September 26, 2022

,

 



Refrensi: Kitab Ta’arrof ‘ala Habibikal Musthofa Saw. Hal. 51-53. Karya Syekh Mutawalli Asy-Sya’rowi

Penerjemah: Zainal Abidin Jailani

Darbul Ahmar, Cairo, 11 Juli 2022 M.

Dan ketika ada orang mengatakan: Bahwasannya pengetahuan Nabi itu merupakan kejeniusan yang boleh jadi tampak pada seorang hamba dari beberapa hamba Allah, kendatipun dia tidak pernah belajar dan membaca.

Maka saya jawab: Kejeniusan yang macam apa ini ? yang mana kejeniusan ini tampak tiba-tiba pada saat umur empat puluh tahun. Sedangkan kejeniusan dan keistimewaan itu biasanya tampak pada usia muda dan tidak menunggu sampai semacam umur empat puluh tahun ini. Maka ketika di katakan: boleh jadi kejeniusan dan keistimewaan itu tampak pada usia muda, namun kemudian disimpan oleh Rasulullah sampai umur beliau mencapai empat puluh tahun. Maka saya jawab: Siapa yang memberi tahu Nabi Muhammad Saw. bahwasannya dia akan hidup sampai umur empat puluh tahun ? Sedangkan dia melihat ayahnya telah meninggal sebelum dia dilahirkan, dan ibunya meninggal ketika dia masih kanak-kanak, kemudian dia tumbuh besar dalam keadaan yatim piatu. Maka setiap peluang hidupnya, bahwasannya kematian itu bisa merenggut manusia pada saat usia muda, sebagaimana telah merenggut ayah dan ibunya. Maka apakah Nabi itu menyimpan kejeniusannya hingga sampai umur empat puluh tahun ? Andai kata bahwa ayah dan ibu Nabi itu merupakan manusia yang paling membela dan besar pengaruhnya dalam hidup Nabi, maka niscaya mereka akan tetap hidup sampai umur enam puluh atau empat puluh tahun. Maka pastinya saya akan menjawab bahwasannya hal itu merupakan peluang Nabi bisa hidup sebagaimana kedua orang tuanya hidup. Namun kematian dini ini selamanya tidak menghilangkan rasa percaya diri Nabi bahwasannya dia akan bisa hidup mencapai umur empat puluh tahun.

Dan begitu juga sifat ummi ini menjadi kemuliaan bagi Rasulullah Saw. dan menjadi keharusan untuk menolak pengakuan orang-orang yang berkata bathil, dan juga menjadi sesuatu yang meyakinkan hati orang-orang yang beriman. karena sesungguhnya setiap sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah itu tiada lain  adalah wahyu yang turun dari Allah Swt.

Dan sifat Iradat Allah telah menghendaki Nabi Muhammad untuk tumbuh besar dalam keadaan yatim, Sehingga tidak bisa dikatakan bahwasannya dia mempergunakan kekuasaan ayahnya, atau bersandar pada kekuasaan selain kekuasaan Allah. Dan dia juga merupakan seorang bayi, dan ibunya akan menyusukannya kepada orang yang mengambil jasa menyusui, sehingga dia tumbuh di sebuah desa di pedalaman sebagai anak yang kuat. dan akan datang sekelompok perempuan dari desa pedalaman untuk memilih bayi yang akan mereka susui, dan mereka akan memilih bayi yang masih memiliki ayah, sekiranya bisa memberikan suatu pemberian sebagai upah bagi mereka. 

Saya temui bahwasannya tidak ada satupun dari orang perempuan kecuali Rasulullah diajukan kepadanya untuk disusui. kemudian ketika diucapakan kepadanya bahwasannya Nabi adalah anak yang telah yatim, maka mereka menolak untuk mengabilnya. karena sesungguhnya setiap satu persatu dari mereka menginginkan harta dari ayah bayi yang mereka susui. Maka ketika dia tahu bahwasannya Nabi adalah bayi yang telah yatim, maka dia langsung berpaling dari Nabi. Kecuali hanya satu wanita saja, yaitu Halimah As-Sa’diyah yang mana dia termasuk sebagian dari kelompok wanita yang menjadi juru menyusui, namun dia tidak menemukan bayi untuk dia susui. Dan ketika dia mengetahui bahwasannya dirinya adalah satu-satunya perempuan yang tidak berhasil untuk mendapatkan bayi untuk dia susui, Maka dia berkata: Demi Allah ! Sesungguhnya aku tidak suka jika diantara sahabat-sahabatku, hanya aku sendirilah yang kembali dengan tanpa membawa bayi untuk aku susui. Demi Allah ! Sungguh aku akan pergi ke anak yatim itu dan sungguh aku akan mengambilnya, semoga Allah mejadikan keberkahan bagiku sebab anak yatim itu. Dan Halimah berkata: Dan tidaklah mendorongku untuk mengambilnya kecuali dikarenakan tidak adanya bayi lain yang akan aku susui. 

Halimah mengambil bayi yang telah yatim, kemudian rumahnya menjadi penuh dengan berkah sebab hadirnya anak yatim tersebut, dan hewan ternaknya pun menemukan rerumputan, kemudian memakannya dan menjadi besar dan gemuk. Sedangkan hewan ternak orang lain semuanya tidak ada yang menemukan rerumputan sama sekali di bumi Bani Sa’ad yang gersang. Dan kambing-kambing Halimah ketika itu bisa menghasilkan susu yang berlimpah dari hasil perahannya, sedangkan kambing-kambing orang lain, setetes pun tidak menghasilkan susu dari perahannya. Sehingga semua orang pada zaman itu sama-sama berkata kepada pengembala suruhannya; Mengembalalah kalian di suatu tempat, yang mana kambing Halimah digembalakan di sana.

September 17, 2022

,

 



Refrensi: Kitab Ta’arrof ‘ala Habibikal Musthofa Saw. Hal. 51-53. Karya Syekh Mutawalli Asy-Sya’rowi

Penerjemah: Zainal Abidin Jailani

Darbul Ahmar, Cairo, 11 Juli 2022 M.


Karena apa Allah Swt. memilih Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi-Nya ? Padahal dia adalah orang yang ummi.

Imam Asy-Sya’rowi Ra. berkata:

Sebelum menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw., Allah Swt. menjauhkan setiap sifat syubhat basyariyah (keserupaan dengan manusia) dari diri Rasulullah Saw. yakni semisal seperti contoh bahwasannya wahyu yang akan diterima oleh Nabi Muhammad Saw. kemungkinan adalah ilmu yang manusiawi, baik itu berupa budaya ummat-ummat yang terdahulu atau mungkin ilmu yang dibaca dari kitab-kitab dan sebagainya.

Oleh karena itu, Allah Swt. memilih Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw) yang ummi. Makna ummi sendiri adalah: keberadaannya yaitu sebagaimana dia dilahirkan oleh ibunya (tidak belajar ilmu dari manusia). Dan sifat Ummi ini merupakan kemuliaan bagi Rasulullah Saw. kenapa demikian? Alasannnya yaitu karena Allah Swt. yang mana telah memilihnya sebagai akhir dari para utusan-Nya ingin mengajarinya dengan dzat-Nya sendiri, dan Allah Swt. menginginkan agar Rasulullah Saw. tidaklah mempelajari ilmu melainkan ilmu samawi (ilmu dari Allah Swt.). Oleh karena itu Allah Swt. menjadikannya sebagai orang yang ummi, dan hal itu juga merupakan indahnya pengaturan Allah Swt dalam mengutus Nabi Muhammad Saw.

Maka jika seandainya Rasulullah Saw itu bisa membaca dan menulis, maka orang-orang kafir pada masa itu pasti akan berkata bahwasannya Nabi mengambil ilmu (wahyu) dari apa yang telah dia baca, atau mengambil ilmu dari kitab-kitab orang terdahulu atau dari budaya-budaya ummat pada masa itu. Oleh karena itu, Allah Swt. menjadikannya tumbuh besar sebagai orang yang ummi, sehingga semua orang akan tau bahwasannya semua ilmu yang dimiliki oleh Rasulullah Saw. adalah ilmu yang datang dari langit. Hanya saja pemilihan Allah Swt. beserta hikmah yang terkandung di dalamnya ini telah dilupakan oleh orang-orang kafir, dan mereka mengakui bahwasannya Rasulullah Saw. itu diajari oleh sesama manusia. dan juga mereka mengakui bahwasannya Rasulullah mendapat ilmu tersebut dari mitos yang dibuat oleh orang-orang terdahulu.

Maka Allah Swt menolak pengakuan (perkataan) mereka, dan menyebutkan mukjizat keummian yang dimiliki oleh Rasulullah Saw melalui firman-Nya. Allah Swt berfirman:

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْ مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِيْنِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ

Artinya: Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab sebelum (Al-Qur’an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya. (QS. Al ‘Ankabut: Ayat 48)

Jadi Allah Swt. memalingkan semua sifat basyariyah dari Nabi Muhammad, sehingga Allah Swt menjadikannya sebagai orang yang ummi, sehingga dengannya Allah menolak atas pengakuan orang-orang yang berkata bathil dan yang memusuhi keimanan, yang mana mereka  berkata bahwasannya Rasulullah Saw mendapatkan Al-Qur’an dari hasil belajarnya sendiri. Oleh karena itu Allah Swt berkata pada Rasulullah: Jika seandainya engkau pernah membaca atau menulis sebelum datangnya nubuwah kepadamu, maka itu bisa menjadi hujah (dalil) bagi mereka orang-orang yang berkata bathil untuk mengatakan bahwasannya Al-Qur’an ini adalah sesuatu yang dihasilkan oleh dirimu sendiri. Tapi kenyataannya engkau tidak pernah membaca dan menulis, dan engkau tidak pernah membaca dan menulis satu kalimat pun dalam hidupmu sebelum datangnya Risalah. Jadi hujah-hujah yang mereka lontarkan, itu semuanya bathil dan tidak ada sanadnya, baik secara hak atau hakikat. Bahkan tak lain itu hanyalah bentuk penentangan karena ketidakimanan mereka, dan juga sebagai hujah bagi kekufuran mereka. Adapun hujah mereka itu di tolak. Dan dalam hal itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya untuk menolak pengakuan-pengakuan mereka (orang orang ahli bathil):

قُلْ لَّوْ شَاءَ اللهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَىكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمْرًا مِّنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum turun Al-Qur’an). Apakah kamu tidak mengerti? (QS.Yunus: Ayat 16).

Dan begitu juga Allah juga menuntut kepada Rasulullah untuk menolak pengakuan mereka dan berkata; Bahwasannya dia telah hidup bersama mereka selama 40 tahun (yakni waktu yang lama), dan tidak pernah berkata kepada mereka bahwasannya dia telah diberi wahyu. Jika seandainya mereka mau berfikir dengan akal mereka tentang seberapa lama masa Rasulullah hidup bersama mereka sebelum diberi wahyu, dan mereka tidak mengaku-ngaku perkataan bathil apapun, maka hal itu sudah cukup bagi mereka untuk bisa membenarkan Rasulullah Saw.

September 10, 2022

,

 


Karya : Dr. Nadhir Muhammad ‘Iyyadh

Diterjemahkan oleh : Samlan As-Sholeh

 

Apakah sebuah pertanyaan yang sudah jelas itu tidak butuh jawaban karena sudah jelas maksudnya?

Ketika ketika kita sudah mengamalkan dakwah Sayyidina Muhammad Saw. maka pasti akan menemukan kebaikan, menemukan undang-undang yang tepat dan akhlak yang baik karena semuanya memang tujuan yang mulia yang dapat berdiri dengan tegak, nilai-nilai yang benar dan pengaruh yang baik. Ada sebuah pondasi agama yang harus ditegakkan yang terdiri dari tiga akar: Pertama akidah, syariat, dan akhlak. Dan ketiganya merupakan sebuah hakikat agama, intisari adanya agama dan petunjuk dalam mengaplikasikan. Ketiganya merupakan pusat hukum agama dan topik hukumnya, dan semua itu merupakan tujuan dalam beragama, buah dari agama dan petunjuk dari agama. Hakikat agama adalah : sesuatu yang membahas tentang ketuhanan yang membawa kepada kebenaran dalam berkeyakinan dan juga membahas tentang kebaikan yang dijadika solusi hidup dan bentuk pengamalan.

Dan yang di atas merupakan tujuan para nabi, mulai dari Adam As. sampai Nabi Muhammad Saw. mereka para nabi mengajak dengan kebaikan dan supaya berbuat baik dengan manhaj-manhaj yang tidak ada tambahan dan pula tidak dikurangi, dan manhaj itu beda dengan agama lain, yang mana manhaj itu memang datangnya dari Allah kepada makhluk-Nya untuk berbuat baik, dan Allah adalah Dzat Yang Maha Tahu. Allah Swt. berfirman dalam kitab suci-Nya: “Apakah ALLAH yang menciptakan itu tidak mengatahui { yang kamu lahirkan atau rahasikan}; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” { Al-Mulk 67:14}. Bahwa Allah adalah mengetahui terhadap manusia yang berbuat baik dan yang mengajak kebaikan, dan ini merupakan misi para  Nabi dan para Rasul yaitu menyampaikan kebaikan baik dalam  keyakinannya dan adab, atau dalam masalah perseoarangan dan kemaslahatan bersama. Dan para Nabi memulai kebaikan dengan cara yang tertib, yaitu dimulai dengan masalah ketuhanan (akidah) dan kemudian dilanjutkan dengan yang lain.

Allah Swt. mengutus Nabi dengan benteng dan penawar baginya, yaitu dengan aqidah, hukum syariat mulai dari ibadah dan muamlah, baik muamalah dengan tuhannya dan muamalah dengan makhluk, dan Allah Swt. mengutus nabi-Nya dengan memperbaiki akhlak yang sesuai dengan keadaan dan tempatnya walaupun berakhlak dengan diri sendiri atau dengan keluarganya.

Keutamaan risalah terakhir yaitu mengedepankan akhlak, baik dalam akhlak menyuruh kebaikan, mencegah keburukan, akhlak yang berhubungan dengan kebenaran yang harus sesuai dengan zaman dan tempatnya, menjaga terhadap perbedaan-perbedaan manusia, menjaga terhadap hak-hak manusia, membedakan antara keinginan dan kemauan, dan menyarankan supaya aman dan tetap bersatu untuk tanah air dan kenegaraan yang adil, dan juga supaya membentuk sebuah kota yang yaitu melalui dengan kesepakatan dan kejadian bukan hanya dengan menghayal.

Bagaimana caranya kita mengatahui bahwa itu adalah sebuah kebaikan yang datangnya dari Allah Swt ? Yaitu dengan menghukumi sesutu dengan adanya petunjuk dan bukti bahwa itu datangnya dari Allah, yaitu dengan cara melalui ijtihad atau sesuatu tersebut sudah didakwahkan oleh Nabi.

Sesuatu yang terkandung dalam risalah kenabian tidak akan keluar dari kebenaran. Coba kita lihat dakwah Nabi Muhammad Saw. Atau sesuatu yang datangnya dari Allah Swt. mulai dari yang berbicara tentang akidah, muamalah dan sebuah adab, dan itu merupakan sebuah kebenaran dan kebaikan dan bukan sesuatu yang tercela. Coba bandingkan antara kehidupan manusia sebelum diutusnya Nabi dan sesudah diutusnya Nabi; Syaikh Muhammad Abduh berkata:

”Apakah kamu merenungkan bagaimana dia bisa mengajak kepada seluruh manusia dan jin untuk mentauhidkan dan meyakinkan bahwa Allah Swt lah yang patut di sembah sedengkan dia hanya seorang diri dan pada waktu itu masih sangat mengakar tentang penyembahan nenek moyang mereka (berhala) dan mereka masih tenggelam dalam pemahaman tidak adanya tuhan (ateisme) dan kaum zindiq? dan dia menyeru untuk meninggalkan dan membuang terhadap sesembahannya dan membenamkan sesuatu yang menyerupai terhadap antara  ilmu ketuhanan yang suci dan jasadnya yang suci dalam keserupaannya. Dia mengajak untuk menyembah terhadap satu tuhan dan menolak terhadap segala sesuatu yang terwujud adanya.’’

Rasulullah Saw. mengajak kepada pemimpin kaum atau para raja untuk merendahkan diri terhadap  yang menciptkan langit dan bumi, dan yang menguasai ruh-ruh mereka yang berada dalam jasadnya. Dan dia memperlakukan terhadap orang yang menganut terhadap derajat yang pertengahan antara hamba dan rob, dan Rasulullah menjelaskan kepada meraka dengan bukti, dan dia mengungkapkan terhadap mereka dengan menggunakan cahaya wahyu, bahwa orang yang paling besar diantara mereka dihadapan Allah  bagaikan yang paling rendah dari mereka, dia menuntut terhadap meraka untuk turun kepada tempat tangga yang paling bawah dari hamba dan juga sama di hadapan Allah seperti manusia manusia yang lain yaitu meminta pertolongan kepada satu tuhan yaitu tuhannya para manusia dan seisinya dan mengajak kepada mereka untuk menyadari bahwa salah satu dari mereka tidak ada yang lebih tahu atau yang lebih utama.

Follow Us @soratemplates