Februari 26, 2018

Menyelami Keindahan al-Qur’an ala Sayyid Quthb



















Sebelum kita masuk dalam tema yang diangkat dalam tulisan ini, ada satu hal yang menurut saya penting untuk disampaikan. Di era dimana radikalisme membayangi keseharian kita, muncul sebuah stigma baru yang mengatakan bahwa sumber radikalisme itu adalah Sayyid Quthb dengan karya fenomenalnya, “fî Dzilâl al-Qur’an”.

Terlepas dari benar tidaknya pernyataan ini, stigma yang distempelkan kepada Sayyid Quthb ini barang kali akan membuat tembok pemisah bagi sebagian orang sehingga dia enggan untuk melihat karya-karyanya atau bahkan membencinya secara total; membenci keseluruhan pemikirannya karena satu pemikirannya yang tidak kita terima. Sikap seperti ini bagi saya adalah radikalisme dengan wajah yang lainnya. Alih-alih dia menjauh dari radikalisme, namun secara tidak sadar dia masuk ke dalam radikalisme dengan wajah barunya.

Di sini penting untuk saya berkata bahwa tidak ada kitab tafsir yang sempurna; jauh dari cacat dan tidak tersentuh oleh kekurangan apapun. Jika tafsir Ibnu Katsir dinilai sebagai tafsir representatif dalam genre tafsir kolaboratif antara ma’tsur dan ma’qul, maka sejatinya ia juga memuat kisah-kisah israiliyyat yang di era sekarang dipandang sebagai aib dalam penafsiran al-Qur’an. Begitu pun juga dengan tafsir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari dan yang lainnya. Akan tetapi, bintik hitam dalam kitab tafsir tersebut janganlah membuat kita berpaling dari keindahan atau kebenaran yang ditawarkan di dalamnya.

Syaikh Muhammad Abu Musa dalam salah satu majelis ta’limnya pernah berkata, “Seandainya Iblis mempunya sebuah karya maka saya pun akan membacanya.”Jika karya Iblis saja tidak terlarang bagi kita untuk membaca dan mengambil pelajaran darinya, apalagi itu adalah karya seorang manusia yang seandainya kita bertanya, “Apakah Sayyid Quthb akan bahagia seandainya dia melihat aksi radikalisme di era kini?” maka tidak akan menemukan jawaban yang pasti. Seorang Muslim yang menghargai akal tentu sepantasnya untuk membuka diri dan menerima hikmah dari mana pun ia datang.

Lalu kemudian, pandangan seperti apa yang disuguhkan oleh Sayyid Quthb dalam mendedah keindahan al-Qur’an? Barangkali saya akan menyebutnya bahwa konsep Sayyid Quthb ini adalah perpanjangan tangan dari konsep yang dicetuskan Al-Jurjani dan dipraktekkan dengan apik oleh Al-Zamakhsyari dalam al-Kassyâf-nya. Meski saya mengakui bahwa ada sisi sentral yang sama sekali berbeda antara dua konsep tersebut; konsep nadzm Al-Jurjani dan konsep seni fantasinya Sayyid Quthb (demikian saya menyebutnya).

Jika Al-Jurjani mendedah keindahan al-Qur’an berpusat pada dialektika kata dan makna, maka Sayyid Quthb berusaha masuk ke dalam keindahan al-Qur’an melalui seni fantasi yang diplikasikan al-Qur’an setiap kali ia mengutarakan pesan dan kandungannya.

Dalam pandangan Sayyid Quthb, al-Qur’an menempuh satu jalan dalam pendeskripsiannya, baik itu berkenaan dengan berita duka atau bahagia, kisah masa lalu yang sudah atau akan terjadi, argumentasi untuk memuaskan logika atau ajakan untuk beriman, penggambaran kehidupan di dunia atau di akhirat dan penjelasan tentang yang lainnya. Satu jalan yang menjadi media pendeskripsian dalam al-Quran ini adalah “Seni Pemotretan”, begitu Sayyid Quthb menyebutnya.

Ya, Sayyid Quthb mengajak kita menyelami keindahan al-Qur’an melalui daya khayalnya yang tinggi atau pemotretannya yang benilai seni. Setiap kali membaca al-Qur’an kita dituntut hanyut dalam gambaran al-Qur’an yang hidup meski ia berbicara mengenai makna-makna logikal atau emosianal, yang bisa jadi jika ia diungkapkan oleh seorang filosof maka akan menjadi rigid dan tidak menggerakkan emosi.

Sebagai contoh, ketika al-Qur’an hendak menggambarkan goncangan akidah yang dialami oleh sebagian atau banyak orang, ketika ia hendak mendeskripsikan keimanan seseorang yang tidak berada dalam hati yang teguh, dia mengatakannya seperti ini:
و من الناس من يعبد الله على حرف ،فإن أصابه خير اطمأن به ، و إن أصابته فتنة انقلب على وجهه ، خسر الدنيا و الأخرة.
Artinya:
            Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (pinggiran). Maka tatkala dia mendapat kebajikan dia merasa tenang. Dan jika dia ditimpa suatu cobaan maka dia tersungkur ke belakang. Dia rugi di dunia dan akhirat.” (QS: al-Haj: 11)

Al-Qur’an tidak langsung mengatakan, ada sebagian manusia yang menyembah Allah dalam keraguan, atau katakanlah, akidah yang masih goyang. Namun, al-Qur’an menggambarkan keadaan jiwa yang dalam keraguan tersebut dengan pemotretan yang indah dan secara apik menggambarkan goncangan kejiwaan yang olang-aling. Al-Qur’an mengibaratkannya dengan seseorang yang beribadah di pinggiran bangunan. Tentu hatinya berdebar-debar, takut jatuh tidak karuan, terlebih jika kondisi sekitarnya tidak membuatnya tenang semisal angin yang bertiup kencang menerpannya.

Di sini, al-Qur’an menampilkan sesuatu yang maknawi menjadi sesuatu yang indrawi. Sehingga seakan kita melihat kondisi kejiwaan yang olang-aling tadi dengan mata indrawi kita. Sehingga makna yang disampaikan al-Qur’an menjadi hidup dan tidak kering-kerontang.

Inilah yang disebut Sayyid Quthb dengan “Seni Fantasi atau Pemotretan” di dalam al-Qur’an yang harus kita hadirkan setiap kali membacanya, sehingga kita bisa menikamati keindahan pemandangan yang tidak bisa dilukis dengan pensil, namun al-Qur’an melukiskannya dengan kata-kata, hingga ia menjadi gambar atau pemandangan yang berseni tinggi. Jika kita mentadabburi setiap bahasa penyampaian al-Qur’an, maka ia tidak bisa lepas dari “Seni Pemotretan” ini. (Bersambung)

Oleh: Rahmat Miskaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates