Maret 03, 2018

Utamakan Tujuan Utama




















Assalamu alaikuam

Sangat senang membaca tulisan salah satu teman di media ini. Dimana dia membahas esensi suatu hal dan hakikatnya. Didalamnya berisi tentang pemberian nama surat kedua al-Qur’an dengan nama al-Baqarah yang bermakna sapi. Meskipun didalam surat itu ada beberapa kisah yang lebih bagus dari pada kisahnya sapi. Sebab yang penting adalah esensinya.

Beberapa hari sebelumnya ada artikel yang mengangkat tema tentang dilema mahasiswa rantau di tanah para nabi ini (yang tentunya juga tanah para fir’aun). Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) dengan segala dinamikanya yang dihadapi di tanah rantau penuh dengan tantangan. Universitas al-Azhar mungkin satu-satunya kampus yang tidak memberlakukan absen. Sehingga dengan itu para mahasiswa dengan leluasa bisa menghadiri majlis ta’lim yang lain atau membuat kegiatan sendiri. Tidak jarang juga sebagian mereka yang tidak hadir ke kampus karena alasan dingin, panas dan yang terbaru yaitu naiknya ongkos bus 80 coret, hehe....Bahkan tidak sedikit yang aktif dalam kegiatan yang kurang ilmiah dan pergi ke kampus hanya di waktu ujian.

Disinilah perlunya kita untuk membedakan antara tujuan utama (maqashid) dan yang menjadi perantara (wasail). Sehingga nanti kita tidak terjebak dalam kegiatan yang kurang bermanfaat. Tapi kita tidak boleh menutup mata bahwa perantara itu mempunyai hukum yang sama dengan tujuan utama. Kaidah dalam hal ini yang sering kita dengar diantaranya :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، للوسائل حكم المقاصد

Dari kedua kaidah itu bisa kita istinbat, bahwa jika ada seorang mahasiswa tidak bisa memenuhi kebutuhannya tanpa kerja maka dia wajib bekerja. Hanya saja permasalahan timbul dalam hal ini. Tidak sedikit dari sebagian oknum yang terlena dalam perantara sehingga tanpa terasa hal itu menjadi tujuan utama. Ketika mereka mendapatkan finansial yang cukup melimpah, justru tidak pernah hadir dalam majlis ilmu.

Beberapa kasus yang lain bisa disamakan dengan kejadian diatas terutama dalam hal berorganisasi. Sebab tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kita sudah “kebanjiran” organisasi. Maka diperlukan sebuah filter untuk menyaring organisasi yang bisa menunjang terhadap akademik kita.

Kembali lagi ke pembahasan awal, kita jangan hanya stagnan pada casing saja. Namun juga harus mementingkan esensi dalam berorganisasi dll. Jangan sampai semua itu menghambat tujuan utama.

Sekarang kita tinjau permasalahan ini dari ilmu logika (mantiq), sehingga kita bisa mencerna esensi suatu hal. Salah satu pembahasan dalam ilmu ini yaitu kulliy dzatiy (كلي ذاتي) dan kulliy aradliy(كلي عرضي). Kulliy dzatiy yaitu yang masuk didalam hakikat juz’iyyatnya. Andai kata hal tersebut terlepas maka esensinya akan hilang. Sebaliknya kulliy aradliy tidak termasuk di dalam hakikat dan meskipun ia terlepas esensi akan tetap ada. Contoh yang pertama yaitu “berfikir” bagi manusia dan untuk yang kedua “tertawa”.

Dari pembahasan itu bisa kita simpulkan bahwa “berfikir” itu merupakan esensi dan tidak bisa terlepas dari manusia. Makanya orang yang tidak bisa berfikir dengan baik disebut orang gila. Beda halnya dengan kata “tertawa”. Sebab meskipun tidak tertawa tetap dinamakan manusia.

Nah, sekarang kita bisa mengaplikasikan hal itu kedunia kita. Setiap kali berkeinginan melakukan suatu hal cobalah tanyakan pada hati anda yang paling dalam. Andai kata tidak melakukan hal ini, apakah saya tetap dinamakan mahasiswa ?.jawabannya ada di hati anda.
Terakhir saya tutup tulisan ini dengan kaidah yang berbunyi :

الاشتغال بغير المقصود إعراض عن المقصود
Wassalam

3 komentar:

Follow Us @soratemplates