Tampilkan postingan dengan label ISLAMI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ISLAMI. Tampilkan semua postingan

April 21, 2021

,

Bulan Ramadhan Sarana Meningkatkan Kualitas Iman Dan Takwa


Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam dan sudah seharusnya kedatangannya disambut dengan jiwa serta hati yang tulus ikhlas dan penuh keceriaan. Ramadhan adalah tamu yang agung nan mulia yang akan memasuki setiap rumah dan kediaman umat Islam. oleh karena itu, tidaklah patut menyambutnya dengan sikap yang biasa-biasa saja. Hendaknya Ramadhan disambut dengan  ghirah  dan semangat meningkatkan iman dan takwa kepada Allah  swt. Puasa Ramadhan dapat mendatangkan pahala serta menghapus dosa yang telah lampau, Di  samping itu juga, Ramadhan merupakan bulan yang dipenuhi keberkahan. Siapapun yang bisa mengisinya dengan amal ibadah yang sempurna, tentunya limpahan rahmat, ampunan dari dosa dan nista dan jaminan aman dari siksa neraka menjadi haknya. 


Puasa di bulan Ramadhan salah satu pembinaan iman dan takwa, selain itu puasa ini juga terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil, namun tidak banyak orang yang tahu tentang nilai-nilai pembinaan dan pelajaran yang tersirat dalam pelaksanaan ibadah ini, seperti halnya puasa disebut madrasah moralitas dan sarana latihan untuk menempuh berbagai macam sifat terpuji, misalnya jihad melawan nafsu, menangkal godaan-godaan dan rayuan-rayuan setan yang terkadang terlintas dalam pikiran. Puasa dapat membiasakan seseorang bersikap sabar terhadap hal-hal yang diharamkan, penderitaan, dan kesulitan yang kadangkala muncul di hadapannya. Puasa mendidik orang untuk bersikap jujur dan  merasa diawasi oleh Allah  swt.  baik dalam  kesendirian maupun dalam keramaian, karena pada saat itu, tidak seorang  pun yang mengawasi orang yang berpuasa selain Allah  swt. Dengan berpuasa  dapat mengistirahatkan perut dan alat pencernaan, memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan yang mengendap dan tidak tercerna serta menghilangkan bau busuk yang disebabkan oleh makanan dan minuman. 


Bagi orang islam yang beriman,  kehadiran  bulan  Ramadhan disambut dengan perasaan bahagia penuh suka cita sebagai   bulan yang penuh keberkahan, bulan Al-Qur’an, bulan ampunan, bulan kasih sayang, bulan doa, bulan taubat, bulan kesabaran, dan bulan pembebasan dari api neraka. Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan yang disebutkan dalam hadis adalah dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka. Nabi Muhammad saw. bersabda: Apabila bulan Ramadhan tiba, gerbang langit terbuka, gerbang neraka dikunci dan dibelenggu semua setan” (H.r. Bukhari).


Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan suci untuk umat Islam. Seluruh umat muslim/muslimah di seluruh dunia menyambut gembira kedatangan bulan suci ini dan apabila dibulan ini puasanya dikerjakan atas dasar keimanan dan mengharap pahala maka ia diberi ampunan atas dosa dosa yang telah ia lakukan.


Dibulan ramadhan pula ada tradisi yang tak bisa lepas dari kebiasaan orang orang yang menunggu adzan berkumandang yaitu “Ngabuburit” yang berarti bersantai-santai sambil menunggu waktu sore, Salah satu kegiatan  Ngabuburit  yang dilakukan oleh sebagian orang adalah dengan berburu takjil. Takjil sendiri berasal dari Bahasa Arab dengan makna “menyegerakan”. Berdasar pengertian ini, maka takjil diartikan “menyegerakan berbuka puasa”. Karena dalam Islam, menyegerakan berbuka puasa adalah sebuah anjuran atau sunah. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Sahl Bin Sa’ad bahwasannya Rasulullah bersabda “manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan untuk berbuka” (H.r. Bukhari). Setelah kalimat takjil mengalami perkembangan makna pemakaian dari generasi kegenerasi selanjutnya takjil bergeser makna menjadi makanan yang disuguhkan untuk berbuka puasa.


Arti puasa secara bahasa adalah menahan, Adapun arti secara istilah adalah menahan diri dari perkara perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari disertai niat. Puasa  menurut Islam berkaitan dengan tiga masalah pokok yang sangat esensial bagi kehidupan manusia, yaitu 1. Menahan lapar dan haus, 2. Menahan diri dari hubungan seksual, 3. Menahan diri dari penglihatan, pendengaran, serta ucapan-ucapan yang tidak baik  atau tidak wajar. Dalam pengertian di atas, kata  “Shaum”  diartikan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan.


Sedangkan  Ramadhan  jamaknya adalah  ramadhaanaat,  atau berasal dari akar kata ramidha  yang berarti “sangat panas” dan “membakar atau menghanguskan”. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Ramadan sebab pada bulan tersebut dosa-dosa dibakar, dihanguskan atau dilenyapkan.


Hukum puasa ramadhan itu wajib sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Hai orang-orang yang  beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa hukum puasa bagi orang islam itu wajib. Dapat diketahui pula bahwa tujuan utama puasa adalah  agar seseorang menjadi bertakwa. Nilai yang sangat mendasar dari ibadah puasa adalah meraih takwa. Takwa merupakan suatu kesadaran pada diri seseorang yang senantiasa menghadirkan Allah swt. kapanpun dan dimanapun berada.


Puasa  disyariatkan Allah swt. pada dasarnya sebagai media untuk melatih diri agar manusia memiliki kemampuan mengendalikan diri dari  hawa nafsu. Kewajiban melaksanakan puasa merupakan kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam yang telah baligh dan berakal, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, kecuali apabila orang tersebut secara syara’ boleh diberikan keringanan (Rukhsah) untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan. Jika ada seseorang tidak melaksanakan puasa tanpa ada udzur syar’i , maka orang tersebut harus mengganti puasanya pada hari-hari lain setelah bulan Ramadhan berkahir. Seluruh Ulama sepakat bahwa orang yang diwajibkan mengqadha (mengganti) hari-hari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, baik karena ada udzur seperti sakit, perjalanan, haid dan sejenisnya maupun tanpa ada uzur misalnya tidak berniat dengan sengaja maupun karena lupa, dia harus mengqadhanya (menggantinya) pada tahun itu juga. Maksudnya, pada hari-hari antara Ramadhan yang ditinggalakan dengan Ramadhan yang berikutnya. Dan dia boleh memilih diantara hari-hari tersebut sesukanya, asalkan bukan pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa.

Oleh: Ali Imron
Mahasiswa tik. 3 Fakultas syariah islamiah Universitas Al-Azhar

Juli 16, 2019

,
Bangkitnya Umat Islam
               Agama islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling mulia yaitu, Nabi Muhammad SAW. Islam adalah agama yang sangat komplit dalam mengatur kehidupan pemeluknya.  Islam juga sebagai penyempurna dari agama sebelumnya. tak heran jika Allah menyebutkan dalam kitab-Nya bahwa islam adalah agama yang paling benar, dan akan tetap atuh hingga sampai hari kiamat. Namun belakangan ini, agama islam tampak selalu dipermainkan, dikucilkan dan dihina mati-matian. Sehingga seakan-akan islam yang dikatakan agama yang kuat itu, tampaknya menjadi agama yang lemah. Semua itu tak ada sebab lain,  kecuali karena adanya perpecahan dan perbedahan dari pemeluknya sendiri,  sehingga islam yang awalnya kuat, menjadi tidak tampak kuat, meskipun hakikatnya kuat.
Bagaimana Islam bisa bangkit kembali ?
Umat islam akan kembali bangkit dari ketergelincirannya selama ini dengan cara mengembalikan segala urusannya kepada aturan-aturan yang Allah SWT tetapkan, berupaya menyebarkan agama yang dianutnya, dan menjunjung  tinggi kalimat Allah “tauhid”. Bagaimana munkin umat islam tergelincir! sedangkan mereka memiliki dua sumber yang akan tetap utuh, yang mengatur undang-undang, metode, dan menjelasakan jalan hidup, serta membatasi segala tujuan dan kebebasan. yaitu;  al-Quran dan Sunnah.
Orang-orang islam masih memiliki unsur  at-Taghyir wa at-Tajdid ( pembaharuan ). Dari situlah islam mampu bangkit, berubah, dan mengambil sesuatu yang menyebabkan maju kembali. Allah telah berjanji bahwa Risalah Muhammadiyah tak akan pernah mati dan akan tetap terus berkembang  serta tetap dalam kebenaran.
Diriwayatkan dari Muslim,
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك  .
Artinya :  sekelompok dari umatku senantiasa berada dalam kebenaran, mereka tidak akan tepengaruh oleh orang yang menghinanya, sampai datang keputusan Allah, dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu .
Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 217 :
ولا يزالون يقاتلونكم حتى يردوكم عن دينكم إن استطاعوا ......الآية .
Artinya : mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu, sampai mereka dapat mengembalikanmu dari agamamu ( kepada kekafiran).
Mereka tidak akan pernah bisa melakukan semua itu kepada umat islam. Karena  kekuatan akidah mereka akan tetap kokoh sampai hari kiamat. Allah akan menyiapkan orang-orang untuk selalu membela agama-Nya, dan menaklukkan musuh-musuh-Nya.
                Masa depan adalah milik islam. Islam bukan hanya sebatas membagun syi’ar saja, yang meliputi keinginan dan harapan. Tapi islam adalah agama dan akidah. Kita harus yakin bahwa masa depan adalah milik islam. Karena seorang muslim tergantung keislamanya dan bagaimana dia beragama islam. Misalnya, Dengan cara memberi contoh sebagaimana yang diajarkan dalam islam. agar bisa benar-benar menjadi Syuhada’ a’la an-Nas dan Uswah . dengan demikian, islam akan bangkit dengan sendirinya, tanpa kita berbicara tentang islam, tapi islam sudah ada pada perilaku kita. Mereka akan terpengaruh, tertarik akan kedamaian islam, dan kita tak hanya menjadi Syahid (saksi) saja, tapi juga sebagai Uswah (contoh) bagi semuanya .
Allah berfir’fan  dalam surah Al-Baqarah ayat 143 :
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهدآء على الناس ....الآية
Artinya : dan demikian pula kami telah menjadikan kamu ( umat islam) yang pertengahan ( moderat ), agar kamu menjadi saksi atas pebuatan manusia.
                Jadi, islam itu tak berubah sama sekali; baik di masa lampau maupun di masa mendatang. Tak ada perbedaan antara islam di masa Rasul, Sahabat, Taabi’in dan masa kita sekarang. Hanya saja perbedaannya terletak pada orang yang membawakan islam seperti apa. Orang-orang islam terdahulu, membawa islam dengan memahami nash-nash ( ajaran islam) . sedangkan sekarang, islam butuh orang-orang yang membawa islam dengan mengikuti langkah-langkah  Salafuna as-Shalih, memahami islam dan memahami kejadian (kondisi). Dan ini sudah terjadi di masa lampau, bahwa kemenangan dan kemajuan muslimin tak akan nyata kecuali dengan mengikuti dengan manhaj islam dengan memperaktekannya dan berperilaku baik. Ketika semuanya sudah kembali kepada kemurnian islam, persatuan umat islam dan beretika sesuai islam, maka kemenangan dan kekuatan akan kembali dimiliki umat islam .

Oleh : Zain Jakfar
Fakultas Syari’ah Islamiyah





               




April 17, 2019

,

Dialektika kata dan makna menjadi diskusi yang menarik di meja para ahli bahasa, khususnya ulama balaghah. Sejak al-Jahizh menyatakan bahwa makna itu berseleweran di jalan;  makna bisa dipungut oleh siapa saja, baik penyair ataupun bukan, kata kemudian dipersepikan sebagai pusat dari makna.
Persepsi ini kemudian menjadi keyakinan bersama (common sense). Sehingga hal ini membuat gelisah Abdul Qahir al-Jurjani yang hidup dua abad setelah al-Jahizh. Bagi al-Jurjani, persepsi bahwa kata adalah akar dari makna, ini menciderai hakikat al-Bayan yang oleh al-Jahizh sendiri didefinisikan sebagai instrument mengungkap sebuah makna sehingga pendengar bisa sampai kepada makna yang dikehendaki oleh penutur. al-Bayan adalah media penutur dalam mengungkapkan makna yang dikehendakinya.
Sebelum al-Jurjani, makna dipersepsikan sebagai anak yang lahir dari kata, dengan bahasa yang berbeda, makna yang mengikuti kata, bukan kata yang mengikuti makna. al-Jurjani berusaha medekonstruksi pemahaman ini. Kesalahan persepsi ini bagi al-Jurjani berakar dari kesalahan sudut pandang dalam melihat kata. Jika dilihat dari sisi pendengar, maka yang tampak adalah makna mengikuti kata. Namun jika dilihat dari sisi penutur, kata lah yang mengikuti makna.
Bagi al-Jurjani, kata seharusnya tidak dilihat dari sisi pendengar, melainkan ia harus dilihat dari sisi penutur, sehingga proses terciptanya kata dimulai dari kehendak dan makna yang berada di dalam diri si penutur. Maka dalam pandangan al-Jurjani, relasi yang benar adalah kata mengikuti makna, dan makna mengikuti kehendak si penutur. Karenanya, dalam kajian ilmu balaghah, interpretasi teks atau kata harus sesuai dengan makna yang dikehendaki si penutur. Kehendak si penutur harus selalu hadir di dalam setiap interpretasi kita terhadap teks atau kata. Karenanya juga, Siyaq atau konteks menjadi sangat penting dipahami untuk memahami dan menemukan maksud dan kehendak si penutur, karena konteks lah yang mendorong si penutur untuk mengungkapkan makna dalam bentuk kata, sehingga kebenaran interpretasi, pemahaman dan pembacaan teks diukur dengan seberapa sesuai ia dengan maksud dan kehendak si penutur. Semakin dekat atau sesuai interpretasi itu dengan kehendak si penutur, semakin dekat pula ia kepada kebenaran. Sebaliknya, semakin interpretasi itu menjauhi kehendak si penutur, semakin jauh pula ia dari kebenaran.
Namun, apakah tidak ada celah dalam konsep yang dibangun al-Jurjani ini? Apakah selamanya petunjuk kata itu harus mengikuti dan sesuai dengan kehendak si penutur? Apakah setiap pemaknaan kita terhadap teks atau kata harus selalu mempertimbangkan maksud dan kehendak si penutur?
Sebenarnya dalam kajian ilmu balaghah sendiri, penutur tidak selamanya berkuasa atas bahasa, dalam artian makna kata tidak sepenuhnya berada dalam kendali si penutur. Hal ini karena watak dari bahasa itu sendiri yang bersifat kolektif. Power kolektifitas bahasa mengendalikan dan mengalahkan power kehendak si penutur.
Kolektifitas bahasa ini tidak hanya terdapat dalam kata tunggal, namun juga penyusunan kata dengan kata yang lain hingga ia menjadi kalimat yang sempurna. Hal ini terlihat dari pembagian ahli balaghah, dan juga logikawan, terhadap petunjuk kata secara koletkif (Dilalah al-Fadz al-Wadh’iyah).
Mereka membagi petunjuk kata ini ke dalam tiga bagian. Pertama,  petunjuk kata terhadap kesempurnaan maknanya (Muthabaqah). Kedua, petunjuk kata terhadap sebagian maknanya (Tadhammun). Ketiga, petunjuk kata terhadap makna luar yang menjadi keniscayaan dari makna dasarnya (Iltizam).
Ketiga dilalah ini, dalam pandangan ulama balaghah sendiri, khususnya Sa’ad al-Taftazani dalam al-Muthawwal, bersifat kolektif. Dan kita tahu bahwa tidak ada susunan bahasa baik hakikat, majas, tasybih, isti’arah dan yang lainnya, yang keluar dari tiga bagian dilalah ini. Itu artinya, kata majas pun harus tunduk terhadap kolektifitas bahasa. Penutur tidak sepenuhnya bebas menggubah kata-kata majas.
Kolektifitas dilalah kata ini menjadikan kehendak si penutur tidak bagitu penting dalam interpretasi dan pemaknaan. Petunjuk kata yang terucap tidak lagi mengikuti kehendak si penutur. Melainkan ia mengikuti kolektifitas bahasa itu sendiri. Artinya, tolak ukur kebenaran interpretasi bukan kesesuaiannya dengan kehendak si penutur, melainkan seberapa sesuai ia dengan makna yang diamini oleh kolektifitas bahasa.
Belum lagi kalau kita membicarakan pandangan Roland Barthes yang mengatakan bahwa tulisan adalah kuburan si penulis (lihat “The Death of Author”). Bagaimanakah sebenarnya hakikat relasi kata, makna dan kehendak menurut pembaca yang budiman?


                                                                                                                      Oleh : Rahmat Miskaya LC.

September 26, 2018

,




(Ternyata Sayyidina Ali juga Humoris)

Ketika Sayyidina Ali Amirul Mukminin masuk masjid, tiba-tiba ada anak muda menangis tersedu-sedu. Ali-pun bertanya : "apa yang membuatmu menangis? ". Pemuda itu menjawab : "Syuraih memutuskan masalah tidak benar!". Berceritalah pemudah tersebut panjang lebar; begini_sambil menghala nafas­­­­_ayahku kemarin pergi bersama rombongan dengan membawa harta yang cukup banyak, ketika rombongan itu pulang ayahku ternyata tidak bersama mereka, aku-pun terkejut dan bertanya, dimana ayahku? Ayahmu meninggal, kata rombongan itu. Aku-pun bertanya lagi, terus bagaimana dengan harta yang dibawa ayahku? Lah.. ayahmu tidak membawa harta sedikitpun.

Akhirnya aku membawa para rombongan itu pada Syuraih agar diadili. Syuraih menyelidiki mereka dengan bertanya, dimana ayah anak muda ini? Mereka menjawab: mati. Dimana harta yang dibawa? Dia tidak membawa apa-apa. Kemudian mereka bersumpah. Hingga akhirnya Syuraih membuat keputusan yang menguntungkan meraka sendiri, karena saya tidak punya bukti. Begitulah wahai Amirul Mukminin kenapa saya menangis ditempat ini, padahal saya tau kalau ayahku banyak sekali membawa harta.

Ketika Ali selesai mendengar keluh kesah anak muda tersebut, barulah Ali berkata dengan nada teguran pada Syuraih : "Jauh sekali engkau wahai Syuraih! Beginakah engkau memecahkan masalah?”

Ali-pun menunjukkan kecerdasan dan kepiawaiannya dalam menuntaskan masalah dengan cara unik, sulit diterka, lucu dan menggemaskan, menggambarkan beliau sosok yang tidak selalu tegang, terlalu serius mengerutkan dahi tapi justru beliau terkesan homuris pada waktu itu dalam mencari kebenaran dari sebuah masalah yang rumit penuh dengan persekongkolan.

Ali memberi perintah supaya para rombongan tersebut dipisahkan dan kapalanya ditutup dengan sebuah kain. Dan satu-persatu dari meraka dipanggil untuk diinterogasi dengan dihadiri sekumpulan masyarakat. Ali berkata pada masyarakat yang hadir : "nanti kalau saya bertakbir "Allahu Akbar", kalian jangan lupa bertakbir sekeras-kerasnya ya.." mufakat dan konspirasi-pun terjalin antara Ali dan masyarakat.

Satu diantara rombongan masuk ruangan memenuhi panggilan dan ditanya dalam keadaan bungkusan kain dikepalanya dibuka. Hari apa engkau keluar bersama bapak anak muda ini? Hari ini, bulan ini, dan tahun ini. Jawab orang tersebut. Ali bertanya lagi: di tempat mana bapak anak muda ini meninggal? Di daerah fulan. Jawab lagi. Apa penyakitnya, berapa hari yang sakit? Sakitnya begini, dan sakit selama begini (menyebut jumlah harinya). Mati hari apa, siapa yang mengurus jenazahnya, dengan apa ia dikafani, siapa yang mensholati dan siapa mengurus kuburannya? Ia-pun menjawab keselurahan pertanyaan Sayyidina Ali.

Sayyidina Ali memberi perintah supaya kepala lelaki yang sudah diintrogasi ditutup lagi dengan kain yang sudah dipakai dan giring masuk kedalam penjara. Pada moment inilah Sayyidina Ali bertakbir selantang-lantangnya dengan diikuti pekikan takbir jamaah "Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar" hingga kerasnya takbir bersamaan tersebut terdengar keras sekali ditelinga para "rombongan" yang akan diintrogasi selanjutnya, membuat mereka ragu dan bimbang akan pengakuan temannya yang sudah diintrogasi. Takbir "Allahu Akbar" mengesankan kalau yang diintrogasi mengakui kesalahan dan membuka kebenaran fakta.

Tibalah pada sesi introgasi selanjutnya dan memanggil diantara rombongan yang lain. Ia duduk dengan keadaan kain puntup kepala dibuka. Ali-pun bergagas cepat mengeluarkan pertanyaan seakan Ali sudah mengetahui duduk masalahnya dengan suara yang penuh kharisma : "engkau mengira aku tidak mengetahui apa yang kalian lakukan". Dia-pun menjawab terbata-bata, gemetar mengira kalau Ali memang sudah tau fakta sebenarnya : "Wahai Amirul Mukminin, ia saya termasuk diantara kaum yang membunuhnya". Lelaki kedua yang diintrogasi ini mengaku, dan dia dibawa ke penjara dengan disertai pekikan takbir berjamaah membuat semua peserta rombongan yang lain mengakui juga tindak kriminal pembunuhan dan pengambilan harta bapak si anak muda. Bahkan Ali juga memanggil lagi lelaki pertama rombongan yang sudah diintrogasi dengan mengakui kesalahannya.
Begitulah Sayyidina Ali memecahkan permasalahan yang rumit dengan cara yang unik, lucu, menggemasakan dan tepat. Sosok Amirul Mukminin yang dikenal akan keilmuannya dan diakui kepekaannya dalam memutuskan masalah oleh kekasih tercitanya -Sayyidina Muhammad- ternyata juga humoris dalam mencari fakta dibalik konspirasi berjemaah para "romabangan" sebagaimana di muka. Ternyata pekikakan "takbir" mampu mengelabuhi dan membuka fakta.

Oleh: Abdul Adzim HS
Sumber : kitab Ali bin Abi Tholib Hakiman wa Faqihan, karya Dr. Hamid Jamik

Agustus 18, 2018

,


Bulan Dzulhijjah merupakan bagian diantara bulan-bulan yang oleh Allah SWT berikan banyak keutamaan-keutamaan, karena didalamnya terdapat rukun Islam yang ke 5 yang hanya bisa dilakukan setahun sekali tepatnya di 10 Dzulhijjah yaitu ibadah haji. Disamping itu, di bulan ini kita bisa mengenang sejarah perjuangan, kesabaran, dan ketabahan keluarga Nabi Ibrahim As,  sehingga kita bisa mengambil I'brah dan Hikmah dari perjuangannya. Oleh karena itu, Allah SWT mengkatagorikan bulan ini bagian dari أشهرحرم yaitu bulan-bulan yang Allah haramkan untuk berperang. Apa saja Bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang? Ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa أشهرحرم yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab.
Allah berfirman :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِعِنْدَاللَّهِ اثْنَاعَشَرَشَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌحُرُمٌ....... الآية

Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah, di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Allah berfirman :
والفجر وليال عشر

Demi fajar, dan malam yang sepuluh,” (QS. Al-fajr: 2)

Makna sepuluh di sini, sebagaimana yang disepakati ahli tafsir, adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah.

Tidaklah Allah bersumpah dengan sesuatu melainkan karena agungnya makhluk atau waktu tersebut.
Adapun amalan-amalan yang sunnah dilakukan di bulan Dzulhijjah ini sebagai berikut :

1.       Memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda :

مَامِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا: يَارَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ: وَلاَالْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّرَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.

Artinya: “Tidak ada hari dimana suatu amal shalih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah ).” Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh ).” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzi).

2.       Puasa 9 Hari pertama dan Puasa Arofah

Abu Qatadahradliallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفّرالسنة التي قبله ،والسنة التي بعده.

Puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa.) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..” (HR. Ahmad dan Muslim).
Dari Ummul Mukminin, Hafshah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa asyura, sembilan hari pertama Dzulhijjah, dan tiga hari tiap bulan. (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Ahmad).

3.       Memperbanyak dzikir, takbir dan tahlil

Hadis dari Abdullah bin Umar , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مامن أيام أعظم عندالله ولاأحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشرفاكثروا فيهن من التهليل والتكبيروالتحميد

Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad dan Sanadnya dishahihkan Syekh Ahmad Syakir).

Bahkan para sahabat radhiallahu ‘anhum bertakbir di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَوَأَبُوهُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُالنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan kalimat takbir kemudian orang-orang pun bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Bukhari secara muallaq, Bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

4.       Shalat Idul Adha

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau berkata :

قدم رسول الله –صلى الله عليه وسلم- المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال « ماهذان اليومان ». قالوا كنا نلعب فيهما فى الجاهلية. فقال رسول الله –صلى الله عليه وسلم- « إنالله قدأبدلكم بهماخيرامنهما يوم الأضحى ويوم الفطر

Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman jahiliyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik: Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad).

5. Menyembelih Qurban

Allah berfirman:

فصل لربك وانحر

Laksanakanlah salat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar: 2).

Rasulullah bersabda :

Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya& bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” [HR. Ibnu Majah].

Semua yang penulis sebutkan di atas hanya bagian dari keutamaan-keutamaan yang Allah berikan kepada kita di bulan Dzulhijjah ini, dan masih banyak keutamaan-keutamaan lainnya yang masih belum disebutkan.

Hampir semua amal ibadah yang dilakukan, dimulai dari kegiatan-kegiatan haji sampai disunnahkannya qurban adalah kisah dari keluarga Nabi Ibrahim As. Tujuannya; disamping ada nilai-nilai ibadah, juga supaya kita bisa mengingat dan meneladani dari kisah Nabi Ibrahim yang salalu berhasil melewati rintangan-rintangan, cobaan, dan kesabaran ketika Allah menguji hamba-Nya. Mulai dari menghadapi Raja Namrud dan kaum penyembah berhala. Dibakar, dipisahkan jauh dari istri "Hajar" dan anaknya "Ismail" sampai diperintah untuk menyembelih putranya "Ismail" juga berhasil. Seperti firman Allah :

وَإِذِابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَايَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِين

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Dan yang terakhir , semoga kita bisa mengambil Hikmah, I'brah dan bisa meneladani dari kisah-kisah yang telah lampau.

Allah berfirman :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ..... الآية

Artinya : sesungguhnya telah ada pada kisah-kisah mereka pengajaran bagi orang-orang yang punya akal.

WallahuA'lam.


                                                                                                                          Oleh : Zain Jakfar

Agustus 17, 2018

,


Berbicara ilmu, sampai kapan pun tidak akan pernah ada ujungnya. Begitu banyak nas al-Qur’an dan as-Sunnah yang berbicara tentang keagungannya dan keutamaan bagi penuntutnya. Dalam kitab “al-Fawaid al-Makkiyah Fima Yahtajuhu Tholabatu as-Syafiiyah”, karya Syaikh ‘Alawi bin Ahmad bin Abdurrahman as-Saqof as-Syafii al-Makki disebutkan bahwa mayoritas Ulama Mujtahidin mengatakan: “Sesungguhnya mengembara Ilmu lebih utama daripada melakukan Sholat sunnah, apabila benar-benar diniatkan karena Allah."

Tak heran jika Ulama-ulama terdahulu begitu menguasai subtansi dari Ilmu, terlebih Ilmu Agama. Selain karena tidak terganggu dengan adanya sosmed seperti di era yang serba canggih ini, mereka juga sangat betul-betul memperhatikan tata-cara menuntut Ilmu yang diajarkan oleh sang Baginda dan para sahabat-sahabatnya. Berbeda dengan kita, yang hampir 80% dari jangka waktu satu hari satu malam, kita gunakan hanya untuk hal-hal yang bisa dikatakan sangat merugikan.

Imam Muhyiddin Zakaria Yahya bin Syarf an-Nawawi. Nama yang sangat tidak asing lagi di telinga kita, khususnya penganut Syafi’iyah. Beliau merupakan salah satu Ulama Syafiiyah yang sangat terkemuka. Begitu tabahhur (mendalami) Ilmu-ilmu agama yang berbau Syafi’i. Salah satu Ulama’ dari minoritas Ulama yang sampai akhir hayatnya tidak sempat merasakan indahnya beribadah bersama wanita (Menikah).

Suatu ketika Beliau ditanya:

“Ya Maulana, mengapa engkau tidak menikah?”

Dengan seuntai senyum dan nada lembutnya beliau menjawab:

“Aku lupa”

Saking besarnya kecintaan Imam Nawawi terhadap Ilmu, hingga membuatnya lupa bahwa di dunia ini masih ada kaum Hawa.

Berbicara keistimewaan sosok Imam Nawawi, tidak hanya sampai di situ saja, masih banyak kisah-kisah yang menceritakan sifat manusiawinya yang dapat dan baik kita teladani. Tak sedikit dari Ulama-ulama besar yang kagum terhadapnya, termasuk Imam Ibnu Malik (Pengarang nadzom Nahwu yang sangat terkenal “Alfiah Ibnu Malik”) yang merupakan Guru dari Imam Nawawi, merasa sangat kagum terhadap muridnya tersebut, sehingga Beliau mencantumkan sosok Imam Nawawi pada salah satu bait dalam kitab karangannya:

ولا يجوز الابتدا بالنكره...مالم تفد كعند زيد نمره
وهل فتى فيكم فما خل لنا...ورجل من الكرام عندنا   

Yang dimaksud oleh Ibnu Malik pada lafadz ورجل من الكرام عندنا adalah Imam Nawawi. Kemudian, tak hanya itu saja, masih banyak lagi Ulama yang semasa dengannya, bahkan Ulama yang hanya mengenal Imam Nawawi dari karya-karyanya pun sangat mengaguminya, salah satunya yaitu Imam Taqyuddin as-Subki. Diceritakan bahwa suatu ketika Imam as-Subki pergi ke suatu tempat dimana Imam Nawawi mengajar Hadist di tempat tersebut waktu hidupnya dulu. Kemudian Imam as-Subki bertanya terhadap sekelompok orang yang ada di tempat tersebut dimana posisi Imam Nawawi ketika mengajar Hadist. Lalu salah satu dari mereka memberi tahu Imam as-Subki tempat Imam Nawawi ketika mengajar seraya menunjuk pada sehelai sajadah yang diduduki Imam Nawawi. Dengan keadaan senang dan rindu terhadap sosok Imam Nawawi, Imam as-Subki langsung menundukkan kepalanya, mencium sajadah tersebut seraya berkata:

وفي دار الحديث لطيف معنى * على بسط لها أصبو وآوي
عساي أن أمس بحر وجهي * ترابا مسه قدم النووي


Ya Rob!

Jadikanlah kami sebagai orang yang tidak pernah lelah dalam mengembara Ilmu-Mu, tidak pernah menyerah dalam berusaha mendapatkan Ridlo-Mu, tidak pernah malas dalam mengharap Syafaat kekasih-Mu, Muhammad SAW.

Oleh: Senja Bertasbih

Agustus 05, 2018

,















Maraknya  semangat  beragama  pada sebagian kalangan menjadikan mereka lebih gemar memperhatikan yang tampak simpel dan sederhana. Beranggapan bahwa dengan terjemahan beberapa ayat dan hadis sudah cukup baginya untuk menjadi seorang  yang benar-benar mengerti agama (Red. alim). Padahal kedua sumber sakral tadi sangat tidak layak untuk dikonsumsi khalayak tanpa bekal yang memadai. Nabi bahkan sangat mengancam mereka yang berbicara mengenai al-Quran tanpailmu, “Barang siapa berbicara tentangisi al-Quran  tanpa ilmu maka bersiaplah ia mendekam dalam neraka” sedang yang berkaitan dengan hadits beliau menyampaikan, “Barangsiapa berdusta dengan sengaja atas namaku maka bersiaplah ia mendekam dalam neraka”.

Kelalaian terhadap 2 dalil tadi nampaknya mengekor pada kelengahan untuk serta-merta menyalahkan hal-hal yang tidak mereka temukan secara mata telanjang (Red. Tanpa bekal) dalam kedua nash. Maka tidak heran jika kemudian lahir berbagai sangkaan bahwa yang tidak ada dizaman Nabi ―menurut mata telanjang mereka― adalah sebuah kesesatan yang wajib dimusnahkan. Tasawuf misalnya.

Tudingan bahwa Tasawuf adalah bid’ah dan sesat akan berdampak pada penyesatan spektrum yang lain seperti Tariqah, Maulidan, Ziarah kubur atau hal serupa yang sebenarnya bertujuan melembutkan hati untuk kemudian bisa merasakan nikmatnya sebuah syariat.

Dalam sejarahnya, Tasawuf mengalami metamorfoses seperti halnya bidang ilmu yang lain. Pada masa Nabi, Tasawuf masih sebagai amaliyah dan tersimpan rapi dalam fikiran serta hati para sahabat. Baru pada generasi ketiga mulailah bermunculan berbagai karya bersama tokoh-tokohnya semisal al-Wasaya dan al-Ri’ayah karya al-Muhasibi, al-Ta’arruf Li madzhabi Ahli Tasawwuf  karya al-kalabadzi, al-Luma’ karya al-Tushi, Quwwatu al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki dan al-Risalah karya al-Qusyairi.

Kemudian lahirlah pada abad ke-5 seorang al-Ghazali bersama karya monumentalnya “Ihya’ Ulumuddin”. Bahkan banyak tokoh-tokoh setelahnya  yang sengaja menyusun biografi tokoh-tokoh pelaku tasawuf  (Red. sufi) dari abad pertama. Seperti: Tabaqat al-sufiyah, Shafwatu al-Sofwah, kaukabu al-Durriyah dan karya-karya senada lainnya. Sehingga kita mengenal sosok Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham atau Fudhail bin Iyadh. Dan dari karya-karya yang ada, kita akhirnya mengetahui Tasawuf sebagai Ilmu yang disana banyak istilah baru seperti: Sufi, Tariqah, Maqam, Kasyaf, Asrar dan sebagainya.

Sedang dari segi esensi ajaran sejatinyaTasawuf merupakan penjabaran luas tentang Ihsan dalam hadits Jibril. Ihsan yang seringkali disebut sebagai elemen ketiga agama juga tak kalah penting peranannya bagi kehidupan. Pasalnya, Tasawuf seolah oase bagi seorang hamba dalam perjalanan rigid mengarungi syariat bersama hukum-hukumnya yang cenderung militan. Lebih lugasnya, ketika syariat memungkinkan untuk menjadikan seorang sampai pada rasa lebih baik dari “orang lain” Tasawuf mengingatkan bahwa harusnya ia lebih baik dari “hari kemarin.” Jika dalam syariat membuat seorang cenderung menilai salah-benarnya “orang lain”. Namun Tasawuf yang lalu menyadarkan bahwa penilaian itu hendaknya untuk “diri sendiri”.

Dalam Tasawuf, seorang hamba digiring untuk merasakan manisnya syariat, merasakan kerinduan, cinta dan keindahan meskipun sesugguhnya lelah memangku tanggungjawab syariat. Seorang hamba diarahkan untuk lebih inten dalam upaya membersihkan hati dari sifat tercela, menghiasi dengan segala akhlak terpuji sehingga kemudian bisa melihat keindahan anugerah Tuhan dengan penuh keyakinan.

Syekh Amru wardani pernah ditanya mengenai Tasawuf, beliau dengan lugas menjawab; Tasawuf adalah sarana untuk seorang hamba belajar berkahlak.

Bertolak dari data-data yang telah terkuak diatas, semakin terang bahwa Tasawuf bukanlah suatu hal yang bid’ah atau cabang ilmu yang asing dan pantas diperselisihkan. Ia juga mengalami beberapa etape seperti ilmu-ilmu lain pada umumnya. Berawal dari Tasawuf  yang hanya sebagai “amali” menjadi Tasawuf  “Ilmi”.

Maka jika ada yang berseloroh: Tapi istilah tasawuf tidak ada di zaman Nabi, di zaman sahabatpun tidak ada yang menyebutkan dan yang ada malah banyak dari pelaku tasawuf menyimpang dengan mengabaikan syariat, karenanya kita harus menolak tasawuf. 

Kita jawab: Iya benar, Istilah Tasawuf tidak ada di zaman Nabi bahkan yang berkaitan seperti Tarikat, Maqam, Kasyaf, Asrar dan seterusnya tidak pernah ada yang menyebutkan. Begitupula ilmu Aqidah, fiqih, ulumul hadits, Jarhwa al-ta’dil dan ilmu-ilmu yang kita kenal sekarang seperti ilmu tentang obat-obatan (pharmacology), biologi, arkeologi, psyhicologi dan berbagai ilmu lain yang sudah kita rasakan bersama manfaatnya apakah lantas kita akan menolak semua ilmu itu?. Seandainya anda termasuk dari kalangan para ulama tentu anda sudah mendengar tentang sebuah kaidah masyhur yang mengatakan bahwa, “Tidak ada perdebatan dalam istilah”

Karenanya anda boleh menyebut Tasawuf adalah Ilmu Ihsan, Ilmu Tazkiyatun Nafsi atau ilmu akhlak. Jika merasa keberatan dengan istilah Tasawuf. Kita memang tidak menemukan istilah Tasawuf dimasa nabi, namun juga bukan berarti menjadi alasan untuk kita menafikan eksistensi ilmuyang secara alamiah menghiasi perjalanan Nabi dan para sahabat.

Sedang berkenaan dengan penolakan Tasawuf karena adanya oknum yang menyimpang di dalamnya, saya kira merupakan keputusan yang gegabah. Bukankah didalam ilmu hadits bisa saja seorang perawi membuat-buat riwayat palsu yang dampaknya merusak agama, bukankah ilmu aqidah juga barangkali dapat menimbulkan keraguan terhadap Tuhan dan semangat yang mengarah ke atheis atau minimal menjadi muktazilah jika terlampau menggunakan akal, dan bukankah setiap cabang ilmu memiliki potensi buruk dari oknum yang menggelutinya? Lantas apakah kita akan menolak semua cabang ilmu yang ada karena adanya penyimpangan oleh segelintir orang yang ada di dalamnya? Saya hanya tidak ingin mendengar, karena ada siswa yang bolos sekolah, lalu ada yang berdemo untuk membubarkan semua sekolah ditanah air.

Kalau kita menengok balik sejarah, banyak akan kita temukan para tokoh besar yang berkhidmah terhadap agama dan ternyata ia adalah seorang Sufi. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, penulis Fathu al-Bari syarah Sahih al-Bukhari adalah seorang Sufi, dimana beliau lalu menyusun biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang Sufi dan wali besar yang dijuluki “Raja Para Wali” di zamannya. Begitupula Imam Nawawi, pensyarah Sahih Muslim beliau adalah seorang sufi, dimana beliau mengarang Bustanu al-Arifin. Dan Imam-imam madzhab dalam bidang Aqidah dan Fiqhpun mayoritas adalah Sufi. Bahkan seorang Salahuddin al-Ayyubi, sang pembebas al-Quds pertama adalah seorang sufi.

Tasawuf sangat dibutuhkan oleh setiap zaman dan oleh setiap hamba. Selain karena memang intens topik yang diulas adalah berkaitan dengan hati sehingga memungkinkan melahirkan seorang hamba yang berkarakter, disana juga berbagai penyakit hati beserta obatnya dibahas tuntas, disana ditunjukkan bagaimana beretika baik terhadap sesama atau pencipta. Selebihnya seperti yang penulis tegaskan bahwa Tasawuf adalah oase di tengah rigidnya mempertahankan syariat.
Ilmu Syariat dan Ilmu Tasawuf adalah satu hidangan yang hendaknya seorang muslim sama-sama menyantapnya. Keduanya merupakan sepiring makanan dan segelas minuman, bayangkan jika kita hanya menikmati salah satunya, iya benar, kita tidak akan merasakan kenyang dengan sempurna [*] 

ZIS AHMAD ZAINAL ABIDIN
(MahasiswaFakultasDirasat Islamiyah Wal Arabiyah)

Follow Us @soratemplates