Prolog
Al-Qur’an,
seperti yang sudah digambarkan secara tersurat di dalam dirinya sendiri adalah kitab
petunjuk dan pedoman dalam menjalani kehidupan ini atau way of life. Ia
adalah lentera bagi mereka yang mencari kebenaran dengan akalnya atau fitrah
perasaannya. Sejarah adalah bukti konkrit bahwa
al-Qur’an mampu membalikkan peradaban yang tenggelam dalam
gelapnya kebodohan menjadi peradaban
yang berdiri tegak dengan pancaran cahayanya yang menyebar di sa-antero alam.
Al-Qur’an telah mampu membawa peradaban Arab-Islam awal menjadi peradaban yang
menelurkan beragam ilmu pengetahuan, dari linguistik, fikih, kalam, fisika, hingga
sains dan lain-lainya yang sudah
kita hirup di abad modern ini.
Lebih
dari itu, al-Qur’an tidak hanya sebagai obor dalam kehidupan ini, melainkan ia
juga sebagai bukti tak terbantahkan atas kebenaran kenabian Muhammad Saw.. Seperti
nabi-nabi sebelumya yang diutus dengan membawa mukjizat yang sesuai dengan zona
masyarakatnya, semisal Nabi Musa
yang hidup di tengah-tangah masyarakat yang mengagungkan magic, maka
tongkat ajaib sebagai mukjizatnya. Sedangkan Nabi Isa As. dikenal dengan mukjizatnya yang mampu menyembuhkan pelbagai
penyakit, bahkan menghidupkan orang yang sudah mati sekalipun. Hal tersebut, karena dia hidup dalam
peradaban yang mengunggulkan kemedisan. Begituhalnya Nabi Muhammad Saw., peradaban jahily adalah
peradaban syair, sastra, ketinggian bahasa dan kemahiran dalam bersilat lidah.
Kemahiran masyarakat jahili dalam
menciptakan syair yang indah merupakan senjata mereka dalam menghadapi
lawan-lawannya. Bahkan syair terindah akan ditulis dengan tinta emas
dan diletakkan di dinding Ka’bah sebagai apresiasi dan
penghargaan yang bernilai tinggi. Maka tidak heran, jikalau al-Qur’an dengan bahasanya yang
memggugah menjadi mukjizat terdepan atas kebenaran Nabi akhîr-uzzamân.
Bahasa al-Qur’an yang mampu melinglungkan logika Arab-jahily,
pun membuat mereka bertekuk lutut menghadapi tantangannya untuk menciptakan semisal
dirinya menjadi titik perhatian cendekiawan Muslim, mulai abad ke-III dan ke-IV
hijriah hingga sekarang ini. Berbagai spekulasi bermunculan
seputar wacana I’jaz al-Qur’an ini. Tulisan ini sedikit ingin mengulas
kemunculan wacana tersebut, berikut dialektika yang mengitarinya.
Untuk
mempermudah pembaca, ada baiknya penulis mencantumkan beberapa pertanyaan yang
berusaha dijawab oleh makalah ini. Di antara pertanyaan itu adalah: apa
sebenarnya yang dimaksud dengan I’jaz al-Qur’an? Adakah ia sudah
dipahami oleh masyarakat Arab-Islam awal? Kapan sejatinya kemunculan wacana I’jaz
ini? Apa yang memungkinkan wacana ini muncul ke permukaan? Dan bagaimana
dialektika yang membumbuinya?
Kehadiran
Wacana I'jâz dan Dialektika Muktazilah
Sebagai langkah awal untuk memahami isi makalah ini,
penting kiranya kita memahami maksud dari kata “i’jâz” dan “mukjizat”
terlebih dahulu, baik versi etimologi ataupun terminologinya.
Kata “i’jâz” merupakan derivasi dari kata Arab “’a-ja-za”. menurut
imam al-Ashfahani, makna asal dari kata “’a-ja-za” adalah terlambat dari suatu
pekerjaan. Kemudian dalam bahasa komunikasi, ia dipakai untuk menunjukkan pada
makna “ketidak mampuan terhadap sesuatu”. Ibnu Manzhur dalam Lisân al-Arab-nya
mengungkapkan, kata “i’jâz” mempunyai arti melemahkan dan mendahului.
Sedangkan Fairuzabadi mendefinisikn mukjizat nabi dengan “sesuatu yang dapat
melemahkan lawan saat menghadapi tantangan”. Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, mukjizat diartikan sebagai “kejadian (peristiwa) ajaib yang
sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini tentu berbeda dengan
terminologi keagamaan”.
Mukjizat dalam
istilah pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang
ditantangkan kepada orang yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal
serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”.[1]
Dari definisi ini, ada beberapa faktor penting agar sesuatu itu bisa
dikategorikan ke dalam mukjizat: Pertama, ia adalah peristiwa yang luar
biasa. Kedua, ia timbul dari seseorang yang mengaku nabi. Ketiga, adanya
tantangan kepada pihak lawan yang meragukan. Dan keempat, sang lawan
tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Dan unsur-unsur ini sudah mewujud
dalam diri al-Qur’an sebagai bukti atas kebenaran kenabian Muhammad Saw. yang
tidak terbantahkan hingga hari kebangkitan.
Pertanyaan yang
paling fundamental dalam persoalan i’jâz al-Qur’an ini adalah: apakah
bukti konkrit kemukjizatan al-Qur’an? Apa pula bukti referenstatif yang
menunjukkan kelemahan orng Arab-jahili mendatangkan al-Qur’an tandingan?
Dimana letak kemukjizatan al-Qur’an tersesbut? Untuk menjawab semua pertanyaan
ini, kita harus mengkaji sosio-kultural, peradaban, sikap dan kesaksian
masyarakat kala itu.
Bukan hal yang asing
lagi dalam kajian para ahli bahasa dan sejarawan, bahwa peradaban Arab-jahili
adalah peradaban sastra dan retorika bahasa dalam beragam gaya dan bentuknya,
baik syair ataupun prosa dengan beragam bentuknya. Mereka dikenal dengan
masyarakat yang pandai menyusun kata, merangkai imajinasi, membangun gubahan
syair yang dihiasi dengan keindahan uslub dan maknanya. Penyair di mata
mereka bagaikan ilmuan yang menjadi rujukan primer di era modern ini, karena
dia mampu merangkum pelbagai dinamika kehidupan dalam balutan syairnya. Penyair
bagaikan media yang menjadi sumber peradaban saat itu. Bahkan tidak jarang, api
peperangan antar golongan mampu dinyalakan oleh seorang penyair hanya dengan
beberapa bait syairnya. Medan sayembara para sastrawan pun dapat dijumpai di
berbagai tempat. Syair terbaik dan terindah akan ditulis dengan tinta emas dan
ditempelkan di dinding Ka’bah sebagai penghargaan yang sangat tinggi.
Di tengah
peradaban inilah, sekitar 14 abad yang silam, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
akhir zaman dan menantang siapa pun yang meragukan kebenarannya untuk
menghadirkan al-Qur’an tandingan. Tantangan ini hadir secara gradual, yang
dimulai dengan tantangan untuk mendatangkan semisal keseluruhan al-Qur’an secara
utuh, kemudian tantangan untuk menciptakan semisal sepuluh surat dari al-Qur’an.
Dan pada akhirnya, karena kelumpuhan mereka, al-Qur’an menantangnya untuk
menghadirkan semisal satu surat terpendek darinya. Namun, karena totalitas
kesadaran mereka terhadap ketinggian bahasa al-Qur’an yang tak dapat dijangkau
oleh manusia mana pun, mereka berpaling dan menghindar dari tantangan ini.
Cukuplah kiranya
bukti kelemahan mereka untuk menghadirkan al-Qur’an tandingan adalah mereka
berpaling dari tantangan itu sendiri. Padahal mereka adalah kaum yang pandai
bersilat lidah, pandai memainkan kata-kata dalam perdebatan, seperi yang
digambarkan oleh al-Qur’an sendiri tentang sikap mereka,[2]
pun Tuhan tidak membuat mereka bisu dan al-Qur’an
tersusun dari huruf-huruf yang mereka pakai dalam berbahasa. Untuk menutupi
kecacatan ini, mereka mencari jalan pintas dalam menghadapi al-Qur’an, yaitu
dengan mengancam Nabi Muhammad, mencela, memboikot, memblokade dan memutus
hubungan dengan Nabi dan para pengikutnya. Pun untuk menutupi kelemahan ini, mereka
rela mengorbankan harta dan jiwa mereka untuk memerangi Nabi dan Sahabatnya. Padahal
jalan termudah dan tanpa pertumpahan darah adalah menghadapi tantangan (menghadirkan
al-Qur’an tandingan walau semisal satu surat terpendek darinya) itu. Akan
tetapi, lihatlah sikap musuh yang angkuh dan sombong ketika mengalami kelemahan
dalam menghadapi lawannya. Seperti itulah kiranya gambaran kondisi mereka.
Klaim masyarakat jahili tentang al-Qur’an bahwa ia adalah syair, bahwa
ia adalah perkataan orang gila dan bahwa ia adalah igauan para dukun, semua
ini–tidak lebih dan tidak kurang–adalah potret kelinglungan logika mereka dalam
menghakami kitab maha dahsyat yang disuguhkan
oleh Nabi Muhammad Saw..
Tidak cukup sampai
di sini, keagungan bahasa al-Qur’an mendapat pengakuan dan kesaksian, baik dari
pihak kawan ataupun lawan. Inilah dedengkot kaum Quraisy, ‘Atbah Ibnu Rabi’ah
berkata di hadapan para sahabanya yang kafir: “Sunggah aku telah mendengar
perkataannya (al-Qur’an). Demi Tuhan, aku tidak pernah mendengar perkataan
serupa sebelum ini. Dan demi Tuhan, ia (al-Qur’an) bukanlah syair, sihir dan
juga perkataan dukun”.[3]
Dan lihat pula kesaksian al-Walid Ibnu Uqbah setelah mendengarkan bacaan ayat
al-Qur’an dari Nabi: “Sungguh pada apa yang dia
(Muhammad) bacakan terdapat keelokan dan keindahan. Ia bagaikan pohon yang
akarnya tertancap ke dalam dan atasnya penuh dengan buah-buahan. Dan sungguh yang
berkata ini bukanlah seorang manusia”. Akan tetapi, meski mereka
menyadari retorika al-Qur’an yang tak terjangkau itu, kekufuran tetap
membutakan hati mereka dan menjauhkannya dari keimanan kepada baginda Nabi
Muhammad Saw..
Al-Walid Ibnu al-Mughirah juga bagian dari mereka yang dilinglungkan
oleh al-Qur’an karena bahasanya. Dia menolak klaim bahwa Muhammad adalah
penyair, pun tidak mengakui bahwa ia adalah seorang yang gila, dan dia juga
membantah bahwa Muhammad adalah seorang dukun. Hal tersebut karena dia sadar,
klaim seperti itu hanya membuat lelucon yang menggelikan. Siapakah gerangan
yang tidak bisa membedakan antara syair, perkataan orang gila dan igauan para
dukun? Dan pada akhirnya, setelah melalui pemikiran dan renungan yang panjang,
dia mengatakan bahwa bacaan Muhammad adalah sihir.[4]
Di lain fraksi, kita juga menyaksikan bagaimana bahasa al-Qur’an mampu
melenturkan kerasnya hati Umar Ibnu al-Khatthab yang sebelumnya tidak ada
setetes harapan akan keislamannya. Bahkan seorang dari kaum Quraisy mengatakan:
“Orang ini (Umar) tidak akan memeluk Islam sebelum himar peliharaannya masuk
Islam terlebih dahulu”. Akan tetapi, setelah mendengar bacaan al-Qur’an,
dia langsung terpesona seraya berkata: “Betapa indah nan agungnya kalam ini”.[5]
Kesaksian dan pernyataan mereka ini adalah bukti nyata terhadap
kemukjizatan Kitab yang tiada tandingannya. Dan di fase ini, para pakar bayani
menyebut mukjizat al-Qur’an dengan istilah“i’jâz dzâtî”.
Namun, yang menjadi poin penting kita kali ini adalah: kapan i’jâz al-Qur’an
ini menjadi diskursus dalam dinamika keilmuan Islam? Kapan ia menjadi bola
panas di kancah pemikiran umat Islam? Siapakah yang pertama kali mengangkat
wacana i’jâz ini? Dan dari rahim ilmu manakah wacana ini hadir?
Sejatinya, kata “i’jâz” ataupun
“mukjizat” tidak akan kita jumpai dalam kamus al-Qur’an dan juga Hadis. Bahkan
ulama Islam abad ke-I dan ke-II hijriah tidak pernah memperbincangkan
problematika ini. Sehingga tidaklah salah kalau Mahmud Muhammad Syakir
mengklaim kata ini adalah kata baru yang digaungkan oleh ulama abad ke-III
hijriah.[6]
Walaupun demikan, umat Islam di masa awal Islam bukan berarti tidak mengimani
kemukjizatan al-Qur’an. Iman tersebut mewujud dalam diri mereka sebagai sebuah
totalitas kesadaran yang tidak mampu dirasionalisasikan.
Hadirnya ilmu kalam, sekitar akhir abad ke-II dan awal abad ke-III
hijriah, pasca akulturasi budaya Islam dengan budaya asing, khususnya Yunani,
mampu membawa warna baru dalam dinamika pemikiran saat itu. Keagamaan yang
awalnya hanya bertumpu kepada keimanan dan kesadaran, kini ia harus mampu
dirasionalisasikan. Eksistensi ketuhanan dan kenabian harus mampu dibuktikan
dengan nalar ilmiah rasionalis. Hal ini, karena musuh-musuh Islam–Yahudi dan
Nashrani–bagaikan ular berbisa yang menebarkan racunnya seputar Islam dengan
senjata filsafat dan pemikiran asing lainnya yang mengharuskan umat Islam harus
menagkal dan melawannya dengan senjata yang sama.
Adalah al-Nazzham (w 231 H), gembong kaum Muktazilah yang aktif
mendeklarsikan pemikirannya dalam perdebatan para teolog. Selain ia dikenal
ahli retorika, ia lebih dikenal sebagai teolog yang handal dan disegani pihak lawan ataupun kawan. Dia
berusaha merasionalisasi konsep kenabian dalam agama. Seseorang yang mengaku
nabi haruslah membawa bukti kenabiaannya yang berupa sesuatu yang luar biasa
yang tidak mampu dilakukan oleh kaum dan penentangnya. Di sinilah, al-Nazzham
berusaha menelaah dan menyingkap faktor ketidak mampuan suatu umat untuk
menghadirkan semisal yang dihadirkan
oleh nabinya.
Menurutnya, bukti kenabian Musa; membelah lautan dan juga Isa;
menyembuhkan orang buta, membangkitkan orang yang sudah mati dan lainnya adalah
fenomena luar biasa. Keinginan musuh untuk menghadirkan hal serupa sangatlah
mustahil, karena ia berada diluar kemampuan manusia. Dan kelemahan ini–menurut
al-Nazzham–sangatlah rasional. Akan tetapi, ketika ia menelaah bukti kenabian
Muhammad; al-Qur’an, fenomena luar biasa itu tidaklah tampak.[7]
Adalah irrasional jikalau orang Arab-jahili,
yang pandai bersilat lidah dan membangun gubahan-gubahan syair yang indah,
tidak mampu menghadirkan semisal al-Qur’an. Sebab ia tersusun dari huruf, kata
dan bahasa yang dikenal dan dipakai mereka dalam kesehariannya. Maka,–dalam pandangannya–haruslah ada kekuatan
eksternal yang tidak berasal dari diri al-Qur’an yang menjadi fakor kelemahan sang lawan. Di
sinilah ia menelurkan konsep sharfahnya; al-Qur’an tidaklah mengandung
mukjizat dengan sendirinya, melainkan Tuhan memalingkan orang Arab untuk
menghadirkan al-Qur’an tandingan. Dan seandainya Tuhan tidak memalingkan
mereka, maka tentu mereka mampu melahirkan al-Qur’an tandingan itu.
Konsep sharfah yang diciptakan al-Nazzham ini sangatlah
berbahaya. Karena ia tidak hanya menganggap al-Qur’an biasa-biasa saja,
melainkan juga menghapus setiap keistimewan dan keagungan susunan dan
bahasanya.[8]
Al-Jahizh (w 255 H), sahabat sekaligus murid dan pengagung al-Nazzham, yang
mempunyai cita rasa sastra yang tinggi melihat kefatalan yang sangat krusial
dalam konsep temannya itu. Sehingga ia dalam berbagai karyannya membela bahasa
dan susunan–nazham–al-Qur’an. Menurutnya, jikalau al-Qur’an dibacakan
kepada mereka yang ahli sastra dan retorika, walaupun satu surat yang panjang
ataupun yang pendek, maka mereka akan bertekuk lutut memperlihatkan
kelemahannya.[9] Meski
demikian, al-Jahizh yang juga seorang muktazilah tidak serta-merta menolak
konsep sharfah ini. Akan tetepi, konsep sharfah al-Jahizh jelas
berbeda dengan konsep sharfah al-Nazzham. Kerena sharfah al-Jahizh
bukanlah faktor dominan kelemahan lawan, melainkan bahasa dan susunan al-Qur’an
adalah sesuatu yang fundamental dalam mukjizat kitab yang menjadi bukti
kenabian Muhammad Saw..[10]
Namun demikian, meski mereka berdua (al-Nazzham dan al-Jahizh) yang
mula-mula menggaungkan diskursus tentang i’jâz, akan tetapi mereka tidak
menggunakan istilah tersebut. Mereka menggunakan istilah “dalâil al-nubuwah”,
“hujaj al-nubuwah”–seperti risalah al-Jahizh sendiri yang bertemakan “Hujaj
al-Nubuwah”–dan sebagainya untuk menunjukakan kepada peristiwa luar biasa
yang menjadi bukti konkrit kenabian. Menurut Mahmud Muhammad Syakir, orang
pertama yang menampilakan kata i’jâz adalah
al-Wasithi yang juga seorang Muktazilah (w 306 H) . hal itu tetuang
dengan jelas dalam kitabnya “I’jâz al-Qur’an”. Ironisnya, kitabnya ini
tidak sampai kepada kita sekarang.[11]
Sharfah, sebagai konsep i’jâz al-Qur’an
pertama, menjadi bola panas yang terus menyala dan bergulir dalam medan
perdebatan para teolog, tak terkecuali di tubuh kaum Muktazilah sendiri. Kita sudah
melihat, bagaimana al-Jahizh berusaha dengan keras untuk membuktikan bahwa
kemukjizatan al-Qur’an terdapat dalam susunannya. Sehingga dia menulis kitab
fenomenalnya “al-Ihtijâj li Nazhm al-Qur’an, meski dia tidak menolak secara
simultan konsep sharfah yang didengungkan oleh Sahabatnya, al-Nazzham
itu.
Al-Rummani (w 386 H), seorang ahli bahasa dan teolog Muktazilah
berpandangan, al-Qur’an mempunyai tujuh sisi kemukjizatan: petama, berpalingnya
orang Arab dari tantangan al-Qur’an. Kedua, tantangan al-Qur’an yang
ditujukan kepada semua makhluk. Ketiga, sharfah. Keempat, balaghahnya. Kelima,
berita gaib yang dibawa al-Qur’an. Keenam, susunannya yang tidak
biasa. Dan ketujuh, meng-analogikan al-Qur’an dengan mukjizat yang lain.[12]
Akan tetapi, jika kita membaca kitabnya “al-Nukat fi I’jâz al-Qur’an”, kita
akan menemukan sisi kemukjizatan al-Qur’an dalam sisi balaghah
mendominasi pemikirannya. Dan bahkan bisa dikatakan, setiap halaman kitabnya
berbicara tentang balaghah al-Qur’an. Fenomena ini–bagi penulis–adalah
geliat untuk melepaskan diri dari konsep sharfah di tubuh Muktazilah
sendiri. Walaupun al-Rummani menyatakan dengan tegas bahwa sharfah adalah
bagian dari sisi kemukjizatan al-Qur’an yang terang benderang bagi mereka yang
menggunakan akalnya.
“ Adapun sharfah,
maka ia adalah memalingkan keinginan untuk menghadapi tantangan. Sebagian pakar
ilmu berpedoman bahwa kemukjizatan al-Qur’an terdapat dalam sharfah ini. Dan
ini–sharfah–adalah sesuatu yang luar biasa sepertihalnya mukjizat para nabi
yang lain. Sharfah ini bagi kami adalah sebagian dari kemukjizatan al-Qur’an yang
nyata menurut akal pikiran.”[13]
Bagaimanapun dialektika yang terjadi di tubuh Muktazilah seputar
mukjizat al-Qur’an ini,–hemat penulis–mereka tetap memberikan kontribusi yang
besar dalam perkembangan keilmuan i’jâz di era setelahnya.
Konsep Keindahan Retorika–Balaghah–Bahasa
al-Qur’an
Seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa
kehadiran konsep sharfah dalam diskursus mukjizat al-Qur’an menjadi bola
panas di kalangan para teolog Muktazilah sendiri. Dan–kalau boleh
dikatakan–sebagian dari mereka secara perlahan berusaha melepaskan diri dari
konsep sharfah tersebut.
Di dalam sakte teologi yang berbeda–Asy’ariah–, kita akan melihat
bagaimana konsep sharfah ini berusaha ditumbangkan. Meskipun dalam
domain teologi konsep ini mendapatkan legalitasnya yang absah, akan
tetapi–seperti yang disinggung oleh al-Kahattabi (w 388 H), yang berakidah
Asy’ariah–ia bertentangan dengan konsep tahaddi–tantangan–yang tersurat
dalam QS. Al-Isrâ’ (17): 88, yang maknanya berbunyi:
“Katakanlah,
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan
al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
mereka saling membantu satu sama lain”
Dalam ayat ini sangatlah jelas tantangan al-Qu’ran yang secara tersurat
menuntut adanya usaha dan kerja keras dari para penentangnya untuk mendatangkan
al-Qur’an tandingan. Berbeda dengan konsep sharfah yang meniadakan
secara total usaha dan kerja keras yang disinggung dalam al-Qur’an tersebut.[14]
Al-Baqillani (w 403 H), tokoh Asy’ariah yang juga ahli retorika ini juga
menolak konsep sharfah yang dihadirkan oleh rival abadinya–sekte
Muktiazilah–. Dalam pandangannya, konsep sharfah akan menghapus semua
keistimewaan yang dibawa oleh bahasa al-Qur’an. Dan pada akhirnya, kalam Tuhan
tidak ada bedanya dengan kalam manusia biasa. Begitupun seandainya konsep sharfah
ini dibenarkan, maka tidak ada gunannya al-Qur’an direkonstruksi dengan
susunan yang indah dan bahasa yang fasih serta menakjubkan.[15]
Tumbangnya konsep sharfah dalam kacamata Asy’arian ini tidak
menghentikan laju bola panas dalam polemik wacana i’jâz. Ia membuka
problematika baru dalam diskursus kemukjizatan al-Qur’an. Para ahli retorika
yang mengklaim, kemukjizatan al-Qur’an terdapat dalam keindahan dan ke-balaghah-an
bahasanya harus mampu membuktikan keindahan tersebut. PR baru bagi mereka
adalah membuktikan bahwa keindahan bahasa al-Qur’an mengungguli dan bahkan
tidak mungkin dicapai oleh para penyair dan ahli retorika manapun. Mereka juga
harus menggali letak atau faktor yang mampu mempoles keindahan al-Qur’an
sedemikian rupa hingga ia berada di puncak kemustahilan untuk direkonstruksi
oleh manusia.
Untuk menemukan titik keindahan bahasa al-Qur’an ini tidaklah mudah.
Kata Balaghah dan nazhm yang menjadi istilah familier dalam diskursus mukjizat al-Qur’an ternyata
tidak menemukan kerangka definitnya. Ia menjadi istilah yang akrab di telinga
tanpa diketahui apa maksud dan hakikatnya. Hal ini diungkapkan oleh al-Khattabi
sendiri dalam risalahnya “Bayân I’jâz al-Qur’an”:
“Oleh karenanya, jika
mereka ditanyakan tentang definisi balaghah yang menjadi keistimewaan
al-Qur’an, dan dengannya al-Qur’an mampu mengungguli retorika selainnya, jika
mereka ditanyakan tentang makna yang menjadi keistimewaan dalam retorika
bahasa, maka mereka akan berkata, “Sesungguhnya tidaklah mungkin untuk
menggambarkan dan mendefinisikan keindahan al-Qur’an dengan penjelasan yang
jelas dan pasti”.[16]
Begitupun dengan al-Baqillani, dia tidak memberikan kerangka definitif
yang pasti dalam konsep keindahan dan ke-balaghah-an al-Qur’an.
Menurutnya, balaghah al-Qur’an hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh
mereka yang mempunyai cita rasa yang tinggi dan mengetahui beragam retorika dan kefasihan bahasa.[17]
Meskipun tidak bisa dipungkiri, kalau karyanya, I’jâz al-Qur’an menjadi
rujukan primer bagi mereka yang menelaah kemukijizatan bahasa al-Qur’an
setelahnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perspektif al-Rummani yang
mengatakan, balaghah adalah pengaruh makna dalam bingkai kata yang indah
yang dirasakan oleh hati.[18]
Dalam domain yang berbeda, yaitu diskursus kritik sastra, Ibnu Salam
al-Jumahi sebelumnya sudah mengeluarkan
pernyataan, dikutip oleh Muhammad Mandur, yang–kurang lebih–sama dengan statement
yang dikeluarkan oleh al-Baqillani. Keindahan dalam sebuah syair–menurut Ibnu
Salam–hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mempunyai cita rasa yang tinggi
dan berkompeten dalam berbagai fan sastra. Syair diibaratkan mata uang–seperti
dirham dan dinar–yang keindahan, keaslian dan kepalsuannya hanya dapat
diketahui oleh orang yang ahli dalam penukaran uang.[19]
Hal ini mengindikasikan kalau istilah balaghah belum mampu untuk
dijadikan metodologi atau barometer yang jelas untuk menjadi objek kemukjizatan
al-Qur’an yang ilmiah dan memuaskan nalar pikir umat Islam saat itu. Dan ini
tidaklah aneh, mengingat perkembangan pemikiran metodologis saat itu belumlah
matang dan lebih mengedepankan intuisi yang dimiliki seorang pengkaji.
Hadirnya al-Qadhi Abd al-Jabbar (w 415 H), salah satu tokoh muktazilah
ternama ini dinilai sedikit mampu mengurangi kebekuan dan menyingkap tabir dari
hakikat balaghah dan fashahah
yang menjadi titik terang kemukjizatan al-Qur’an. Dalam pandangan
Abd al-Jabbar, kefasihan dalam bahasa tidak terdapat di dalam kata perkata,
melainkan ia akan tampak ketika kata itu digabung dengan kata yang lain dalam
susunan tertentu. Bukanlah makna yang membawa keindahan, akan tetapi kata yang
indah adalah faktor keistimewaan di dalam bahasa dan sastra.[20]
Statement Abd al-Jabbar ini
mengindikasikan kalau keindahan bahasa al-Qur’an terdapat di dalam bunyi kata
dan suaranya. Sebuah karya sastra akan dinilai indah jika kata-katanya
menyejukkan telinga dan nada-nadanya membawa gema dan irama syahdu nan merdu.
Akan tetapi, konsep Abd al-Jabbar ini tidak lama berdiri tegak. Karena
hadirnya Abd al-Qahir al-Jurjani (w 425 H) mampu merobohkannya. Bagi
al-Jurjani, keindahan dalam bahasa dan sastra tidaklah terdapat pada kata dan
pernak-perniknya, melainkan ia mengikuti makna dan maksud yang dikandungnya.
Agar suatu kata itu dinilai indah, maka makna haruslah indah terlebih dahulu. Bukanlah
pendengaran yang menilai keindahan dan keistimewan dalam bahasa, melainkan hati
dan nalar pikir yang jernihlah yang mampu mengetahui keistimewaan tersebut.[21]
Ke-balghah-an dan kefasihan dalam bahasa terdapat dalam ketepatan
pemilihan kata untuk menunjukkan kepada makna yang dituju sesuai alur atau siyâqnya.
Keindahan makna yang tergambar dalam kata ini dapat diketahui melalui nazhm atau
susunannya. Sehingga menurut al-Jurjani, kemukjizatan al-Qur’an berada dalam nazhmnya.[22]
Nazhm versi al-Jurjani ini adalah menggali
keistimewaan makna-makna sintaksis (ilmu nahwu atau i’rab) dan hukumnya yang
tesimpan diantara susunan katanya. Makna-makna sintaksis itulah yang menjadi
sumber ketinggian dan keagungan retorika al-Qur’an. Sehingga objek kajian nazhm
ini terpusat kepada kedudukan kata perspektif kaidah sintaksis (ilmu nahwu)
dengan melacak keistimewaan makna yang dibawanya, seperti halnya fâ’il,
maf’ûl, mubtada’, khabar, hal, nakirah, ma’rifat, taqdîm, ta’khîr dan
bentuk-bentuk yang lainnya.
Untuk membangun konsep nazhm ini, al-Jurjani terlebih dahulu
membersihkan tuduhan-tuduhan kotor terhadap ilmu nahwu yang dicetuskan oleh
Imam Sibawaih dan juga syair. Karena keduanya ini–ilmu nahwu dan syair–adalah
pondasi dalam menciptakan konsep nazhm-nya.[23]
Dan nazhm versi al-Jurjani inilah yang menjadi pusat perhatian hingga
sekarang dalam merasionalisasi kemukjizatan al-Qur’an. Dengan ini, al-Jurjani
tidak hanya dinilai mampu membuka tabir kemukjizatan al-Qur’an, namun dia juga
berhasil mencetuskan ilmu baru dalam dinamika keilmuan Islam; yaitu ilmu ma’âni
dan bayân (ilmu balaghah) dalm kedua karya fenomenalnya; Asrâr al-Balâghah dan
Dalâil al-I’jâz.
Untuk sedikit menampilkan keistimewaan konsep nazhm dalam
mendedah keindahan retorika al-Qur’an, mari kita perhatikan kedua ayat
al-Qur’an ini:
وسيق الذين
كفروا إلى جهنم زمرا حتى إذا جاءوها فتحت أبوابها وقال لهم خزنتها ألم يأتكم رسل
منكم يتلون عليكم أيات ربكم وينذرونكم لقاء يومكم هذا...
“Dan diantarlah
orang-orang kafir ke neraka jahanam berbondong-bondong hingga ketika mereka
sampai ke sana maka dibukalah pintunya dan berkatalah kepada mereka para
penjaganya, “Bukankah sudah datang kepada kamu rasul-rasul dari jenis kamu yang
membacakan ayat-ayat Tuhan-mu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan hari ini?...””[24]
Kemudian bandingkan dengan ayat berikutnya:
وسيق الذين
اتقوا ربهم إلى الجنة زمرا حتى إذا جاءوها وفتحت أبوابها وقال لهم خزنتها سلام
عليكم طبتم فادخلوها خالدين
“Dan diantarlah orang-orang yang
bertakwa kepad Tuhan mereka ke surga, hingga ketika mereka sampai ke sana dan
telah dibukalah pintunya dan berkatalah para penjaganya kepada mereka, “Salam
sejahtera untuk kamu semua, berbahagialah dan masuklah ke surga kekal abadi””[25]
Sejenak kita
perhatikan kedua ayat di atas dengan seksama, maka akan kita temukan susunan
kata dan kalimat yang serupa kecuali nama kelompok, tempat yang mereka huni dan
kata sambutan para malaikat kepada masing-masing kelompok itu. Namu, jika kita
lebih jeli lagi, terdapat susunan kata yang sedikit berbeda; penambahan huruf
wawu setelah kata “futihat” dalam ayat kedua. Sedangkan di dalam ayat
pertama, kata “futihat” tidak disandengkan dengan huruf wawu.
Sepintas kita
tidak menemukan perbedaan makna yang tergambar dalam huruf wawu ini. Akan
tetapi, jika kita dedah susunan ayat di atas dengan konsep nazhm; menyingkap
makna sintaksis, maka perbedaan dan keindahan susunan al-Qur’an ini akan tampak
di hadapan kita.
Di dalam ilmu balaghah, susunan dengan penghubung wawu disebut dengan washal.
Dan susunan yang tidak terdapat kata penghubung wawu disebut dengan fashal. Jika
kita melihat kedua ayat di atas dengan kacamata sintaksis, maka kata “futihat”
dalam ayat pertama merupakan jawaban dari jumlah syarthiah sebelumnya.
Sehingga ayat pertama ini menggambarkan kalau pintu neraka itu terbuka ketika
penghuni nerak berada di depannya dan hendak memasukinya.[26]
Sedangkan dalam ayat kedua, kata “futihat” bukan berupa jawaban,
melainkan ia diathafkan kepada jumlah sebelumnya, sehingga kedudukannya
sama. Seakan ayat kedua ini menggambarkan kalau pintu surga sudah terbuka lebar,
jauh sebelum penghuni surga datang. Sangat menarik sekali penggambaran M. Quraish
Shihab mengenai kedua ayat ini:
“Jika anda
mengantarkan seorang penjahat ke penjara atau tempat penyikasaan, ketika anda
sampai di pintu penjara, anda akan menemukan pintu itu tertutup rapat. Ia baru
dibuka apabila terpidana akan dimasukkan ke dalamnya. Ini berbeda dengan
seseorang yang anda nantikan kedatangan dan menghormati kedatangannya. Jauh
sebelum tibanya, pintu gerbang talah terbuka lebar untuk menyambutnya. Sehingga
bukan seperti keadaan penjahat tadi.”[27]
Begitulah kiranya gambaran keistimewaan konsep nazhm yang digaungkan
oleh al-Jurjani ini untuk membuktikan keagungan dan keindahan susunan bahasa
al-Qur’an. Nazhm, sebagai kemukjizatan al-Qur’an sangatlah komprehensif.
Karena ia terdapat dalam setiap surat, ayat, kalimat, kata dan bahkan
huruf-huruf al-Qur’an.
Epilog
Konsep nazhm yang dihadirkan oleh al-Jurjani, sebagai
kemukjizatan al-Qur’an yang dirasakan oleh masyarakat Islam awal dan diakui
oleh para pakar ilmu bahasa di setiap masa, tidak menutup jalan bagi kehadiran
mukjizat-mukjizat al-Qur’an yang lain, semisal mukjizat al-Qur’an dalam
syariahnya, berita gaib, universalitas hukum, sains, komonikasi dan sebagainya.
Akan tetapi, nazhm al-Qur’anlah yang menjadi titik tolak kekuatan
al-Qur’an saat menantang para penentangnya di awal kehadirannya. Dan nahzmlah
yang membuat masyarakat Arab jahili bertekuk lutut berada dalam totalitas
kelemahannya.
Dan terakhir, penulis hanya bisa berkesimpulan, “Makna itu tersimpan
dibalik kata-kata. Kaidah sintaksis bagaikan kunci untuk membuka setiap
rahasia. Retorika bahasa adalah jalan menuju kepadanya. Maka selayaknya, kita
tidak mengabaikan yang sudah nyata”. Wallâhu ta’âlâ a’lam.
By; Rahmat Hidayat
Mahasiswa aktif al-Azhar
Fakultas bahasa Arab
[1] M. Quraish Shihab, Mukjizat
al-Qur’an; Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib,
Mizan, Jakarta, hal. 25
[3] Muhammad Abd
al-Rahman Abd al-Zhahir dan Zakaria Abd Majid al-Nouti, al-Adab fî ‘Ashray
Shadr al-Islâm wa Banî Umayyah, Maktabah al-Iman li al-Nasyr wa al-Tauzik,
hal. 7, tt
[4] Abd al-Qahir
al-Jurjani, al-Risâlah al-Syafiyah, dimuat dalam “Stalâst Rasâil fî
al-I’jâz”, ditahkik oleh Muhammad khalafullah Ahmad dan Muhammad Zaghlul
Salam, Darul Ma’arif, Kairo, cet. VIII, 2015, hal. 122
[6] Mahmud Muhammad Syakir, Madâkhil I’jâz al-Qur’an, Mathba’ah
al-Madani, Kairo, cet. I, 2002, hal. 23
[9] Abd al-Qahir al-Jurjani, Dalâil al-I’jâz, ditahkik
oleh Mahmud Muhammad Syakir, Mathba’ah al-Madani, cet. III, 1992, hal. 251
[12] Abi Hasan Ali al-Rummani, al-Nukat fî I’jâz al-Qur’an,
dimuat dalam “Stalâst Rasâil fî al-I’jâz”, Op. cit., hal. 75
[14] Abi Sulaiman al-Khatthabi, Bayân I’jâz al-Qur’an, dimuat
dalam “Stalâst Rasâil fî al-I’jâz”, Op. cit., hal. 23
[15] Abu Bakar al-Baqillani, I’jâz al-Qur’an, ditahkik
oleh Ahmad Shaqar, Darul Maarif, Kairo, cet. VII, 2010, hal. 29
[19] Muhammad Mandur, al-Naqd al-Manhajî ‘Ind al-Arab, Daru Nahdet Mishr,
Giza, cet. IX, 2014, hal. 18. Lihat juga Ibnu Salam al-Jumahi, Thabaqât
al-Syu’arâ’, hal 17
[26] Abu Qasim Mahmud al-Zamakhsyari, al-Kassyâf, vol.
IV, Maktabah Taufiqiah, Kairo, cet. I, 2012, hal. 143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar