September 03, 2020

,






Oleh: Fadal Mohamad

Sering kita menyamakan Sesuatu yang tampak sama dari luar, namun berbeda dari segi esensial. Dan ini harus ditarik ulang bahwa hal yang demikian jika dibiarkan akan mengakibatkan paham yang salah ataupun salah paham, termasuk ketika kita menyamakan antara akhlak dan perilaku seseorang. 

Akhlak, ketika kita lihat dari perkataan seorang terhadap kata itu, seakan menyamakannya dengan tigkah laku atau perilaku yang timbul dari seseorang, namun hakikat keduanya tidak sama. perilaku seseorang tidak bisa menjadi jaminan mutlak dari akhlak seseorang, karena seseorang yang melakukan kejahatan tidak bisa dihukumi begitu saja bahwa ia seseorang yang tidak berakhlak. Begitu pula orang yang tidak bersedekah, juga tidak bisa dikatakan bahwa ia bukan orang saleh.

 Buktinya ketika ada seorang mencuri makanan dengan alasan karena kalau tidak mencuri, dia akan mati. Sedangkan ia tidak mendapatkan satu orang pun yang hendak memberinya makanan. Maka dengan keadaan yang seperti itu, tidak bisa dikatakan bahwa ia adalah seseorang yang buruk. Demikian orang shaleh. Kata sederhananya perilaku itu terkadang dilakukan karena ada sebab yang menuntut seseorang untuk bertindak.

 Oleh karena itu, kita harus paham mana yang akhlak dan yang mana itu perilaku. Akhlak adalah suatu keadaan atau sifat yang ada di dalam jiwa, yang mana dari sifat tersebut mendorong pada suatu tindakan dengan mudah tanpa proses berpikir panjang, bisa dikatakan juga akhlak adalah kekuatan atau kemampuan yang ada dalam diri manusia yang menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mudah, baik kelakuan yang timbul itu baik ataupun buruk. Sedangakan suluk ialah perilaku seseorang yang timbul atas dasar kehendak dan kemauannya sendiri.

 Jadi, dari sini bisa dipahami bahwa akhlak bersifat intern, sedangkan perilaku bersifat ekstern. Namun yang harus digarisbawahi di sini bahwa hubungan antara keduanya ialah pengaruh dan dampak. Dengan artian jika perilaku seseorang baik ialah karena dampak dari akhlak yang baik, jika perilaku seseorang jelek atau buruk ialah karena dampak dari akhlak yang buruk. Jadi ketika kita melihat hubungan antara keduanya, sama-sama memiliki hubungan yang erat yang saling tarik menarik. Dari satu sisi akhlak adalah kekuatan yang memaksa menimbulkan perilaku, dari sisi yang lain perilaku ialah kelakuan -dengan latihan untuk selalu memperbaiki- membentuk akhlak yang ada di dalam diri seseorang.

 Yang menjadi catatan penting di sini yang harus kita perhatikan, terkadang kita melihat akhlak baik dari seseorang namun perilakunya buruk, atau sebaliknya, itu dikarenakan hal tersebut ia lakukan karena adanya sebab-sebab eksternal yang memaksa dia untuk melakukan perihal tersebut. Maka untuk menghukumi perilaku yang berakhlak harus melihat bahwa perilaku tersebut ia lakukan dengan keinginannya sendiri dan tidak ada sebab-sebab eksternal yang memaksa dia untuk melakukan perihal yang tidak diinginkan oleh akhlaknya itu, seperti contoh yang disebutkan di atas. Dan juga yang harus dipahami betul, semua yg sudah terlampirkan di atas termasuk dalam ranah akhlak. Adapun dalam ranah yang lain munkin saja berbeda. Waallahu alam.

 Di akhir kalam, saya ingin mengutip sepotong bait:
 وقل لمن لم ينتصف لمقصدي # العذر حق واجب للمبتدي 
ولبني إحدى وعشرين سنة # معذرة مقبولة مستحسنة 


Mei 25, 2020

,
Oleh: Abdurrohman Abdul Kholik

Saya pernah menjumpai tulisan begini: "Barang siapa yang menyembah Ramadan, ia telah usai. Dan barang siapa yang menyembah Allah Swt, ia tetap kekal sepanjang masa."

Ungkapan di atas bentuk dakwah untuk tidak meninggalkan kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama Ramadan. Kebaikan tersebut murni karena ibadah kepada Allah, bukan (ibadah) kepada Ramadan. Jadi, bisa dilakukan meskipun Ramadan telah usai.

Beribadah bisa kapan saja dan di mana pun, cuma ada masa-masa tertentu dan di tempat khusus nilai ibadah lebih istimewa dari lainnya. Iya, semisal di bulan Ramadan atau ibadah di tanah haram. Menurutku pengkhususan tersebut hanya bonus dari Allah, tak perlu dijadikan dasar pilah-pilih kapan seorang itu harus semangat dan tekun beribadah kepada Tuhan.

Anjuran melanjutkan kebiasaan baik seusai Ramadan, ada yang bentuknya perintah langsung (dengan Nash) ada yang tidak. Bagian pertama itu adalah puasa Syawal.

Dalam Shahih Imam Muslim riwayat dari Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, Nabi Saw. berkata: "Barang siapa yang telah usai menjalankan puasa Ramadan, kemudian melanjutkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, ia dihitung (pahalanya) telah puasa selama setahun penuh."

Bagaimana hitung-hitungannya puasa sebulan dan 6 hari, sama seperti puasa setahun penuh? Ulama menjawab bahwa setiap 1 kebaikan bernilai 10 kebaikan. Jadi orang yang berpuasa sebulan penuh dan 6 hari setelahnya memiliki 36 kebaikan. 36x10= 360. 360 adalah jumlah hari dalam setahun.

Puasa Syawal selain berpahala besar, posisi puasa Syawal ini didudukkan seperti halnya salat Rawatib Qabiliyah dan Ba'diyah bagi salat 5 waktu. Salat-salat ini dikatakan sebagai pelengkap dan penyempurna bilamana dalam salat wajib didapati kekurangan.

Keadaan yang sama juga dimiliki oleh puasa Ramadan; ia memiliki pelengkap dan penyempurna bilamana ada yang kurang. Puasa bulan Sya'ban ibarat salat sunah Qabliyyah dan puasa Syawal ibarat salat sunah Ba'diyyah.

Puasa 6 hari bulan Syawal tak mesti dilakukan kontinyu selama 6 hari berturut-turut. Ia boleh dicicil. Misalnya dilakukan senin-kamis di minggu pertama, senin-kamis di minggu kedua, begitu seterusnya. Atau bisa juga dilakukan di Ayyamil Bidh, petengahan bulan. Kendati begitu yang lebih utama memang disegerakan, karena kan tidak tahu barangkali di minggu berikutnya ada uzur.

Menurutnya saya memang lebih baik disegerakan, mengingat biasanya minggu pertama bulan Syawal aktivitas masih pasif. Sehingga dapat membantu pelaksanaan puasanya lebih baik dan sempurna; tak terbebani dengan kesibukan lain.

Puasa Syawal juga menjadi kabar gembira bagi seseorang yang meninggalkan puasa di Ramadan, terutama perempuan, untuk segera menganti di bulan Syawal ini. Dengan begitu ia memperoleh 2 kebaikan: kebaikan puasa qada' dan sunah.

Bolehnya menggabung niat puasa qada' dan sunah merupakan pendapat ulama Syafiiyah. Dengan catatan ia tidak niat puasa sunah bulan Syawal, melainkan niat melaksanakan puasa qada'. Artinya Anda tidak boleh niat puasa sunah bulan Syawal sekalian puasa qada'. Pandangan ini sebagaimana difatwakan oleh Imam Ar-Ramli.

Masalah ini mirip (bisa dianalogikan) dengan salat Tahiyyatal masjid. Anda masuk masjid, ketika itu mendapati salat berjemaah sedang berlangsung, otomatis langsung salat mengikuti imam. Tanpa diniatkan salat Tahiyyatal Masjid pun Anda akan memperoleh pahalanya, karena yang dianjurkan ketika masuk masjid melakukan salat, baik salat itu wajib atau sunah.

Puasa Syawal juga begitu; teks hadis Nabi di atas tak menjelaskan puasa di bulan Syawal dengan niat tertentu.

April 27, 2020

,

Oleh: M. Muniri

Dalam kesempatan ini penulis akan sedikit menjelaskan tentang apa makna dari puasa itu sendiri, baik secara bahasa maupun secara istilah.

Sebagai umat Islam sangatlah penting mengetahui makna dari puasa, dan kapan diwajibkan untuk melaksanakan ibadah tersebut. Agar lebih memantapkan keyakinan dan bertambahnya keikhlasan dalam mengerjakan ibadah tersebut.

Dalam kitab Mas’alah as-Siyam karangan Syekh Muhammad Thantawi dijelaskan bahwasanya makna saum (puasa) secara bahasa memiliki arti: menahan dari sesuatu. Misalkan si fulan sedang diam, artinya dia menahan dirinya dari berbicara.

Adapun secara istilah puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan dan segala yang membatalkan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan disertai dengan niat.

Lalu kapan puasa itu diwajibkan? Allah Swt. mewajibkan puasa bagi kaum Islam di bulan Sya’ban pada abad kedua Hijriyah dan kefarduhannya telah ditetapkan, baik dalam Al-Qu’ran, hadis dan ijmak.

Ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban melaksanakan ibadah puasa yaitu firman Allah Swt. surah al-Baqarah ayat 183. Yang artinya "Hai orang orang yg beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Dan lanjutan ayat 184 yang artinya: "Bulan Ramadan bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupi bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan padamu, supaya kamu bersyukur."

Sedangkan dalam hadis pun banyak yang menjelaskan tentang ketetapan dan kewajiban puasa, di antaranya:
مارواه البخاري ومسلم عن ابن عمر—رضي الله عنهما—أن رسول الله—صلي الله عليه وسلم—قال: إن الإسلام بني على خمس : شهادة أن لا اله الاالله وأن محمدا رسول الله واقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وحج البيت

Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Islam dibangun dengan lima pilar: syahadat (persaksian bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan sesunggunya nabi Muhammad adalah utusan Allah), mengerjakan salat , membayar zakat, puasa di bulan Ramadan dan haji." HR. Bukhari dan Muslim.

Sedangkan para ulama sepakat bahwasanya wajib bagi setiap mukalaf melaksanakan ibadah puasa. Dan dihukumi murtad (keluar dari agama Islam) bagi mereka yang mengingkarinya.
Karena ia sudah ingkar terhadap apa yang telah ditetapkan oleh agama.

April 15, 2020

,
Add caption
Oleh: M. Syarief

Mesir adalah sebagian negara yang penduduknya meyakini dan menganut suatu tarekat sufi. Ada puluhan bahkan ratusan tarekat di dunia ini. Namun, hanya ada tujuh yang mashur diikuti oleh penduduk Mesir. Sehingga sangat mudah kita temui amaliah tasawuf di sini, ada As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri, Al-Jakfari dan yang lain. Bagi kalangan tertuntu tentu timbul pertanyaan: apakah itu tasawuf?, kapan lahir disiplin ilmu tasawuf?, mengapa ada banyak kelompok sufi di dalamnya?

Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari cabang keilmuan Islam. Sama dengan ilmu lainnya, yakni juga berasal dari Naqliyah yang pada awalnya istilah ini (tasawuf) belum ada di masa Nabi Saw. Akan tetapi amaliah yang serupa sebenarnya sudah ada di masa itu. Seperti halnya ilmu nahwu, Ushul Fikih, Tajwid dan lainnya.

Maka metode dalam menghukumi suatu hal baik atau buruk tanpa ada gambaran jelas sebelumnya terkait hal tersebut bukanlah cara yang benar. Sehingga menghukumi ilmu tasawuf sebagai bidah tanpa ada gambaran jelas berupa: definisi, objek, permasalahan atau dalam istilahnya al-Mabādi’ al-Asyrah.  Dari itu sangat penting mempelajari dan meneliti; apa itu tasawuf yang nantinya akan mengantarkan kita pada kesimpulan akhir, apakah layak dan boleh mempelajari ilmu ini yang mana belum ada di masa Nabi saw?

Apabila kita teliti lebih jauh terkait ilmu tasawuf akan kita temui bahwa di dalamnya terdapat nilai dan perbuatan baik yang sesuai dengan amaliah para Sahabat Nabi saw. Bahkan tasawuf merupakan salah satu rukun dalam agama yang terekam dalam perbincangan antara Nabi dan malaikat Jibril serta diyakini oleh para Sahabat. Islam menjadi perantara dalam membersihkan jiwa. Iman sebagai cara dalam memperbaiki hati dan Ihsan (tasawuf) sebagai cara dalam menyucikan raga (batin).

Jika kita mandi sebagai cara membersihkan badan dari kotoran yang ada di tubuh, maka dapat kita jadikan pula amaliyah tasawuf sebagai cara pembelajaran dan penyucian diri (batin) yang terbingkai dalam tiga T: Takhalli (pembebasan diri), Tahalli (menghiasi diri), dan Tajalli (menampakan diri).

Setelah kita ketahui sedikit gambaran tentang tasawuf, sekarang timbul pertanyaan lain seperti ini, misalnya, bagaimana menyikapi banyaknya tariqah sufi yang ada sekarang? Ada Al-Qadariyah, As-Syadziliyah, An-Naqsyabandiyah dan masih banyak lagi, bukankah semua ini juga belum ada di masa Nabi Saw?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada hal perlu diperhatikan. Pertama, tujuan utama dari ilmu tasawuf ialah mensucikan batin agar sampai dan beribadah dengan baik kepada Tuhan. Sehingga betapapun banyaknya tariqah dan ajaran yang berbeda di dalamnya asalkan tujuan utamanya sama (mendekatkan diri kepadaNya), maka hal ini tidak menjadi masalah dalam artian boleh-boleh saja. Kalau kita analogikan seperti ini, salah satu keseharian Masisir ialah kuliah yang letak kampusnya ada di Darrosah. Namun keberadaan mereka berbeda-beda tempat untuk menuju ke situ. Ada yg dari Asyir, Tabbah, Zahra, Mukatam. Sehingga sah-sah saja mereka melawati jalur masing-masing yang diyakini paling cocok dan pas. Apakah masih diharuskan mereka semua berada dalam satu bus 80 coret? Tentu tidak, jika tetap dipaksakan sama maka akan menjadi musibah besar bagi mereka yang tinggal di Mukatam.

Kedua, beragamnya tariqah ini juga berlandaskan pemahaman dari hadis Nabi saw. ketika ditanyai oleh salah satu sahabat, perbuatan apakah yang paling utama dalam Islam? Jawaban Nabi beragam, berupa salat, menolong orang lain, berbakti kepada orang tua. Juga di kesempatan lain terkait wasiat Nabi untuk para Sahabat ketika itu. Beliau pernah berwasiat pada Abdullah bin Mas'ud agar menjaga salat dan qiyamul lail. Dalam keadaan lain berwasiat kepada sahabat lain agar mengamalkan puasa.
Maka keberagaman tariqah merupakan hal yang sudah dicontohkan Nabi dari adanya peristiwa di atas. Sebab Nabi mendidik para Sahabat dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Sehingga cara mereka dalam beribadah mendekatkan diri kepadaNya sangat beragam dan telah diakui meski tidak sama karena sumbernya satu, yakni Nabi saw. Ada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari ra. yang menjadikan keadaan fakir sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Sayyidina Abu Hurairah ra. Menjadikan ilmu, meriwayatkan hadis Nabi sebagai cara mendekatkan diri kepadaNya. Yakni setiap sahabat mempunyai amaliah dan cara yang berbeda dalam beribadah yang kesemuanya berada dalam satu payung “Penyucian diri” dari hal-hal kotor berupa dengki, riya, sombong, dan yang lainnya.

Selanjutnya timbul pertanyaan lain. Mengapa tariqah ini tidak dinisbatkan kepada para Sahabat Nabi? Mengapa dinisbatkan kepada mereka As-Syadzili, An-Naqsyabandi, Al-Qadiri dan yang lain?

Dalam tradisi dunia kelimuan Islam semuanya bersumber dari Alquran dan hadis, hanya saja penamaan dan istilah suatu ilmu layak juga dinisbahkan kepada mereka yang membukukan, seperti ilmu nahwu yang dinisbahkan kepada Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, ilmu hadis kepada Syihab Az-Zuhri, Ushul Fikih kepada Imam As Syafii, ilmu Arudl kepada Imam Khalil. Begitu juga ilmu tasawuf dan tariqah sufi dinisbahkan kepada As Syadzili misalnya, karena beliau yang memberikan cara amaliyah ibadah guna membersihkan jiwa dan pendekatan diri yang diamabil dari pemahamannya terkait matode Nabi dalam mendidik para Sahabat. Hal itu dapat kita pahami dari pernyataannya: “Mereka yang tidak hafal Alquran dan berani membahas hadis janganlah kalian ambil pendapatnya, sebab adanya kemungkinan besar mereka salah dalam hal itu.” Sehingga perlu kita pahami bersama juga perkataan Imam Malik agar tidak salah dalam bertasawuf: “Mereka yang mengamalkan ajaran tasawuf tanpa adanya pemahaman dalam fikih maka tergolong zindiq, dan mereka yang paham fikih tanpa berprilaku tasawuf maka tergolong fasiq, dan mereka yang berprilaku tasawuf dan paham fikih maka amaliyahnya sudah benar dan diakui."

Dalam hal ini keberdaan ilmu tasawuf dan ilmu fikih adalah satu kesatuan yang tak boleh lepas salah satunya, bagai dua sisi mata uang. Begitulah seputar pembahasan ilmu tasawuf. Sekarang masihkah Anda meragukan dan mengharamkan keberadaan ilmu tasawuf?

April 10, 2020

,
Oleh: Fath Rosi

Beberapa minggu yang lalu (sebelum pandemi Covid-19 melanda Mesir dan dunia), setiap hari selasa, usai salat Zuhur, biasa penulis dan beberapa teman wafidin, mahasiswa asing, tak terkecuali sebagian Mahasiswa Indonesia di Mesir, bahkan mahasiswa Mesir, ikut hadir dalam majlis talaqi yang diampu oleh Dr. Muhammad Abu Musa, Dewan Ulama Senior Al-Azhar. Kitab yang dipelajari adalah Dalail al-‘Ijaz, karya Imam Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H.), kitab rujukan primer dalam kajian i'jaz al-Qur'an, Balaghah dan sastra Arab secara umum.

Tidak lama ia menjelaskan isi kitab dimaksud, datang seorang ‘Amu Mesir (sapaan akrab orang mesir kepada yang lebih tua) mendekati Syekh, dan setelah dipersilahkan, ia pun mengutarakan maksudnya, yaitu untuk meminta fatwa perihal persoalan di keluarganya. Rasanya, tidak sulit untuk menjawab pertanyaan sang kakek itu, bahkan kita yang masih bau kencur pun dalam ilmu fiqh akan mampu menjawab secara lugas. Meskipun demikian, Syekh tidak memberikan jawaba, "Saya bukan ahli dalam bidang ini (Fatwa fiqh) coba kamu tanya ke Dar al- Ifta Mesir," dauh beliau sembari memerintahkan salah satu dari kita untuk mengantar kakek itu ke ruangan Fatwa (ruangan yang dikhususkan untuk Istifta’ (minta fatwa) bagi masyarakat umum yang terletak dekat pintu masuk utama masjid al-Azhar.

Pemandangan serupa, juga kita saksikan ketika Grand Syekh Azhar, Dr. Ahmad Tayyib  berkunjung (baca: diundang) ke Indonesia, tepatnya ketika ia memberikan kuliah umum di hadapan sesepuh dan para pejabat negara tentang "Toleransi Agama Islam" beberapa tahun yang lalu. Ia terlebih dahulu meminta izin kepada Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir al-Qur'an, ketika ingin mengutip ayat al-Qur'an dan tafsir ayat yang beliau sampaikan.

Setidaknya, dari dua teladan singkat di atas, Al-Azhar melalui para ulamanya mewanti-wanti kepada kita, santrinya, bahwa tidak boleh sembarang memberikan komentar dalam amanah ilmu yang kita emban, biarkan ahlinya yang berbicara. Kesimpulan ini bisa saja merupakan sekedar spekulasi seorang santri pada madrasahnya, akan tetapi banyak contoh teladan ulama terdahulu yang lebih substantif yang akan penulis sebutkan pada pragraf berikut.

Dalam khazanah intelektul sejarah ulama Islam, banyak kita temui teladan serupa, misalnya seperti yang disebutkan dalam beberapa kitab biografi, bahwa Imam al-Mundziri (w. 656 H.) seorang ahli hadis ternama di Mesir. Pada saat yang sama, ia juga seorang Faqih yang menjadi rujukan masyarakat setempat dalam menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari.

Ketika Imam Izzudin bin  Abdissalam, (w. 660 H.), cendikiawan muslim, ahli fikih dan Maqashid al-Syariah, hijrah dari Syam ke Mesir dan bermukim di sana, Imam al-Mundziri (w. 656 H.) tiba-tiba berhenti memberikan fatwa pada masyarakat. Menurutnya, ia tidak pantas memberikan fatwa pada masyarakat, Imam Izzudin lebih pantas untuk itu.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa pada suatu kesempatan, tiga ulama besar, yaitu Imam al-Mundziri (w. 656 H.), Imam Izzuddin bin  Abdussalam (w. 660 H.) dan Imam al-Syadzili (w. 656 H.), pelopor Thariqah Syadziliyah berkumpul dalam satu majlis Tazkiyah al-Nafs; kajian Risalah Qusyairiyah dalam bidang ilmu tasawuf di Mesir. Imam al-Mundziri dan Imam Izzuddin menyerahkan mayoritas waktu majlis itu kepada Imam al-Syadili dan mereka berdua lebih banyak mendengarkan kalam-kalam hikmah dari sang sufi ternama itu.

Iman kepada adanya tanggung jawab yang mutlak bersifat pribadi di hadapan Allah Swt. kelak tentang apa yang kita lakukan di dunia ini harus selalu kita tanamkan dalam hati kita, khususnya dalam berijtihad, (kalau boleh dikatakan seperti itu) tanpa ilmu yang memadai. Kita selalu butuh sketsa "nafsi-nafsi" hari kiamat di kehidupan dunia ini dalam bentuk memorandum, pengingat setia untuk berkehidupan lebih baik.

Dalam kitab Shahih Imam Bukhari, Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini perumpamaan orang mukmin, maka sebutkanlah kepadaku, pohon apa itu?" Lalu mereka menerka-nerka sembarang pepohonan.  Abdullah berkata: "Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma." Kemudian mereka berkata: "Ya Rasulullah beri tahulah kami, pohon apa itu?" Lalu beliau menjawab: "Pohon itu adalah kurma."

Barangkali hadis di atas walaupun secara umum tidak ada kolerasinya dengan bahasan berfatwa dengan tanpa ilmu atau berbicara bukan dalam keahliannya, akan tetapi, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran sifat malu seorang sabahat Abdullah yang merasa paling kecil. Sahabat Abdullah merasa malu untuk berbicara apalagi di hadapan para sesepuh sahabat yang hadir pada saat itu, bahkan walaupun sudah yakin dengan jawabannya.
 
Di akhir tulisan sederhana ini, mari kita intropeksi diri, lebih-lebih di masa pandemi covid-19 seperti sekarang, selalu ikuti arahan para ahli; khususnya dalam bidang medis dan agama. Semoga segera membaik. Amin.

Follow Us @soratemplates