Agustus 05, 2018

,















Maraknya  semangat  beragama  pada sebagian kalangan menjadikan mereka lebih gemar memperhatikan yang tampak simpel dan sederhana. Beranggapan bahwa dengan terjemahan beberapa ayat dan hadis sudah cukup baginya untuk menjadi seorang  yang benar-benar mengerti agama (Red. alim). Padahal kedua sumber sakral tadi sangat tidak layak untuk dikonsumsi khalayak tanpa bekal yang memadai. Nabi bahkan sangat mengancam mereka yang berbicara mengenai al-Quran tanpailmu, “Barang siapa berbicara tentangisi al-Quran  tanpa ilmu maka bersiaplah ia mendekam dalam neraka” sedang yang berkaitan dengan hadits beliau menyampaikan, “Barangsiapa berdusta dengan sengaja atas namaku maka bersiaplah ia mendekam dalam neraka”.

Kelalaian terhadap 2 dalil tadi nampaknya mengekor pada kelengahan untuk serta-merta menyalahkan hal-hal yang tidak mereka temukan secara mata telanjang (Red. Tanpa bekal) dalam kedua nash. Maka tidak heran jika kemudian lahir berbagai sangkaan bahwa yang tidak ada dizaman Nabi ―menurut mata telanjang mereka― adalah sebuah kesesatan yang wajib dimusnahkan. Tasawuf misalnya.

Tudingan bahwa Tasawuf adalah bid’ah dan sesat akan berdampak pada penyesatan spektrum yang lain seperti Tariqah, Maulidan, Ziarah kubur atau hal serupa yang sebenarnya bertujuan melembutkan hati untuk kemudian bisa merasakan nikmatnya sebuah syariat.

Dalam sejarahnya, Tasawuf mengalami metamorfoses seperti halnya bidang ilmu yang lain. Pada masa Nabi, Tasawuf masih sebagai amaliyah dan tersimpan rapi dalam fikiran serta hati para sahabat. Baru pada generasi ketiga mulailah bermunculan berbagai karya bersama tokoh-tokohnya semisal al-Wasaya dan al-Ri’ayah karya al-Muhasibi, al-Ta’arruf Li madzhabi Ahli Tasawwuf  karya al-kalabadzi, al-Luma’ karya al-Tushi, Quwwatu al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki dan al-Risalah karya al-Qusyairi.

Kemudian lahirlah pada abad ke-5 seorang al-Ghazali bersama karya monumentalnya “Ihya’ Ulumuddin”. Bahkan banyak tokoh-tokoh setelahnya  yang sengaja menyusun biografi tokoh-tokoh pelaku tasawuf  (Red. sufi) dari abad pertama. Seperti: Tabaqat al-sufiyah, Shafwatu al-Sofwah, kaukabu al-Durriyah dan karya-karya senada lainnya. Sehingga kita mengenal sosok Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham atau Fudhail bin Iyadh. Dan dari karya-karya yang ada, kita akhirnya mengetahui Tasawuf sebagai Ilmu yang disana banyak istilah baru seperti: Sufi, Tariqah, Maqam, Kasyaf, Asrar dan sebagainya.

Sedang dari segi esensi ajaran sejatinyaTasawuf merupakan penjabaran luas tentang Ihsan dalam hadits Jibril. Ihsan yang seringkali disebut sebagai elemen ketiga agama juga tak kalah penting peranannya bagi kehidupan. Pasalnya, Tasawuf seolah oase bagi seorang hamba dalam perjalanan rigid mengarungi syariat bersama hukum-hukumnya yang cenderung militan. Lebih lugasnya, ketika syariat memungkinkan untuk menjadikan seorang sampai pada rasa lebih baik dari “orang lain” Tasawuf mengingatkan bahwa harusnya ia lebih baik dari “hari kemarin.” Jika dalam syariat membuat seorang cenderung menilai salah-benarnya “orang lain”. Namun Tasawuf yang lalu menyadarkan bahwa penilaian itu hendaknya untuk “diri sendiri”.

Dalam Tasawuf, seorang hamba digiring untuk merasakan manisnya syariat, merasakan kerinduan, cinta dan keindahan meskipun sesugguhnya lelah memangku tanggungjawab syariat. Seorang hamba diarahkan untuk lebih inten dalam upaya membersihkan hati dari sifat tercela, menghiasi dengan segala akhlak terpuji sehingga kemudian bisa melihat keindahan anugerah Tuhan dengan penuh keyakinan.

Syekh Amru wardani pernah ditanya mengenai Tasawuf, beliau dengan lugas menjawab; Tasawuf adalah sarana untuk seorang hamba belajar berkahlak.

Bertolak dari data-data yang telah terkuak diatas, semakin terang bahwa Tasawuf bukanlah suatu hal yang bid’ah atau cabang ilmu yang asing dan pantas diperselisihkan. Ia juga mengalami beberapa etape seperti ilmu-ilmu lain pada umumnya. Berawal dari Tasawuf  yang hanya sebagai “amali” menjadi Tasawuf  “Ilmi”.

Maka jika ada yang berseloroh: Tapi istilah tasawuf tidak ada di zaman Nabi, di zaman sahabatpun tidak ada yang menyebutkan dan yang ada malah banyak dari pelaku tasawuf menyimpang dengan mengabaikan syariat, karenanya kita harus menolak tasawuf. 

Kita jawab: Iya benar, Istilah Tasawuf tidak ada di zaman Nabi bahkan yang berkaitan seperti Tarikat, Maqam, Kasyaf, Asrar dan seterusnya tidak pernah ada yang menyebutkan. Begitupula ilmu Aqidah, fiqih, ulumul hadits, Jarhwa al-ta’dil dan ilmu-ilmu yang kita kenal sekarang seperti ilmu tentang obat-obatan (pharmacology), biologi, arkeologi, psyhicologi dan berbagai ilmu lain yang sudah kita rasakan bersama manfaatnya apakah lantas kita akan menolak semua ilmu itu?. Seandainya anda termasuk dari kalangan para ulama tentu anda sudah mendengar tentang sebuah kaidah masyhur yang mengatakan bahwa, “Tidak ada perdebatan dalam istilah”

Karenanya anda boleh menyebut Tasawuf adalah Ilmu Ihsan, Ilmu Tazkiyatun Nafsi atau ilmu akhlak. Jika merasa keberatan dengan istilah Tasawuf. Kita memang tidak menemukan istilah Tasawuf dimasa nabi, namun juga bukan berarti menjadi alasan untuk kita menafikan eksistensi ilmuyang secara alamiah menghiasi perjalanan Nabi dan para sahabat.

Sedang berkenaan dengan penolakan Tasawuf karena adanya oknum yang menyimpang di dalamnya, saya kira merupakan keputusan yang gegabah. Bukankah didalam ilmu hadits bisa saja seorang perawi membuat-buat riwayat palsu yang dampaknya merusak agama, bukankah ilmu aqidah juga barangkali dapat menimbulkan keraguan terhadap Tuhan dan semangat yang mengarah ke atheis atau minimal menjadi muktazilah jika terlampau menggunakan akal, dan bukankah setiap cabang ilmu memiliki potensi buruk dari oknum yang menggelutinya? Lantas apakah kita akan menolak semua cabang ilmu yang ada karena adanya penyimpangan oleh segelintir orang yang ada di dalamnya? Saya hanya tidak ingin mendengar, karena ada siswa yang bolos sekolah, lalu ada yang berdemo untuk membubarkan semua sekolah ditanah air.

Kalau kita menengok balik sejarah, banyak akan kita temukan para tokoh besar yang berkhidmah terhadap agama dan ternyata ia adalah seorang Sufi. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, penulis Fathu al-Bari syarah Sahih al-Bukhari adalah seorang Sufi, dimana beliau lalu menyusun biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang Sufi dan wali besar yang dijuluki “Raja Para Wali” di zamannya. Begitupula Imam Nawawi, pensyarah Sahih Muslim beliau adalah seorang sufi, dimana beliau mengarang Bustanu al-Arifin. Dan Imam-imam madzhab dalam bidang Aqidah dan Fiqhpun mayoritas adalah Sufi. Bahkan seorang Salahuddin al-Ayyubi, sang pembebas al-Quds pertama adalah seorang sufi.

Tasawuf sangat dibutuhkan oleh setiap zaman dan oleh setiap hamba. Selain karena memang intens topik yang diulas adalah berkaitan dengan hati sehingga memungkinkan melahirkan seorang hamba yang berkarakter, disana juga berbagai penyakit hati beserta obatnya dibahas tuntas, disana ditunjukkan bagaimana beretika baik terhadap sesama atau pencipta. Selebihnya seperti yang penulis tegaskan bahwa Tasawuf adalah oase di tengah rigidnya mempertahankan syariat.
Ilmu Syariat dan Ilmu Tasawuf adalah satu hidangan yang hendaknya seorang muslim sama-sama menyantapnya. Keduanya merupakan sepiring makanan dan segelas minuman, bayangkan jika kita hanya menikmati salah satunya, iya benar, kita tidak akan merasakan kenyang dengan sempurna [*] 

ZIS AHMAD ZAINAL ABIDIN
(MahasiswaFakultasDirasat Islamiyah Wal Arabiyah)

Follow Us @soratemplates