Agustus 08, 2018

*Memutuskan salat sebab terjadi gempa*






Bismillahial-Rahman al-Rahiim

Doa kami untuk warga yang sedang tertimpa musibah di lombok utara, Mataram dan sekitarnya serta saudara kami yang berada di Bali, “Semoga senantiasa diberi kesabaran, keselamatan, dan tidak ada korban jiwa”.

Di tengah-tengah fenomena gempa bumi, beredar beberapa video para jamaah yang sedang melaksanakan salat. Ada jamaah yang tetap melanjutkan salatnya tanpa berhenti lalu keluar menyelamatkan diri, ada pula jamaah yang lari seketika untuk menyelamatkan dirinya.

Menurut kaca maca fikih, Apakah dalam kondisi demikian diperbolekan untuk berhenti untuk menyelamatkan diri ataukah tetap melanjutkan lalu membiarkan dirinya tertimpa reruntuhan bangunan?

Perlu diketahui bahwa salat merupakan ibadah murni yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Salat fardhu -sebagaimana tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah- tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi sakit, peperangan, dan perjalanan. Namun demikian, dalam kondisi yang lain syariat memberi keringanan  (Rukhsah) kepada hambanya sesuai dengan situasi tertentu, seperti salat dengan kondisi duduk atau berbaring bagi yang tidak mampu, menggabungkan (jamak) atau memangkas (qasar) salat menjadi dua rakaat dalam salat yang mempunyai empat  rakaat bagi orang yang bepergian. Karenanya, orang yang meninggalkan salat dengan sengaja dan atau malas melakukannya dianggap dosa besar sekiranya wajib baginya untuk bertaubat atau diminta taubat.

Mengenai kasus memutuskan salat, di dalam kitab mausu’ahfiqhiyahkuwaitiyah disebutkan bahwa memutuskan salat dalam kaca mata fikih terbagi menjadi dua bagian :

Pertama : memutuskan salat tanpa sebab syar’i.

Artinya seseorang yang telah memulai dan masuk dalam kondisi salat yaitu tidak perkenankan untuk memutuskan salat tanpa adanya sebab syar’i yang mendorong untuk keluar dari salat. Sebab, hal ini dinilai mempermainkan  ibadah dan dianggap tidak serius dalam menghadap kepada Allah swt. Karenanya, al-Qur’an surat Muhammad : 33 menegaskan “agar sesekali tidak membatalkan ibadah (sebelum selesai).”

Kedua : memutuskan salat sebab syar’i.

Memutuskan salat ditengah-tengah salat diperbolehkan selama ada dorongan syar’i dan bersifat mendesak, seperti berhenti untuk membunuh ular sekiranya dapat membunuh dirinya atau orang lain, dikhawatirkan hartanya dicuri orang, menolong orang yang tenggelam, membangunkan orang tidur sekiranya dapat dijelma ular dan lain sebagainya.

Lebih spesifik lagi, Dr. WahbahZuhaili membagi “Qat’u Salah” ke dalam dua kategori hukum ; wajib dan boleh. Wajib memutuskan salat yaitu jika berada dalam kondisi darurat seperti membantu orang lain yang tenggalam, dan melihat orang lain dianiaya sementara dia mampu membantunya. Adapun yang diperbolehkan memutuskan salat yaitu jika terdapat udzursyar’i seperti hartanya dicuri orang, memasak masakan hingga terbakar, serta khawatir ditinggal oleh kelompoknya saat musafir, dll. (lihat Fiqhhul Islami Waadillatuhu. DrWahbahZuhaili. Juz 2/ 220).

Hal demikian senada dengan pernyataan syehal-Malibari dalam bukunya fathulMu’in yang kemudian dikomentari oleh Sayyid Abu Bakar bahwa wajib hukumnya mengakhirkan salat bagi seorang mushalli yang melihat orang lain tenggelam, membela atau menjaga diri, menjaga harta dan sejenisnya, meskipun (dikhawatirkan) keluar waktu salat, baik berupa salat isyak maupun lainnya. (lihat I’anahThalibin juz 1 hal. 191 dan Nihayatul Muhtaj juz 2/372). 

Adapun persoalan salat saat terjadi gempa yaitu sama dengan salat dalam kondisi darurat, dimana seorang mushalli boleh memutuskan salatnya untuk menyelamatkan diri bahkan berpotensi wajib jika dikhawatirkan merenggut nyawa, baru kemudian mengulangi salatnya kembali selama berada dalam waktu salat atau mengqadainya sepanjang waktunya telah keluar. Hal demikian semata-mata demi menjaga keselamatan dirinya dengan pertimbangan jika tetap melanjutkan salat dikhawatirkan terkena tumpukan bangunan yang pada akhirnya merenggut nyawa.

Dari sudut pandang maqashid syariah (tujuan Syariah) pula, Islam sangat menjaga dan menjujung tinggi jiwa manusia. Islam senantiasa menjaga umatnya agar berada di dalam jalur kehidupan yang nyaman dan damai. Hal ini karena jiwa merupakan anugerah mulia yang diberikan kepada umat manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama. Karena itu pula tidak heran apabila Syeh Ali Jum’at mantan mufti Mesir mengedepankan unsur jiwa di dalam rumusan Maqashid syariah sebagai berikut  ; menjaga jiwa, akal, agama, keturunan dan harta. (lihat al-MadkhalIlaaDirasatial-Madzahibial-Fiqhiyah Hal. 393).

Dengan demikian dapat ditarik benang putih bahwa seorang mushalli diperkenankan memutuskan salat selama terdapat sebab syar’i dan bahkan wajib hukumnya jika dikhawatirkan dapat membunuh dirinya sendiri atau jiwa orang lain serta pula mengulangi salatnya selama masih berada di dalam waktu salat atau mengqada salatnya sepanjang telah keluar dari waktu salat. Wa Allahu A’lam.

 Muchtar Makin Yahya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates