Maret 03, 2018

,



















Assalamu alaikuam

Sangat senang membaca tulisan salah satu teman di media ini. Dimana dia membahas esensi suatu hal dan hakikatnya. Didalamnya berisi tentang pemberian nama surat kedua al-Qur’an dengan nama al-Baqarah yang bermakna sapi. Meskipun didalam surat itu ada beberapa kisah yang lebih bagus dari pada kisahnya sapi. Sebab yang penting adalah esensinya.

Beberapa hari sebelumnya ada artikel yang mengangkat tema tentang dilema mahasiswa rantau di tanah para nabi ini (yang tentunya juga tanah para fir’aun). Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) dengan segala dinamikanya yang dihadapi di tanah rantau penuh dengan tantangan. Universitas al-Azhar mungkin satu-satunya kampus yang tidak memberlakukan absen. Sehingga dengan itu para mahasiswa dengan leluasa bisa menghadiri majlis ta’lim yang lain atau membuat kegiatan sendiri. Tidak jarang juga sebagian mereka yang tidak hadir ke kampus karena alasan dingin, panas dan yang terbaru yaitu naiknya ongkos bus 80 coret, hehe....Bahkan tidak sedikit yang aktif dalam kegiatan yang kurang ilmiah dan pergi ke kampus hanya di waktu ujian.

Disinilah perlunya kita untuk membedakan antara tujuan utama (maqashid) dan yang menjadi perantara (wasail). Sehingga nanti kita tidak terjebak dalam kegiatan yang kurang bermanfaat. Tapi kita tidak boleh menutup mata bahwa perantara itu mempunyai hukum yang sama dengan tujuan utama. Kaidah dalam hal ini yang sering kita dengar diantaranya :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، للوسائل حكم المقاصد

Dari kedua kaidah itu bisa kita istinbat, bahwa jika ada seorang mahasiswa tidak bisa memenuhi kebutuhannya tanpa kerja maka dia wajib bekerja. Hanya saja permasalahan timbul dalam hal ini. Tidak sedikit dari sebagian oknum yang terlena dalam perantara sehingga tanpa terasa hal itu menjadi tujuan utama. Ketika mereka mendapatkan finansial yang cukup melimpah, justru tidak pernah hadir dalam majlis ilmu.

Beberapa kasus yang lain bisa disamakan dengan kejadian diatas terutama dalam hal berorganisasi. Sebab tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kita sudah “kebanjiran” organisasi. Maka diperlukan sebuah filter untuk menyaring organisasi yang bisa menunjang terhadap akademik kita.

Kembali lagi ke pembahasan awal, kita jangan hanya stagnan pada casing saja. Namun juga harus mementingkan esensi dalam berorganisasi dll. Jangan sampai semua itu menghambat tujuan utama.

Sekarang kita tinjau permasalahan ini dari ilmu logika (mantiq), sehingga kita bisa mencerna esensi suatu hal. Salah satu pembahasan dalam ilmu ini yaitu kulliy dzatiy (كلي ذاتي) dan kulliy aradliy(كلي عرضي). Kulliy dzatiy yaitu yang masuk didalam hakikat juz’iyyatnya. Andai kata hal tersebut terlepas maka esensinya akan hilang. Sebaliknya kulliy aradliy tidak termasuk di dalam hakikat dan meskipun ia terlepas esensi akan tetap ada. Contoh yang pertama yaitu “berfikir” bagi manusia dan untuk yang kedua “tertawa”.

Dari pembahasan itu bisa kita simpulkan bahwa “berfikir” itu merupakan esensi dan tidak bisa terlepas dari manusia. Makanya orang yang tidak bisa berfikir dengan baik disebut orang gila. Beda halnya dengan kata “tertawa”. Sebab meskipun tidak tertawa tetap dinamakan manusia.

Nah, sekarang kita bisa mengaplikasikan hal itu kedunia kita. Setiap kali berkeinginan melakukan suatu hal cobalah tanyakan pada hati anda yang paling dalam. Andai kata tidak melakukan hal ini, apakah saya tetap dinamakan mahasiswa ?.jawabannya ada di hati anda.
Terakhir saya tutup tulisan ini dengan kaidah yang berbunyi :

الاشتغال بغير المقصود إعراض عن المقصود
Wassalam

,

    

















Terdengar isak tangis seorang bocah di salah satu sudut bangunan beranyaman bambu. Mengadu kepada alam akan kesedihannya menjalani kehidupan barunya di pesantren. Bahkan Sudah dua hari ia mengurung diri di kamarnya. Setelah seminggu sebelum itu ayah & ibunya memondokannya di salah satu pesantren daerah jawa. Dengan harapan masa depan anaknya kelak lebih baik dari mereka. Menjadi anak yang sholeh, sopan, amanah serta berguna bagi nusa dan bangsa. Lantas datanglah salah satu santri senior menghampiri dan menghiburnya. “sampeyan harus sabar, nggak betah di pondok itu hal yang lumrah. hidup di pondok sebenarnya menyenangkan. Cobalah keluar dan bergabunglah dengan teman-teman disana. Apa sampeyan nggak bosan di kamar terus?”. Ia pun  berhenti menangis dan mulai merenungi apa yang di bicarakan seniornya itu.

Suasana di pesantren adalah hal yang baru baginya. ia merasakan keadaan yang berbeda dari sebelumnya saat di rumah. Ia melihat kerumunan para santri beriringan menuju sekolah dengan membawa beberapa kitab tanpa tas gendong yang lumrahnya di pakai seorang pelajar. terdengar juga lantunan ayat suci al quran yang berasal dari bangunan sekolah yang dibaca para santri sambil menunggu gurunya. Sholat berjamaah lima waktu. Dan tentu banyak hal-hal lain Yang menjadi ciri khas budaya pesantren yang berbeda dengan sekolah yang di luar. Berbanggalah mereka yang menjadi santri. Karena merekalah tergolong orang yang di kehendaki baik oleh Allah swt. Memperlajari ilmu agama. Dan merekalah calon ulama yang merupakan pewaris nabi Saw. Pesantren inilah yang Mencetak insan baik, berakhlak mulia, berkualitas serta berguna bagi bangsa & Negara. Ia jadi teringat pesan dari ayahnya, “Masa mudamu akan di mulai disini nak, ukirlah dengan baik, kamu sendiri yang akan menentukan seperti apa masa depanmu kelak. Syubbanul yaum rijalul ghad. pemuda sekarang adalah generasi masa depan, kamu harus rajin belajar, jangan bolos sekolah, asah kemampuanmu disini, patuhi semua perintah kiyai dan ikuti semua aturan yang ada di pesantren ini”.

Sejak saat itu ia lalui Hari-hari di pesantren di bawah bimbingan kiyai dan gurunya di sekolah.  Dengan teman-temannya ia Belajar bersama. ia pun sadar, dan berhenti mengurung diri di kamarnya. ia mulai aktif mengikuti kegiatan di pesantren dan sekolah. Di pesantren ia aktif di program tahfidz al quran & bahasa Arab, dan di sekolah ia menjadi anggota OSIS Aliyah. Jenjang pendidikan di pesantren ini lengkap. Dari ibtidaiyah sampai perguruan tinggi.  Semua yang ada di pesantren ia anggap keluarga kedua baginya.

Dalam satu kesempatan ketika ia memasuki kelas XII Aliyah, ia terpilih menjadi salah satu delegasi pesantren mengikuti lomba debat bahasa arab MTQ  tingkat nasional yang biasa diselenggarakan tiga tahun sekali. Ia lolos sampai babak final. Lawan tandingnya kali ini adalah kelompok  putri. Tema perlombaan saat itu ialah “Mahar politik”. Kesempatan pertama di isi oleh pihak lawannya. Mereka  mulai memperkenalkan satu per satu, kemudian menjelaskan dan mengupas tuntas tema pelombaan tersebut dan memepertahankan argumentnya. mereka menyampaikannya dengan lugas. kelompok Fajar sedikit  kagum akan kepandaian dan kelihaian musuhnya dalam mengulas tema tersebut. Dan dalam kesempatannya, ia dan kelompoknya tak mau kalah. mereka juga mengurai tema perdebatan kali ini dengan baik. lebih terperinci dari musuhnya. Dan  membantah pendapat lawannya dengan data-data yang akurat. Bahkan Logat mereka tak kalah dengan orang arab asli. Perlombaan kali ini memakan waktu hingga satu setengah jam lebih. Dan Di akhir perlombaan, para juri memutuskan kelompoknya lah yang menjadi juara 1 lomba debat b arab. Dari semua itu Fajar tetaplah rendah hati. Ia tidak berlebihan dalam menanggapinya. Semua itu tidak lain adalah karunia dari Allah Swt untuknya yang patut ia syukuri.

Singkat cerita, beberapa  tahun kemudian ia akhirnya lulus kuliah setelah tujuh tahun lamanya di pesantren dengan menjadi wisudawan dengan nilai terbaik seangkatannya. Ia juga telah menjadi seorang Hafidz Al Quran. Setelah itu ia berkeinginan mengabdikan dirinya di pesantren. Ia beranggapan semua apa yang di perolehnya selama di pesantren adalah amanah yang harus ia sebarkan kepada orang lain. dan hal itu menjadi kenyataan. pengurus pesantren merekrutnya menjadi guru sekolah di bagian putri . “Ustad Fajar, pak kiyai menunjuk sampeyan untuk mengajar & membimbing kelas XII Aliyah bagian putri, di sana kekurangan tenaga pengajar, bagaimana sampeyan siap?” ucap salah satu pengurus kepadanya. Karena memang saat itu keahliannya (Tafsir & Bahasa Arab) benar-benar di butuhkan. “insya Allah, kalau hal ini sudah perintah langsung dari kiyai insya Allah saya siap ustad” jawabnya. akhirnya ia laksanakan amanah dari kiyai dengan niatan mengabdikan dirinya di pesantren. Karena ia yakin semua perintah kiyai tentu ada hikmah di dalamnya.  

Hari pertama memasuki area sekolah bagian putri saat menuju kelas ia berpapasan dengan wanita anggun nan cantik. Ia hanya melihat sekilas dan kembali menundukan pandangannya. Tak lama kemudian ia tersentak kaget setelah wanita tadi menyapanya. “assalamu’alaikum, masih ingat dengan saya?”  Mendengar pertanyaan wanita itu ia beranikan diri membalikan badan dan melihatnya kembali. Ia mulai sedikit ingat wajah wanita yang berada di depannya itu. ternyata ia adalah wanita yang menjadi lawan debatnya dulu saat lomba. ia tampak berbeda dari sebelumnya. ia tambah anggun,cantik dan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. pantas lah ia tidak mengenali dan lupa dengannya. karena pertemuan mereka hanya sekali saat lomba. itu pun beberapa tahun yang lalu. “Waalaikum salam, kalau tidak salah Sampeyan yang ikut lomba debat bahas arab dulu ya, kenapa bisa ada di sini? wanita itu tersenyum. “kebetulan Saya mengumpulkan data di pesantren ini untuk di jadikan bahan penelitian penulisan skripsi saya, kebetulan ayah saya alumni sini. Besok lusa insya Allah saya balik ke kalimantan” pungkasnya. Sudah setengah bulan ia di pesantren tersebut. Atas petunjuk dari ayahnya. Semoga sukses dan lancar skripsinya”. tutur si Fajar. Di susul perkataan ”Aaamiin” dari Wanita itu sekaligus mengakhiri perbincangan mereka. terdengar bel tanda di mulainya jam pelajaran di sekolah itu. Ia pun segera memasuki kelas XII Aliyah. mengajar dan menerima setoran hafalan Al Quran tiap dua hari.

Hari–harinya Selain mengajar di sekolah Ia menjadi Khadim (pembantu) kiyai. belanja kebutuhan dapur ke pasar tiap pagi. mencucikan pakaian. menyapu halaman rumah (dhalem) tiap sore. membersihkan toilet. Semua kebutuhan yang berhubungan dengan kiyai ia kerjakan. Ia menjadikan semuanya itu sebagai tanda terima kasih terhadap gurunya yang telah mendidik dan membimbingnya sehingga ia menjadi seperti sekarang.   

Ia juga tergolong orang yang bertanggung jawab dalam menjalani amanah. sekecil apapun amanah itu akan ia penuhi dan laksanakan dengan tanggung jawab yang luar biasa. Dan Terbukti kurang lebih selama setahun mengajar, banyak anak didiknya berhasil menyelesaikan hafalan Al Quran dengan lancar dengan bimbingannya.

Suatu ketika ia di panggil mengahadap kiyai dan ditanyai beberapa hal. “kamu ini sudah dewasa, apakah tidak ada keinginan untuk menyempurnakan agama mu?, saya rasa sudah saatnya kamu menikah. ”  ia pun kaget mendengar pertanyaan tersebut. “mohon maaf sebelumnya kiyai, saya sendiri belum siap mengenai hal ini, sebab saya hanya pemuda miskin, belum punya penghasilan yang cukup untuk membangun keluarga” . jawabnya. “nggak usah memikirkan itu. Kehidupanmu bisa di bangun dengan baik. Kamu orangnya amanah. saya berencana menjodohkanmu dengan wanita pilihan saya ,ia wanita yang baik,sholehah, cantik dan pintar. kebetulan ayahnya meminta saya untuk mencarikan pemuda yang pas untuk anaknya. ia hanya mengharapkan pemuda yang sholeh serta amanah untuk putrinya. siapapun itu. dan saya anggap kamu adalah orang yang pas untuknya”.  ia pun bingung dan heran atas pernyataan kiyai.berikan saya waktu untuk, saya ingin berdoa dulu mohon petunjuk dari  Allah guna menindak lanjuti hal  ini”.  jawabnya dengan nada lembut tanda takdim seorang murid kepada gurunya. Ia pun mulai beristikhoroh. memohon petunjuk kepada Allah tiada henti dan akhirnya datanglah hidayah agar ia meneruskan apa yang di perintahkan kiyai.

Dan betapa kagetnya ia di sertai rasa bahagia setelah mengetahui wanita pilihan untuknya ternyata adalah Aisyah yang tak lain lawan tandingnya dulu saat lomba. Inilah Kehendak Allah Swt. Dan inilah balasan bagi hamba-Nya yang Amanah dan patuh terhadap guru. Tiada henti terucap kalimat Tasbih dan Syukur darinya. Pernikahan mereka di laksanakan dengan lantunan indah surah Ar-Rahman yang di bacakan oleh Fajar sebagai maharnya beserta mushaf Al Quran dan dua cincin Emas.

Oleh: Syarif

Februari 28, 2018

,



























[sekat ilmiah antara kemampuan nalar dan ketidaktahuan]

Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya` nya membagi seorag [dalam aspek pengetahuannya] menjadi 4 macam.

رجل يدري و يدري أنه يدري فهو عالم فاتبعوه
 Seorang yang yang mempunyai pengetahuan dan sadar atas pengetahuannya, maka dia adalah orang yang berpengetahuan, ikutilah.

رجل يدري و  لا يدري أنه يدري فهو نائم فأيقظوه
Seorang yang mempunyai pengetahuan namun dia tidak sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang tertidur, bangunilah.

رجل لا يدري و يدري أنه لا يدري فهو مسترشد فعلموه
Ada juga seorang yang tidak tau akan sesuatu, dan dia sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang membutuhkan petujuk, ajarilah.

رجل لا  يدري ولا يدري أنه لا يدري فهو جاهل فاحذروه
Dan yang terakhir adalah seorang yang tidak tau akan sesuatu tapi tidak sadar akan keterbatasannya, justru malah memaksakan nalarnya dan akhirnya gagal, maka dia adalah orang yang bodoh, hati-hatilah terhadap orang yang seperti itu.

Mengutip dari bukunya P.D M. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, “ dari Al-Quran dan Hadits dapat ditemukan puluhan petunjuk mengenai sikap ilmiah yang sangat diperhatikan oleh para ulama dan cendekiawan Muslim, sehingga pada akhirnya menjadi tradisi keilmuan mereka. Tradisi ilmiah ini juga (seharusnya) berlaku bagi kalangan akademisi, baik dari kalangan pendidik maupun peserta didik, termasuk mahasiswa.Tentu saja, tradisi ilmiah ini tidak disempitkan hanya untuk kalangan ulama ataupun akademisi saja, tapi juga berlaku bagi setiap orang yang menyandang atribut sebagai pembelajar. Salah satu bentuk tradisi itu adalah kejujuran ilmiah.”

Sikap menjunjung tinggi kejujuran ilmiah berarti secara sadar memposisikan diri sebagai orang yang memiliki keterbatasan ilmu dan dengan jujur mengungkapkan apa yang tidak (belum) diketahuinya. Hal ini melahirkan, antara lain, pernyataan “Allahu’alam” (Allah lebih mengetahui) setiap selesai merampungkan suatu pernyataan yang berada di luar ruang lingkupnya dan dengan jujur menjawab “saya tidak (belum) tahu” setiap diajukan pertanyaan yang tidak diketahui secara persis jawabannya. Bahkan, bisa saja tidak memberi jawaban -meski tahu jawabnya- jika  diantara mereka ada orang yang lebih mumpuni untuk menjawabnya.

Seseorang yang diajukan kepadanya suatu pertanyaan, yang tidak ia ketahui secara persis jawabannya, maka ia hanya memiliki tiga kemungkinan: Pertama, menjawab secara tidak jujur kepada diri sendiri dan yang bertanya; kedua, berusaha meyakinkan dirinya dan yang bertanya dengan memberikan jawaban yang ilmiah, meskipun belum tentu diyakini kebenarannya; ketiga, bersikap jujur dan terbuka dengan berkata “Saya tidak tahu” atau “saat ini saya belum tahu, tapi akan saya carikan jawabnya”. Jawaban ketiga inilah yang disebut sebagai kejujuran ilmiah. Sejauh mana pengetahuan seseorang hanya sampai sebatas ia mengatakan “saya tidak tahu.”

مَنْ رَأَيْتَهُ مُجِيْباً عَنْ كُلِّ ماَ سُئِلَ وَمُعَبِّراً عَنْ كُلِّ ماَ شَهِدَ وَذاَكِراً كُلَّ ماَ عَلِمَ فَاسْتَدِلَّ بِذَلِكَ عَلَى وُجُوْدِ جَهْلِهِ
“Orang yang selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”

Sikap demikian yang tertanam di kalangan ilmuwan Muslim masa lampau. Persoalan “Wallahu a’lam”(Allah-lah yang Maha Mengetahui) atau “Saya tidak tahu” tidak banyak yang menguasainya, tidak banyak yang berani mengucapkannya. Apalagi dalam persoalan-persoalan agama. Ketika seseorang ditanya tentang komputer, jawabnya, “Saya bukan pakar komputer. Saya tidak tahu masalah itu.” Ketika ia ditanya tentang kedokteran, ia menjawab, “Saya bukan dokter. Saya tidak bisa memberikan pendapat tentang hal itu.” Tapi, saat ia ditanya tentang agama padahal spesialisasinya bukanlah di bidang fikih, ia berani mengatakan haram atau halal, memasukkan seseorang ke surga atau ke neraka, ia bisa menjawab, “Ini masalah yang sangat jelas.” Tidak, sobat. Masalah ushul (metodologi pengambilan hukum), masalah qawaid (kaidah-kaidah pengambilan hukum), masalah asas (dasar-dasar pengambilan hukum), masalah uslub (gaya/model), bukanlah masalah yang sederhana. Di dalamnya terdapat banyak persoalan. Karena itu saat ada orang dari Mesir membawa 42 pertanyaan untuk Imam Darul Hijrah (Madinah), Malik bin Anas rahimahullah, Malik hanya menjawab 6 pertanyaan saja. Selebihnya ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Orang itu berkata, “Apakah saya akan kembali ke Mesir dan mengatakan bahwa Imam Darul Hijrah hanya menjawab 6 pertanyaan saja dan membiarkan yang 36?”Beliau berkata, “Saya menjawab, ‘Saya tidak tahu.’ dan dengan izin Allah saya masuk surga itu lebih baik daripada saya memberikan fatwa terhadap perkara yang saya tidak tahu dan saya masuk neraka.”Sekarang engkau bisa menemukan orang yang sangat berani memberikan fatwa. Ibnu Mas’ud pada tahun 35 H. berkata, “Dalam sehari saya mendengar jawaban dari 10 fatwa yang andaikata Umar bin Khaththab ra. ditanya tentang hal itu ia akan mengumpulkan para peserta perang Badar.” Ini pada zaman Ibnu Mas’ud.Apalagi pada zaman kita sekarang ini. Anak kecil bisa memberikan fatwa. Orang tua dapat memberikan fatwa. Anak kecil menganggap dirinya Imam Malik. Orang tua mengakui diri sebagai Abu Hanifah. Wanita menganggap dirinya Aisyah. Subhanallahil ‘adzim.Seakan-akan agama tidak punya pemangku. Karena itu, benar apa yang dikatana Ibnu `Athaillah “Orang yang selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”

Sekian banyak di antara kita yang berbicara tentang segala macam ilmu seolah tidak dikenal lagi spesialisasi. Sekian banyak kita terlibat dalam pembicaraan yang bukan merupakan ranah pengetahuan kita. Sikap semacam inilah yang melahirkan isu dan pemahaman baru yang tidak komprehensif sehingga menimbulkan banyak salah penafsiran. Jika tidak tahu, katakan dengan apa adanya bahwa “saya tidak (belum) tahu” dan jika perlu cari kebenarannya. Namun, jangan pula menyembunyikan pengetahuan yang kita miliki jika memang benar-benar diperlukan. Inilah yang perlu kita tradisikan kembali dalam dunia keilmuan kita. Perkembangan IPTEK jangan membuat kita malu untuk berkata “saya tidak tahu” atau “Allahu’alam”. Namun, jangan pula ketidaktahuan tersebut membuat kita berhenti belajar. Wallahu’alam.

 Setengah ilmu adalah bertanya dan setengah sisanya adalah mengatakan aku tak tahu untuk perkara yang memang tidak diketahuinya. Abu Dawud berkata:

قَوْلُ الرَّجُلِ فِيمَا لَا يَعْلَمُ: لَا أَعْلَمُ نِصْفُ الْعِلْم

“Ucapan seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya: ‘Aku tak tahu’ adalah setengah ilmu.”
Semua ilmu yang kita ketahui tidak harus kita keluarkan.Semua mempunyai situasi dan kondisi tertentu. Itu bisa dijadikan sebagai tanda atas kebodohannya. Karena ia banyak bicara. Padahal banyak bicara bisa menyebabkan kesalahan menumpuk, yang menunjukkan kebodohan seseorang. Hingga ulama berkata, “Orang alim dapat diketahui ilmunya saat ia berbicara dan saat ia diam.”.Wallahu A`lam wa Ya`lam.

25 Februari 2018

Hayy `asyir nashr city cairo mesir

Oleh : Ahmad Mahfudz


Februari 27, 2018

,





















Senja!

Senyum hangat yang kau suguhkan
sehangat teh kopyor yang sering kau hidangkan.
Andai ada kata yang melebihi terima kasih,
Sudah tentu kuucap untukmu.

Senja!

Kau membuatku berdiri tegak bagaikan alif
dalam kelembutan akhlakmu.
Semangatmu membakar iblis-iblis yang bersua ria
di singgasananya.

Senja!

Kau menjelma sebagai hanyalah, bukan adalah.
Hingga membuatku terlena akan kecantikanmu.
Kemuliaan yang kau miliki menggumpal menjadi
taman penuh cahaya yang kuinginkan.

Senja!

Kuawali ritualku dengan bertasbih di jalanNya.
Kulantunkan butir-butir mutiara yang tersusun rapi
dalam setiap hembusan nafasku.
Desir-desir kecemburuanpun mulai tercium.
Mengguncang ketentraman kerajaan berselimut api.

Senja!

Jubah kesucian menghiasi jejakmu.
Terlukis menjadi hias pelangi.
Bertabur dalam kabut keindahan.
Hingga saatnya, aku pun menjadi senja yang bertasbih.



 Oleh: Senja Bertasbih








Februari 26, 2018

,


















Sebelum kita masuk dalam tema yang diangkat dalam tulisan ini, ada satu hal yang menurut saya penting untuk disampaikan. Di era dimana radikalisme membayangi keseharian kita, muncul sebuah stigma baru yang mengatakan bahwa sumber radikalisme itu adalah Sayyid Quthb dengan karya fenomenalnya, “fî Dzilâl al-Qur’an”.

Terlepas dari benar tidaknya pernyataan ini, stigma yang distempelkan kepada Sayyid Quthb ini barang kali akan membuat tembok pemisah bagi sebagian orang sehingga dia enggan untuk melihat karya-karyanya atau bahkan membencinya secara total; membenci keseluruhan pemikirannya karena satu pemikirannya yang tidak kita terima. Sikap seperti ini bagi saya adalah radikalisme dengan wajah yang lainnya. Alih-alih dia menjauh dari radikalisme, namun secara tidak sadar dia masuk ke dalam radikalisme dengan wajah barunya.

Di sini penting untuk saya berkata bahwa tidak ada kitab tafsir yang sempurna; jauh dari cacat dan tidak tersentuh oleh kekurangan apapun. Jika tafsir Ibnu Katsir dinilai sebagai tafsir representatif dalam genre tafsir kolaboratif antara ma’tsur dan ma’qul, maka sejatinya ia juga memuat kisah-kisah israiliyyat yang di era sekarang dipandang sebagai aib dalam penafsiran al-Qur’an. Begitu pun juga dengan tafsir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari dan yang lainnya. Akan tetapi, bintik hitam dalam kitab tafsir tersebut janganlah membuat kita berpaling dari keindahan atau kebenaran yang ditawarkan di dalamnya.

Syaikh Muhammad Abu Musa dalam salah satu majelis ta’limnya pernah berkata, “Seandainya Iblis mempunya sebuah karya maka saya pun akan membacanya.”Jika karya Iblis saja tidak terlarang bagi kita untuk membaca dan mengambil pelajaran darinya, apalagi itu adalah karya seorang manusia yang seandainya kita bertanya, “Apakah Sayyid Quthb akan bahagia seandainya dia melihat aksi radikalisme di era kini?” maka tidak akan menemukan jawaban yang pasti. Seorang Muslim yang menghargai akal tentu sepantasnya untuk membuka diri dan menerima hikmah dari mana pun ia datang.

Lalu kemudian, pandangan seperti apa yang disuguhkan oleh Sayyid Quthb dalam mendedah keindahan al-Qur’an? Barangkali saya akan menyebutnya bahwa konsep Sayyid Quthb ini adalah perpanjangan tangan dari konsep yang dicetuskan Al-Jurjani dan dipraktekkan dengan apik oleh Al-Zamakhsyari dalam al-Kassyâf-nya. Meski saya mengakui bahwa ada sisi sentral yang sama sekali berbeda antara dua konsep tersebut; konsep nadzm Al-Jurjani dan konsep seni fantasinya Sayyid Quthb (demikian saya menyebutnya).

Jika Al-Jurjani mendedah keindahan al-Qur’an berpusat pada dialektika kata dan makna, maka Sayyid Quthb berusaha masuk ke dalam keindahan al-Qur’an melalui seni fantasi yang diplikasikan al-Qur’an setiap kali ia mengutarakan pesan dan kandungannya.

Dalam pandangan Sayyid Quthb, al-Qur’an menempuh satu jalan dalam pendeskripsiannya, baik itu berkenaan dengan berita duka atau bahagia, kisah masa lalu yang sudah atau akan terjadi, argumentasi untuk memuaskan logika atau ajakan untuk beriman, penggambaran kehidupan di dunia atau di akhirat dan penjelasan tentang yang lainnya. Satu jalan yang menjadi media pendeskripsian dalam al-Quran ini adalah “Seni Pemotretan”, begitu Sayyid Quthb menyebutnya.

Ya, Sayyid Quthb mengajak kita menyelami keindahan al-Qur’an melalui daya khayalnya yang tinggi atau pemotretannya yang benilai seni. Setiap kali membaca al-Qur’an kita dituntut hanyut dalam gambaran al-Qur’an yang hidup meski ia berbicara mengenai makna-makna logikal atau emosianal, yang bisa jadi jika ia diungkapkan oleh seorang filosof maka akan menjadi rigid dan tidak menggerakkan emosi.

Sebagai contoh, ketika al-Qur’an hendak menggambarkan goncangan akidah yang dialami oleh sebagian atau banyak orang, ketika ia hendak mendeskripsikan keimanan seseorang yang tidak berada dalam hati yang teguh, dia mengatakannya seperti ini:
و من الناس من يعبد الله على حرف ،فإن أصابه خير اطمأن به ، و إن أصابته فتنة انقلب على وجهه ، خسر الدنيا و الأخرة.
Artinya:
            Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (pinggiran). Maka tatkala dia mendapat kebajikan dia merasa tenang. Dan jika dia ditimpa suatu cobaan maka dia tersungkur ke belakang. Dia rugi di dunia dan akhirat.” (QS: al-Haj: 11)

Al-Qur’an tidak langsung mengatakan, ada sebagian manusia yang menyembah Allah dalam keraguan, atau katakanlah, akidah yang masih goyang. Namun, al-Qur’an menggambarkan keadaan jiwa yang dalam keraguan tersebut dengan pemotretan yang indah dan secara apik menggambarkan goncangan kejiwaan yang olang-aling. Al-Qur’an mengibaratkannya dengan seseorang yang beribadah di pinggiran bangunan. Tentu hatinya berdebar-debar, takut jatuh tidak karuan, terlebih jika kondisi sekitarnya tidak membuatnya tenang semisal angin yang bertiup kencang menerpannya.

Di sini, al-Qur’an menampilkan sesuatu yang maknawi menjadi sesuatu yang indrawi. Sehingga seakan kita melihat kondisi kejiwaan yang olang-aling tadi dengan mata indrawi kita. Sehingga makna yang disampaikan al-Qur’an menjadi hidup dan tidak kering-kerontang.

Inilah yang disebut Sayyid Quthb dengan “Seni Fantasi atau Pemotretan” di dalam al-Qur’an yang harus kita hadirkan setiap kali membacanya, sehingga kita bisa menikamati keindahan pemandangan yang tidak bisa dilukis dengan pensil, namun al-Qur’an melukiskannya dengan kata-kata, hingga ia menjadi gambar atau pemandangan yang berseni tinggi. Jika kita mentadabburi setiap bahasa penyampaian al-Qur’an, maka ia tidak bisa lepas dari “Seni Pemotretan” ini. (Bersambung)

Oleh: Rahmat Miskaya


Follow Us @soratemplates