Juni 19, 2021

MENALAR SKEPTISME IMAM AL-GHAZALI

 

 

MENALAR SKEPTISME IMAM AL-GHAZALI

Oleh: Moh. Syamsul Arifin

        Faith seeking knowledge ''keyakinan mendorong untuk terus mencari pengetahuan'' demikian bunyi motto kampus Notre Dame salah satu kampus ternama di Amerika Serikat, namun kita merasa terbiasa bila sudah mencapai faith (yakin) berhenti dan menutup pengetahuan. Dalam hal ini kita perlu memperhatikan bagaimana dialog Nabi Ibrahim As. untuk mencapai tingkat keyainan yang sebenarnya saat berdialog dengan Tuhan, tatkala Ibrahim berkata : ''Hai Tuhanku! Tunjukkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati''! Allah menjawab : Tidakkah enngkau percaya kepadaku? Sahutnya : ''Ya, percaya, tapi demi menetapkan hatiku.'' Dari kejadian ini bisa dibuat kesimpulan, ''bahwa kasusus ini memberikan pada kita kunci penting metode ilmiah murni yang tampanya tidak mungkin orang memajukan ilmu, yaitu metode ragu untuk mencapai keyakinan (manhaj al-shak lil-wushuli ila al-yaqin).''

         Pada umumnya, para pemikir muslim memulai asumsinya dari keyakinan terutama para teolog dan fuqoha, tetapi tidak berarti menafikan sama sekali pemikir muslim yang menggunakan asumsi keraguan. Para pemikir yang menggunakan metode 'keraguan'' dan 'kritis'' bukan suatu yang baru dalam Islam. Jauh sebelum munculnya Rene Descartes (abad 17), ia merupakan salah satu filsuf yang turut membidani pencerahan di Eropa yang dikenal sebagai bapak filsuf modern Barat dan sekaligus dikenal sebgai peletak metode keraguan dengan ungkapannya yang sangat terkenal cogito ergo sum "aku berpikir maka aku ada", beberapa peneliti mengungkap bahwa Descartes dengan metode keraguannya tidak mampu mencapai puncak keyakinan yang ia cari, beda halnya dengan imam al-Ghazali yang sudah memperaktekkan metode keraguan dalam menelisik kebenaran Islam dan ia mencapai titik puncak keyakinan yang sebenarnya. Namun penting untuk dicatat bahwa keraguan yang di maksudkan imam al-Gazhali disini adalah keraguan metodologis, bertujuan untuk menemukan kebenaran yang betul-betul meyakinkan. Dalam penjelasan intelektual muslim yang digelari Hujjatul Islam, ragu ialah penanda bahwa seseorang betul-betul serius dengan keyakinannya. Tanpa ada peroses keraguan, keyakinan seseorang tidaklah beda dari taqlid dengan menerima begitu saja yang didengarnya. Kata al-Gazhali di akhir kitab mizan al-Amal  (kitab sekuel dari mi'yar  al-ilmi): ''Jika uraia-uraian dalam kitabku ini membuatmu meragukan keyakinan yang kamu warisi, maka cukuplah dengan keraguan itu kau mendapat manfaat, sebab keraguanlah yang akan membawa pada kebenaran (idz as-syukuk hiya al-mushilah ilal haqq)''. Kemudia al-Gazhali menutup kitabnya ini dengan ungkapan yang disebut dengan ''potongan emas'' karena sedikit memberi gambaran tentang metodologinya untuk mencapai pada kebenaran yang hakiki. Ungkapnya: "keraguanlah yang dapat menghantarkan pada kebenaran. Seseorang yang tidak pernah ragu, dia berarti tidak berpikir. Seseorang yang tidak berpikir, dia tidak akan dapat melihat. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia kan tetap dalam kebutaan dan kesesatan."

        Dalam karya semi-autobiografinya, al-munqidz, al-Ghazali juga menuliskan perjalanan hidupnya yang mengalami bermacam keraguan atas kebenaran yang sebelumnya ia percayai. Sejumlah peneliti menyebut bahwa narasinya dalam meragukan kebenaran ini mirip seperti narasi Descartes. Keduanya berbagi sekeptisme metodologis ''ragu sebagai metode''. Ada satu disertasi doktoral, karya almarhum Prof Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq di Munich University pada tahun 1968, yang kemudian di bukukan dengan judul al-Manhaj al-Falsafi bayn al-Ghazali wa Dikart [Metode Filsafat antara al-Ghazali dan Descartes] yang membahas topik ini kemudian membandingkan al-Munqidz dengan dua karya Descartes yakni Discourse on the Method dan Meditations on the First Philosophy.

        Selanjutnya keraguan metodologis al-Gazhali ini mengandung pesan kritis, baik keritik wacana maupun keritik nalar (metode berpikir), terutama nalar yang di bentuk oleh budaya afiliasinya. Sebab, tidak ada manusia yang berpikir otonom dan mandiri. Setiap orang berpikir dalam kerangka afiliasi identitasnya, baik identitas peradaban, ideologi maupun metode berpikirnya. Pemikiran seperti ini di sebut oleh al-Jabiri dalam teorinya dengan istilah nalar terbentuk (al-aql al-mukawwan). 

        Sekali lagi penting untuk digaris bawahi bahwa keraguan yang dimaksudkan imam al-Gazhali adalah keraguan motodologis, artinya metode keraguan ini pada intinya untuk mendapata pengetahuan yang benar, menurutnya seseorang mesti secara mandiri meragukan dahulu pengetahuan yang ia punya dan kemudian meyaringnya mana yang benar-benar meyakinkan. Untuk mengetahui hal ini, ia mesti meragukan pengetahuan yang ia terima dari kata orang, dari pada pendahulunya atau dari masyarakat sekitar, atau menolak taklid, ''supera aude'' berani berpikir mandiri dan bebas dari kekangan pola pikir orang lain.

Cairo 10 Juni 2021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates