Tampilkan postingan dengan label MOTIVASI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MOTIVASI. Tampilkan semua postingan

Juli 20, 2019

,
                          YAKIN GAK MAU BERJUANG??


Diceritakan tempo dulu bahwa ada seseorang yang mempunyai keahlian membuka semua jenis gembok (kunci) dalam waktu yang relative singkat. Sayangnya keahlian ini ia gunakan untuk mencuri, menuruti hawa nafsunya. Keluar masuk penjara adalah hal yang biasanya baginya. Penjara tempo dulu tentu berbeda dengan yang sekarang yang dilengkapi adanya cctv di setiap sudutnya. Dari keahliannya itu ia berhasil kabur dari penjara. Sebab sesulit apapun gembok itu baginya sangat mudah membukanya. Usut punya usut ternyata ia hanya menggunakan kawat kecil lentur untuk membuka gembok dalam tiap aksinya. Kawat tersebut ia modif semacam gelang agar mudah dibawanya setiap hari. 
Suatu ketika ia tertangkap mencuri perhiasan di desa sebelah. Pihak kepolisian berhasil menangkapnya dan seketika memasukannya ke penjara. Baginya penjara adalah hal yang biasa, toh keluar masuk penjara sangatlah mudah bagai membalikan tangan. kejadian-kejadian yang sebelumnya sebagai buktinya. Dengan berbekal gelang kecil di lengannya ia yakin akan membuka gembok penjara itu. sebegitu yakinnya ia berucap kepada para penjaga penjara itu (dengan mimik meremehkan): “lihatlah 2 jam lagi, pasti kalian akan terheran-heran dengan keberadaanku.”
Dalam penjara ia mulai beraksi. Ia ambil gelang kawat yang ia kenakan. Ia mulai memasukan kawat tersebut pada pintu besi yang mengelilinginya. Namun ia gagal membuka pintu itu. Ia ulangi sekali lagi. Memasukan kawat tadi dan menggerakkannya ke arah yg berlawanan namun tetap tidak terbuka. Ia ulangi hal tersebut sampai ia merasa kebingungan sebab pintu semacam itu biasa ia retas dengan mudah. Keringat peluh mulai bercucuran menandakan Ia mulai lelah. Ia pun gugup. Keyakinannya saat itu sudah goyah dan memudar. Hingga Ia pun putus asa, menyerah pada keadaan. Dalam benaknya Ia berfikir saat ini adalah akhir dari kehidupannya. Sebab  ia divonis seumur hidup di penjara. Pihak kepolisian mungkin sangat geram dengan kelakuannya betapa tidak mencuri tiada henti adalah hobinya. Maka hukuman seumur hidup sangat pantas baginya.
Beberapa saat setelahnya ia lemas dan terjatuh disebabkan lelah di tubuhnya. Ia bersandar tepat di pintu penjara tersebut. Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Ia kaget terheran-heran ternyata pintu itu tidak dikunci oleh petugas entah karena lupa atau disengaja. Bersamaan dengan itu datanglah pimpinan kepolisian menjenguk dan memerhatikan gerak-geriknya.
Pimpinan kepolisian itu tersenyum kecil melihat pencuri itu yang kelelahan dan putus asa. Berbeda dengan si pencuri ia malah kesal menyalahkan dirinya. Baru kali ini ia merasa dibodohi. Bagaimana tidak keahlian membuka kunci yang ia miliki sirna tak berguna saat itu. Tertipu oleh pintu yang tak terkunci di depannya. Ya hari itu adalah hari terburuk baginya.
Dari cerita ini bisa kita tarik beberapa poin di antaranya ialah: Pengaruh kekuatan akal. sejak awal si pencuri sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa ia akan membuka gembok itu yang ia yakini terkunci. Dari itu apapun jenis pintunya pasti ia akan membukanya. Keyakinan ini telah mengakar kuat di benaknya. Sayangnya dalam kejadian ini nasib tak melulu bersamanya. Ia tidak berhasil membuka pintu itu. Sebab membuka pintu yang terkunci dengan yang tidak terkunci tentu berbeda. Dalam kasus ini sebenarnya ia tidak perlu bersusah payah menggunakan kawat untuk membukanya Karena pintu itu sudah terbuka. Membukanya sangatlah mudah hanya dengan mendorongnya.
Begitu juga dengan kasus yang kita alami setiap hari. Semua akan menjadi mudah dengan adanya keyakinan kuat dari benak kita serta aksi yang nyata. Sebab suatu permasalahan akan menjadi sulit jika kita meyakininya sulit. Begitupun sebaliknya akan menjadi mudah jika kita meyakininya mudah.
Jangan yakini meraih IPK tinggi (Jayyid jiddan atau Mumtaz) adalah hal yang sulit. Lulus kuliah tepat waktu juga sulit. Menyelesaikan setoran hafalan Alquran sebelum lulus kuliah juga sulit. Melamar  anak pak haji di kampong sebelah juga sulit. Dan yang paling penting menyetorkan tulisan tepat waktu jangan juga dianggap sulit.
So, buang jauh-jauh Mindset semacam ini. Tanamkan keyakinan dalam diri kita. semua hal pasti bisa ditaklukan dengan tekad yang kuat dan atas izin yang maha kuasa. Jangan berkecil hati kau hanya perlu terus berjalan dan jangan berhenti sampai kau benar-benar yakin bahwa dirimu sudah tak sanggup melanjutkannya (mati).
Wallahu A’lam. 




        M. Syarief
    Mahasiswa Fak. Ushuluddin

April 07, 2019

,

Yang Lebih Buruk dari Kegagalan

(Zis Al-Hakim)(1)


Pernahkah kawan-kawan merasa sangat semangat dan pada suatu waktu  merasa berada dititik terendah tanpa gairah? atau bercita-cita setinggi langit kemudian di saat yang lain membuangnya kepaling dasar bumi? atau berkeinginan berubah namun kemudian menyerah sebab perubahan sepertinya tidak pernah menunjukkan batang hidungnya?
Oke, saya anggap pernah, agar kita bisa lanjutkan pembahasan. Perasaan atau segala yang berkaitan dengan hati memang identik dengan  perubahan. Iman contohnya, ia naik-turun; naik dengan ketaatan, dan turun sebab melakukan keburukan-keburukan.
Jika kita sedang dianugerahkan melakukan kebaikan, jangan pernah berfikir bahwa kita tidak akan terjerumus pada lembah kehancuran. Begitupula saat kita terjerembab melakukan kesalahan jangan pernah memiliki  keyakinan bahwa kita tidak akan bisa memperbaikinya. Dua sikap inilah yang kemudian dalam terma Tasawuf dikenal dengan Khauf  (rasa khawatir) dan Raja’ (rasa harap). Dua sikap yang memungkinkan setiap orang akan bisa senantiasa  berjalan untuk melakukan dan melanjutkan  perjuangan bagaimanapun keadaannya. Mereka akan seimbang dalam keadaan kalah atau menang, dalam keadaan  puncak semangat  atau dititik terhampa keputusasaan.
Jika kawan-kawan pernah mengalami ketertinggalan dalam proses study jangan pernah berkeyakinan bahwa kawan-kawan tidak mungkin lagi  menjadi seorang yang berprestasi. Kawan-kawan masih sama-sama memiliki kesempatan yang sama, masih punya waktu untuk memperbaiki, masih bisa berusaha dengan yang lebih baik lagi. Sampai kapan? Sampai kesempatan itu tidak ada lagi, sampai -bahasa kasarnya- kita tidak bernyawa lagi.
Terkait hal ini, Ibnu Arabi pernah berpesan: “Ingatlah ! jangan pernah  kamu meninggalkan kesungguhan meskipun setelahnya kamu tidak melihat reaksi baik dari kesungguhanmu”
Kita barangkali akan sepintas menentang “ah,  buat apa sungguh-sungguh kalau hasilnya juga kayak gitu, aku rasib (ninggal kelas) lagi”. Tidak begitu kawan, ini adalah cara pandang yang kurang benar. Bukankah dalam suatu hadis Nabi memberikan motivasi “Jika matahari terbit dari arah barat dan ditanganmu ada biji kurma, maka tanamlah..” Saat yang sangat genting bukan? Tapi nabi masih memberikan motivasi agar kita memaksimalkan apa yang kita miliki untuk kita perbuat dalam urusan dunia, lalu bagaimana dengan urusan ilmu? Apakah kita tidak ingin memaksimalkan kesempatan yang kita miliki saat ini.
Dalam sebuah kesempatan, Syaikh Ma’bad Abdul Karim yang oleh Syaikh Usamah dalam kitab Asanid Al-Mishriyyin disebut sebagai Gurunya para ahli hadis di Mesir masa kini menyampaikan: “Para ulama terdahulu memang hebat, kita harus mengakuinya, tapi ingat kita juga bukan tidak apa-apanya.” Iya, kita memang tidak sebaik teman-teman lain yang lancar dalam study mereka, kita tidak seaktif organisator yang cakap dalam komunikasi atau luas dalam relasi dan juga tidak secekat para santri cemerlang yang mudah faham dan hafal semua pembahasan dikitab-kitab, tapi ingat!! kita juga bukan tidak apa-apanya.
Ada solusi menarik yang ingin saya tawarkan jika anda pernah merasakan pertanyaan-pertanyaan diatas, yaitu petuah  Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya yang berbunyi: “Tempatmu adalah sebagaimana Allah telah menempatkanmu”. Artinya, jika Allah menjadikan kita saat ini sebagai  pedagang maka seriuslah berdagang, kalau sebagai petani maka semangatlah bertani, dan jika kita menjadi pelajar maka bersungguh-sungguhlah dalam belajar.
Terakhir saya ingin menuliskan ungkpan menarik dari Ust. Zaiemuddin Abdul Adzim, salah seorang Mahasiswa terbaik pada masanya: “Yang lebih buruk dari kegagalan adalah berakarnya keyakinan bahwa tidak perlu lagi berjuang” benar, sebab kegagalan sejati adalah saat kita memutuskan untuk lalu berhenti.

(1) Nama Pena dari Zis Ahmad Zainal Abidin, Mahasiswa Al-Azhar. Fakkultas Dirasat Islamiyah Wal-Arabiyah.


                                                                                                                Oleh : Ziz Ahmad Zainal Abidin

April 02, 2019

,
"Teguh Berharap Meski Sakit dan Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan; berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu, impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap impian.

Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh. Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara. Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini? Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali. Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!

***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari menunggu istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya. Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya, segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu, terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam. Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya! "Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.

***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk  direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi. Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu... Aldi bilang seperti tadi tidak  bermaksud untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya tak ingin ia perlihatkan.

***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya, penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha terlebih dahulu guna mencari solusi.

***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan. Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri; "Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada jalan garis takdir ini!" Bersambung.

Oleh : Abas Salim




[1] Dasar bajingan!

Agustus 25, 2018

,


Kata ini sering dilontarkan kepada mereka yang menerima amanah untuk mengembannya, "orang barat kini sudah menemukan kemajuan dan kejayaanya, sedangkan kita masih enak tidur dengan lelapnya atas kemunduran kita saat ini" munkin itu lebih tepatnya. Saat mendengar kata itu hati seorang muslim sejati tidaklah begitu saja menerimanya, seakan-akan ingin melontarkan kepada mereka: "tidaklah benar apa yang kau ucapkan itu!!!, sesungguhnya kemajuan mereka berawal dari kami". Teriakan itu dilontarkan begitu nyaringnya, semenjak runtuhnya Dinasti Turki Utsmani pada tahun 1924 silam dan munkin sampai saat ini.

Perlu kita renungi, mengapa mereka melontarkan sebegitu nyaringnya kata-kata itu?, apakah hal itu benar adanya?, atau malah mereka ingin mencitrakan Islam. Seolah-olah mereka ingin kita tahu bahwa kita sudah berada dalam titik ketertinggalan atau munkin sudah dianggap tidak ada lagi. Namun, kalau itu benar adanya, tidaklah perlu kita sesali, tapi perlu kita benahi mencari cara untuk menemukan kembali kejayaan yang kita dapat beberapa abad yang lalu.

Kemunduran Islam, sebagaimana menurut prof. Dr. Ali Gomaa berawal saat muslimin berhenti melahirkan ilmu untuk membantu memahami Nas. Tepatnya, terjadi kekosongan panjang pada tahun 1830 M. Dimana pada saat itu barat mulai menemukan penemuan-penemuan baru dan merubah tatanan kehidupan masyarakat. Dari ini kita memahami, bahwa kemunduran Islam berawal dari dalam Pemeluk Islam sendiri, maka oleh karena itu yang perlu kita lakukan mengembalikan hal itu kembali kepada kita. Munkin sebab ini perlu kita perhitungkan, karena dengan itu terbukti bahwa kita masih hidup dan berkeinginan untuk meraihnya kembali.

Ada yang beranggapan bahwa kemunduran Islam disebabkan dengan kekosongan pemimpin yang mengerahkan umat Islam untuk bersatu atau kerap kali disebut dengan ke-khilafaan.  masa kekhilafaan, Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, dan bisa dikatakan sudah sampai pada puncaknya. maka tidak heran jika sebagian besar dari mereka berlomba-lomba mengumandangkan kata khilafah dengan sangat nyaringnya bertujuan untuk meraih kejayaan Islam kembali. Karena, munkin dengan cara ini, Islam kembali meraih kejayaan yang telah dulu diraihnya. Namun, Saat kemal ataturk menurunkan bendera kekhilafaan, ia seolah memberi tanda bahwa kekhilafaan tidaklah cocok dengan arus perkembangan zaman. Dan ini patut kita pertimbangkan kembali, apakah Islam akan meraih kejayaanya dengan menggunakan cara ini, tatkala umat muslim masih mengalami  konflik internal? atau malah cara ini hanyalah nafsu belaka untuk merebut kekuasaan. Oleh karena itu, ini masih mengalami konflik disebagian besar umat Islam.

Lantas dengan cara apa kita meraih kembali kejayaan Islam yang telah dinikmati umat Islam beberapa abad silam. Apakah kita harus memperhitungkan cara yang telah mereka sebutkan atau malah dikumandangkan senyaring munkin dan mengambilnya?. Atau malah kita harus menangisi atas kemunduran itu dan meratapinya?. Terus -meminjam diksi syekh buthi- siapa yang akan bertanggung jawab atas kemunduran muslimin saat ini. Munkin hal ini, perlu direnungkan kembali bagi umat Islam dan mencari jalan yang tepat untuk itu. Bukan malah sibuk dengan masalah-masalah perbedaan dalam Islam itu sendiri, apalagi masih dalam konteks furu'iyah. Sedangkan barat menari-nari, bahkan mentertawai kita yang masih beradu domba satu sama lain. Wallahu a'lam bih.      
     
Oleh: Rafa

Maret 03, 2018

,



















Assalamu alaikuam

Sangat senang membaca tulisan salah satu teman di media ini. Dimana dia membahas esensi suatu hal dan hakikatnya. Didalamnya berisi tentang pemberian nama surat kedua al-Qur’an dengan nama al-Baqarah yang bermakna sapi. Meskipun didalam surat itu ada beberapa kisah yang lebih bagus dari pada kisahnya sapi. Sebab yang penting adalah esensinya.

Beberapa hari sebelumnya ada artikel yang mengangkat tema tentang dilema mahasiswa rantau di tanah para nabi ini (yang tentunya juga tanah para fir’aun). Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) dengan segala dinamikanya yang dihadapi di tanah rantau penuh dengan tantangan. Universitas al-Azhar mungkin satu-satunya kampus yang tidak memberlakukan absen. Sehingga dengan itu para mahasiswa dengan leluasa bisa menghadiri majlis ta’lim yang lain atau membuat kegiatan sendiri. Tidak jarang juga sebagian mereka yang tidak hadir ke kampus karena alasan dingin, panas dan yang terbaru yaitu naiknya ongkos bus 80 coret, hehe....Bahkan tidak sedikit yang aktif dalam kegiatan yang kurang ilmiah dan pergi ke kampus hanya di waktu ujian.

Disinilah perlunya kita untuk membedakan antara tujuan utama (maqashid) dan yang menjadi perantara (wasail). Sehingga nanti kita tidak terjebak dalam kegiatan yang kurang bermanfaat. Tapi kita tidak boleh menutup mata bahwa perantara itu mempunyai hukum yang sama dengan tujuan utama. Kaidah dalam hal ini yang sering kita dengar diantaranya :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، للوسائل حكم المقاصد

Dari kedua kaidah itu bisa kita istinbat, bahwa jika ada seorang mahasiswa tidak bisa memenuhi kebutuhannya tanpa kerja maka dia wajib bekerja. Hanya saja permasalahan timbul dalam hal ini. Tidak sedikit dari sebagian oknum yang terlena dalam perantara sehingga tanpa terasa hal itu menjadi tujuan utama. Ketika mereka mendapatkan finansial yang cukup melimpah, justru tidak pernah hadir dalam majlis ilmu.

Beberapa kasus yang lain bisa disamakan dengan kejadian diatas terutama dalam hal berorganisasi. Sebab tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kita sudah “kebanjiran” organisasi. Maka diperlukan sebuah filter untuk menyaring organisasi yang bisa menunjang terhadap akademik kita.

Kembali lagi ke pembahasan awal, kita jangan hanya stagnan pada casing saja. Namun juga harus mementingkan esensi dalam berorganisasi dll. Jangan sampai semua itu menghambat tujuan utama.

Sekarang kita tinjau permasalahan ini dari ilmu logika (mantiq), sehingga kita bisa mencerna esensi suatu hal. Salah satu pembahasan dalam ilmu ini yaitu kulliy dzatiy (كلي ذاتي) dan kulliy aradliy(كلي عرضي). Kulliy dzatiy yaitu yang masuk didalam hakikat juz’iyyatnya. Andai kata hal tersebut terlepas maka esensinya akan hilang. Sebaliknya kulliy aradliy tidak termasuk di dalam hakikat dan meskipun ia terlepas esensi akan tetap ada. Contoh yang pertama yaitu “berfikir” bagi manusia dan untuk yang kedua “tertawa”.

Dari pembahasan itu bisa kita simpulkan bahwa “berfikir” itu merupakan esensi dan tidak bisa terlepas dari manusia. Makanya orang yang tidak bisa berfikir dengan baik disebut orang gila. Beda halnya dengan kata “tertawa”. Sebab meskipun tidak tertawa tetap dinamakan manusia.

Nah, sekarang kita bisa mengaplikasikan hal itu kedunia kita. Setiap kali berkeinginan melakukan suatu hal cobalah tanyakan pada hati anda yang paling dalam. Andai kata tidak melakukan hal ini, apakah saya tetap dinamakan mahasiswa ?.jawabannya ada di hati anda.
Terakhir saya tutup tulisan ini dengan kaidah yang berbunyi :

الاشتغال بغير المقصود إعراض عن المقصود
Wassalam

Februari 25, 2018

,











Kita mungkin pernah mendengar selorohan “Jauh jauh belajar keluar Negeri, kok malah jadi petani...?”. pernah dengar gak..? , syukur kalau sudah pernah dengar. Yang belum dengar, sekarang sudah dengar kan. Ungkapan yang terkesan meremehkan dunia pertanian. Seakan-akan kita tidak pantas untuk terjun didalamnya.

Apa sih pentingnya pertanian?, Bagaimana kondisi pertanian di Negeri kita sekarang?, Kita sebagai pelajar di Universitas yang berbasis agama ini, bisa tidak berkontribusi dalam pertanian?.Yang belum ngeh, baca tulisan ini sampai selesai ya.

Perlu diketahui, mayoritas  penduduk Negeri kita adalah petani. Kebutuhan pokok seperti sandang yang kita pakai, pangan yang kita makan dan papan yang kita tempati, sebagian besar didapat dari hasil pertanian. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk juga mengambil andil dalam hal ini. Danbenar,  jangan malu untuk jadi petani. Lagian kayak sudah  putus saja, pakek malu-malu segala. Hee.

Ok, saya kutip muhadoroh Bapak Muhaimin Ikbal yang di uploud di FB Gerai Dinar miliknya tanggal 19 Okt 2017,“Mengapa setelah 2 dasawarsa lebih pengaruh ekonomi syariah masih sangat minim di masyarakat? Antara lain karena memulai dari titik yang kurang pas, mulai dari sektor keuangan yang hanya dihuni sekitar 3% lapangan perkerjaan. Seandainya ekonomi syariah mulai dari pertanian dan perdagangan, pengaruhnya akan sangat berbeda karena dua sektor ini dihuni oleh 55 % pekerja indonesia”.  Dan 32 % dari 55 % adalah sektor pertanian. Bisa dipahami kan?Kalau tidak, baca lagi.

Konsep ekonomi syariah Pak Muhaimin memang berbeda dengan aktifis ekonomi syariah pada umumnya  yang hanya fokus pada perbankan. Beliau lebih mengarah mensyariahkan sektor pertanian dan perdagangan.  Dan ini menurut saya lebih efektif dan efisien.

Berbicara masalah kondisi pertanian di Negeri kita, tentu ada baik dan tidak baiknya. Tapi, ada beberapa kejadian yang sangat ironis menurut saya, ketika Negeri yang dikenal dengan Negeri maritim; laut luas dengan ribuan pulau, pantai memanjang dipinggiran pulau-pulau, ternyata masih mengimpor garam sampai 226 ribu ton pada tahun 2017. Aneh kan? Dimana petani garam kita? padahal SDA nya sudah lebih dari cukup.

Begitu juga dengan sebutan Negeri hijau, pemilik hutan luas, air melimpah dan hujan tak kurang yang seharusnya kaya dengan peternakan, eh bulog tambah impor daging kerbau india hingga 20.000  ton. Bukankah ini semua Ironi? Benar, sakitnya itu  dimana mana “kata dangduter”dan memang yah berat seperti" kata Dilan".

Mungkin  ini hanya sebagian kecil dari berbagai problem yang dialami petani Negeri kita.  Ditambah lagi dengan sistem kapitalis yang sudah sangat terasa, ribawi yang sudah tak malu tuk diiklankan, kejenjangan sosial yang amat sangat parah dan penggunaan obat obat kimia yang sudah merambat kemana mana, dalam jangka pendek mungkin bagus, tapi dalam jangka panjang malah akan merusak.

Maka jika ditanya “kita sebagai pelajar di Universitas yang berbasis agama ini, bisa tidak  berkontribusi dalam pertanian?” Jawabannya “Tentu bisa, sangat bisa bahkan”.

Teman-teman, sebagai pelajar yang paham agama dan bahasa arab seharusnya kita berupaya agar  bisa meng extrak inti sari al-Quran dan Hadits  yang salah satunya berkaitan dengan pertanian untuk disampaikan pada petani-petani yang tidak tahu menahu tentang hal itu. Banyak lho ayat-ayat dan hadits yang membahas tentang pertanian yang bisa kita kelola dan disampaikan pada mereka. Saya coba beri contoh ya...

Pertama: Di surat Hud ayat 61 terdapat bacaan “هو أنشأكم من الأرض و استعمركم فيها  ayat ini berisi motifasi bagi kita untuk menjadi pemakmur di bumi. Jangan sampai yang memakmurkan bumi adalah mereka yang tidak paham, karena mereka akan membuat kerusakan tanpa mereka sadari dan mereka akan menjawab  إنما نحن مصلحون”.

Kedua : Di surat al-Baqarah ayat 11 ada firman yang berbunyi“لا تفسدوا في الأرض”, ayat ini berisi konsep utama dalam mengelola pertanian, yaitu tidak boleh merusak lahan pertanian, akan tetapi harus dikelola dengan baik sehingga panen sekarang lebih baik dari panen sebelumnya. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Negeri kita.

Ketiga : Di surat ‘Abasa ayat 24 tertulis “فلينظر الإنسان إلى طعامه”, ayat ini mengandung perintah agar kita selalu memperhatikan makanan yang kita makan, bukan saja ketika kita akan makan, akan tetapi kita juga harus memperhatikan proses penanaman, pengolahan, pengemasan, pengawetan dan pendistrbusian hingga sampai di meja makan kita.

Dan masih banyak lagi konsep-konsep pertanian, perkebunan dan peternakan yang disebut dalam al-Quran. Alhamdulillah, saya sudah ngerangkum. Teman teman yang ingin dan minat serius belajar pertanian dalam al-Quran bisa langsung menghubungi saya. Yang terakhir dari saya, ketika berdakwah dalam bidang ini lebih baik kita langsung terjun dalam bidangnya, maksudnya kita juga ikut praktek, insyaallah lebih cepat diterima oleh masyarakat sekitar.

Sekian oretan jempol ini saya ketik, dengan banyak kata yang tidak baku,  semoga bermanfaat dan bisa diamalkan. Salam dari saya Kholil Al-Bondos.(Menteri Pertanian 2030-2040)


Februari 23, 2018

,




Seandainya ditanya:
Sudah berapa tahun umurmu?,

dan apa saja yang kau peroleh selama itu?

Maka akan terucap beberapa jawaban yang berbeda, mungkin sebagian akan menjawabnya dengan nada rendah dan  rawut wajah sedih, karena selama dia hidup dan mampu berfikir, tak banyak yang dia perbuat dan peroleh. Ya…… mungkin dia habiskan waktu yang dimilikinya dengan hanya bersantai dan menikmati tipuan dunia ini, tanpa berfikir bahwa kelaklah kenikmatan yang sesungguhnya. Ya……. Mungkin saja dia tertipu oleh luasnya waktu yang dimilikinya, sehingga dia lupa bahwa waktu terus berjalan hingga pada akhirya waktu mempersempit ruang aktifitasnya sendiri.

Dalam model yang seperti inilah seseorang banyak tertipu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
عن ابن عباس – رضي الله عنهما – قال: قال رسول الله صلى الله وسلم : نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس الصحة والفراغ. (أخرجه البخاري)                                                                                                                                                           
“dua nikamat dimana seseorang banyak tertipu akanya, nikmat sehat dan waktu luang”

Waktu luang menjadikan seseorang berfikir, antara melakukan sesuatu dan membuat rencana hebat, atau hanya diam menikmati waktu tersebut dalam rangka mengistirahatkan fikiran dan tubuhnya, dan berfikir bahwa sebentar lagi akan datang waktu-waktu khusus; dimana mereka terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan yang dijadwalkan orang lain untuknya.

Sangat di sesalkan jika mereka hanya berdiam diri saja, dan tak ada hasil yang diperoleh, karena mungkin setelah waktu luang itu habis, mereka akan merasakan penyesalan sebagaimana kebanyakan orang pada umumya. Dan itulah ke”rugi”an sebagaimana dalam firman Alla SWT. pada awal surat Al ‘Ashr:
والعصر إن الإنسان لفي خسر
Banyak sekali penafsiran tentang ayat pertama pada surat Al ‘Ashr ini, namun ada hal yang paling mencolok untuk dikaitkan dengan “kerugian bagi mereka yang menyia-nyiakan waktu luangnya”, yaitu antara:  Qosam dengan lafadz Al- ‘Ashr dan lafadz al- Khusr pada ayat kedua setelahnya. Telah menjadi maklum, bahwa Al-‘Ashr(waktu ashar) adalah waktu yang menjadi akhir dari waktu siang, dan tahukah kita bahwa siang adalah waktu untuk bekerja dan beraktifitas? Ya…… tepat sekali……, dan tahukah kita, jika, kita memiliki waktu lowong di siang hari dan kita menyia-nyiakannya kita akan rugi dan tak mendapatkan apa-apa? Ya……….. tepat sekali……...mengapa demikian….?karena belum tentu kita bisa berbuat dan beraktifitas di malam hari, yang memang tercipta sebagai waktu beristirahat dan melepas lelah. Dan begitulah Allah SWT. menggambarkannya dalam surat al-Ashr, dimana seseorang yang menyia-nyiakan waktu luang pada akhirnya hanya akan meraskan penyesalan dan kerugian.

Namun, tak semua orang meyia-nyiakan waktu yang mereka punya. Kita tahu bahwa, Ulama’ terdahulu semasa hidupnya mereka habiskan untuk ilmu, semisal: mengarang kitab berjilid-jilid di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sejenak kita akan berfikir merenunginya, dan pada akhirnya kita takjub pada pencapaian mereka yang fenomenal dan tak mampu kita capai itu.

Mungkin kita akan bertanya-tanya akan kemampuan mereka itu, kita tahu bahwa pada masa mereka tidaklah dijumpai fasilitas modern untuk mengabadikan karya-karya yang hingga kini tak mampu kita baca secara tuntas, dan mungkin sepanjang hayat ini, kita tak mampu membacanya melainkan hanya sebagian saja. Namun, mereka mampu melakukannya di masa hidup yang sebentar itu, dan menjadikan nama mereka masih tetap di ingat hingga sekarang. Maha benar firman Allah SWT. dalam surat Al-Ashra ayat ke 3: yang

إلاالذين آمنواوعملوا الصالحات وتواصوب الحق وتوا صوب الصبر
 “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati agar  senantiasa mentaati kebenaran dan saling menasehati untuk selalu bersabar.”

Tidak ada yang tidak mungkin, selama waktu masih tersedia dan kita mampu memanfaatkannya dengan baik. Lampu merah di jalan raya yang hanya berdurasi 1 menit, akan terasa lama jika yang menuggunya menganggap itu adalah hambatan, dan akan terasa sebentar jika diabaikan, namun jika kita manfaatkan untuk berfikir meskipun sesaat saja, maka akan memberikan dampak yang besar di masa yang akan datang. Insya Allah.

Ini adalah bukti bahwa, tak ada waktu yang sedikit, melainkan akan memberikan manfaat yang besar bagi mereka yang memanfaatknnya, dan tak ada waktu yang luas, melainkan akan memberikan kerugian bagi mereka yang menyia-nyiaknnya.

Oleh: Moch. Sholeh

Follow Us @soratemplates