Mengapa Isra' dan Mi'raj?
Peristiwa Isra'
dan Mi'raj adalah serangkaian peristiwa agung yang terjadi kepada nabi Muhammad
Saw. Para pemikir Islam sepakat kebenaran adanya, kendati mereka bersilang
pendapat, kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi.
Para pemikir
timur dan barat beradu pacu memberi tafsir bagaimana Nabi diisra'kan? Di
kalangan pemikir timur hampir menemui kata sepakat bahwa peristiwa Isra' dan
Mi'raj bagian dari mukjizat yang Allah kehendaki kepada Rasul-Nya. Tanpa
meninggalkan pertanyaan bagaimana detailnya, karena mereka berangkat dari yang
namanya iman. Sebagaimana jawaban Abu Bakar saat ditanya oleh orang kafir
Quraish. Abu Bakar berkata, "Jika ia (Muhammad) yang berkata, saya
percaya." Menurut hemat penulis jalan ini (iman) lebih mudah diterima dan
berdamai dengan jiwa mukmin, dari pada harus mempersoalkan bagaimana dan
mengapa.
Jalan ini
berbeda dengan pemikir barat yang cenderung observatif menanggapi peristiwa
agung itu. Berangkat dari teori-teori ilmiah yang mereka tuhankan, bertanya
tentang keabsahannya. Bagaimana mungkin Muhammad mampu melakukan perjalanan
dengan kecepatan jauh melampaui kecepatan cahaya? Bagaimana ia mampu menembus
gravitasi bumi? Ini sekilas pertanyaan yang diketengahkan oleh pemikir barat.
Rasanya amat sulit menyelaraskan dan mengambil kesimpulan dari peristiwa yang
domainnya adalah kuasa Tuhan dengan bertumpu pada teori-teori ilmiah yang
bersandar pada penelitian yang berulang. Sedangkan Isra' dan Mi'raj hanya
terjadi sekali. Sehingga jalan keluar yang dihidangkan oleh sementara pemikir,
jangan bertanya bagaimana Israj dan Mijraj, namun mengapa Isra' dan Mi'raj?
Berangkat dari
pertanyaan kedua, saya mencoba menguraikan di sini. Isra' dan Mi'raj terjadi setelah Nabi kembali
dari Thaif. Lawatan misi dakwah kali ini sangat menguras psikis Nabi.
Intimidasi yang dilakukan penduduk Thaif menyisakan pengaruh besar pada jiwa
Nabi. Ia menduga kegagalan dakwah akibat kesalahannya yang membuat Tuhan tidak
senang kepadanya. Di sini tampak sekali sisi kemanusiaan Nabi sebagai utusan Allah. Merasa sedih akibat
langkah-langkahnya menemui kegagalan. Di saat itulah perlu ada sandaran mampu
membangkitkan kembali kaki-kaki yang lemah untuk melanjutkan langkah menggapai
asa. Sifat kemanusian yang tampak ini menjadi simbol agung atas penghambaan
seorang hamba di hadapan tuhannya. Tiap kali seorang hamba lemah tidak berdaya
selalu butuh kepada Sang Tuan, Allah.
Keadaan yang
menimpa Nabi diharapkan menjadi catatan bagi umatnya yang datang setelahnya
mengganti posisi beliau sebagai penyampai risalah bahwa mereka akan menemui
kesulitan-kesulitan sebagai ujian atas kesungguhan dakwahnya. Dai yang
benar-benar berkhidmat kepada Agama. Bukan sebaliknya, Agama yang berkhidmat
kepadanya. Agama menjadi alat untuk meraih hasrat-hasrat dunia. Wal 'Iyādzu
Billah.
Isra' dan Mijra'
inilah yang menjadi kehendak Allah untuk menjawab 'prasangka' kekasih-Nya.
Allah tidak berkehendak meninggalkan kekasih-Nya 'terluka'. Allah perintahkan
Jibril untuk menemani nabi Muhammad dalam perjalanan menemui-Nya. Pertemuan ini
menjadi energi baru untuk melanjutkan risalah Allah kepada seluruh alam
semesta.
Oleh
: Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar