, tiba-tiba berevolusi menjadi dimunafikkan masuk kelompok cebongers karena perbedaan pandangan politik. Contoh lain misalnya, yang tenar dimuat di berbagai media entitas sebauh masjid tidak menerima jenazah pendukung penista agama karena dianggap munafik. Ini terjadi pada perhelatan Pilgub DKI dua tahun yang lalu, dengan argumentasi, Rasulullah pernah ditegur Allah karena mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul adalah landasan pembenaran atas pendapat dan tindakan mereka.
            Itulah sebabnya, penting rasanya menuangkan apa sebetulnya definisi munafik itu? Benarkah Rasulullah mendapat teguran karena mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul? Bagaimanakah sebenarnya komonikasi atau intraksi Rasulullah dengan para munafik? Kemudian, apakah tuduhan munafik zaman now masuk katagori munafik yang ada di zaman Rasulullah? Pertanyaan-pertanyaan inilah akan coba dikupas pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.
A.    Definisi Munafik dan Pembagiannya
Term munfik menurut Syekh Abdurrahman Hasan al-Midani dalam kitabnya dhahiratun nifaq adalah menampakkan keislaman dengan lisan dan menyimpan kekufuran didalam hati, sebagai bentuk menipu dan membohongi orang lain. Sayyidina Hadzaifah ditanya : “siapa orang munafik itu?”, beliau menjawab : “laki-laki yang mangaku islam tapi tidak mengamalkannya”.
Lebih jauh, Syekh Abdurrahman Hasan al-Midani membagi sosok munafik sesuai tujuan dan motivasinya dengan empat bagian.
·   Pertama, orang munafik yang manampakkan keislamannya agar dapat menikmati dan tamak terhadap sesuatu yang bisa dimanfaatkan, semisal bisa menikmati hasil harta ghanimah dan lain sebagainya.
·   Kedua, orang munafik yang mengkhawatirkan dirinya, hartanya dan mengkhawatirkan segala sesuatu kemaslahatan baginya. hal ini, seperti yang dilakukan Abdullah bin Ubay bin Salul dan komplotannya.
·   Ketiga, orang munafik yang memorak-porandakan islam dari dalam. dia masuk dalam tubuh islam, maju bersama di atas nama perjuangan islam, tapi tiba-tiba ia berpaling berkhianat menghancurkan islam dari dalam, kasus ini seperti yang terjadi pada para munafik Madinah yang masuk islam kemudian menyebar fitnah di dalam tubuh islam.
·     Keempat, orang munafik yang pura - pura memeluk Islam karena keberadaannya sebagai keturunan orang Islam.
Masih tetap menurut Syekh Abdurrahman Hasan al-Madani, kelompok munafik ditinjau dari latar belakangnya dalam posisi mereka sebagai orang kafir, ada dua kelompok. Pertama, kelompok munafik yang mempunyai status resmi agama seperti Yahudi, Nasroni dan seterusnya, kemudian pura-pura masuk Islam. Kedua, kelompok munafik yang tidak mempunyai status resmi agama, kemudian pura-pura masuk Islam untuk menghasilakan kenikmatan yang menjadi misinya.  jika kenikmatan tersebut berada di pihak muslimin, kelompok tersebut bergegas seraya berkata : “Bukankah kami (turut berperang) bersama kalian?!”, tapi ketika kenikmatan tersebut berada di pihak kafirin, merekapun bergagas cepat danmenyatakan : “Bukankah kami turut memenangkakan, dan membela kalian dari orang-orang mukmin”.
B.     Rasulullah Sholati Janazah Abdullah bin Ubay bin Salul
Rasulullah memahami ayat  استغفر لهم أولا تستغفر لهم إن تستغفر لهم سبعين مرة
Sebagai pilihan baginya, sehingga beliau hendak menambah do’anya lebih dari tujuh puluh kali. Rasulullah kemudian mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul sedangkan Umar memprotesnya. Umar memahami ayat tersebut sebagai lil mubalaghah bukan sebagai pilihan, yang beranggapan antara memohonkankan ampunan dan tidak, itu sama tidak ada perbedaan. Belum lama dari protes Umar, tersebut turunlah ayat yang terkesan membenarkan pendepat Umar : ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره. Umar-pun berkata : “Setelah turunya ayat tersebut Rasullah tidak pernah mensholati janazah orang munafik sampai beliau meniggal”.
            Sekilas ayat tersebut membawa kita pada pembenaran pendapat Umar sedangkan pendapat Rasulullah salah. Tapi mungkinkah demikain?, bukankah Umar cuma sebatas sahabat Rasulullah? dan apakah pemahaman yang benar itu samar atau tidak timbul bagi Rasulullah?. Disini Syekh al-Zamahsyari berpendapat bahwa pemahaman yang benar tidaklah mungkin samar bagi Rasulullah, beliau mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai bentuk kecintaan dan kelembutan hatinya pada sahabatnya. Tidaklah keberadaan Rasulullah yang diprotes oleh Umar menunjukkan tingkat pemahamanmya berada dibawah standar Umar. Rasulullah mengatahui betul sebuah hakikat kebenaran jauh melebihi Umar, karena lisan Rasulullah adalah alat penyambung firman Allah. Hal ini, berbeda dengan Umar, apalagi pura-pura lupa untuk melahirkan sebuah kemaslahatan yang lebih besar hukumnya boleh dalam ilmu fikih. Andaikan Rasulullah tidak mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul (menuruti kemauan Umar), maka bisa jadi bola fitnah yang terus dihantamkan pada Rasulullah sampai saat ini, bahwa beliau tidak menjunjung tinggi nilai akhlak sebagai acuan instraksi sosial, mengingat Abdullah bin Ubay bin Salul secara dhahir adalah muslim.    
Entitas Rasulullah mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul mengeksplorasikan betapa penting sekali hidup dalam tatanan kecintaan satu sama lain, sekalipun kepada orang yang melukai dan mengkhinati kita. Tidakkah kita tahu bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul[1] adalah gembong munafik Madinah?!. Tapi mengapa Rasulullah tetap mensholati janazahnya, dan Rasulullah merelakan bajunya dikafankan padanya. Semua ini menunjukkan betapa mulia sekali akhlak Rasulullah memperlakukan orang yang memfitnah istri beliau selingkuh. Kisah ini, ilustrasi nyata bagaimana umat Muhammad dalam menjalin hubungan antar sesama agar berpegang teguh pada asas kecintaan, kerendahan, tidak pendendam, dan menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak.
C.   Akhlak Rasulullah pada Munafik VS Munafik Zaman Now
Dalam sebuah hadis Rasulullah digambarkan Al-Qur’an yang berjalan. Akhlaqnya begitu indah nan mempesona. Tidak perlu bukti banyak untuk membuktikan kemulian budi pekerti beliau, cukup dengan kejadian di Thaif, beliau dihina dilecehkan, dipersekusi dilempari batu, bahkan Malaikat penjaga gunung menawarkan agar menimpakan dua buah gunung pada mereka (masyrakat Thaif), namun  Rasulullah menjawab dengan penuh kesabaran : “Tapi saya mengharap dari keturunan mereka menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukanNya”. Rasulullah menolak tawaran Malaikat tersebut dan memilih bersabar menunggu keislaman dari pada anak cucu masyarakat Thaif.     
Tidak jauh berbeda, cobaan batin yang begitu dahsyat diterima oleh Rasuullah ketika istri beliau Sayyidah Aisyah difitnah kesucian oleh Abdullah bin Ubay bin Salul berselingkuh. Fitnah ini membuat susana keluarga Rasulullah berada pada kesedihan yang begitu dalam. Gambaran kesedihan tersebut dapat dijumpai dari perkataan Sayyaidah Aisyah :
“kemudian Rasulullah dan kedua orang tuaku masuk menghampiriku. Rupanya mereka menduga tangisanku benar benar menghancurkan hatiku. Sampai saat itu, Rasulullah Saw. Memang belum pernah menemuiku sejak tersebarnya berita bohong. Apalagi sudah sebulan berlalu, tetapi tak ada satupun wahyu turun berkenaan dengan perkara yang kuhadapi. Rasulullah duduk dan bersabda : “Ammaba’du, wahai Aisyah, sesungguhnya aku telah mendengar tentang dirimu begini dan begitu. Jadi, jika memang engkau tidak bersalah, Allah pasti akan membersihkan namamu. Namun, jika memang engkau melakukan dosa, segeralah engkau minta ampunan kepada Allah dan bertobatlah kepadaNya”. Mendengar ucapan Rasulullah Saw. Itu, tiba-tiba air mataku berhenti mengalir. Aku pun berkata pada Rasulullah Saw. “Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa kalian telah mendengar perkara ini sehingga semua itu merasuk ke dalam diri kalian, dan kalian mempercainya. Jika sekarang kukatakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, dan Allah mengetahui bahwa aku memang tidak bersalah, kalian pasti tidak mempercayaiku, dan jika aku sekarang mengakui perkara ini di depan kalian, walaupun Allah mengetahui bahwa aku sebenarnya tidak bersalah, kalian pasti akan membenarkan kata-kataku. Sungguh demi Allah, saat ini aku tidak menemukan sebuah tamsil yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi antara diriku dengan kalian, selain apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Yusuf a.s. “maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganya terhadap apa yang aku ceritakan, ”.Aku lalu berpaling dari mereka dan kurabahkan tubuhku di atas pembaringan”.[2]

Fitnah kebohongan tersbut hilang tanpa bekas di hati para orang-orang yang beriman ketika turun wahyu dari Allah sebagai bukti kesucian Sayyidah Aisyah. Sementara umat Islam tidak sabar agar Rasulullah menjatuhkan hukuman mati pada gembong munafik Madinah yaitu Abdullh bin Ubay bin Salul. Bahkan anaknya menawarkan diri kepada Rasulullah untuk mengeksekusinya. Namun Rasulullah menunjukkan kelas kerasulannya dengan bersabda : “Tidak, kita tetap harus berlaku baik kepadanya dan mempergaulkannya dengan sopan, selama ia bersama kita”. Dan lihatlah, bagaimana respon kebijaksanaan Rasulullah kepada Sayyidina Umar : “Wahai Umar, apa jadinya jika orang-orang bergunjing bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri?”.
Inilah ilustrasi konkrit bagaimana Rasulullah memperlakukan gembong munafik Madinah sebagaimana sahabat beliau yang lain tanpa membeda-bedakan, bahkan Rasulllah merelakan bajunya dijadikan kain kafannya ketika dia meninggal.
Bukankah kejadian tersebut adalah pelajaran yang begitu berharga, bagaimana cara kita memperlakukan sesorang dengan sopan sekalipun ada satu ciri yang terkesan dia orang munafik tapi tidak bisa dibuktikan di meja hukum. Terus bagaimana jika orang tersebut jauh dari term munafik seperti yang dijelaskan pada sub judul sebelummnya atau bahasa simpelnya; bagaimana kalau seandainya orang yang dituduh munafik adalah kekasih Allah yang sangat dicintaiNya. Bukankah berarti penuduh tersebut malah 'menyakiti' Allah dan utusanNya. Tidakkah kita tahu definisi munafik adalah berislam dengan lisan dan kufur dalam hati?! Terus siapakah diantara kita yang bisa mendeteksi hati sesorang bahwa ia tidak beriman kepada Allah dan utusanNya?! Ataukah mereka belum membaca sejarah, bahwa para sahabat utama tidak bisa menembus hati sesoarang kalau ia yang terjerat penyakit munafik. Sayyidina Umar-pun masih bertanya-tanya kepada Hudaifah sahabat curhat Nabi apakah dirinya (Umar) masuk katagori maunafik. Terus dari mana sebetulnya tuduhan munafik itu dihasilkan?! Atau jangan-jangan mereka mau mengambil hak Tuhan mendeteksi dan mengatur hati seseorang?. Jika argumentasi mereka menuduh seseorang itu munafik baik secara individu atau kelompok karena ia berbohong, janji tidak ditepati, amanah tak dikerjakan sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis. Terus mengapa mereka tidak menunjuk jidat mereka sendiri setelah berapa kali mereka berbohong? seberapa banyak mereka tidak tepati janji, dan sekian ratus amanah yang mereka tidak penuhi!. Penulis tidak sedang menuduh mereka sebagai pendusta, pengkhianat dan tidak bertanggung jawab. Tapi yang penulis maksudkan, ayoklah kita saling intropeksi diri. Kita cari kesalahan kita sendiri, jangan buka aib orang lain. Kalaupun kita betul-betul mengatahui hakikat kebenaran bahwa ia munafik, tinggalkan pengetahun tersebut dan buang jauh-jauh, karena kita tidak diperintahkan mengorek aib orang lain. Jika kita terlanjur mengetahui aibnya maka kita wajib menyimpanya. Bukankah yang begini, adalah ajaran Islam?. Penulis juga juga sedang tidak lupa bahwa memang  term munafik terbagi pada al-Nifaq al-Akbar dan al-Nifaq al-Asghar sebagaimana term kafir ada juga kufrun nikmah. Tapi mengapa kalau memang yang dimaksudkan itu an-Nifak Asghwar,kok malah seperti masuk pada konteks an-Nifak Akbar, mulai dari masjid tidak menshaloti janazah pendukung penista agama, TGB diasingkan dalam komonitasnya dan seterusnya. Kalaupun yang dituduh memang terjangkit penyakit Nifak asghwar, terus apa perlunya menyebut dia munafik?! apalagi tuduhan tersebut disebarkan masif sekali dipublik. Hentikanlah bahasa munafik tersebut. Karena betapa sering kita juga sama-sama munafik (an-Nifak asghwar). Kalau mereka suka menebarkan kalimat munafik dengan cuma sebatas tanda-tanda tak beralasan yang multi tafsir, kenapa mereka tidak mencari saja seseorang yang wajahnya kuning bukan karena sakit, terus tampar orang tersebut karena masuk katagori munafik kemudian sampaikan kepada mereka sabda Rasulullah :
اذا رأيتم الرجل أصفر الوجه من غير مرض ولا علة، فذلك من غش الاسلام في قلبه.
Pertanyaan terakhir apa sebetulnya motif mereka menuduh orang lain munafik baik secara individu atau kelompok? Saya kurang tau pasti apa motifnya!. Silahkan pembaca budiman tentukan sendiri.Tapi bisa jadi, tuduhan munafik tersebut itu politis dan sangat mungkin, karena perebutan kekuasaan memang rentan sekali menghalalkan segala cara dan diakui atau tidak, politik kekuasaan adalah penyebab utama terpecahnya umat Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Syaharstani dalam kitabnya al-Milal wan Nihal. Maka tidak benar (menurut penulis) Islam tersebar murni karena kekuasaan politik. Tapi islam tersebar keseluruh permuakaan dunia karena keindahan akhlak yang terstuktur rapi di dalam ajaran Islam kemudian diamalkan oleh selururh umat islam diseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, mari berakhlak! Sekian terimskasih.      


                                                                                                               
                                                                                                         Oleh : Abdul Adzim HS


Daftar Pustaka

1.      Muhammad Muhammad al-Madani, Nadzarot fi fiqhi al-Faruq (al-Qohiroh 2014)
2.      Abdurrahman Hasan al-Midani, Dhahiratun Nifaq (Darul Qolam : Damaskus)
3.      Muhammad Said Ramadhan al-Buti, Fiqhu as-Sirah ab-Nabawiyah (Darussalam)
4.      Sya’ban Muhammad ‘Ietiyah, al-Kasyfu wal Bayan an Ahkamil Qur’an libni ‘Araobi (Mkatabah al-Iman)




[1] Abdullah bin Ubay bin Salul bukanlah ornag yang menanpakkan kemunafikannya dipermukaan umum, tapi dia termasuk orang yang sangat lihai beretorika mengalabui dan menipu orang lain, kadang dia ketahuan niat busuknya oleh sutu kaum, tapi dia hebat sekali memiliki ketarampilan mengahilanagkan jejak tak terpuji yang dituduhkan padanya, itulah sebabnya Abdullah bin Ubay bin Salul sulit dibuktikan di meja hukum sebagai gembong munafik.
[2] Hadist panjang ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Ishaq dan yang lainya.

Follow Us @soratemplates