,
Bismillahial-Rahman al-Rahiim
Doa kami untuk warga yang sedang tertimpa musibah di lombok utara,
Mataram dan sekitarnya serta saudara kami yang berada di Bali, “Semoga
senantiasa diberi kesabaran, keselamatan, dan tidak ada korban jiwa”.
Di tengah-tengah fenomena gempa bumi, beredar beberapa video para
jamaah yang sedang melaksanakan salat. Ada jamaah yang tetap melanjutkan
salatnya tanpa berhenti lalu keluar menyelamatkan diri, ada pula jamaah yang
lari seketika untuk menyelamatkan dirinya.
Menurut kaca maca fikih, Apakah dalam kondisi demikian diperbolekan
untuk berhenti untuk menyelamatkan diri ataukah tetap melanjutkan lalu
membiarkan dirinya tertimpa reruntuhan bangunan?
Perlu diketahui bahwa salat merupakan ibadah murni yang diwajibkan
kepada seluruh umat Islam sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Salat fardhu
-sebagaimana tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah- tidak boleh ditinggalkan dalam
kondisi apapun, baik dalam kondisi sakit, peperangan, dan perjalanan. Namun
demikian, dalam kondisi yang lain syariat memberi keringanan (Rukhsah) kepada hambanya sesuai dengan
situasi tertentu, seperti salat dengan kondisi duduk atau berbaring bagi yang
tidak mampu, menggabungkan (jamak) atau memangkas (qasar) salat menjadi dua
rakaat dalam salat yang mempunyai empat
rakaat bagi orang yang bepergian. Karenanya, orang yang meninggalkan
salat dengan sengaja dan atau malas melakukannya dianggap dosa besar sekiranya
wajib baginya untuk bertaubat atau diminta taubat.
Mengenai kasus memutuskan salat, di dalam kitab
mausu’ahfiqhiyahkuwaitiyah disebutkan bahwa memutuskan salat dalam kaca mata
fikih terbagi menjadi dua bagian :
Pertama : memutuskan salat tanpa sebab
syar’i.
Artinya seseorang yang telah memulai dan masuk dalam kondisi salat
yaitu tidak perkenankan untuk memutuskan salat tanpa adanya sebab syar’i yang
mendorong untuk keluar dari salat. Sebab, hal ini dinilai mempermainkan ibadah dan dianggap tidak serius dalam
menghadap kepada Allah swt. Karenanya, al-Qur’an surat Muhammad : 33 menegaskan
“agar sesekali tidak membatalkan ibadah (sebelum selesai).”
Kedua : memutuskan salat sebab syar’i.
Memutuskan salat ditengah-tengah salat diperbolehkan selama ada
dorongan syar’i dan bersifat mendesak, seperti berhenti untuk membunuh ular
sekiranya dapat membunuh dirinya atau orang lain, dikhawatirkan hartanya dicuri
orang, menolong orang yang tenggelam, membangunkan orang tidur sekiranya dapat
dijelma ular dan lain sebagainya.
Lebih spesifik lagi, Dr. WahbahZuhaili membagi “Qat’u Salah” ke
dalam dua kategori hukum ; wajib dan boleh. Wajib memutuskan salat yaitu jika
berada dalam kondisi darurat seperti membantu orang lain yang tenggalam, dan
melihat orang lain dianiaya sementara dia mampu membantunya. Adapun yang
diperbolehkan memutuskan salat yaitu jika terdapat udzursyar’i seperti hartanya
dicuri orang, memasak masakan hingga terbakar, serta khawatir ditinggal oleh
kelompoknya saat musafir, dll. (lihat Fiqhhul Islami Waadillatuhu.
DrWahbahZuhaili. Juz 2/ 220).
Hal demikian senada dengan pernyataan syehal-Malibari dalam bukunya
fathulMu’in yang kemudian dikomentari oleh Sayyid Abu Bakar bahwa wajib
hukumnya mengakhirkan salat bagi seorang mushalli yang melihat orang lain
tenggelam, membela atau menjaga diri, menjaga harta dan sejenisnya, meskipun
(dikhawatirkan) keluar waktu salat, baik berupa salat isyak maupun lainnya.
(lihat I’anahThalibin juz 1 hal. 191 dan Nihayatul Muhtaj juz 2/372).
Adapun persoalan salat saat terjadi gempa yaitu sama dengan salat
dalam kondisi darurat, dimana seorang mushalli boleh memutuskan salatnya untuk
menyelamatkan diri bahkan berpotensi wajib jika dikhawatirkan merenggut nyawa,
baru kemudian mengulangi salatnya kembali selama berada dalam waktu salat atau
mengqadainya sepanjang waktunya telah keluar. Hal demikian semata-mata demi
menjaga keselamatan dirinya dengan pertimbangan jika tetap melanjutkan salat
dikhawatirkan terkena tumpukan bangunan yang pada akhirnya merenggut nyawa.
Dari sudut pandang maqashid syariah (tujuan Syariah) pula, Islam sangat
menjaga dan menjujung tinggi jiwa manusia. Islam senantiasa menjaga umatnya
agar berada di dalam jalur kehidupan yang nyaman dan damai. Hal ini karena jiwa
merupakan anugerah mulia yang diberikan kepada umat manusia demi memenuhi
kebutuhan hidup bersama. Karena itu pula tidak heran apabila Syeh Ali Jum’at
mantan mufti Mesir mengedepankan unsur jiwa di dalam rumusan Maqashid syariah
sebagai berikut ; menjaga jiwa, akal,
agama, keturunan dan harta. (lihat al-MadkhalIlaaDirasatial-Madzahibial-Fiqhiyah
Hal. 393).
Dengan demikian dapat ditarik benang putih bahwa seorang mushalli
diperkenankan memutuskan salat selama terdapat sebab syar’i dan bahkan wajib
hukumnya jika dikhawatirkan dapat membunuh dirinya sendiri atau jiwa orang lain
serta pula mengulangi salatnya selama masih berada di dalam waktu salat atau
mengqada salatnya sepanjang telah keluar dari waktu salat. Wa Allahu A’lam.
Muchtar Makin Yahya