Turbulensi Kalimat Munafik Menjelang Pilpres!
(kajian seputar term munafik dan tuduhan
munafik menjelang kontestasi pilpres)
Indonesia sebagai Negara dengan populasi umat
islam terbanyak, tidak jarang dalam perjalanan politik kekuasaan sentimen agama
dimainkan demi mengejar elektabilitas tertinggi. Retorika delusi dijual ke masyarakat demi kepentingan. Tuduhan “kafir”, “munafik”, “anti islam”, “tidak cinta ulama” merupakan rutinitas dalam catur perpolitikan. Kalangan menengah ke bawah (awam)
adalah target utama menanamkan misi politik jahat sebagai doktrin kebencian.
Akibatnya muncul gelombang bagaikan hantaman arus air besar dari kalangan menengah
kebawah mengkafirkan, memusyrikkan atau memunafikkan siapapun yang berbeda
dengan doktrin yang ditanamkan kepada mereka.
Tuduhan
munafik kepada individu atau kelompok lebih sering dimainkan daripada tuduhan
kafir atau musyrik, Itu karena term munafik lebih mudah dilekatkan pada aktor
politik daripada tuduhan kafir atau musyrik. Tuduhan munafik tidak butuh bukti
empiris tapi cukup dengan indikasi yang menurut mereka masuk katagori munafik. Berbeda dengan justifikasi kafir
atau musyrik yang
membutuhkan bukti konkrit. Satu contoh TGB misalnya, tokoh yang dikenal sebagai
ulama muda tafsir, gubernur yang hafidz Al-Qur’an dan salah satu lulusan
terbaik Universitas al-Azhar Cairo, tiba-tiba berevolusi menjadi dimunafikkan
masuk kelompok cebongers karena perbedaan pandangan politik. Contoh lain
misalnya, yang tenar dimuat di berbagai media entitas sebauh masjid tidak
menerima jenazah pendukung penista agama karena dianggap munafik. Ini terjadi
pada perhelatan Pilgub DKI dua tahun yang lalu, dengan argumentasi, Rasulullah
pernah ditegur Allah karena mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul
adalah landasan pembenaran atas pendapat dan tindakan mereka.
Itulah
sebabnya, penting rasanya menuangkan apa sebetulnya definisi munafik itu?
Benarkah Rasulullah mendapat teguran karena mensholati janazah Abdullah bin
Ubay bin Salul? Bagaimanakah sebenarnya komonikasi atau intraksi Rasulullah
dengan para munafik? Kemudian, apakah tuduhan munafik zaman now masuk
katagori munafik yang ada di zaman Rasulullah? Pertanyaan-pertanyaan inilah
akan coba dikupas pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.
A. Definisi Munafik dan Pembagiannya
Term munfik menurut
Syekh Abdurrahman Hasan al-Midani dalam kitabnya dhahiratun nifaq adalah
menampakkan keislaman dengan lisan dan menyimpan kekufuran didalam hati,
sebagai bentuk menipu dan membohongi orang lain. Sayyidina Hadzaifah ditanya :
“siapa orang munafik itu?”, beliau menjawab : “laki-laki yang mangaku islam
tapi tidak mengamalkannya”.
Lebih jauh, Syekh
Abdurrahman Hasan al-Midani membagi sosok munafik sesuai tujuan dan motivasinya
dengan empat bagian.
· Pertama, orang munafik yang manampakkan
keislamannya agar dapat menikmati dan tamak terhadap sesuatu yang bisa
dimanfaatkan, semisal bisa menikmati hasil harta ghanimah dan lain sebagainya.
· Kedua, orang munafik
yang mengkhawatirkan dirinya, hartanya dan mengkhawatirkan segala sesuatu kemaslahatan
baginya. hal ini, seperti yang dilakukan Abdullah bin Ubay bin Salul dan
komplotannya.
· Ketiga, orang munafik
yang memorak-porandakan islam dari dalam. dia masuk dalam tubuh islam, maju
bersama di atas nama perjuangan islam, tapi tiba-tiba ia berpaling berkhianat
menghancurkan islam dari dalam, kasus ini seperti yang terjadi pada para
munafik Madinah yang masuk islam kemudian menyebar fitnah di dalam tubuh islam.
· Keempat, orang munafik
yang pura - pura memeluk Islam karena
keberadaannya sebagai keturunan orang Islam.
Masih tetap menurut Syekh Abdurrahman Hasan
al-Madani, kelompok munafik ditinjau dari latar belakangnya dalam posisi mereka
sebagai orang kafir, ada dua kelompok. Pertama, kelompok munafik yang mempunyai
status resmi agama seperti Yahudi, Nasroni dan seterusnya, kemudian pura-pura masuk Islam. Kedua, kelompok munafik
yang tidak mempunyai status resmi agama, kemudian pura-pura masuk Islam untuk
menghasilakan kenikmatan yang menjadi misinya. jika kenikmatan tersebut berada di pihak muslimin,
kelompok tersebut bergegas seraya berkata : “Bukankah kami (turut berperang) bersama kalian?!”, tapi
ketika kenikmatan tersebut berada di pihak kafirin, merekapun bergagas
cepat danmenyatakan : “Bukankah kami turut memenangkakan, dan membela kalian
dari orang-orang mukmin”.
B. Rasulullah Sholati Janazah Abdullah bin Ubay bin
Salul
Rasulullah memahami ayat “استغفر لهم أولا تستغفر لهم إن تستغفر لهم سبعين
مرة”
Sebagai pilihan
baginya, sehingga beliau hendak menambah do’anya lebih dari tujuh puluh kali.
Rasulullah kemudian mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul sedangkan Umar memprotesnya.
Umar memahami ayat tersebut sebagai lil mubalaghah bukan sebagai
pilihan, yang beranggapan antara memohonkankan ampunan dan tidak, itu sama
tidak ada perbedaan. Belum lama dari protes Umar, tersebut turunlah ayat yang
terkesan membenarkan pendepat Umar : ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره. Umar-pun berkata : “Setelah turunya ayat tersebut Rasullah tidak pernah
mensholati janazah orang munafik sampai beliau meniggal”.
Sekilas
ayat tersebut membawa kita pada pembenaran pendapat Umar sedangkan pendapat
Rasulullah salah. Tapi mungkinkah demikain?, bukankah Umar cuma sebatas sahabat
Rasulullah? dan apakah pemahaman yang benar itu samar atau tidak timbul bagi
Rasulullah?. Disini Syekh al-Zamahsyari berpendapat bahwa pemahaman yang benar
tidaklah mungkin samar bagi Rasulullah, beliau mensholati janazah Abdullah bin
Ubay bin Salul sebagai bentuk kecintaan dan kelembutan hatinya pada sahabatnya.
Tidaklah keberadaan Rasulullah yang diprotes oleh Umar menunjukkan tingkat
pemahamanmya berada dibawah standar Umar. Rasulullah mengatahui betul sebuah
hakikat kebenaran jauh melebihi Umar, karena lisan Rasulullah adalah alat
penyambung firman Allah. Hal ini, berbeda dengan Umar, apalagi pura-pura lupa
untuk melahirkan sebuah kemaslahatan yang lebih besar hukumnya boleh dalam ilmu
fikih. Andaikan Rasulullah tidak mensholati janazah Abdullah bin Ubay bin Salul
(menuruti kemauan Umar), maka bisa jadi bola fitnah yang terus dihantamkan pada
Rasulullah sampai saat ini, bahwa beliau tidak menjunjung tinggi nilai akhlak
sebagai acuan instraksi sosial, mengingat Abdullah bin Ubay bin Salul secara
dhahir adalah muslim.
Entitas Rasulullah mensholati
janazah Abdullah bin Ubay bin Salul mengeksplorasikan betapa penting sekali
hidup dalam tatanan kecintaan satu sama lain, sekalipun kepada orang yang
melukai dan mengkhinati kita. Tidakkah kita tahu bahwa Abdullah bin Ubay bin
Salul[1]
adalah gembong munafik Madinah?!. Tapi mengapa Rasulullah tetap mensholati
janazahnya, dan Rasulullah merelakan bajunya dikafankan padanya. Semua ini menunjukkan betapa
mulia sekali akhlak Rasulullah memperlakukan orang yang memfitnah istri beliau
selingkuh. Kisah ini, ilustrasi nyata bagaimana umat Muhammad dalam menjalin
hubungan antar sesama agar berpegang teguh
pada asas kecintaan, kerendahan, tidak pendendam, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai akhlak.
C.
Akhlak Rasulullah pada Munafik VS Munafik
Zaman Now
Dalam sebuah hadis Rasulullah digambarkan
Al-Qur’an yang berjalan. Akhlaqnya begitu indah nan mempesona. Tidak perlu
bukti banyak untuk membuktikan kemulian budi pekerti beliau, cukup dengan
kejadian di Thaif, beliau dihina dilecehkan, dipersekusi dilempari batu, bahkan
Malaikat penjaga gunung menawarkan agar menimpakan dua buah gunung
pada mereka (masyrakat Thaif), namun Rasulullah
menjawab dengan penuh kesabaran : “Tapi saya mengharap dari keturunan mereka
menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukanNya”. Rasulullah menolak tawaran
Malaikat tersebut dan memilih bersabar menunggu keislaman dari pada anak cucu masyarakat Thaif.
Tidak jauh berbeda, cobaan batin yang begitu
dahsyat diterima oleh Rasuullah ketika istri beliau Sayyidah Aisyah difitnah
kesucian oleh Abdullah bin Ubay bin Salul berselingkuh. Fitnah ini membuat
susana keluarga Rasulullah berada pada kesedihan yang begitu dalam. Gambaran kesedihan tersebut dapat dijumpai dari
perkataan Sayyaidah Aisyah :
“kemudian Rasulullah dan kedua orang tuaku
masuk menghampiriku. Rupanya mereka menduga tangisanku benar – benar menghancurkan hatiku. Sampai saat itu, Rasulullah Saw. Memang belum pernah menemuiku sejak tersebarnya berita
bohong. Apalagi sudah sebulan berlalu, tetapi tak ada satupun wahyu turun
berkenaan dengan perkara yang kuhadapi. Rasulullah duduk dan bersabda : “Ammaba’du, wahai Aisyah, sesungguhnya aku telah mendengar tentang dirimu begini dan begitu. Jadi, jika memang engkau tidak bersalah, Allah pasti akan membersihkan namamu. Namun, jika memang engkau melakukan
dosa, segeralah engkau minta ampunan kepada Allah dan bertobatlah kepadaNya”. Mendengar ucapan Rasulullah Saw. Itu, tiba-tiba air mataku berhenti mengalir. Aku pun berkata pada Rasulullah Saw. “Demi Allah, sungguh aku tahu
bahwa kalian telah mendengar perkara ini sehingga semua itu merasuk ke dalam
diri kalian, dan kalian mempercainya. Jika sekarang kukatakan kepada kalian
bahwa aku tidak bersalah, dan Allah mengetahui bahwa aku memang tidak bersalah,
kalian pasti tidak mempercayaiku, dan jika aku sekarang mengakui perkara ini di
depan kalian, walaupun Allah mengetahui bahwa aku sebenarnya tidak bersalah,
kalian pasti akan membenarkan kata-kataku. Sungguh demi Allah, saat ini aku
tidak menemukan sebuah tamsil yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang
terjadi antara diriku dengan kalian, selain apa yang dikatakan oleh ayah Nabi
Yusuf a.s. “maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah
yang dimohon pertolonganya terhadap apa yang aku ceritakan, ”.Aku lalu berpaling
dari mereka dan kurabahkan tubuhku di atas pembaringan”.[2]
Fitnah kebohongan tersbut hilang tanpa bekas
di hati para orang-orang yang beriman ketika turun wahyu dari Allah sebagai
bukti kesucian Sayyidah Aisyah. Sementara umat Islam tidak sabar agar
Rasulullah menjatuhkan hukuman mati pada gembong munafik Madinah yaitu Abdullh
bin Ubay bin Salul. Bahkan anaknya menawarkan diri kepada Rasulullah untuk
mengeksekusinya. Namun Rasulullah menunjukkan kelas kerasulannya dengan
bersabda : “Tidak, kita tetap harus berlaku baik kepadanya dan
mempergaulkannya dengan sopan, selama ia bersama kita”. Dan lihatlah,
bagaimana respon kebijaksanaan Rasulullah kepada Sayyidina Umar : “Wahai
Umar, apa jadinya jika orang-orang bergunjing bahwa Muhammad membunuh sahabatnya
sendiri?”.
Inilah ilustrasi konkrit bagaimana Rasulullah
memperlakukan gembong munafik Madinah sebagaimana sahabat beliau yang lain
tanpa membeda-bedakan, bahkan Rasulllah merelakan bajunya dijadikan kain
kafannya ketika dia meninggal.
Bukankah kejadian tersebut adalah pelajaran
yang begitu berharga, bagaimana cara kita memperlakukan sesorang dengan sopan
sekalipun ada satu ciri yang terkesan dia orang munafik tapi tidak bisa
dibuktikan di meja hukum. Terus bagaimana jika orang tersebut jauh dari term
munafik seperti yang dijelaskan pada sub judul sebelummnya atau bahasa
simpelnya; bagaimana kalau seandainya orang yang dituduh munafik adalah kekasih
Allah yang sangat dicintaiNya. Bukankah berarti penuduh tersebut malah 'menyakiti'
Allah dan utusanNya. Tidakkah kita tahu definisi munafik adalah berislam dengan
lisan dan kufur dalam hati?! Terus siapakah diantara kita yang bisa mendeteksi
hati sesorang bahwa ia tidak beriman kepada Allah dan utusanNya?! Ataukah
mereka belum membaca sejarah, bahwa para sahabat
utama tidak bisa menembus hati sesoarang kalau ia yang terjerat penyakit
munafik. Sayyidina Umar-pun masih bertanya-tanya kepada Hudaifah sahabat curhat
Nabi apakah dirinya (Umar) masuk katagori maunafik. Terus dari mana sebetulnya tuduhan munafik itu dihasilkan?! Atau jangan-jangan mereka
mau mengambil hak Tuhan mendeteksi dan mengatur hati seseorang?. Jika argumentasi mereka menuduh seseorang itu munafik baik secara
individu atau kelompok karena ia berbohong, janji tidak ditepati,
amanah tak dikerjakan sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis. Terus mengapa
mereka tidak menunjuk jidat mereka sendiri setelah berapa kali mereka berbohong?
seberapa banyak mereka tidak tepati janji, dan sekian ratus amanah yang mereka
tidak penuhi!. Penulis tidak sedang menuduh mereka sebagai pendusta,
pengkhianat dan tidak bertanggung jawab. Tapi yang penulis maksudkan, ayoklah kita saling intropeksi diri. Kita cari kesalahan kita sendiri, jangan buka aib orang lain. Kalaupun kita
betul-betul mengatahui hakikat kebenaran bahwa ia munafik, tinggalkan pengetahun
tersebut dan buang jauh-jauh, karena kita tidak diperintahkan mengorek aib
orang lain. Jika kita terlanjur mengetahui aibnya maka kita wajib menyimpanya.
Bukankah yang begini, adalah ajaran Islam?. Penulis juga juga sedang tidak lupa
bahwa memang term munafik terbagi pada al-Nifaq
al-Akbar dan al-Nifaq al-Asghar sebagaimana term kafir ada juga kufrun
nikmah. Tapi mengapa kalau memang yang dimaksudkan itu an-Nifak Asghwar,kok
malah seperti masuk pada konteks an-Nifak Akbar, mulai dari masjid
tidak menshaloti janazah pendukung penista agama, TGB diasingkan dalam
komonitasnya dan seterusnya. Kalaupun yang dituduh memang terjangkit penyakit Nifak asghwar, terus apa perlunya menyebut dia munafik?! apalagi tuduhan
tersebut disebarkan masif sekali dipublik. Hentikanlah bahasa munafik tersebut. Karena betapa sering kita juga sama-sama munafik (an-Nifak asghwar). Kalau mereka suka menebarkan kalimat
munafik dengan cuma sebatas tanda-tanda tak beralasan yang multi tafsir, kenapa
mereka tidak mencari saja seseorang yang wajahnya kuning bukan karena sakit,
terus tampar orang tersebut karena masuk katagori munafik kemudian
sampaikan kepada mereka sabda Rasulullah :
اذا رأيتم الرجل
أصفر الوجه من غير مرض ولا علة، فذلك من غش الاسلام في قلبه.
Pertanyaan terakhir apa sebetulnya motif
mereka menuduh orang lain munafik baik secara individu atau kelompok? Saya
kurang tau pasti apa motifnya!. Silahkan pembaca budiman tentukan sendiri.Tapi
bisa jadi, tuduhan munafik tersebut itu politis dan sangat mungkin, karena perebutan
kekuasaan memang rentan sekali menghalalkan segala cara dan diakui atau tidak,
politik kekuasaan adalah penyebab utama terpecahnya umat Islam sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaharstani dalam kitabnya al-Milal wan Nihal. Maka tidak
benar (menurut penulis) Islam tersebar murni karena kekuasaan politik. Tapi
islam tersebar keseluruh permuakaan dunia karena keindahan akhlak yang
terstuktur rapi di dalam ajaran Islam kemudian diamalkan oleh selururh umat
islam diseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, mari berakhlak! Sekian terimskasih.
Oleh : Abdul Adzim HS
Daftar Pustaka
1.
Muhammad Muhammad al-Madani, Nadzarot fi fiqhi al-Faruq (al-Qohiroh
2014)
2.
Abdurrahman Hasan al-Midani, Dhahiratun Nifaq (Darul Qolam :
Damaskus)
3.
Muhammad Said Ramadhan al-Buti, Fiqhu as-Sirah ab-Nabawiyah (Darussalam)
4.
Sya’ban Muhammad ‘Ietiyah, al-Kasyfu wal Bayan an Ahkamil Qur’an libni
‘Araobi (Mkatabah al-Iman)
[1] Abdullah bin Ubay bin Salul bukanlah ornag yang
menanpakkan kemunafikannya dipermukaan umum, tapi dia termasuk orang yang
sangat lihai beretorika mengalabui dan menipu orang lain, kadang dia ketahuan
niat busuknya oleh sutu kaum, tapi dia hebat sekali memiliki ketarampilan
mengahilanagkan jejak tak terpuji yang dituduhkan padanya, itulah sebabnya
Abdullah bin Ubay bin Salul sulit dibuktikan di meja hukum sebagai gembong
munafik.
[2]
Hadist panjang ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Ishaq dan yang
lainya.
Bagus sekali pembahasannya sodara Abdul Adzim, mungkin akan lebihl menarik lagi bila study kasus (munafik) yg sekarang lebih di peruncing; hingga feel pembaca akan lebih terasa lagi.
BalasHapus