April 27, 2020

,

Oleh: M. Muniri

Dalam kesempatan ini penulis akan sedikit menjelaskan tentang apa makna dari puasa itu sendiri, baik secara bahasa maupun secara istilah.

Sebagai umat Islam sangatlah penting mengetahui makna dari puasa, dan kapan diwajibkan untuk melaksanakan ibadah tersebut. Agar lebih memantapkan keyakinan dan bertambahnya keikhlasan dalam mengerjakan ibadah tersebut.

Dalam kitab Mas’alah as-Siyam karangan Syekh Muhammad Thantawi dijelaskan bahwasanya makna saum (puasa) secara bahasa memiliki arti: menahan dari sesuatu. Misalkan si fulan sedang diam, artinya dia menahan dirinya dari berbicara.

Adapun secara istilah puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan dan segala yang membatalkan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan disertai dengan niat.

Lalu kapan puasa itu diwajibkan? Allah Swt. mewajibkan puasa bagi kaum Islam di bulan Sya’ban pada abad kedua Hijriyah dan kefarduhannya telah ditetapkan, baik dalam Al-Qu’ran, hadis dan ijmak.

Ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban melaksanakan ibadah puasa yaitu firman Allah Swt. surah al-Baqarah ayat 183. Yang artinya "Hai orang orang yg beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Dan lanjutan ayat 184 yang artinya: "Bulan Ramadan bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupi bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan padamu, supaya kamu bersyukur."

Sedangkan dalam hadis pun banyak yang menjelaskan tentang ketetapan dan kewajiban puasa, di antaranya:
مارواه البخاري ومسلم عن ابن عمر—رضي الله عنهما—أن رسول الله—صلي الله عليه وسلم—قال: إن الإسلام بني على خمس : شهادة أن لا اله الاالله وأن محمدا رسول الله واقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وحج البيت

Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Islam dibangun dengan lima pilar: syahadat (persaksian bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan sesunggunya nabi Muhammad adalah utusan Allah), mengerjakan salat , membayar zakat, puasa di bulan Ramadan dan haji." HR. Bukhari dan Muslim.

Sedangkan para ulama sepakat bahwasanya wajib bagi setiap mukalaf melaksanakan ibadah puasa. Dan dihukumi murtad (keluar dari agama Islam) bagi mereka yang mengingkarinya.
Karena ia sudah ingkar terhadap apa yang telah ditetapkan oleh agama.

April 15, 2020

,
Add caption
Oleh: M. Syarief

Mesir adalah sebagian negara yang penduduknya meyakini dan menganut suatu tarekat sufi. Ada puluhan bahkan ratusan tarekat di dunia ini. Namun, hanya ada tujuh yang mashur diikuti oleh penduduk Mesir. Sehingga sangat mudah kita temui amaliah tasawuf di sini, ada As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri, Al-Jakfari dan yang lain. Bagi kalangan tertuntu tentu timbul pertanyaan: apakah itu tasawuf?, kapan lahir disiplin ilmu tasawuf?, mengapa ada banyak kelompok sufi di dalamnya?

Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari cabang keilmuan Islam. Sama dengan ilmu lainnya, yakni juga berasal dari Naqliyah yang pada awalnya istilah ini (tasawuf) belum ada di masa Nabi Saw. Akan tetapi amaliah yang serupa sebenarnya sudah ada di masa itu. Seperti halnya ilmu nahwu, Ushul Fikih, Tajwid dan lainnya.

Maka metode dalam menghukumi suatu hal baik atau buruk tanpa ada gambaran jelas sebelumnya terkait hal tersebut bukanlah cara yang benar. Sehingga menghukumi ilmu tasawuf sebagai bidah tanpa ada gambaran jelas berupa: definisi, objek, permasalahan atau dalam istilahnya al-Mabādi’ al-Asyrah.  Dari itu sangat penting mempelajari dan meneliti; apa itu tasawuf yang nantinya akan mengantarkan kita pada kesimpulan akhir, apakah layak dan boleh mempelajari ilmu ini yang mana belum ada di masa Nabi saw?

Apabila kita teliti lebih jauh terkait ilmu tasawuf akan kita temui bahwa di dalamnya terdapat nilai dan perbuatan baik yang sesuai dengan amaliah para Sahabat Nabi saw. Bahkan tasawuf merupakan salah satu rukun dalam agama yang terekam dalam perbincangan antara Nabi dan malaikat Jibril serta diyakini oleh para Sahabat. Islam menjadi perantara dalam membersihkan jiwa. Iman sebagai cara dalam memperbaiki hati dan Ihsan (tasawuf) sebagai cara dalam menyucikan raga (batin).

Jika kita mandi sebagai cara membersihkan badan dari kotoran yang ada di tubuh, maka dapat kita jadikan pula amaliyah tasawuf sebagai cara pembelajaran dan penyucian diri (batin) yang terbingkai dalam tiga T: Takhalli (pembebasan diri), Tahalli (menghiasi diri), dan Tajalli (menampakan diri).

Setelah kita ketahui sedikit gambaran tentang tasawuf, sekarang timbul pertanyaan lain seperti ini, misalnya, bagaimana menyikapi banyaknya tariqah sufi yang ada sekarang? Ada Al-Qadariyah, As-Syadziliyah, An-Naqsyabandiyah dan masih banyak lagi, bukankah semua ini juga belum ada di masa Nabi Saw?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada hal perlu diperhatikan. Pertama, tujuan utama dari ilmu tasawuf ialah mensucikan batin agar sampai dan beribadah dengan baik kepada Tuhan. Sehingga betapapun banyaknya tariqah dan ajaran yang berbeda di dalamnya asalkan tujuan utamanya sama (mendekatkan diri kepadaNya), maka hal ini tidak menjadi masalah dalam artian boleh-boleh saja. Kalau kita analogikan seperti ini, salah satu keseharian Masisir ialah kuliah yang letak kampusnya ada di Darrosah. Namun keberadaan mereka berbeda-beda tempat untuk menuju ke situ. Ada yg dari Asyir, Tabbah, Zahra, Mukatam. Sehingga sah-sah saja mereka melawati jalur masing-masing yang diyakini paling cocok dan pas. Apakah masih diharuskan mereka semua berada dalam satu bus 80 coret? Tentu tidak, jika tetap dipaksakan sama maka akan menjadi musibah besar bagi mereka yang tinggal di Mukatam.

Kedua, beragamnya tariqah ini juga berlandaskan pemahaman dari hadis Nabi saw. ketika ditanyai oleh salah satu sahabat, perbuatan apakah yang paling utama dalam Islam? Jawaban Nabi beragam, berupa salat, menolong orang lain, berbakti kepada orang tua. Juga di kesempatan lain terkait wasiat Nabi untuk para Sahabat ketika itu. Beliau pernah berwasiat pada Abdullah bin Mas'ud agar menjaga salat dan qiyamul lail. Dalam keadaan lain berwasiat kepada sahabat lain agar mengamalkan puasa.
Maka keberagaman tariqah merupakan hal yang sudah dicontohkan Nabi dari adanya peristiwa di atas. Sebab Nabi mendidik para Sahabat dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Sehingga cara mereka dalam beribadah mendekatkan diri kepadaNya sangat beragam dan telah diakui meski tidak sama karena sumbernya satu, yakni Nabi saw. Ada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari ra. yang menjadikan keadaan fakir sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Sayyidina Abu Hurairah ra. Menjadikan ilmu, meriwayatkan hadis Nabi sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Yakni setiap sahabat mempunyai amaliah dan cara yang berbeda dalam beribadah yang kesemuanya berada dalam satu payung “Penyucian diri” dari hal-hal kotor berupa dengki, riya, sombong, dan yang lainnya.

Selanjutnya timbul pertanyaan lain. Mengapa tariqah ini tidak dinisbatkan kepada para Sahabat Nabi? Mengapa dinisbatkan kepada mereka As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri dan yang lain?

Dalam tradisi dunia kelimuan Islam semuanya bersumber dari Alquran dan hadis, hanya saja penamaan dan istilah suatu ilmu layak juga dinisbahkan kepada mereka yang membukukan, seperti ilmu nahwu yang dinisbahkan kepada Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, ilmu hadis kepada Syihab Az-Zuhri, Ushul Fikih kepada Imam As Syafii, ilmu Arudl kepada Imam Khalil. Begitu juga ilmu tasawuf dan tariqah sufi dinisbahkan kepada As Syadzili misalnya, karena beliau yang memberikan cara amaliyah ibadah guna membersihkan jiwa dan pendekatan diri yang diamabil dari pemahamannya terkait matode Nabi dalam mendidik para Sahabat. Hal itu dapat kita pahami dari pernyataannya: “Mereka yang tidak hafal Alquran dan berani membahas hadis janganlah kalian ambil pendapatnya, sebab adanya kemungkinan besar mereka salah dalam hal itu.” Sehingga perlu kita pahami bersama juga perkataan Imam Malik agar tidak salah dalam bertasawuf: “Mereka yang mengamalkan ajaran tasawuf tanpa adanya pemahaman dalam fikih maka tergolong zindiq, dan mereka yang paham fikih tanpa berprilaku tasawuf maka tergolong fasiq, dan mereka yang berprilaku tasawuf dan paham fikih maka amaliyahnya sudah benar dan diakui."

Dalam hal ini keberdaan ilmu tasawuf dan ilmu fikih adalah satu kesatuan yang tak boleh lepas salah satunya, bagai dua sisi mata uang. Begitulah seputar pembahasan ilmu tasawuf. Sekarang masihkah Anda meragukan dan mengharamkan keberadaan ilmu tasawuf?

April 10, 2020

,
Oleh: Fath Rosi

Beberapa minggu yang lalu (sebelum pandemi Covid-19 melanda Mesir dan dunia), setiap hari selasa, usai salat Zuhur, biasa penulis dan beberapa teman wafidin, mahasiswa asing, tak terkecuali sebagian Mahasiswa Indonesia di Mesir, bahkan mahasiswa Mesir, ikut hadir dalam majlis talaqi yang diampu oleh Dr. Muhammad Abu Musa, Dewan Ulama Senior Al-Azhar. Kitab yang dipelajari adalah Dalail al-‘Ijaz, karya Imam Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.), kitab rujukan primer dalam kajian i'jaz al-Qur'an, Balaghah dan sastra Arab secara umum.

Tidak lama ia menjelaskan isi kitab dimaksud, datang seorang ‘Amu Mesir (sapaan akrab orang mesir kepada yang lebih tua) mendekati Syekh, dan setelah dipersilahkan, ia pun mengutarakan maksudnya, yaitu untuk meminta fatwa perihal persoalan di keluarganya. Rasanya, tidak sulit untuk menjawab pertanyaan sang kakek itu, bahkan kita yang masih bau kencur pun dalam ilmu fiqh akan mampu menjawab secara lugas. Meskipun demikian, Syekh tidak memberikan jawaba, "Saya bukan ahli dalam bidang ini (Fatwa fiqh) coba kamu tanya ke Dar al- Ifta Mesir," dauh beliau sembari memerintahkan salah satu dari kita untuk mengantar kakek itu ke ruangan Fatwa (ruangan yang dikhususkan untuk Istifta’ (minta fatwa) bagi masyarakat umum yang terletak dekat pintu masuk utama masjid al-Azhar.

Pemandangan serupa, juga kita saksikan ketika Grand Syekh Azhar, Dr. Ahmad Tayyib  berkunjung (baca: diundang) ke Indonesia, tepatnya ketika ia memberikan kuliah umum di hadapan sesepuh dan para pejabat negara tentang "Toleransi Agama Islam" beberapa tahun yang lalu. Ia terlebih dahulu meminta izin kepada Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir al-Qur'an, ketika ingin mengutip ayat al-Qur'an dan tafsir ayat yang beliau sampaikan.

Setidaknya, dari dua teladan singkat di atas, Al-Azhar melalui para ulamanya mewanti-wanti kepada kita, santrinya, bahwa tidak boleh sembarang memberikan komentar dalam amanah ilmu yang kita emban, biarkan ahlinya yang berbicara. Kesimpulan ini bisa saja merupakan sekedar spekulasi seorang santri pada madrasahnya, akan tetapi banyak contoh teladan ulama terdahulu yang lebih substantif yang akan penulis sebutkan pada pragraf berikut.

Dalam khazanah intelektul sejarah ulama Islam, banyak kita temui teladan serupa, misalnya seperti yang disebutkan dalam beberapa kitab biografi, bahwa Imam al-Mundziri (w. 656 H.) seorang ahli hadis ternama di Mesir. Pada saat yang sama, ia juga seorang Faqih yang menjadi rujukan masyarakat setempat dalam menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari.

Ketika Imam Izzudin bin  Abdissalam, (w. 660 H.), cendikiawan muslim, ahli fikih dan Maqashid al-Syariah, hijrah dari Syam ke Mesir dan bermukim di sana, Imam al-Mundziri (w. 656 H.) tiba-tiba berhenti memberikan fatwa pada masyarakat. Menurutnya, ia tidak pantas memberikan fatwa pada masyarakat, Imam Izzudin lebih pantas untuk itu.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa pada suatu kesempatan, tiga ulama besar, yaitu Imam al-Mundziri (w. 656 H.), Imam Izzuddin bin  Abdussalam (w. 660 H.) dan Imam al-Syadzili (w. 656 H.), pelopor Thariqah Syadziliyah berkumpul dalam satu majlis Tazkiyah al-Nafs; kajian Risalah Qusyairiyah dalam bidang ilmu tasawuf di Mesir. Imam al-Mundziri dan Imam Izzuddin menyerahkan mayoritas waktu majlis itu kepada Imam al-Syadili dan mereka berdua lebih banyak mendengarkan kalam-kalam hikmah dari sang sufi ternama itu.

Iman kepada adanya tanggung jawab yang mutlak bersifat pribadi di hadapan Allah Swt. kelak tentang apa yang kita lakukan di dunia ini harus selalu kita tanamkan dalam hati kita, khususnya dalam berijtihad, (kalau boleh dikatakan seperti itu) tanpa ilmu yang memadai. Kita selalu butuh sketsa "nafsi-nafsi" hari kiamat di kehidupan dunia ini dalam bentuk memorandum, pengingat setia untuk berkehidupan lebih baik.

Dalam kitab Shahih Imam Bukhari, Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini perumpamaan orang mukmin, maka sebutkanlah kepadaku, pohon apa itu?" Lalu mereka menerka-nerka sembarang pepohonan.  Abdullah berkata: "Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma." Kemudian mereka berkata: "Ya Rasulullah beri tahulah kami, pohon apa itu?" Lalu beliau menjawab: "Pohon itu adalah kurma."

Barangkali hadis di atas walaupun secara umum tidak ada kolerasinya dengan bahasan berfatwa dengan tanpa ilmu atau berbicara bukan dalam keahliannya, akan tetapi, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran sifat malu seorang sabahat Abdullah yang merasa paling kecil. Sahabat Abdullah merasa malu untuk berbicara apalagi di hadapan para sesepuh sahabat yang hadir pada saat itu, bahkan walaupun sudah yakin dengan jawabannya.
 
Di akhir tulisan sederhana ini, mari kita intropeksi diri, lebih-lebih di masa pandemi covid-19 seperti sekarang, selalu ikuti arahan para ahli; khususnya dalam bidang medis dan agama. Semoga segera membaik. Amin.

April 04, 2020

,
Oleh: Dhaifil Ihsan

Sebelum membaca lebih lanjut, perlu diindahkan oleh diri kita; berbeda antara orang enggan mengakui kebenaran dengan orang yang terdoktrin oleh lingkungan. Karena kebanyakan manusia tumbuh, tidak lepas, atau sering terkontaminasi dengan lingkungan sehingga mereka terdoktrin oleh budaya, sosial dan ideologi. Jika kita sudah menjadi "anak" lingkungan, maka sulit untuk berubah. Bukan bermaksud bahwa saya pribadi sudah berada pada posisi yang benar, namun lebih tepatnya, mencoba untuk memahami posisi yang benar. Setelah menanamkan prinsip di atas, mari lanjut baca, sambil minum kopi.

Entah-berantah dari mana mereka menyimpulkan bahwa kita berada pada zaman kekufuran, penuh kezaliman dan kemungkaran. Satu-satunya jalan terbaik adalah dengan cara menegakkan sistem khilafah. Mereka beranggapan politik Islam begitu suci dan murni, penuh dengan justifikasi dalil, dan bertujuan untuk membela kemuliaan ajaran Islam, namun realitanya sering kali bertolak belakang. Mereka berulang kali hanya menggunakan Islam sebagai jargon upaya menarik simpati umat saja, dengan suara lantang mengatasnamakan agama dan nama Allah, namun kelakuan mereka masih jauh dari esensi Islam sendiri.

Asal muasal kesalahpahaman mereka tentang sistem khilafah, berawal dari kesimpulan salah yang mereka buat sendiri, bahwa khilafah itu Islam, dan Islam itu khilafah. Mereka menjadikan Islam dan khilafah satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. Dua sisi mata uang.

Pada abad pertama, kaum muslimin mempunyai satu orang pemimpin atau khalifah, dan era yang paling sukses, yaitu pada masa Al-Khulafā' Al-Rāsyidīn. Mereka mampu menerapkan keadilan sesuai dengan Al-Qur'an dan hadis, dalam artian, mampu menegakkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip agama melalui ijtihad mereka sendiri. Sistem khilafah sangat mudah diterapkan pada masa itu, karena negara Islam belum banyak jumlahnya, katakanlah hanya ada Rum dan Persia. Akan tetapi, sistem politik—seiring dengan dinamika zaman—terjadi kontaminasi, dan jumlah negara serta wilayah semakin bertambah sesuai dengan letak geografisnya, maka timbul aneka ragam bahasa, kultur, budaya dan semakin jauh pula jarak antara negara satu sama lain, sehingga sukar sekali menegakan satu pemerintahan atau khilafah saja, pada masa sekarang ini.

Dengan bertambahnya negara serta beraneka ragam bahasa, kenapa tidak mendirikan sebuah organisasi yang menampung dari berbagai negara untuk menegakkan sistem khilafah, seperti persatuan negara-negara Eropa, yang bekerjasama menyatukan ideologi, budaya, agama. Walaupun mereka menjalin relasi di bawah organisasi yang mempunyai visi yang sama, akan tetapi, setiap negara tersebut mempunyai sistem masing-masing untuk mengelola negaranya dengan hak sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Sesuai dengan fakta sejarah, bahwa sistem khilafah pernah diterapkan pada abad pertama, peristiwa tersebut tanpa ada anjuran dari Al-Qur'an, dan nabi Muhammad Saw. wafat, tanpa menjelaskan sistem pemerintahan yang baku pada generasi setelahnya. Akan tetapi, sistem pemerintahan pada masa tersebut dijadikan sebagai sistem musyawarah sesama kaum muslimin.

Dari kejadian tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap sistem politik yang menegakkan keadilan, maka sudah cukup untuk dijadikan sistem pemerintahan yang baku. Jika sistem demokrasi seperti sekarang sudah mencakup mengupayakan keadilan dan kebebasan untuk memilih sesuai hati nurani, maka sistem tersebut sudah sesuai dengan tujuan dan politik Islam. Karena Islam sendiri adalah sebuah agama dan negara, namun bedanya negara sesuatu yang fleksibel, tidak mempunyai format atau institusi khusus layaknya agama.

Khilafah adalah sebuah sistem dan bukan sebuah kewajiban, Islam tidak mewajibkan sistem politik atau sistem pemerintahan tertentu. Akan tetapi Islam mewajibkan sebuah negara untuk menerapkan syariat Allah, dan menjauhi perselisihan antara sesama manusia. Allah SWT berfirman:
( ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم)  {الأنفال: ٤٦}
Setiap pemerintahan yang memakai sistem demokrasi, khilafah, imamah, dan semacamnya yang berupaya menegakkan keadilan, kebebasan dan sesuai dengan al-maqāsid as-syariah (tujuan-tujuan diberlakukan syariah), maka sistem tersebut sudah menganut sistem khilafah yang sesungguhnya.

Negara kita memakai sistem apa, berlandaskan apa? Iya di Indonesia memakai sistem demokrasi berlandaskan Pancasila. Berarti tidak sesuai dengan dasar hukum agama Islam dong?, pantesan banyak korupsi di negeri kita. Sudah saatnya menegakkan sistem khilafah sebagai solusinya: takbir...takbir...

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis dll) adalah buatan manusia. Kalau contoh kita "jelek" dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang: "yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya." Tapi kalau kita melihat contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang: "demokrasi hanya menghasilkan kekacauan." Jadi, yang di salahkan adalah demokrasinya. Di sini letak kesalahan kita, jangan katakan Pancasila yang melenceng dari agama, landasan kaum kafir. Bapak kita Soekarno untuk membentuk landasan tersebut masih bermusyawarah dengan para pahlawan dan tokoh nasional.

Mari kita lihat negara-negara yang kaya peradaban Islam: Saudi Arabia, misalnya, di sana menerapkan sistem kerajaan, Mesir, menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dengan mengangkat seorang Presiden, Turki juga sama. Lihat contoh lagi di negara maju, katakanlah  di Amerika sana, memakai sistem pemerintahan demokrasi, Inggris menerapkan sistem kerajaan.

Tidak ada di negara maju, punya peradaban yang menerapkan sistem khilafah. Indonesia? Tidak pernah mewarisi peradaban, dengan egonya mau menegakkan sistem khilafah. Jika kita hanya memperdebatkan masalah itu, hanya akan mengundang kekacauan, mempertaruhkan nyawa, musuhnya saudara sendiri, kapan negara kita akan maju?
Sudah saatnya kita bersatu bahu-membahu mengimpikan dan membangun negara maju penuh peradaban.

Follow Us @soratemplates