Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

November 23, 2020

,


Oleh: Basiruddin Salim (A Bas)


"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan dari jenismu sendiri, menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberikan rezeki dari yang baik..." QS. An-Nahl. 


Potret kehidupan memang banyak menghabiskan masa hidup untuk mencari. Siapapun bisa saja berada di puncak keberuntungan, atau malah mungkin jatuh dalam keterpurukan. Dalam kondisi tertentu, kadang kala seseorang sangat bersemangat untuk mengejar. Namun, entah lebih dari sekian kalinya, ia mungkin hanya pasrah menunggu dan berdiam. Berharap nasib baik kian bertandang. Bagi yang tergerak hatinya, ia percaya bahwa cinta adalah final dari segalanya. Ia adalah ujung peraduan dari penatnya perjalanan. 


Inikah bagian dari obsesi itu? Memantapkan langkah dalam memilih pendamping. Berpasangan hingga tutup usia. Berpadukasih dalam dekapan mesra, yang tidak hanya megah saat suasana pesta. Tidak juga hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat, sarana pemuas keterbuaian syahwat. Di sanalah kisah nyata dimulai; pengembangan hidup, melatih kesabaran, mengontrol karakter, berkomitmen, berkorban. Mengecap jannah, merajut cinta. Meniti jalan kembali kepada-Nya.


"Hira... Hira tunggu! 

"Iya, cepetan dong Li! Aku buru-buru nih, mau ke ruang Prof. Dr. Lukman, urus skripsiku" 

"Ooh. Okey.. nih!" Lia langsung menyodorkan sesuatu terbungkus plastik tepat di depan mukanya. 

"Wah.. Siapa lagi ini Li?" tanya Hira keheranan dengan kaca mata sedikit terangkat ditambah kerut alisnya yang runcing. Semakin tampak anggun dan cantik. 

"Tuh keliatan kok ra! Eh.. sana gih cepet urus skripsimu biar lekas nyusul resepsi. hehehe.. Katanya buru-buru. Jangan lupa hadir ya sayaang!" 

"Ok. siap boss. Insyaallah. Selamat ya Li! Maaf ya, sekarang aku harus segera pergi, Bye!" Hatinya mulai gerimis. Sambil menuruni anak tangga, antara bahagia, iri juga ketir merana, Hira melambaikan tangan pada Lia. Teman Hira itu hanya menyunggingkan senyum, menyaksikan lambaian tangannya. 


Tepat ba'da Isya dan masih dalam balutan mukena, Hira perlahan membuka tasnya. Ia raih undangan pernikahan berdesain anggun yang baru tadi dikasih Lia, sahabatnya yang selalu terlihat tegar dan energik. Matanya sibuk mengikuti lengkung-lengkung rangkaian huruf bertinta perak yang menghiasi lembar undangan itu. Satu persatu, sahabat-sahabatnya telah mendahuluinya duduk di kursi pelaminan. Baru satu bulan yang lalu, Bilal teman seangkatan dengannya telah mempersunting Khumaira, gadis cantik asal pulau Mataram. Alias pulau Madura tanah garam. Bahkan Novita salah satu teman pegiat kajian bersamanya, menurut sumber berita sudah mulai ada rambu hijau sama si Deni. Lain lagi dengan Ulya, teman seperjuangan di Madrasah Aliyah dulu. Karena tidak bisa melanjutkan kuliah karena faktor ekonomi, justru ia malah segera dipertemukan dengan jodohnya. Hampir setahun, ia telah dianugerahi anak yang imut dan lucu. Begitu beruntungnya mereka semua. 


"Mas Fardan... Andai saja saat itu kau lebih tegas dan mau memberiku satu titik jelas saja, tentu aku takkan pernah pergi darimu mas.." Gumam Hira dalam lamunan. Kenangan itu kembali berputar, menyisakan pilu, mengiris setiap inci luka. 

 ***

Merindukan kekasih impian agar datang lebih cepat, memang hal yang sangat wajar dan lazim terjadi. Nikah dinipun akan dirasa sangat tepat daripada terlalu lama menahan himpitan gundah. Barangkali, inilah buah dari tren nikah muda yang biasa digelorakan kaum hijrah itu. Sama halnya seperti yang kerap dialami banyak mahasiswi semester akhir masa kini; entah ia yang terlalu meradang, galau, khawatir, gelisah sekaligus baper jika kedatangan si calon imam belum juga menunjukkan tanda-tanda. Pikirnya, sedangkan yang lain sudah punya bahu untuk bersandar, teman berkisah juga membimbing kala salah. 


Hira baru saja menginjak umur dua puluh tiga tahun. Usia perempuan yang dikira sudah cukup matang untuk membina mahligai rumah tangga. Sebentar lagi, ia juga bakal menyandang gelar sarjananya. Namun yang namanya jodoh, tetap tak kunjung menampakkan jati dirinya. Kegelisahan mulai terasa. Jodoh yang katanya akan datang tepat dan indah pada waktunya, kini menjadi kalimat paling akrab sebagai pelipur lara. Beginilah cara menyemangati diri agar tetap sabar menanti. Dia adalah Zahira Hibbatillah yang selalu tertegun ketika mengingat kisah cinta Bakri, orang tuanya. Ia lihat, betapa tegar serta begitu tulusnya cinta mereka. Merupakan sosok figur nyata yang selalu setia dengan istri pertama sekaligus terakhir dalam sisa hidupnya. Betul, ia telah ditinggal Hana sekian lama. Namun cintanya tetaplah cinta yang sama. Kerinduan itu, menyelimuti kepergiannya. Separuh hatinya ikut terbawa pergi. Cinta yang tak tergantikan. 


Berbeda dengan Hira. Tepat enam bulan lalu akhir segala cerita cinta itu. Menjadi jelas baginya, bahwa Fardan yang tak mampu menunjukkan ke-gentle-lannya. Sungguh sangat disayangkan. Setahun lebih bertahan dalam jalinan kisah asmara, namun tak ada yang tahu ujung sebuah peraduan. 


"Tapi mas, aku juga butuh kepastianmu lo! Sudah lama aku menunggu hal itu. Kamu tega ya, selalu menggantung harapanku. Sudah sekian kali mas Fardan mengatakan lain kali-lain kali dan terus begitu. Aku mau segara jadi yang halal buatmu, dan tentu kau halal bagiku mas. Itu saja permintanku!" 


"Ah, sudahlah ra. Kamu pikir ini gampang, gitu?! Tidak buat aku loh ra.. Kalau kamu sudah tidak mau bersabar lagi, ya udah kita selesai aja. Pertemuan ini adalah yang terakhir. Aku berkata begini, ya karena aku tidak bisa memberimu kepastian sekarang. Aku juga tidak mau berlarut-larut memberimu kepalsuan sebagaimana perkiraanmu itu. Sebetulnya aku juga bingung dari kemarin. Bahkan sempat aku terbersit bagaimana kalau kita putus saja. Dan sekarang bisa kita putuskan bersama. Hira, kamu bebas dariku. Terimakasih ya, dan aku mohon maaf untuk semuanya." Kenangan itu, kembali menyapanya. Sosok yang sempat ia kira sebagai calon imam. Lelaki utusan Tuhan. 


Di sisi lain, Fardan dengan segala keterbatasannya juga menelan pahit. Tidak ada kesempatan untuk ia jelaskan bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Sang matelu; mahasiswa telat lulus, cap baru oleh teman-temannya. Maklum saja, sejak awal ia memang terbilang sangat aktif di berbagai kegiatan dan civitas-organisasi luar Kampus. Fokus kuliahnya, sedikit ia kesampingkan. Sudah berulang kali revisi skripsi, belum juga menuai sidang. Ditambah problem keluarga yang sedang dirundung berbagai masalah. Dengan seperti ini, ia dituntut lebih dewasa. Ia benar-benar diuji, sampai harus rela melepas gandolan hati. Cukuplah pertemuan terakhir mereka di Kafe Tsurayya dekat kampus itu. Hanya karena menjadi korban semesta yang dirasa kini sedang tidak berpihak kepadanya. 

***

Hari berganti, dentuman waktu tetap setia mengitari poros jalannya. Yang telah terjadi biarlah terjadi dan berlalu begitu saja. Tak ada gunanya menangisi susu yang sudah terlanjur tumpah. Saatnya menyaksikan rawut kebahagiaan yang terpancar mempesona. Menyambut masa depan, dalam balutan mahligai cinta yang sebenarnya. Di penghujung kesepakatan bersama; adalah hari yang begitu sakral baginya dan keluarga, hari pernikahan. Senyum mereka, sosok luar biasa. Ibu yang telah bertaruh nyawa saat melahirkan anak-anaknya. Dari segenap jiwa-raganya ia tunaikan kiprah terbaik. Juga dari dirinya tertanam didikan pertama, dengan segala ketelatenan juga penuh kasih-sayang. Begitupun dengan seorang Ayah. Sosok yang selalu berusaha membuat keluarga bahagia, kebutuhan tercukupi, mencarikan rezeki halal dan menjaga keluarga tanpa batas. Di hari yang agung ini, tetap saja mereka tampil dengan sejuta tanggung jawabnya. Turut menyebar undangan, menyiapkan hidangan, menyambut para tamu beserta kesibukan-kesibukan sejenisnya. 


"Hadirin tamu undangan yang berbahagia. Tibalah saatnya untuk mendengarkan pesan sekaligus nasihat pemasrahan tanggung jawab yang akan disampaikan langsung oleh Ayahanda mempelai perempuan. Kepadanya dipersilahkan." Begitulah Mc mempersilahkan seseorang yang tidak ia sebut namanya di acara pernikahan sekaligus walimatul 'urs saat itu. Seketika semua pandangan tertuju pada seorang bapak paruh baya dengan batik khas Nusantara melangkah menuju panggung pelaminan yang dihias indah. Bertabur aneka bunga, penuh dengan ukiran-ukiran layaknya singgasana kerajaan, lengkap dengan lampu klap-klip di setiap sisi. Di sana kedua mempelai duduk berdampingan dengan anggunnya. Sesaat ketika seorang bapak itu menaiki panggung pelaminan, terlihat kedua mempelai berdiri menunjukkan rasa hormat dan takzimnya. Si Bapak sesekali tersenyum, air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Setelah mengucapkan basmalah serta salam, sang bapak mulai menyampaikan sambutan hangatnya.


Saya adalah orang pertama yang merangkulmu putriku. Tangisanmu saat itu adalah kebahagiaan luar biasa buat kami. Kuketukkan azan dan ikamah kala itu, maka seketika dirimu mulai tenang mendengarkannya. Sungguh kau adalah anugerah terindah bagi keluarga kecil ini. Ayahmu ini, adalah orang pertama yang merangkulmu sedari kecil. Saya dan ibumu yang menimang, menggendong dan membopongmu. Letih penatku bisa hilang seketika karena melihat senyum dan tawa kemungilanmu. Sungguh kami sangat menyangimu nak! Masih sempurna ingatanku bagaimana masa kecilmu dulu. Turut kami saksikan pula setiap satu senti dari pertumbuhanmu. Rasanya masih seperti baru kemarin. Satu minggu, satu bulan atau masih baru  setahun yang lalu kau dan masa kecilmu itu. Tapi ternyata, sekarang aku mendadak dikagetkan tentang hari pernikahanmu ini. Waktu dan seperangkatnya melaju dengan cepatnya. Maafkan ayah dan ibumu ini, jika terlalu abai melihat perkembanganmu nak. Kedekatan dan keakraban selama ini, sejatinya selalu kami inginkan. Namun, begitulah perjalanan hidup ini harus terus bergulir... Hadirin khidmat, menyimak setiap ungkapan si bapak. Seakan turut merenungi kenangan masa lalu mereka masing-masing. Terlalu sibuk mengejar dunia, hingga waktu bersama keluarga acap kali tergadaikan.


“Dan untukmu yang kini menjadi menantuku, nak Fajar Abdillah. Saya percayakan putriku padamu nak. Saya orang pertama yang mencintai putriku ini, sebelum dirimu. Saya berharap kamu adalah orang yang tepat untuk bersamanya, selamanya. Saya mohon, bahagiakanlah dia. Tak perlu kau belikan ia pernak-pernik perhiasan. Cukup hargai dia dan jangan pernah kau sakiti hatinya. Jika ia sedih, maka kami jauh lebih sedih menanggug perihnya. Harapan kami, semoga segala kebaikan selalu menyertai kalian berdua. Kami juga minta, cukup perdengarkan dan perlihatkan kepada kami hal-hal baik saja. Kalaupun harus ada masalah dalam rumah tangga kalian, maka selesaikanlah bersama dengan pikiran, hati dan jiwa yang tenang." Ujar si Bapak sambil menyeka air mata, menyampaikan pesan-pesannya kepada putri dan menantunya. Terlihat mempelai perempuan terisak dengan air mata yang menganak sungai di pipi. Sesak rasanya. 

***

Sampai tiba saat menyatunya dua cinta, kerinduan itu tak kan pernah berakhir. Ibrahim bin Adham dalam salah satu gubahan bait sufinya bersenandung: "Dalam hati ini terdapat banyak macam cinta, yang semuanya dapat bersatu sejak mata cintaku melihatmu."

Di detik-detik penghujung megahnya acara, di luar rumah orang-orang dan para panitia masih saja sibuk membereskan tanggung jawabnya masing-masing. Ditemani dengan berbagai alunan musik  cinta yang masih mengalun bertalu-talu, bersahut-sahutan;


Di malam ini kau berada dalam pelukanku 

Eratkan dan jangan sampai kau lepaskan genggaman tanganmu 

Dengan dawai-dawai rindu yang selalu menggebu 

Di waktu ini satukan jiwa dalam hati 

Walau keadaan yang sunyi 

Ku harap engkau mengerti 

Di saat awan turunkan angin serta hujan 

Tetaplah engkau dalam tenang 

Kita luapkan kasih sayang 

Bergoyang-goyang rerumputan kala angin malam 

Laksananya bintang-bintang dan rembulan jua turut senang 

Merasakan kasih dan sayang yang telah kita curahkan 

Di malam ini kau berada dalam pelukanku 

Eratkan dan jangan sampai kau lepaskan genggaman tanganmu 

Bagaikan Raja dan Ratu di singgasana yang menyatu 


Ingar-bingar resepsi pernikahan telah berakhir. Kini, Fajar Abdillah dan Laylia Khairun Nisa' binti Mahmud telah berada di kamar pengantin. Kamar yang beraroma semerbak bunga, dengan ranjang merah dan kelambunya yang berwarna putih. Bersama membelah pekatnya malam, menyusuri setiap sudut bahagia. Bersyukur kepada-Nya atas anugerah segala Cinta. 


"Sungguh kau beruntung Li, Timing-mu begitu tepat pula. Habis Skripsi, langsung bergandeng Resepsi. Indahnya bukan? Dua kenikmatan yang didapat secara beruntun. Sudah kusaksikan sahabatku, Lia. Kau memang beruntung. Bisa merayakan keberhasilan studi dengan wisuda, kemudian dapat mengakhiri status masa lajang dengan riang-bahagia." Jauh di luar sana, Hira masih terpekur dengan lamunan kesendiriannya. Tetap menengadah dalam harap. 


“Apalah arti dari kebingungan ini? Bukankah tugasku hanya bisa beriktiar dan bersabar? Aku bungkam, terdiam. Mengenang kisah berlalu. Kemudian rapuh, berteman pilu yang perih. Aku berharap cinta itu berlabuh dengan indah. Tepat pada masanya. Dengan restu ridha-Nya. Ya Tuhan.. mohon segerakanlah! Aku sungguh telah merindukannya." Sekian.  


Mukattam, 27 September 2019 M.

April 02, 2019

,
"Teguh Berharap Meski Sakit dan Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan; berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu, impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap impian.

Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh. Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara. Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini? Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali. Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!

***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari menunggu istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya. Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya, segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu, terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam. Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya! "Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.

***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk  direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi. Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu... Aldi bilang seperti tadi tidak  bermaksud untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya tak ingin ia perlihatkan.

***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya, penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha terlebih dahulu guna mencari solusi.

***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan. Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri; "Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada jalan garis takdir ini!" Bersambung.

Oleh : Abas Salim




[1] Dasar bajingan!

Maret 25, 2018

,



















Apa itu cita-cita ?

Di pagi yang cerah dengan seyuman khasmu beserta lantunan ayat-ayat al Quran yang terucap dari bibirmu beserta suara indahmu yang membuat hatiku bergetar bagaikan kilatan guntur yang menusuk dalam dadaku, yang mana membuat  diriku sendiri terkesima mendengarkan suaramu dan menjadikanku semangat  pada pagi hari ini.  Ada apa akhi ?.. kok termenung lagi mikirin akhwat yaa..? ...iiih ngawur ajaniih...  ana gak papa kok kak. Cuman terasa enak aja mendegar suara lantunan al Qur an kakak. Oh iya kak , kakak hafalin al qur’an berapa tahun beserta qira’ah sab’ah asyarah wa arba’ata asyarahnya ?

Kok tawuu ?.. biasalah ana kan orangnya suka menghayal .

Akhi.... ana hafalin Alqur’an 3 tahun sejak kecil umur 13 tahun, menghafal mutun-mutun kiroahya 7 bulan dan mendalaminya sekitar 2 tahunan dengan menjaga keistiqamahan kakak dalam  qiraah tersebut. Wooow ahsan naass kakak cerdas kali..!! Iyalah soalya kakak keturunan darah ijo ke abu- abuan haa haa haa .

Akhi...sebenarnya kita ini hidup di Universitas kehidupan yang mana Allah telah tetapkan pada kita untuk berjuang dan semangat dalam mengapai cita-cita. Ohh iya...kakak pengen nanyak sesuatu tentang makna Cita-cita akhi, boleh akhi di finisikan dengan pemahaman akhi sendiri??. Insyaallah kak.

‘’Bismillahirrahmanirrahim’’

Cita-cita itu tak lebih hanyalah khayalan kak,  yang mana itu pastinya terlintas dalam individual setiap benak manusia, contoh kecilya saya pengen jadi pilot, pengen jadi tentera, pengen jadi hafidz, pengen jadi satrawan, dan pengen jadi ustadz dan lain-lain. Akan tetapi kebayakan dari kita sendiri tidak menyadari apa yang harus dilakukan dahulu sebelum beranjak dalam proses itu.
Itulah jawaban yang muncul dari benakku kak ?.

Menurut diriku sendirisih kita tak usah terlena-lena dalam memikirkan masa depan Itu. Cukup kita melaksanakan apa yang ada di depan kita dan apa yang telah Allah syariatkan pada kita, dengan mengoptimalkan shalat yang telah Allah wariskan pada Nabi kita untuk ummat ini, dengan kita melaksanakannya maka Allah akan memberikan apa yang kita inginkan .

Adapun untuk meraih cita-cita itu kita wajib tetap semangat dalam meraih, tetap sabar dalam ujian, tetap tabah dalam rintangan, tetap berdzikir dalam kesepian, tetaplah berdoa  walaupun belum di kabulkan oleh sang maha kuasa.

Adapun yang terpenting dalam kehidupan kita, janganlah terlalu memikirkan masa yang akan datang. Cukuplah kau memikirkan masa kini untuk persiapan masa depan.

Kak... apakah benar yang telah aku difinisikan tadi....??

Alhamdulillah hampir dekat dengan kebenaran.

Akhi, kau cukup bangkit untuk meraih apa yang kaun inginkan dengan tekat kuatmu karena kau hidup di Universitas kehidupan, jangan pernah meyerah sebelum melakukan, tinggalkan malas karena kau akan pulang ke negara asalmu, karena yang menunggu bukanlah calon istri akan tetapi ummat dan bangsamu .

( من جد وجد )                       
                  Siapa giat pasti dapat

Akhi, ana punya semboyan judul besarya

Siap-siap di medan sebelum di mulai

Ayolah kita berjuang
Untuk menggapai masa depan
Sebelum medan dimulai
Biar kau tak menyesal
Hidup itu hanya satu kali
Maka jadilah yang berarti
Biar kau bisa dikenali
Bagi orang-orang yang berarti

Hanya rabbi yang berarti
Dihidup dan matimu
Maka dekati ilahi
Biar kau di menggerti
Di hidup dan matimu
Hanya ilahi menolongmu

Tak perlu pusing masa lalu
Kekurangan tak perlu sesali
Yang penting kau terus lalui
Apapun yang menghalangi

Jadilah yang berarti
Untuk ummat dan bangsamu
Karna yang menanti bukan calon istri
Tetapi ummat dan bansamu.

Tak lama dari perbincanga kita berdua, ponselku berdering waminallayli fatahajjad bihi naafinatallak asaa ayyab asaka rabbuka maqomam mahmuda ...tahajjud ... tahajjud.. tahajjud.

Teryata yang tadi hayalah mimpi, akan tetapi semuaya ada hikmah bagiku dan mungkin bagi orang yang  membaca tulisan budiman ini. AMINN .
25 Maret – 2018 M
                  Oleh :  Sang pejuang subuh
                                                                                                                                                  FAJAR FADHIL

Maret 11, 2018

,























 Hari kamis tanggal 04-01-2018 minggu ke tiga aku menghadapi ujian di kuliah Al Azhar,  penghuni asrama sudah mulai bergegas semua dari tempat tidurnya untuk siap-siap pergi ke kuliah. Nah seperti biasanya mahasiswa Azhar sebelum pergi ujian mereka mengetuk pintu kamar teman-temannya untuk meminta doa agar diberi kelancaran dalam menjawab soal-soal diktat kuliah yang diujikan oleh para dosennya masing-masing. Bismillahi tawakkaltu alallah doaku dalam hati,  ku langkahkan kaki ini dengan sepatu bututku tapi pundakku terasa berat dengan beberapa lapisan kain yang menempel dan menumpuk di badanku.

 Ku pandangi langit untuk mencari sinar matahari, namun yang kutemukan hanya gumpalan awan warna abu-abu. Kutarik nafas panjang-panjang dan menghirup udara segar, anginnya pun sukses membuat tubuhku menggigil dengan semangat, ia mengajak gamisku terbang kesana kemari untuk menghiburku.

20 menit akupun menunggu bus kesayangan mahasiswa Mesir di halte tapi tak kunjung tiba. Akhirnya aku menaiki tramco (kendaraan roda empat /angkot) dan turun di awal Sabi sambil menunggu bus 24 akupun mengeluarkan diktat kuliah untuk muthalaah hafalan yang sudah dipelajari tadi malam. Alhamdulillah, bus yang ditunggu akhirnya sudah tiba dan berhenti pas di depanku.    Ithla’ bissurah ya binti ! (cepat naiklah nak !)ucap kondektor busnya. Ku mencari tempat duduk yang kosong, namun yang kudapati di sana sosok seorang laki-laki paruh baya dengan ciri has jas dan dasi yang biasanya orang kantoran kenakan. Beliau adalah dosen yang pernah mengajariku waktu tingkat pertama dengan lambaian tangannya dan suara lembutnya beliau  mempersilahkan aku duduk di sampingnya sambil mendoakanku dengan doa yang dikeluarkan oleh lisan sucinya.

Beberapa menit kemudian bus yang kutumpangi berhenti mendadak mebuat penumpang  berjatuhan di dalam bus seperti alat-alat dapur jatuh dari raknya jatuh berkeping-keping(hehehehe alay dikit). Qadarullah  Alhamdulillah semua penumpang termasuk pengemudinya selamat tanpa ada luka- luka.

Setibanya di kuliah aku mengecek semua perlengkapan di dalam tasku yang tadi malam sudah saya persiapkan seperti bolpen, peggaris dan kerneh supaya saya bisa ikut ujian dengan tenang, karena ujian di Al Azhar bagi  masisir (mahasiswa Mesir) sangat horor semuanya harus perfect, di dalam ruangan ujianpun kendati harus senyap dan tidak boleh menggerakkan badan kecuali kedipan mata fokus dan tertuju ke kertas soal ujian sambil mengerjakan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diminta oleh dosen yang mengajar pelajaran Ad-Dakhil dan dilarang keras nolah-noleh ke samping, bisa saja kita di DO dari kuliah(ngeri kan kawan-kawan?), bisa dikatakan duduknya Masisir itu ibarat patung singa yang berada di  dekat sungai Nil Tahrir hanya besar mata saja tapi dilarang untuk bergerak. Seketika keadaan terasa mencekam dan genting ternyata dari perlengkapan yang kubawa hanya kernehku yang menghilang entah kemana. Bingung resah semuanya campur aduk di kepala gara-gara kerneh hilang, nanti saya tidak bisa ikut ujia“ pikiranku sudah kacau balau”. Mau balik ke asrama waktu ujian sebentar lagi akan dimulai, mau ke ruangan tidak bawa kartu mahasiswa, ingin rasanya teriak di depan dekan fakultas ushuludin agar bisa dipersilahkan untuk mengikuti ujian ke tiga Al Azhar.

Di bawah pohon ku hanya bisa meratapi kesedihanku, menunggu dan menanti sebuah keajaiban yang datang tiba-tiba, berharap ada seseorang membawakan kartu identitasku. Ternyata tidak lama kemudian semua yang kuharapkan terjadi seketika dan sontak membuat saya sangat bahagiaya sekali, saking bahagianya rasa-rasanya sampai ingin mau nari-nari  kala itu (andaikan diperbolehkan), mungkin tuhan sudah mendengar suara hatiku. Ada seorang laki-laki datang menghampiriku dengan nafas ngos-ngosan sambil menyodorkan sesuatu yang saya harapkan akan kembali. "Ya binti, hadzihi bitaqatuk bissur’ah idzhabi likay la tataakhariTandasnya. Tanpa banyak perbincangan ku hanya bisa menguntaikan kalimat “Syukran ya duktur”, langsung ku melangkahkan kaki sambil melihat kebelakang melihat langkah sosok laki-laki yang sudah banyak membantuku sejak bertemu di tingkat pertama dan menjadi super hero di hari ujian ketiga kuliahku hingga langkahnya semakin jauh semakin tidak terlihat oleh pandanganku.

Takdir tuhan sangat indah
Mempertemukaku dengan sosok pahlawan tanpa jasa
Seolah tercuri oleh penampilannya yang sangat langka

BERSAMBUNG


Oleh: Muallimah

Maret 03, 2018

,

    

















Terdengar isak tangis seorang bocah di salah satu sudut bangunan beranyaman bambu. Mengadu kepada alam akan kesedihannya menjalani kehidupan barunya di pesantren. Bahkan Sudah dua hari ia mengurung diri di kamarnya. Setelah seminggu sebelum itu ayah & ibunya memondokannya di salah satu pesantren daerah jawa. Dengan harapan masa depan anaknya kelak lebih baik dari mereka. Menjadi anak yang sholeh, sopan, amanah serta berguna bagi nusa dan bangsa. Lantas datanglah salah satu santri senior menghampiri dan menghiburnya. “sampeyan harus sabar, nggak betah di pondok itu hal yang lumrah. hidup di pondok sebenarnya menyenangkan. Cobalah keluar dan bergabunglah dengan teman-teman disana. Apa sampeyan nggak bosan di kamar terus?”. Ia pun  berhenti menangis dan mulai merenungi apa yang di bicarakan seniornya itu.

Suasana di pesantren adalah hal yang baru baginya. ia merasakan keadaan yang berbeda dari sebelumnya saat di rumah. Ia melihat kerumunan para santri beriringan menuju sekolah dengan membawa beberapa kitab tanpa tas gendong yang lumrahnya di pakai seorang pelajar. terdengar juga lantunan ayat suci al quran yang berasal dari bangunan sekolah yang dibaca para santri sambil menunggu gurunya. Sholat berjamaah lima waktu. Dan tentu banyak hal-hal lain Yang menjadi ciri khas budaya pesantren yang berbeda dengan sekolah yang di luar. Berbanggalah mereka yang menjadi santri. Karena merekalah tergolong orang yang di kehendaki baik oleh Allah swt. Memperlajari ilmu agama. Dan merekalah calon ulama yang merupakan pewaris nabi Saw. Pesantren inilah yang Mencetak insan baik, berakhlak mulia, berkualitas serta berguna bagi bangsa & Negara. Ia jadi teringat pesan dari ayahnya, “Masa mudamu akan di mulai disini nak, ukirlah dengan baik, kamu sendiri yang akan menentukan seperti apa masa depanmu kelak. Syubbanul yaum rijalul ghad. pemuda sekarang adalah generasi masa depan, kamu harus rajin belajar, jangan bolos sekolah, asah kemampuanmu disini, patuhi semua perintah kiyai dan ikuti semua aturan yang ada di pesantren ini”.

Sejak saat itu ia lalui Hari-hari di pesantren di bawah bimbingan kiyai dan gurunya di sekolah.  Dengan teman-temannya ia Belajar bersama. ia pun sadar, dan berhenti mengurung diri di kamarnya. ia mulai aktif mengikuti kegiatan di pesantren dan sekolah. Di pesantren ia aktif di program tahfidz al quran & bahasa Arab, dan di sekolah ia menjadi anggota OSIS Aliyah. Jenjang pendidikan di pesantren ini lengkap. Dari ibtidaiyah sampai perguruan tinggi.  Semua yang ada di pesantren ia anggap keluarga kedua baginya.

Dalam satu kesempatan ketika ia memasuki kelas XII Aliyah, ia terpilih menjadi salah satu delegasi pesantren mengikuti lomba debat bahasa arab MTQ  tingkat nasional yang biasa diselenggarakan tiga tahun sekali. Ia lolos sampai babak final. Lawan tandingnya kali ini adalah kelompok  putri. Tema perlombaan saat itu ialah “Mahar politik”. Kesempatan pertama di isi oleh pihak lawannya. Mereka  mulai memperkenalkan satu per satu, kemudian menjelaskan dan mengupas tuntas tema pelombaan tersebut dan memepertahankan argumentnya. mereka menyampaikannya dengan lugas. kelompok Fajar sedikit  kagum akan kepandaian dan kelihaian musuhnya dalam mengulas tema tersebut. Dan dalam kesempatannya, ia dan kelompoknya tak mau kalah. mereka juga mengurai tema perdebatan kali ini dengan baik. lebih terperinci dari musuhnya. Dan  membantah pendapat lawannya dengan data-data yang akurat. Bahkan Logat mereka tak kalah dengan orang arab asli. Perlombaan kali ini memakan waktu hingga satu setengah jam lebih. Dan Di akhir perlombaan, para juri memutuskan kelompoknya lah yang menjadi juara 1 lomba debat b arab. Dari semua itu Fajar tetaplah rendah hati. Ia tidak berlebihan dalam menanggapinya. Semua itu tidak lain adalah karunia dari Allah Swt untuknya yang patut ia syukuri.

Singkat cerita, beberapa  tahun kemudian ia akhirnya lulus kuliah setelah tujuh tahun lamanya di pesantren dengan menjadi wisudawan dengan nilai terbaik seangkatannya. Ia juga telah menjadi seorang Hafidz Al Quran. Setelah itu ia berkeinginan mengabdikan dirinya di pesantren. Ia beranggapan semua apa yang di perolehnya selama di pesantren adalah amanah yang harus ia sebarkan kepada orang lain. dan hal itu menjadi kenyataan. pengurus pesantren merekrutnya menjadi guru sekolah di bagian putri . “Ustad Fajar, pak kiyai menunjuk sampeyan untuk mengajar & membimbing kelas XII Aliyah bagian putri, di sana kekurangan tenaga pengajar, bagaimana sampeyan siap?” ucap salah satu pengurus kepadanya. Karena memang saat itu keahliannya (Tafsir & Bahasa Arab) benar-benar di butuhkan. “insya Allah, kalau hal ini sudah perintah langsung dari kiyai insya Allah saya siap ustad” jawabnya. akhirnya ia laksanakan amanah dari kiyai dengan niatan mengabdikan dirinya di pesantren. Karena ia yakin semua perintah kiyai tentu ada hikmah di dalamnya.  

Hari pertama memasuki area sekolah bagian putri saat menuju kelas ia berpapasan dengan wanita anggun nan cantik. Ia hanya melihat sekilas dan kembali menundukan pandangannya. Tak lama kemudian ia tersentak kaget setelah wanita tadi menyapanya. “assalamu’alaikum, masih ingat dengan saya?”  Mendengar pertanyaan wanita itu ia beranikan diri membalikan badan dan melihatnya kembali. Ia mulai sedikit ingat wajah wanita yang berada di depannya itu. ternyata ia adalah wanita yang menjadi lawan debatnya dulu saat lomba. ia tampak berbeda dari sebelumnya. ia tambah anggun,cantik dan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. pantas lah ia tidak mengenali dan lupa dengannya. karena pertemuan mereka hanya sekali saat lomba. itu pun beberapa tahun yang lalu. “Waalaikum salam, kalau tidak salah Sampeyan yang ikut lomba debat bahas arab dulu ya, kenapa bisa ada di sini? wanita itu tersenyum. “kebetulan Saya mengumpulkan data di pesantren ini untuk di jadikan bahan penelitian penulisan skripsi saya, kebetulan ayah saya alumni sini. Besok lusa insya Allah saya balik ke kalimantan” pungkasnya. Sudah setengah bulan ia di pesantren tersebut. Atas petunjuk dari ayahnya. Semoga sukses dan lancar skripsinya”. tutur si Fajar. Di susul perkataan ”Aaamiin” dari Wanita itu sekaligus mengakhiri perbincangan mereka. terdengar bel tanda di mulainya jam pelajaran di sekolah itu. Ia pun segera memasuki kelas XII Aliyah. mengajar dan menerima setoran hafalan Al Quran tiap dua hari.

Hari–harinya Selain mengajar di sekolah Ia menjadi Khadim (pembantu) kiyai. belanja kebutuhan dapur ke pasar tiap pagi. mencucikan pakaian. menyapu halaman rumah (dhalem) tiap sore. membersihkan toilet. Semua kebutuhan yang berhubungan dengan kiyai ia kerjakan. Ia menjadikan semuanya itu sebagai tanda terima kasih terhadap gurunya yang telah mendidik dan membimbingnya sehingga ia menjadi seperti sekarang.   

Ia juga tergolong orang yang bertanggung jawab dalam menjalani amanah. sekecil apapun amanah itu akan ia penuhi dan laksanakan dengan tanggung jawab yang luar biasa. Dan Terbukti kurang lebih selama setahun mengajar, banyak anak didiknya berhasil menyelesaikan hafalan Al Quran dengan lancar dengan bimbingannya.

Suatu ketika ia di panggil mengahadap kiyai dan ditanyai beberapa hal. “kamu ini sudah dewasa, apakah tidak ada keinginan untuk menyempurnakan agama mu?, saya rasa sudah saatnya kamu menikah. ”  ia pun kaget mendengar pertanyaan tersebut. “mohon maaf sebelumnya kiyai, saya sendiri belum siap mengenai hal ini, sebab saya hanya pemuda miskin, belum punya penghasilan yang cukup untuk membangun keluarga” . jawabnya. “nggak usah memikirkan itu. Kehidupanmu bisa di bangun dengan baik. Kamu orangnya amanah. saya berencana menjodohkanmu dengan wanita pilihan saya ,ia wanita yang baik,sholehah, cantik dan pintar. kebetulan ayahnya meminta saya untuk mencarikan pemuda yang pas untuk anaknya. ia hanya mengharapkan pemuda yang sholeh serta amanah untuk putrinya. siapapun itu. dan saya anggap kamu adalah orang yang pas untuknya”.  ia pun bingung dan heran atas pernyataan kiyai.berikan saya waktu untuk, saya ingin berdoa dulu mohon petunjuk dari  Allah guna menindak lanjuti hal  ini”.  jawabnya dengan nada lembut tanda takdim seorang murid kepada gurunya. Ia pun mulai beristikhoroh. memohon petunjuk kepada Allah tiada henti dan akhirnya datanglah hidayah agar ia meneruskan apa yang di perintahkan kiyai.

Dan betapa kagetnya ia di sertai rasa bahagia setelah mengetahui wanita pilihan untuknya ternyata adalah Aisyah yang tak lain lawan tandingnya dulu saat lomba. Inilah Kehendak Allah Swt. Dan inilah balasan bagi hamba-Nya yang Amanah dan patuh terhadap guru. Tiada henti terucap kalimat Tasbih dan Syukur darinya. Pernikahan mereka di laksanakan dengan lantunan indah surah Ar-Rahman yang di bacakan oleh Fajar sebagai maharnya beserta mushaf Al Quran dan dua cincin Emas.

Oleh: Syarif

Follow Us @soratemplates