[sekat
ilmiah antara kemampuan nalar dan ketidaktahuan]
Imam Abu Hamid
Al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya` nya membagi seorag [dalam aspek
pengetahuannya] menjadi 4 macam.
رجل يدري و يدري أنه
يدري فهو عالم فاتبعوه
Seorang yang yang mempunyai pengetahuan dan
sadar atas pengetahuannya, maka dia adalah orang yang berpengetahuan, ikutilah.
رجل يدري و لا يدري أنه يدري فهو نائم فأيقظوه
Seorang yang mempunyai
pengetahuan namun dia tidak sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang
tertidur, bangunilah.
رجل لا يدري و يدري أنه
لا يدري فهو مسترشد فعلموه
Ada juga seorang yang
tidak tau akan sesuatu, dan dia sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang
membutuhkan petujuk, ajarilah.
رجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فهو جاهل فاحذروه
Dan yang terakhir
adalah seorang yang tidak tau akan sesuatu tapi tidak sadar akan
keterbatasannya, justru malah memaksakan nalarnya dan akhirnya gagal, maka dia
adalah orang yang bodoh, hati-hatilah terhadap orang yang seperti itu.
Mengutip dari bukunya
P.D M. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, “ dari Al-Quran dan Hadits
dapat ditemukan puluhan petunjuk mengenai sikap ilmiah yang sangat diperhatikan
oleh para ulama dan cendekiawan Muslim, sehingga pada akhirnya menjadi tradisi
keilmuan mereka. Tradisi ilmiah ini juga (seharusnya) berlaku bagi kalangan
akademisi, baik dari kalangan pendidik maupun peserta didik, termasuk
mahasiswa.Tentu saja, tradisi ilmiah ini tidak disempitkan hanya untuk kalangan
ulama ataupun akademisi saja, tapi juga berlaku bagi setiap orang yang
menyandang atribut sebagai pembelajar. Salah satu bentuk tradisi itu adalah
kejujuran ilmiah.”
Sikap menjunjung
tinggi kejujuran ilmiah berarti secara sadar memposisikan diri sebagai orang
yang memiliki keterbatasan ilmu dan dengan jujur mengungkapkan apa yang tidak
(belum) diketahuinya. Hal ini melahirkan, antara lain, pernyataan “Allahu’alam” (Allah
lebih mengetahui) setiap selesai merampungkan suatu pernyataan yang berada di
luar ruang lingkupnya dan dengan jujur menjawab “saya tidak (belum) tahu”
setiap diajukan pertanyaan yang tidak diketahui secara persis jawabannya.
Bahkan, bisa saja tidak memberi jawaban -meski tahu jawabnya- jika
diantara mereka ada orang yang lebih mumpuni untuk menjawabnya.
Seseorang yang diajukan
kepadanya suatu pertanyaan, yang tidak ia ketahui secara persis jawabannya,
maka ia hanya memiliki tiga kemungkinan: Pertama, menjawab secara
tidak jujur kepada diri sendiri dan yang bertanya; kedua, berusaha
meyakinkan dirinya dan yang bertanya dengan memberikan jawaban yang ilmiah,
meskipun belum tentu diyakini kebenarannya; ketiga, bersikap jujur
dan terbuka dengan berkata “Saya tidak tahu” atau “saat ini saya belum tahu,
tapi akan saya carikan jawabnya”. Jawaban ketiga inilah yang disebut sebagai kejujuran
ilmiah. Sejauh mana pengetahuan seseorang hanya sampai sebatas ia mengatakan
“saya tidak tahu.”
مَنْ رَأَيْتَهُ مُجِيْباً عَنْ كُلِّ ماَ سُئِلَ وَمُعَبِّراً عَنْ
كُلِّ ماَ شَهِدَ وَذاَكِراً كُلَّ ماَ عَلِمَ فَاسْتَدِلَّ بِذَلِكَ عَلَى
وُجُوْدِ جَهْلِهِ
“Orang yang selalu menjawab semua
pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang
diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”
Sikap demikian yang tertanam di kalangan
ilmuwan Muslim masa lampau. Persoalan “Wallahu a’lam”(Allah-lah
yang Maha Mengetahui) atau “Saya tidak tahu” tidak banyak yang menguasainya,
tidak banyak yang berani mengucapkannya. Apalagi dalam persoalan-persoalan agama. Ketika seseorang ditanya tentang komputer,
jawabnya, “Saya bukan pakar komputer. Saya tidak tahu masalah itu.” Ketika ia
ditanya tentang kedokteran, ia menjawab, “Saya bukan dokter. Saya tidak bisa
memberikan pendapat tentang hal itu.” Tapi, saat ia ditanya tentang agama
padahal spesialisasinya bukanlah di bidang fikih, ia berani mengatakan haram
atau halal, memasukkan seseorang ke surga atau ke neraka, ia bisa menjawab,
“Ini masalah yang sangat jelas.” Tidak, sobat. Masalah ushul (metodologi
pengambilan hukum), masalah qawaid (kaidah-kaidah pengambilan
hukum), masalah asas (dasar-dasar pengambilan hukum),
masalah uslub (gaya/model), bukanlah masalah yang sederhana. Di
dalamnya terdapat banyak persoalan. Karena itu saat ada orang dari Mesir membawa 42
pertanyaan untuk Imam Darul Hijrah (Madinah), Malik bin Anas rahimahullah,
Malik hanya menjawab 6 pertanyaan saja. Selebihnya ia menjawab, “Saya tidak
tahu.” Orang itu berkata, “Apakah saya akan kembali ke Mesir dan mengatakan
bahwa Imam Darul Hijrah hanya menjawab 6 pertanyaan saja dan membiarkan yang
36?”Beliau berkata, “Saya menjawab, ‘Saya tidak tahu.’ dan dengan izin Allah
saya masuk surga itu lebih baik daripada saya memberikan fatwa terhadap perkara
yang saya tidak tahu dan saya masuk neraka.”Sekarang engkau bisa menemukan
orang yang sangat berani memberikan fatwa. Ibnu Mas’ud pada tahun 35 H. berkata,
“Dalam sehari saya mendengar jawaban dari 10 fatwa yang andaikata Umar bin
Khaththab ra. ditanya tentang hal itu ia akan mengumpulkan para
peserta perang Badar.” Ini pada zaman Ibnu Mas’ud.Apalagi pada zaman kita
sekarang ini. Anak kecil bisa memberikan fatwa. Orang tua dapat
memberikan fatwa. Anak kecil menganggap dirinya Imam Malik. Orang tua mengakui
diri sebagai Abu Hanifah. Wanita menganggap dirinya Aisyah. Subhanallahil ‘adzim.Seakan-akan agama tidak punya pemangku.
Karena itu, benar apa yang dikatana Ibnu `Athaillah “Orang yang selalu
menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut
semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”
Sekian banyak di antara kita yang berbicara
tentang segala macam ilmu seolah tidak dikenal lagi spesialisasi. Sekian banyak kita
terlibat dalam pembicaraan yang bukan merupakan ranah pengetahuan kita. Sikap
semacam inilah yang melahirkan isu dan pemahaman baru yang tidak komprehensif
sehingga menimbulkan banyak salah penafsiran. Jika tidak tahu, katakan dengan apa adanya
bahwa “saya tidak (belum) tahu” dan jika perlu cari kebenarannya. Namun, jangan
pula menyembunyikan pengetahuan yang kita miliki jika memang benar-benar
diperlukan. Inilah yang perlu kita tradisikan kembali dalam dunia
keilmuan kita. Perkembangan IPTEK jangan membuat kita malu untuk berkata “saya
tidak tahu” atau “Allahu’alam”. Namun, jangan pula ketidaktahuan
tersebut membuat kita berhenti belajar. Wallahu’alam.
Setengah ilmu adalah
bertanya dan setengah sisanya adalah mengatakan aku tak tahu untuk perkara yang
memang tidak diketahuinya. Abu Dawud berkata:
قَوْلُ
الرَّجُلِ فِيمَا لَا يَعْلَمُ: لَا أَعْلَمُ نِصْفُ الْعِلْم
“Ucapan seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya: ‘Aku tak tahu’
adalah setengah ilmu.”
Semua
ilmu yang kita ketahui tidak harus kita keluarkan.Semua mempunyai situasi dan
kondisi tertentu. Itu bisa dijadikan sebagai tanda atas kebodohannya. Karena ia
banyak bicara. Padahal banyak bicara bisa menyebabkan kesalahan menumpuk, yang
menunjukkan kebodohan seseorang. Hingga ulama berkata, “Orang alim dapat diketahui ilmunya saat
ia berbicara dan saat ia diam.”.Wallahu A`lam wa Ya`lam.
25
Februari 2018
Hayy `asyir nashr city cairo mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar