April 14, 2019

Adil Menilai


         Masih ingat kasus Ratna Serumpaet yang mengaku digebukin dan membuat kronologi penganiayaan yang dialaminya. Dari hoax-nya tersebut RS mampu membuat banyak masyarakat mengutuk kemalangan yang menimpanya, meneriakkan keadilan untuknya dan bersatu untuk membantunya. Namun, faktanya hanya operasi plastik.  Ini benar-benar konyol, atas nama kemanusiaan kita begitu cepat mempercayai pernyataan orang lain tanpa mengkaji informasi secara utuh. Hanya mendengarkan sebelah pihak saja, tentu sangat fatal.

          Sekarang kita kembali tercengang dengan kasus terbaru, seorang pelajar mengaku mendapat penganiayaan namun seluruh hasil visum mengatakan dia dalam keadaan baik-baik saja.  Lalu semakin banyak spekulasi lainya, bahwa korban melakukan visum setelah beberapa hari kejadian sehingga wajar saja kalau hasilnya begitu.  Spekulasi lain aparat  dan segenap lembaga disuap uang untuk membela para pelaku. Bermunculan begitu banyak cerita dan spekulasi namun kenyataannya sangat pahit, seluruh hasil visum mengatakan, dia dalam keadaan baik-baik saja, kecuali tentang mentalnya, dan ini masih diteliti oleh para ahli yang mendampinginya.

           Korban adalah sosok yang polos dan tidak tau apa-apa namun dikeroyok. Ini tentu menggugah simpati masyarakat. Namun, kenyataanya dia memang terlibat sindir menyindir di sosial media. Setelah diteliti lebih dalam lagi korban juga memiliki akun sosial dimana masuk pada kesimpulan dia bukan anak yang polos seperti yang di deskripsikan media.  Dengan gaya gaul dan hitsnya di sosial media, foto ala selebgram dengan baju sexy dan sharing video konten dewasa yang sebenarnya tidak layak untuk dishare. Namun, keluarga mengatakan akunnya dihack dan seluruh foto maupun postingan yang tidak lazim telah dihapus. Padahal beberapa postingan dan foto juga di postingan sebelum masalah ini muncul kepublik. Namun, sudahlah jika memang itu klarifikasi dari orang tua korban.

          Sampai disini kita bukan mempermasalahkan kenakalan korban, bukan itu yang ingin saya sampaikan disini, tapi yang ingin saya sampaikan kita sempat tidak adil memahami situasi ini. Kita sempat melupakan teori sebab akibat. Kita hanya fokus mengadili para pelaku sementara kita tidak berada ditempat.  Kita belum memfilter dengan benar apakah seluruh cerita yang disampaikan itu real atau tidak.  Kita belum memiliki bukti kuat, tapi terlalu cepat memovonis para pelaku.  Inilah letak kesalahan kita sebagai orang dewasa. Harusnya kita lebih bijak dan bersabar mencari akar permasalahnya.

        Judul berita di media sangat tendensius dua belas pelajar SMA mengeroyok satu pelajar SMP.  Hati mana yang tidak remuk membacanya. Para netizen yang mebaca berita tersebut, juga teman-teman saya begitu gencar disosmed agar berita ini segera sampai ke presiden dan mendapat keadilan. Bahkan ketika saya baca di kolom komentar berita, para netizen pun mendoakan yang tidak-tidak pada dua belas pelaku tersebut. Namun, kenyataanya dua belas pelajar itu tidak semuanya terlibat, hanya tiga saja yang menjadi pelaku yang lain hanya menonton. Bahkan satu orang tidak berada di tempat kejadian namun diduga menjadi sumber percekcokan. Selain itu, yang tidak berada ditempat juga ikut menjadi sasaran bullyng masyarakat dan fotonya disebarkan kemana-mana.  Kita sangat emosional menyikapi persoalan ini sampai kita tidak sadar kita semua juga telah menjadi pelaku bullying.  

         Sungguh kita harus menyatukan suara untuk menentang bullying dan menghindari prilaku bullying tersebut agar tidak dicontoh oleh generasi muda kita. Kasus pelajar SMP tersebut harus tetap bergulir sesuai prosedur hukum dan keadilan harus ada untuknya jika memang ada penganiayaan walau tidak terjadi pencolokan alat vital seperti kelarifikasi beberapa media. Walau tubuhnya tidak biru lebam, dia tetap harus mendapatkan keadilan bila tiga pelaku menyentuh tubuhnya.  Namun mungkin kita harus mengerem lidah dan jari kita agar tidak menggebu-gebu sebagai hakim. 

         Korban dan pelaku butuh dampingan psikolog. Belakangan sudah tersebar foto pelaku dengan korban, dari foto tersebut mereka akrab artinya sudah saling mengenal. Pelaku juga mengatakan bahwa orang tua pelaku pernah meminjam uang kepada korban dan sudah dilunasi namun korban selalu mengungkit dan menyindir. Disini butuh proses panjang untuk para ahli hukum dan psikolog anak untuk menemukan akar permasalahanya.

            Permasalahan lain yang kita lupakan yaitu mempertanyakan peran orang tua dalam mengontrol anak-anaknya. Baik itu orang tua korban maupun pelaku. Bagaimana mungkin orang tua korban tidak mengetahui anaknya mengalami penganiayaan berat seperti cerita versi anaknya, dan bagaimana bisa orang tua para pelaku tidak memberi hukuman kepada anak-anaknya atas kenakalanya, membiarkan anak masih eksis disosial media, membuat video dikantor polisi, dan memaki sana sini melawan netizen; artinya kontrol orang tua  hilang dan ini bisa jadi salah satu permasalahan yang mungkin akan digali lagi oleh para ahli.

         Meskipun begitu saya tidak menyesal atas kentataan tersebut, saya tetap mendukung keadilan untuk anak SMP tersebut. Namun, saya juga tidak mau menghakimi para pelaku, karena mereka juga harus dibina. Kasus ini tamparan besar untuk para orang tua.  Di rumah, anak terlihat polos bukan lantas kita tidak mengawal akun sosial medianya dan membiarkan dia dengan bebas pergi keluar rumah bersama orang asing walau itu temanya sendiri.  Untuk anak dibawah umur bermain sosial media adalah toksin karena tidak semua anak mampu memfilter mana yang baik dan buruk kecuali memang mendapat bimbingan dari orang tua. Anak dibawah umur juga masih butuh perlakukan protektiv dari orang tua agar tidak keluyuran, karena zaman sekarang tindak kriminalitas sangat rentan menimpa anak dibawah umur.



                                                                                                          oleh : Abdul Majid Washil al-Asy'ary

1 komentar:

Follow Us @soratemplates