April 15, 2020

Tasawuf Tergolong Bidah atau Tidak?

Add caption
Oleh: M. Syarief

Mesir adalah sebagian negara yang penduduknya meyakini dan menganut suatu tarekat sufi. Ada puluhan bahkan ratusan tarekat di dunia ini. Namun, hanya ada tujuh yang mashur diikuti oleh penduduk Mesir. Sehingga sangat mudah kita temui amaliah tasawuf di sini, ada As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri, Al-Jakfari dan yang lain. Bagi kalangan tertuntu tentu timbul pertanyaan: apakah itu tasawuf?, kapan lahir disiplin ilmu tasawuf?, mengapa ada banyak kelompok sufi di dalamnya?

Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari cabang keilmuan Islam. Sama dengan ilmu lainnya, yakni juga berasal dari Naqliyah yang pada awalnya istilah ini (tasawuf) belum ada di masa Nabi Saw. Akan tetapi amaliah yang serupa sebenarnya sudah ada di masa itu. Seperti halnya ilmu nahwu, Ushul Fikih, Tajwid dan lainnya.

Maka metode dalam menghukumi suatu hal baik atau buruk tanpa ada gambaran jelas sebelumnya terkait hal tersebut bukanlah cara yang benar. Sehingga menghukumi ilmu tasawuf sebagai bidah tanpa ada gambaran jelas berupa: definisi, objek, permasalahan atau dalam istilahnya al-Mabādi’ al-Asyrah.  Dari itu sangat penting mempelajari dan meneliti; apa itu tasawuf yang nantinya akan mengantarkan kita pada kesimpulan akhir, apakah layak dan boleh mempelajari ilmu ini yang mana belum ada di masa Nabi saw?

Apabila kita teliti lebih jauh terkait ilmu tasawuf akan kita temui bahwa di dalamnya terdapat nilai dan perbuatan baik yang sesuai dengan amaliah para Sahabat Nabi saw. Bahkan tasawuf merupakan salah satu rukun dalam agama yang terekam dalam perbincangan antara Nabi dan malaikat Jibril serta diyakini oleh para Sahabat. Islam menjadi perantara dalam membersihkan jiwa. Iman sebagai cara dalam memperbaiki hati dan Ihsan (tasawuf) sebagai cara dalam menyucikan raga (batin).

Jika kita mandi sebagai cara membersihkan badan dari kotoran yang ada di tubuh, maka dapat kita jadikan pula amaliyah tasawuf sebagai cara pembelajaran dan penyucian diri (batin) yang terbingkai dalam tiga T: Takhalli (pembebasan diri), Tahalli (menghiasi diri), dan Tajalli (menampakan diri).

Setelah kita ketahui sedikit gambaran tentang tasawuf, sekarang timbul pertanyaan lain seperti ini, misalnya, bagaimana menyikapi banyaknya tariqah sufi yang ada sekarang? Ada Al-Qadariyah, As-Syadziliyah, An-Naqsyabandiyah dan masih banyak lagi, bukankah semua ini juga belum ada di masa Nabi Saw?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada hal perlu diperhatikan. Pertama, tujuan utama dari ilmu tasawuf ialah mensucikan batin agar sampai dan beribadah dengan baik kepada Tuhan. Sehingga betapapun banyaknya tariqah dan ajaran yang berbeda di dalamnya asalkan tujuan utamanya sama (mendekatkan diri kepadaNya), maka hal ini tidak menjadi masalah dalam artian boleh-boleh saja. Kalau kita analogikan seperti ini, salah satu keseharian Masisir ialah kuliah yang letak kampusnya ada di Darrosah. Namun keberadaan mereka berbeda-beda tempat untuk menuju ke situ. Ada yg dari Asyir, Tabbah, Zahra, Mukatam. Sehingga sah-sah saja mereka melawati jalur masing-masing yang diyakini paling cocok dan pas. Apakah masih diharuskan mereka semua berada dalam satu bus 80 coret? Tentu tidak, jika tetap dipaksakan sama maka akan menjadi musibah besar bagi mereka yang tinggal di Mukatam.

Kedua, beragamnya tariqah ini juga berlandaskan pemahaman dari hadis Nabi saw. ketika ditanyai oleh salah satu sahabat, perbuatan apakah yang paling utama dalam Islam? Jawaban Nabi beragam, berupa salat, menolong orang lain, berbakti kepada orang tua. Juga di kesempatan lain terkait wasiat Nabi untuk para Sahabat ketika itu. Beliau pernah berwasiat pada Abdullah bin Mas'ud agar menjaga salat dan qiyamul lail. Dalam keadaan lain berwasiat kepada sahabat lain agar mengamalkan puasa.
Maka keberagaman tariqah merupakan hal yang sudah dicontohkan Nabi dari adanya peristiwa di atas. Sebab Nabi mendidik para Sahabat dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Sehingga cara mereka dalam beribadah mendekatkan diri kepadaNya sangat beragam dan telah diakui meski tidak sama karena sumbernya satu, yakni Nabi saw. Ada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari ra. yang menjadikan keadaan fakir sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Sayyidina Abu Hurairah ra. Menjadikan ilmu, meriwayatkan hadis Nabi sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Yakni setiap sahabat mempunyai amaliah dan cara yang berbeda dalam beribadah yang kesemuanya berada dalam satu payung “Penyucian diri” dari hal-hal kotor berupa dengki, riya, sombong, dan yang lainnya.

Selanjutnya timbul pertanyaan lain. Mengapa tariqah ini tidak dinisbatkan kepada para Sahabat Nabi? Mengapa dinisbatkan kepada mereka As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri dan yang lain?

Dalam tradisi dunia kelimuan Islam semuanya bersumber dari Alquran dan hadis, hanya saja penamaan dan istilah suatu ilmu layak juga dinisbahkan kepada mereka yang membukukan, seperti ilmu nahwu yang dinisbahkan kepada Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, ilmu hadis kepada Syihab Az-Zuhri, Ushul Fikih kepada Imam As Syafii, ilmu Arudl kepada Imam Khalil. Begitu juga ilmu tasawuf dan tariqah sufi dinisbahkan kepada As Syadzili misalnya, karena beliau yang memberikan cara amaliyah ibadah guna membersihkan jiwa dan pendekatan diri yang diamabil dari pemahamannya terkait matode Nabi dalam mendidik para Sahabat. Hal itu dapat kita pahami dari pernyataannya: “Mereka yang tidak hafal Alquran dan berani membahas hadis janganlah kalian ambil pendapatnya, sebab adanya kemungkinan besar mereka salah dalam hal itu.” Sehingga perlu kita pahami bersama juga perkataan Imam Malik agar tidak salah dalam bertasawuf: “Mereka yang mengamalkan ajaran tasawuf tanpa adanya pemahaman dalam fikih maka tergolong zindiq, dan mereka yang paham fikih tanpa berprilaku tasawuf maka tergolong fasiq, dan mereka yang berprilaku tasawuf dan paham fikih maka amaliyahnya sudah benar dan diakui."

Dalam hal ini keberdaan ilmu tasawuf dan ilmu fikih adalah satu kesatuan yang tak boleh lepas salah satunya, bagai dua sisi mata uang. Begitulah seputar pembahasan ilmu tasawuf. Sekarang masihkah Anda meragukan dan mengharamkan keberadaan ilmu tasawuf?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates