Mei 25, 2020

,
Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Saya pernah menjumpai tulisan begini: "Barang siapa yang menyembah Ramadan, ia telah usai. Dan barang siapa yang menyembah Allah Swt, ia tetap kekal sepanjang masa."

Ungkapan di atas bentuk dakwah untuk tidak meninggalkan kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama Ramadan. Kebaikan tersebut murni karena ibadah kepada Allah, bukan (ibadah) kepada Ramadan. Jadi, bisa dilakukan meskipun Ramadan telah usai.

Beribadah bisa kapan saja dan di mana pun, cuma ada masa-masa tertentu dan di tempat khusus nilai ibadah lebih istimewa dari lainnya. Iya, semisal di bulan Ramadan atau ibadah di tanah haram. Menurutku pengkhususan tersebut hanya bonus dari Allah, tak perlu dijadikan dasar pilah-pilih kapan seorang itu harus semangat dan tekun beribadah kepada Tuhan.

Anjuran melanjutkan kebiasaan baik seusai Ramadan, ada yang bentuknya perintah langsung (dengan Nash) ada yang tidak. Bagian pertama itu adalah puasa Syawal.

Dalam Shahih Imam Muslim riwayat dari Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, Nabi Saw. berkata: "Barang siapa yang telah usai menjalankan puasa Ramadan, kemudian melanjutkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, ia dihitung (pahalanya) telah puasa selama setahun penuh."

Bagaimana hitung-hitungannya puasa sebulan dan 6 hari, sama seperti puasa setahun penuh? Ulama menjawab bahwa setiap 1 kebaikan bernilai 10 kebaikan. Jadi orang yang berpuasa sebulan penuh dan 6 hari setelahnya memiliki 36 kebaikan. 36x10= 360. 360 adalah jumlah hari dalam setahun.

Puasa Syawal selain berpahala besar, posisi puasa Syawal ini didudukkan seperti halnya salat Rawatib Qabiliyah dan Ba'diyah bagi salat 5 waktu. Salat-salat ini dikatakan sebagai pelengkap dan penyempurna bilamana dalam salat wajib didapati kekurangan.

Keadaan yang sama juga dimiliki oleh puasa Ramadan; ia memiliki pelengkap dan penyempurna bilamana ada yang kurang. Puasa bulan Sya'ban ibarat salat sunah Qabliyyah dan puasa Syawal ibarat salat sunah Ba'diyyah.

Puasa 6 hari bulan Syawal tak mesti dilakukan kontinyu selama 6 hari berturut-turut. Ia boleh dicicil. Misalnya dilakukan senin-kamis di minggu pertama, senin-kamis di minggu kedua, begitu seterusnya. Atau bisa juga dilakukan di Ayyamil Bidh, petengahan bulan. Kendati begitu yang lebih utama memang disegerakan, karena kan tidak tahu barangkali di minggu berikutnya ada uzur.

Menurutnya saya memang lebih baik disegerakan, mengingat biasanya minggu pertama bulan Syawal aktivitas masih pasif. Sehingga dapat membantu pelaksanaan puasanya lebih baik dan sempurna; tak terbebani dengan kesibukan lain.

Puasa Syawal juga menjadi kabar gembira bagi seseorang yang meninggalkan puasa di Ramadan, terutama perempuan, untuk segera menganti di bulan Syawal ini. Dengan begitu ia memperoleh 2 kebaikan: kebaikan puasa qada' dan sunah.

Bolehnya menggabung niat puasa qada' dan sunah merupakan pendapat ulama Syafiiyah. Dengan catatan ia tidak niat puasa sunah bulan Syawal, melainkan niat melaksanakan puasa qada'. Artinya Anda tidak boleh niat puasa sunah bulan Syawal sekalian puasa qada'. Pandangan ini sebagaimana difatwakan oleh Imam Ar-Ramli.

Masalah ini mirip (bisa dianalogikan) dengan salat Tahiyyatal masjid. Anda masuk masjid, ketika itu mendapati salat berjemaah sedang berlangsung, otomatis langsung salat mengikuti imam. Tanpa diniatkan salat Tahiyyatal Masjid pun Anda akan memperoleh pahalanya, karena yang dianjurkan ketika masuk masjid melakukan salat, baik salat itu wajib atau sunah.

Puasa Syawal juga begitu; teks hadis Nabi di atas tak menjelaskan puasa di bulan Syawal dengan niat tertentu.

Follow Us @soratemplates