Masih ingat kasus Ratna Serumpaet yang
mengaku digebukin dan membuat kronologi penganiayaan yang dialaminya. Dari hoax-nya tersebut RS mampu membuat banyak masyarakat mengutuk kemalangan yang
menimpanya, meneriakkan keadilan untuknya dan bersatu untuk membantunya. Namun, faktanya hanya operasi plastik. Ini benar-benar konyol,
atas nama kemanusiaan kita begitu cepat mempercayai pernyataan orang lain tanpa
mengkaji informasi secara utuh. Hanya mendengarkan sebelah pihak saja, tentu sangat fatal.
Sekarang kita kembali tercengang
dengan kasus terbaru, seorang pelajar mengaku mendapat penganiayaan namun
seluruh hasil visum mengatakan dia dalam keadaan baik-baik saja. Lalu semakin banyak spekulasi lainya, bahwa
korban melakukan visum setelah beberapa hari kejadian sehingga wajar saja kalau
hasilnya begitu. Spekulasi lain
aparat dan segenap lembaga disuap uang
untuk membela para pelaku. Bermunculan begitu banyak cerita dan spekulasi namun
kenyataannya sangat pahit, seluruh hasil visum mengatakan, dia dalam keadaan
baik-baik saja, kecuali tentang mentalnya, dan ini masih diteliti oleh para
ahli yang mendampinginya.
Korban adalah sosok yang polos dan tidak tau
apa-apa namun dikeroyok. Ini tentu menggugah simpati masyarakat. Namun, kenyataanya dia memang terlibat sindir menyindir di sosial media. Setelah diteliti lebih
dalam lagi korban juga memiliki akun sosial dimana masuk pada kesimpulan dia
bukan anak yang polos seperti yang di deskripsikan media. Dengan gaya gaul dan hitsnya di sosial media,
foto ala selebgram dengan baju sexy dan sharing video konten dewasa yang
sebenarnya tidak layak untuk dishare. Namun, keluarga mengatakan akunnya dihack
dan seluruh foto maupun postingan yang tidak lazim telah dihapus. Padahal
beberapa postingan dan foto juga di postingan sebelum masalah ini muncul
kepublik. Namun, sudahlah jika memang itu klarifikasi dari orang tua korban.
Sampai disini kita bukan mempermasalahkan
kenakalan korban, bukan itu yang ingin saya sampaikan disini, tapi yang ingin
saya sampaikan kita sempat tidak adil memahami situasi ini. Kita sempat
melupakan teori sebab akibat. Kita hanya fokus mengadili para pelaku sementara
kita tidak berada ditempat. Kita belum
memfilter dengan benar apakah seluruh cerita yang disampaikan itu real atau
tidak. Kita belum memiliki bukti kuat,
tapi terlalu cepat memovonis para pelaku.
Inilah letak kesalahan kita sebagai orang dewasa. Harusnya kita lebih
bijak dan bersabar mencari akar permasalahnya.
Judul berita di media sangat tendensius
dua belas pelajar SMA mengeroyok satu pelajar SMP.
Hati mana yang tidak remuk membacanya. Para netizen yang mebaca
berita tersebut, juga teman-teman saya begitu gencar disosmed agar berita ini
segera sampai ke presiden dan mendapat keadilan. Bahkan ketika saya baca di
kolom komentar berita, para netizen pun mendoakan yang tidak-tidak pada dua
belas pelaku tersebut. Namun, kenyataanya dua belas pelajar itu tidak semuanya
terlibat, hanya tiga saja yang menjadi pelaku yang lain hanya menonton. Bahkan
satu orang tidak berada di tempat kejadian namun diduga menjadi sumber
percekcokan. Selain itu, yang tidak berada ditempat juga ikut menjadi sasaran
bullyng masyarakat dan fotonya disebarkan kemana-mana. Kita sangat emosional menyikapi persoalan ini
sampai kita tidak sadar kita semua juga telah menjadi pelaku bullying.
Sungguh kita harus menyatukan suara
untuk menentang bullying dan menghindari prilaku bullying tersebut agar tidak
dicontoh oleh generasi muda kita. Kasus pelajar SMP tersebut harus tetap
bergulir sesuai prosedur hukum dan keadilan harus ada untuknya jika memang ada
penganiayaan walau tidak terjadi pencolokan alat vital seperti kelarifikasi
beberapa media. Walau tubuhnya tidak biru lebam, dia tetap harus mendapatkan
keadilan bila tiga pelaku menyentuh tubuhnya.
Namun mungkin kita harus mengerem lidah dan jari kita agar tidak
menggebu-gebu sebagai hakim.
Korban dan pelaku butuh dampingan
psikolog. Belakangan sudah tersebar foto pelaku dengan korban, dari foto
tersebut mereka akrab artinya sudah saling mengenal. Pelaku juga mengatakan
bahwa orang tua pelaku pernah meminjam uang kepada korban dan sudah dilunasi
namun korban selalu mengungkit dan menyindir. Disini butuh proses panjang untuk
para ahli hukum dan psikolog anak untuk menemukan akar permasalahanya.
Permasalahan lain yang kita lupakan
yaitu mempertanyakan peran orang tua dalam mengontrol anak-anaknya. Baik itu
orang tua korban maupun pelaku. Bagaimana mungkin orang tua korban tidak
mengetahui anaknya mengalami penganiayaan berat seperti cerita versi anaknya,
dan bagaimana bisa orang tua para pelaku tidak memberi hukuman kepada
anak-anaknya atas kenakalanya, membiarkan anak masih eksis disosial media,
membuat video dikantor polisi, dan memaki sana sini melawan netizen; artinya
kontrol orang tua hilang dan ini bisa
jadi salah satu permasalahan yang mungkin akan digali lagi oleh para ahli.
Meskipun begitu saya tidak menyesal atas kentataan tersebut, saya tetap mendukung keadilan untuk anak SMP tersebut. Namun, saya juga
tidak mau menghakimi para pelaku, karena mereka juga harus dibina. Kasus ini
tamparan besar untuk para orang tua. Di
rumah, anak terlihat polos bukan lantas kita tidak mengawal akun sosial
medianya dan membiarkan dia dengan bebas pergi keluar rumah bersama orang asing
walau itu temanya sendiri. Untuk anak
dibawah umur bermain sosial media adalah toksin karena tidak semua anak mampu
memfilter mana yang baik dan buruk kecuali memang mendapat bimbingan dari orang
tua. Anak dibawah umur juga masih butuh perlakukan protektiv dari orang tua
agar tidak keluyuran, karena zaman sekarang tindak kriminalitas sangat rentan
menimpa anak dibawah umur.
oleh : Abdul Majid Washil al-Asy'ary
Semakin dewasa saja abang penulis ini😘
BalasHapus