Februari 28, 2018

لا أدري




























[sekat ilmiah antara kemampuan nalar dan ketidaktahuan]

Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya` nya membagi seorag [dalam aspek pengetahuannya] menjadi 4 macam.

رجل يدري و يدري أنه يدري فهو عالم فاتبعوه
 Seorang yang yang mempunyai pengetahuan dan sadar atas pengetahuannya, maka dia adalah orang yang berpengetahuan, ikutilah.

رجل يدري و  لا يدري أنه يدري فهو نائم فأيقظوه
Seorang yang mempunyai pengetahuan namun dia tidak sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang tertidur, bangunilah.

رجل لا يدري و يدري أنه لا يدري فهو مسترشد فعلموه
Ada juga seorang yang tidak tau akan sesuatu, dan dia sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang membutuhkan petujuk, ajarilah.

رجل لا  يدري ولا يدري أنه لا يدري فهو جاهل فاحذروه
Dan yang terakhir adalah seorang yang tidak tau akan sesuatu tapi tidak sadar akan keterbatasannya, justru malah memaksakan nalarnya dan akhirnya gagal, maka dia adalah orang yang bodoh, hati-hatilah terhadap orang yang seperti itu.

Mengutip dari bukunya P.D M. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, “ dari Al-Quran dan Hadits dapat ditemukan puluhan petunjuk mengenai sikap ilmiah yang sangat diperhatikan oleh para ulama dan cendekiawan Muslim, sehingga pada akhirnya menjadi tradisi keilmuan mereka. Tradisi ilmiah ini juga (seharusnya) berlaku bagi kalangan akademisi, baik dari kalangan pendidik maupun peserta didik, termasuk mahasiswa.Tentu saja, tradisi ilmiah ini tidak disempitkan hanya untuk kalangan ulama ataupun akademisi saja, tapi juga berlaku bagi setiap orang yang menyandang atribut sebagai pembelajar. Salah satu bentuk tradisi itu adalah kejujuran ilmiah.”

Sikap menjunjung tinggi kejujuran ilmiah berarti secara sadar memposisikan diri sebagai orang yang memiliki keterbatasan ilmu dan dengan jujur mengungkapkan apa yang tidak (belum) diketahuinya. Hal ini melahirkan, antara lain, pernyataan “Allahu’alam” (Allah lebih mengetahui) setiap selesai merampungkan suatu pernyataan yang berada di luar ruang lingkupnya dan dengan jujur menjawab “saya tidak (belum) tahu” setiap diajukan pertanyaan yang tidak diketahui secara persis jawabannya. Bahkan, bisa saja tidak memberi jawaban -meski tahu jawabnya- jika  diantara mereka ada orang yang lebih mumpuni untuk menjawabnya.

Seseorang yang diajukan kepadanya suatu pertanyaan, yang tidak ia ketahui secara persis jawabannya, maka ia hanya memiliki tiga kemungkinan: Pertama, menjawab secara tidak jujur kepada diri sendiri dan yang bertanya; kedua, berusaha meyakinkan dirinya dan yang bertanya dengan memberikan jawaban yang ilmiah, meskipun belum tentu diyakini kebenarannya; ketiga, bersikap jujur dan terbuka dengan berkata “Saya tidak tahu” atau “saat ini saya belum tahu, tapi akan saya carikan jawabnya”. Jawaban ketiga inilah yang disebut sebagai kejujuran ilmiah. Sejauh mana pengetahuan seseorang hanya sampai sebatas ia mengatakan “saya tidak tahu.”

مَنْ رَأَيْتَهُ مُجِيْباً عَنْ كُلِّ ماَ سُئِلَ وَمُعَبِّراً عَنْ كُلِّ ماَ شَهِدَ وَذاَكِراً كُلَّ ماَ عَلِمَ فَاسْتَدِلَّ بِذَلِكَ عَلَى وُجُوْدِ جَهْلِهِ
“Orang yang selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”

Sikap demikian yang tertanam di kalangan ilmuwan Muslim masa lampau. Persoalan “Wallahu a’lam”(Allah-lah yang Maha Mengetahui) atau “Saya tidak tahu” tidak banyak yang menguasainya, tidak banyak yang berani mengucapkannya. Apalagi dalam persoalan-persoalan agama. Ketika seseorang ditanya tentang komputer, jawabnya, “Saya bukan pakar komputer. Saya tidak tahu masalah itu.” Ketika ia ditanya tentang kedokteran, ia menjawab, “Saya bukan dokter. Saya tidak bisa memberikan pendapat tentang hal itu.” Tapi, saat ia ditanya tentang agama padahal spesialisasinya bukanlah di bidang fikih, ia berani mengatakan haram atau halal, memasukkan seseorang ke surga atau ke neraka, ia bisa menjawab, “Ini masalah yang sangat jelas.” Tidak, sobat. Masalah ushul (metodologi pengambilan hukum), masalah qawaid (kaidah-kaidah pengambilan hukum), masalah asas (dasar-dasar pengambilan hukum), masalah uslub (gaya/model), bukanlah masalah yang sederhana. Di dalamnya terdapat banyak persoalan. Karena itu saat ada orang dari Mesir membawa 42 pertanyaan untuk Imam Darul Hijrah (Madinah), Malik bin Anas rahimahullah, Malik hanya menjawab 6 pertanyaan saja. Selebihnya ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Orang itu berkata, “Apakah saya akan kembali ke Mesir dan mengatakan bahwa Imam Darul Hijrah hanya menjawab 6 pertanyaan saja dan membiarkan yang 36?”Beliau berkata, “Saya menjawab, ‘Saya tidak tahu.’ dan dengan izin Allah saya masuk surga itu lebih baik daripada saya memberikan fatwa terhadap perkara yang saya tidak tahu dan saya masuk neraka.”Sekarang engkau bisa menemukan orang yang sangat berani memberikan fatwa. Ibnu Mas’ud pada tahun 35 H. berkata, “Dalam sehari saya mendengar jawaban dari 10 fatwa yang andaikata Umar bin Khaththab ra. ditanya tentang hal itu ia akan mengumpulkan para peserta perang Badar.” Ini pada zaman Ibnu Mas’ud.Apalagi pada zaman kita sekarang ini. Anak kecil bisa memberikan fatwa. Orang tua dapat memberikan fatwa. Anak kecil menganggap dirinya Imam Malik. Orang tua mengakui diri sebagai Abu Hanifah. Wanita menganggap dirinya Aisyah. Subhanallahil ‘adzim.Seakan-akan agama tidak punya pemangku. Karena itu, benar apa yang dikatana Ibnu `Athaillah “Orang yang selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”

Sekian banyak di antara kita yang berbicara tentang segala macam ilmu seolah tidak dikenal lagi spesialisasi. Sekian banyak kita terlibat dalam pembicaraan yang bukan merupakan ranah pengetahuan kita. Sikap semacam inilah yang melahirkan isu dan pemahaman baru yang tidak komprehensif sehingga menimbulkan banyak salah penafsiran. Jika tidak tahu, katakan dengan apa adanya bahwa “saya tidak (belum) tahu” dan jika perlu cari kebenarannya. Namun, jangan pula menyembunyikan pengetahuan yang kita miliki jika memang benar-benar diperlukan. Inilah yang perlu kita tradisikan kembali dalam dunia keilmuan kita. Perkembangan IPTEK jangan membuat kita malu untuk berkata “saya tidak tahu” atau “Allahu’alam”. Namun, jangan pula ketidaktahuan tersebut membuat kita berhenti belajar. Wallahu’alam.

 Setengah ilmu adalah bertanya dan setengah sisanya adalah mengatakan aku tak tahu untuk perkara yang memang tidak diketahuinya. Abu Dawud berkata:

قَوْلُ الرَّجُلِ فِيمَا لَا يَعْلَمُ: لَا أَعْلَمُ نِصْفُ الْعِلْم

“Ucapan seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya: ‘Aku tak tahu’ adalah setengah ilmu.”
Semua ilmu yang kita ketahui tidak harus kita keluarkan.Semua mempunyai situasi dan kondisi tertentu. Itu bisa dijadikan sebagai tanda atas kebodohannya. Karena ia banyak bicara. Padahal banyak bicara bisa menyebabkan kesalahan menumpuk, yang menunjukkan kebodohan seseorang. Hingga ulama berkata, “Orang alim dapat diketahui ilmunya saat ia berbicara dan saat ia diam.”.Wallahu A`lam wa Ya`lam.

25 Februari 2018

Hayy `asyir nashr city cairo mesir

Oleh : Ahmad Mahfudz


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates