April 10, 2020

Menghargai Spesialisasi

Oleh: Fath Rosi

Beberapa minggu yang lalu (sebelum pandemi Covid-19 melanda Mesir dan dunia), setiap hari selasa, usai salat Zuhur, biasa penulis dan beberapa teman wafidin, mahasiswa asing, tak terkecuali sebagian Mahasiswa Indonesia di Mesir, bahkan mahasiswa Mesir, ikut hadir dalam majlis talaqi yang diampu oleh Dr. Muhammad Abu Musa, Dewan Ulama Senior Al-Azhar. Kitab yang dipelajari adalah Dalail al-‘Ijaz, karya Imam Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.), kitab rujukan primer dalam kajian i'jaz al-Qur'an, Balaghah dan sastra Arab secara umum.

Tidak lama ia menjelaskan isi kitab dimaksud, datang seorang ‘Amu Mesir (sapaan akrab orang mesir kepada yang lebih tua) mendekati Syekh, dan setelah dipersilahkan, ia pun mengutarakan maksudnya, yaitu untuk meminta fatwa perihal persoalan di keluarganya. Rasanya, tidak sulit untuk menjawab pertanyaan sang kakek itu, bahkan kita yang masih bau kencur pun dalam ilmu fiqh akan mampu menjawab secara lugas. Meskipun demikian, Syekh tidak memberikan jawaba, "Saya bukan ahli dalam bidang ini (Fatwa fiqh) coba kamu tanya ke Dar al- Ifta Mesir," dauh beliau sembari memerintahkan salah satu dari kita untuk mengantar kakek itu ke ruangan Fatwa (ruangan yang dikhususkan untuk Istifta’ (minta fatwa) bagi masyarakat umum yang terletak dekat pintu masuk utama masjid al-Azhar.

Pemandangan serupa, juga kita saksikan ketika Grand Syekh Azhar, Dr. Ahmad Tayyib  berkunjung (baca: diundang) ke Indonesia, tepatnya ketika ia memberikan kuliah umum di hadapan sesepuh dan para pejabat negara tentang "Toleransi Agama Islam" beberapa tahun yang lalu. Ia terlebih dahulu meminta izin kepada Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir al-Qur'an, ketika ingin mengutip ayat al-Qur'an dan tafsir ayat yang beliau sampaikan.

Setidaknya, dari dua teladan singkat di atas, Al-Azhar melalui para ulamanya mewanti-wanti kepada kita, santrinya, bahwa tidak boleh sembarang memberikan komentar dalam amanah ilmu yang kita emban, biarkan ahlinya yang berbicara. Kesimpulan ini bisa saja merupakan sekedar spekulasi seorang santri pada madrasahnya, akan tetapi banyak contoh teladan ulama terdahulu yang lebih substantif yang akan penulis sebutkan pada pragraf berikut.

Dalam khazanah intelektul sejarah ulama Islam, banyak kita temui teladan serupa, misalnya seperti yang disebutkan dalam beberapa kitab biografi, bahwa Imam al-Mundziri (w. 656 H.) seorang ahli hadis ternama di Mesir. Pada saat yang sama, ia juga seorang Faqih yang menjadi rujukan masyarakat setempat dalam menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari.

Ketika Imam Izzudin bin  Abdissalam, (w. 660 H.), cendikiawan muslim, ahli fikih dan Maqashid al-Syariah, hijrah dari Syam ke Mesir dan bermukim di sana, Imam al-Mundziri (w. 656 H.) tiba-tiba berhenti memberikan fatwa pada masyarakat. Menurutnya, ia tidak pantas memberikan fatwa pada masyarakat, Imam Izzudin lebih pantas untuk itu.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa pada suatu kesempatan, tiga ulama besar, yaitu Imam al-Mundziri (w. 656 H.), Imam Izzuddin bin  Abdussalam (w. 660 H.) dan Imam al-Syadzili (w. 656 H.), pelopor Thariqah Syadziliyah berkumpul dalam satu majlis Tazkiyah al-Nafs; kajian Risalah Qusyairiyah dalam bidang ilmu tasawuf di Mesir. Imam al-Mundziri dan Imam Izzuddin menyerahkan mayoritas waktu majlis itu kepada Imam al-Syadili dan mereka berdua lebih banyak mendengarkan kalam-kalam hikmah dari sang sufi ternama itu.

Iman kepada adanya tanggung jawab yang mutlak bersifat pribadi di hadapan Allah Swt. kelak tentang apa yang kita lakukan di dunia ini harus selalu kita tanamkan dalam hati kita, khususnya dalam berijtihad, (kalau boleh dikatakan seperti itu) tanpa ilmu yang memadai. Kita selalu butuh sketsa "nafsi-nafsi" hari kiamat di kehidupan dunia ini dalam bentuk memorandum, pengingat setia untuk berkehidupan lebih baik.

Dalam kitab Shahih Imam Bukhari, Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini perumpamaan orang mukmin, maka sebutkanlah kepadaku, pohon apa itu?" Lalu mereka menerka-nerka sembarang pepohonan.  Abdullah berkata: "Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma." Kemudian mereka berkata: "Ya Rasulullah beri tahulah kami, pohon apa itu?" Lalu beliau menjawab: "Pohon itu adalah kurma."

Barangkali hadis di atas walaupun secara umum tidak ada kolerasinya dengan bahasan berfatwa dengan tanpa ilmu atau berbicara bukan dalam keahliannya, akan tetapi, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran sifat malu seorang sabahat Abdullah yang merasa paling kecil. Sahabat Abdullah merasa malu untuk berbicara apalagi di hadapan para sesepuh sahabat yang hadir pada saat itu, bahkan walaupun sudah yakin dengan jawabannya.
 
Di akhir tulisan sederhana ini, mari kita intropeksi diri, lebih-lebih di masa pandemi covid-19 seperti sekarang, selalu ikuti arahan para ahli; khususnya dalam bidang medis dan agama. Semoga segera membaik. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates