MENALAR SKEPTISME IMAM AL-GHAZALI
Oleh: Moh. Syamsul Arifin
Faith seeking knowledge ''keyakinan mendorong untuk terus mencari pengetahuan'' demikian bunyi motto kampus Notre Dame salah satu kampus ternama di Amerika Serikat, namun kita merasa terbiasa bila sudah mencapai faith (yakin) berhenti dan menutup pengetahuan. Dalam hal ini kita perlu memperhatikan bagaimana dialog Nabi Ibrahim As. untuk mencapai tingkat keyainan yang sebenarnya saat berdialog dengan Tuhan, tatkala Ibrahim berkata : ''Hai Tuhanku! Tunjukkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati''! Allah menjawab : Tidakkah enngkau percaya kepadaku? Sahutnya : ''Ya, percaya, tapi demi menetapkan hatiku.'' Dari kejadian ini bisa dibuat kesimpulan, ''bahwa kasusus ini memberikan pada kita kunci penting metode ilmiah murni yang tampanya tidak mungkin orang memajukan ilmu, yaitu metode ragu untuk mencapai keyakinan (manhaj al-shak lil-wushuli ila al-yaqin).''
Pada
umumnya, para pemikir muslim memulai asumsinya dari keyakinan terutama para
teolog dan fuqoha, tetapi tidak berarti menafikan sama sekali pemikir muslim
yang menggunakan asumsi keraguan. Para pemikir yang menggunakan metode
'keraguan'' dan 'kritis'' bukan suatu yang baru dalam Islam. Jauh sebelum
munculnya Rene Descartes (abad 17), ia merupakan salah satu filsuf yang turut
membidani pencerahan di Eropa yang dikenal sebagai bapak filsuf modern Barat
dan sekaligus dikenal sebgai peletak metode keraguan dengan ungkapannya yang
sangat terkenal cogito ergo sum "aku
berpikir maka aku ada", beberapa peneliti mengungkap bahwa Descartes
dengan metode keraguannya tidak mampu mencapai puncak keyakinan yang ia cari,
beda halnya dengan imam al-Ghazali yang sudah memperaktekkan metode keraguan
dalam menelisik kebenaran Islam dan ia mencapai titik puncak keyakinan yang
sebenarnya. Namun penting untuk dicatat bahwa keraguan yang di maksudkan imam
al-Gazhali disini adalah keraguan metodologis, bertujuan untuk menemukan
kebenaran yang betul-betul meyakinkan. Dalam penjelasan intelektual muslim yang
digelari Hujjatul Islam, ragu ialah penanda bahwa seseorang betul-betul serius
dengan keyakinannya. Tanpa ada peroses keraguan, keyakinan seseorang tidaklah
beda dari taqlid dengan menerima begitu saja yang didengarnya. Kata al-Gazhali
di akhir kitab mizan al-Amal
(kitab sekuel dari mi'yar
al-ilmi): ''Jika uraia-uraian dalam kitabku ini membuatmu meragukan
keyakinan yang kamu warisi, maka cukuplah dengan keraguan itu kau mendapat
manfaat, sebab keraguanlah yang akan membawa pada kebenaran (idz as-syukuk hiya
al-mushilah ilal haqq)''. Kemudia al-Gazhali menutup kitabnya ini dengan
ungkapan yang disebut dengan ''potongan emas'' karena sedikit memberi gambaran
tentang metodologinya untuk mencapai pada kebenaran yang hakiki. Ungkapnya:
"keraguanlah yang dapat menghantarkan pada kebenaran. Seseorang yang tidak
pernah ragu, dia berarti tidak berpikir. Seseorang yang tidak berpikir, dia
tidak akan dapat melihat. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia kan tetap
dalam kebutaan dan kesesatan."
Dalam karya semi-autobiografinya, al-munqidz,
al-Ghazali juga menuliskan perjalanan hidupnya yang mengalami bermacam keraguan
atas kebenaran yang sebelumnya ia percayai. Sejumlah peneliti menyebut bahwa
narasinya dalam meragukan kebenaran ini mirip seperti narasi Descartes.
Keduanya berbagi sekeptisme metodologis ''ragu sebagai metode''. Ada satu
disertasi doktoral, karya almarhum Prof Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq di Munich
University pada tahun 1968, yang kemudian di bukukan dengan judul al-Manhaj
al-Falsafi bayn al-Ghazali wa Dikart [Metode Filsafat antara al-Ghazali dan
Descartes] yang membahas topik ini kemudian membandingkan al-Munqidz dengan dua
karya Descartes yakni Discourse on the Method dan Meditations on the First
Philosophy.
Selanjutnya
keraguan metodologis al-Gazhali ini mengandung pesan kritis, baik keritik
wacana maupun keritik nalar (metode berpikir), terutama nalar yang di bentuk
oleh budaya afiliasinya. Sebab, tidak ada manusia yang berpikir otonom dan
mandiri. Setiap orang berpikir dalam kerangka afiliasi identitasnya, baik
identitas peradaban, ideologi maupun metode berpikirnya. Pemikiran seperti ini
di sebut oleh al-Jabiri dalam teorinya dengan istilah nalar terbentuk (al-aql
al-mukawwan).
Sekali lagi
penting untuk digaris bawahi bahwa keraguan yang dimaksudkan imam al-Gazhali
adalah keraguan motodologis, artinya metode keraguan ini pada intinya untuk
mendapata pengetahuan yang benar, menurutnya seseorang mesti secara mandiri
meragukan dahulu pengetahuan yang ia punya dan kemudian meyaringnya mana yang
benar-benar meyakinkan. Untuk mengetahui hal ini, ia mesti meragukan
pengetahuan yang ia terima dari kata orang, dari pada pendahulunya atau dari masyarakat
sekitar, atau menolak taklid, ''supera aude'' berani berpikir mandiri dan bebas
dari kekangan pola pikir orang lain.
Cairo 10 Juni 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar