Maret 29, 2016

,



 oleh : Hadafi Ridhaka

Aku tahu, kemarin malam aku berfikir tentang apa yang akan aku tulis hari ini. Aku tahu aku mengisi waktuku dengan pena yang berada di antara jemari-jemariku. Di depanku terdapat kertas putih yang sedikit demi sedikit menjadi hitam setiap kali pena itu aku jalankan. Akan tetapi, aku tidak pernah tahu apakah pena itu akan sampai kepada tujuannya, atau ia akan jatuh tersungkur sebelum mencapai impiannya. Dan apakah aku akan mampu menyelesaikan risalah ini, atau masa itu akan menghalangi jalannya? Karena aku sama sekali tidak mengetahui kejadian hari esok. Karena ia hanya ada dalam genggaman Tuhan.

Aku tahu, bahwa aku memakai bajuku di waktu pagi, dan ia masih terdapat di badanku hingga kini. Akan tetapi, aku tidak pernah tahu, apakah aku yang akan membukanya dengan kedua tanganku ini, atau ia akan dilepas oleh tangan seseorang yang memandikanku?

Esok bagaikan sesuatu yang masih remang-remang bagi orang yang melihatnya dari kejauhan. Mungkin saja ia adalah raja yang menebarkan kasih sayang atau setan yang mendapat laknat Tuhan, atau bahkan mungkin saja ia adalah awan hitam, tatkala angin dingin menerkamnya maka, ia akan terurai dan terpecah belah kemudian ia menjadi ketiadaan yang tidak pernah ada. Esok adalah lautan dalam nan luas yang gelombangnya meraung-raung menakutkan. Maka kamu tidak pernah tahu apakah ia menyimpan mutiara dan permata, atau ia membawa kematian yang membuat binasa?
Sungguh, masa depan itu bersembunyi di balik akal pikiran, pun tak dapat ditangkap oleh nalar. Bahkan, seandainya jika seseorang mengangkat kakinya untuk meletakkannya di pintu istana saat hendak keluar, maka dia tidak pernah tahu apakah dia akan meletakkannya di ambang pintu, atau ia akan menempatkannya di tepi liang lahad.

Esok bak kalbu yang penuh dengan rahasia dan tanda tanya yang berusaha ditembus oleh panca indra, pikiran dan nalar. Setetes dari rahasia itu tidak akan pernah tampak hingga batu besar nan kasar itu dilunakkan oleh air tawar.

Aku dan esok ibaratkan ia bersembunyi dan berlindung di tempat persembunyiannya, mendekap di balik bajunya yang lebar, sembari melihat mimpi dan harapanku dengan sinis dan penuh ejek, seakan ia tersenyum dengan senyuman dingin yang menghina dan merendahkan, seraya berkata dalam dirinya, “Seandainya pengumpul harta ini tahu bahwa ia mengumpulkannya untuk ahli warisnya, pun si tukang bangun ini tahu bahwa ia membangun untuk dirobohkan, dan orang tua ini tahu bahwa ia melahirkan untuk menghadapi kematian, maka sekali-kali, mereka tidak akan mengumpulkan, membangun dan melahirkan generasi baru.

Esok adalah misteri yang tak seorang pun mengetahui. Namun, misteri itulah yang membuat manusia terus berlari mengejar cita-cita dan mimpi-mimpi tanpa rasa takut akan rintangan yang menghalangi. Sehingga terbangunlah kreatifitas yang menjulang tinggi sebagai manifestasi dari ontologi manusia yang sejati.....   “Esok bukan untuk ditakuti, melainkan ia adalah motivator tertinggi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berarti”.



Maret 26, 2016

,




oleh : Real Jack

ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Bisakah teman-teman membantu saya untuk menghitung huruf abjad di atas?. Eh, salah! Berapakah jumlah huruf abjad di atas?. Ah, salah lagi! Bukan itu yang ingin saya tanyakan. Apa, yaa?. Tu, kan lupa lagi. Sebentar ya saya ingat-ingat lagi!. Em, okey saya ingat sekarang. Eh, Kamu bacanya jangan lihat kesini! Tidak sopan melototi orang yang lagi bingung. Kamu ini dibilangin malah makin melotot. Kalau kamu terus melotot seperti itu kapan saya mikirnya?.

Tu, kan!. Saya tidak bisa mengingatnya lagi. Ini pasti gara-gara kamu. Sudah saya bilang jangan melotot kesini, biar saya bisa konsentrasi dan fokus.

Kamu jangan marah ya! Saya memang seperti itu orangnya kalau lagi mikir. Suka menyalahkan orang-orang di sekitar. Jangan dimasukkan ke hati perkataan saya tadi, masukin ke kantong pelastik saja biar nanti gampang buangnya. He he he.

Sebenarnya saya bukan mau bertanya. Tapi, saya ingin berbagi. Tapi bukan berbagi uang. Kalau itu saya mau juga. Hik hik hik jadi malu.

Saya ingin berbagi pengalaman. Kemaren saya punya semangat yang menggebu-gebu untuk menjadi penulis. Saya putuskan untuk tour keliling dunia untuk mencari pengalaman dalam hal tulis menulis. Saya temui penulis-penulis best seller dunia. Saya banyak mendapat motivasi dan tips menulis yang baik dari mereka. Oh, ya! Yang tadi bukan keliling dunia beneran tapi keliling dunia maya.

Setelah urat-urat mata saya mulai merah akibat bertempur dengan radiasi cahaya yang dipantulkan oleh layar. Saya putuskan untuk tidur. Eh, salah! Saya putuskan untuk menerapkan ilmu yang mereka beri untuk dituangkan di atas lembaran-lembaran kertas putih. Karena mata saya sudah tidak kuat lagi menatap layar.

Sudah lima menit saya berhadap-hadapan dengan kertas dengan pena yang hanya bergulir-gulir di jemari saya. Tapi belum satu katapun yang bisa aku lukiskan di atasnya. Saya coba mengingat satu-persatu jurus dan tips yang diberikan para penulis best seller tersebut.


Saya ingat salah satu pesan yang mereka katakan "Tulislah apa yang kamu pikirkan!". Pesan ini dengan sepontan membuat saya kembali menekankan pena yang aku pegang ke lembaran putih itu. Tanpa banyak pikir saya langsung menulis "Saya bingung mau menulis apa?."

Ah...hah, kenapa sulit banget? Padahal cuma menyusun huruf abjad ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ menjadi kata. Kemudian merangkainya menjadi kalimat, hingga kalimat-kalimat tersebut menjadi paragraf, lalu merangkai sejumlah paragraf menjadi sebuah tulisan. Selesai, kan?.

Tapi, kenapa sulit sekali untuk menyusunnya?
Ha, yes! Saya ingat!. Saya ingat apa yang ingin saya tanyakan tadi di atas. Saya ingin bertanya begini. "Kenapa banyak orang yang tidak bisa merangkai huruf abjad di atas menjadi kata. Dari kata ke kalimat dari kalimat ke paragrap atau alinea?"

Jawabannya, satu. KARENA TIDAK BIASA. Ya, karena tidak biasa. Tidak ada cara , tips, atau rahasia untuk menjadi penulis hebat atau handal. Selain membiasakan diri untuk menulis. Jika teman-teman menemukan kata-kata "Tips Menjadi Penulis Handal" "Jurus maut menjadi penulis hebat" atau "Rahasia Menjadi Penulis Best Seller" Katakanlah Bull Shett!. Karena mereka sedang menipu teman-teman. Kenapa? Karena dalam menulis tidak ada rahasia, tips, jurus Dll.

Ingat! 'No Secret in writing'. Penulis hebat adalah orang yang menjadikan kegiatan menulis menjadi habits Seperti yang dikatakan oleh salah seorang penulis best seller Felix Siauw dalam bukunya: How To Master Your Habits. “Bila seseorang banyak melatih dan mengulang, terpaksa ataupun sukarela, dia pasti akan menguasai keahlian tertentu. Inilah namanya pembentukan kebiasaan alias habits.” Masih ingat apa yang saya katakan? "Katakan Bull Shett pada Rahasia & Tips menulis". Jangan sampai anda tertipu!.

Maret 24, 2016

,


oleh : Jami'ul Ulum
 
Para ulama klasik (mutaqoddimun) telah berlalu dengan karya-karyanya yang fenomenal, dengan karya merekalah generasi Islam muda berpegang teguh sebagai landasan dan pegangan yang menuntun mereka dan melanjutkan tongkat estafet para leluhur mulia yang telah memberikan kebanggan tersendiri bagi kaum muslim pada khususnya, dan semua umat di seantero dunia pada umumnya.


Tapi yang menjadi permasalahan yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan kaum orientalis adalah keadaan umat Islam masa kini yang menurut mereka adalah aib meskipun bagi kaum muslimin sendiri adalah suatu rahmat, yaitu perbedaan atau khilaf. Seperti perbedaan dalam bersosialisasi, berpolitik, dan bahkan dalam aspek yang sangat urgen; beragama.


Dalam tulisan kecil ini, penulis tidak akan panjang lebar dalam mengusik ketenangan bahasan perbedaan dalam aspek yang begitu luas. Namun,  penulis akan mencoba memasuki nalar khilaf yang tersaji dalam aspek fikih atau furu’ yang mungkin masih menjadi pembahasan serius di berbagai kalangan; mulai dari kalangan masyarakat awam atau bahkan dalam kancah mahasiswa serta kaum terpelajar.


 Khilaf (perbedaan) dalam keterangan bahasa adalah antonim dari kata wifaq (persamaan).


Arti khilaf dalam kaca mata fikih tidak bisa lepas dari makna linguis, mereka menggunakan bahasa khilaf dengan porsi yang tidak sedikit, seperti ketika berhadapan dengan satu permasalahan yang memiliki hukum berbeda, yang ditimbulkan dari cara ulama fikih beristinbath dengan melihat berbagai sisi dari permasalahan tersebut. Misalnya satu ulama melihat dengan kaca mata muthlaq pada kata dalam nash, sedangkan ulama lainnya menganggapnya sebagai kata muqoyyad. Maka khilaf yang dimaksud di atas akan terjadi pula dalam hukum yang dihasilkan.


Kita tidak dapat memastikan kebenaran hukum yang dihasilkan oleh ulama_dalam hal ini lebih tepatnya adalah Mujtahid,_  tapi kita dapat memastikan kebenaran dari apa yang dilakukan mujtahid sebagai proses terciptanya suatu hukum. Karena kita tidak bisa dikenai hukum taklif kecuali dengan kebenaran jalan yang diambil mujtahid dalam ber-istinbath. Dengan berlandaskan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan Amr bin Ash bahwa Nabi bersabda “jika hakim telah memutuskan dan telah berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya benar, maka ia telah mendapatkan dua pahala, tapi jika ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR : Bukhari Muslim)


Meski demikian, untuk mencegah hasil dari perbedaan pendapat yang dapat menimbulkan kesalahan bahkan kehancuran paradigma awal yang pada akhirnya akan dianut oleh generasi selanjutnya, kata khilaf dalam literature fikih tidak pernah digunakan kecuali berawal dari hasil akhir ijtihad yang benar. Bahkan as-Syatibi mengatakan “ijtihad dalam syari’at ada 2 macam; pertama:  Ijtihad yang diakui syara’: yaitu ijtihad yang dihasilkan dari orang yang berpengetahuan tinggi dan layak melakukan ijtihad, ke-dua:  Ijtihad yang ditolak syara’: yaitu ijtihad yang dihasilkan dari orang yang tidak memiliki cukup ilmu yang membuatnya layak berijtihad, karena pada hakikatnya ia berijtihad dengan misi dan tujuan pribadi dan berdasarkan syahwat.


Latar Belakang Munculnya Khilaf Dalam Islam


Jika kita melihat kembali ke belakang, maka kita akan menemukan khilaf tersebut terjadi sejak masa tasyri’ atau masa dimana Rasulullah SAW. masih hidup dan wahyu masih mengalir. Meskipun pada hakikatnya khilaf di masa itu terjadi sangat sedikit disebabkan kaum muslim pada saat itu juga tergolong sedikit dan semua permasalahan akan segera diputuskan di hadapan baginda Nabi Muhammad SAW.


Syaikh Ali al-Khafif  menyatakan bahwa khilaf di masa tasyri’. Karena khilaf menurutnya adalah khilaf yang berkepanjangan dan tetap menjadi polemik setelah pendapatnya dinyatakan berbeda, adapun khilaf di masa tasyri’ bukanlah merupakan khilaf, karena khilaf tersebut akan teratasi di hadapan Rasulullah SAW.  dan berakhir dengan keputusan beliau dan tidak ada satupun sahabat yang akan menentang keputusan itu karena merupakan sebuah wahyu[1].


Berkenaan dengan khilaf dimasa tasyri’ , terdapat berbagai pendapat tentang boleh tidaknya berijtihad ketika Rasulullah SAW. masih hidup dan wahyu masih turun sebagai sumber dari perpecahan masalah, mengingat ijtihad adalah factor utama terjadinya khilaf.


Pendapat Pertama: mayoritas para muhaqqiq_salah satunya adalah Abu Bakar al-Baqillani_ berpendapat bahwa pintu ijtihad di masa tasyri’ dibuka bagi semua umat yang mampu berijtihad secara mutlak; baik ia sedang dalam keadaan jauh dari Rasulullah SAW. atau sedang dalam keadaan dekat dengan beliau (sehingga ia tidak perlu berijtihad karena dapat menanyakan langsung kepada Nabi). Akan tetapi orang yang melakukan ijtihad adalah orang yang memang berkapasitas tinggi dan atas perintah langsung dari Rasulullah SAW. Seperti yang terjadi pada sahabat Sa’ad bin Mu’adz di hadapan bani Quraidzoh. Tanpa perintah langsung dari Rasulullah SAW. sahabat tidak boleh berijtihad kecuali jika Rasulullah SAW. mengetahui dan membenarkan apa yang ia perbuat.


Pendapat Ke-dua: Abu Ali dan Abu Hasyim berpendapat bahwa ijtihad di masa tasyri’ tidak boleh secara mutlak. Karena masih ada wahyu dan Rasulullah SAW. yang menjadi rujukan. Sehingga syari’at murni dari syari’ (Allah SWT dan Rasulullah SAW)  serta tidak ada anggapan bahwa syari’at juga didasari oleh ra’yi (akal).


Pendapat Ke-tiga: al-Ghazali dan Ibn Sobbagh berpendapat untuk di tafsiil ; dengan membolehkan orang yang jauh dari Rasulullah SAW. untuk melakukan ijtihad, sedangkan orang yang berada dekat dengan Nabi tidak diperbolehkan. Demikian juga pendapat imam al-Haramain, qodi abdul Wahhab dan para ulama kalam.


Mereka berdalil dengan apa yang telah Rasululllah SAW. lakukan dengan mengutus sayyidina Ali dan sahabat Mu’adz  bin Jabal. R.A. ke Yaman. Untuk memutuskan hukum dan otomatis mengharuskan untuk melakukkan ijtihad.


Pendapat Ke-empat: Ibnu Hazm al-Zahiri juga berpendapat untuk di tafsiil; dengan membolehkan berijtihad  dalam perkara yang bukan merupakan syari’at (seperti mengharamkan atau menghalalkan), dan tidak memperbolehkan berijtihad dalam ranah syari’at.


Ibn Hazm berdalil dengan kejadian pada Abi Sanabil yang berijtihad mengenai  Sabi’ah binti Harits.


Waktu itu Sabi’ah binti Harits baru saja melahirkan setelah suaminya Sa’d bin Khoulah wafat. Setelah tuntas masa nifasnya ia berdandan dengan cantik untuk menarik perhatian al-Khattab. Dan pada waktu yang sama Abi Sanabil (kebetulan dia adalah orang yang pernah melamar Sabi’ah dan lamarannya ditolak) menghampirinya dan mengatakan bahwa wanita hamil yang ditinggalkan suaminya (karena wafat) harus menuntaskan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Tapi Sabi’ah binti Harits teringat sabda Nabi SAW. dan berkata “Rasulullah SAW. menjelaskan kepadaku bahwa aku halal setelah aku melahirkan dan belau menyuruhku untuk menikah jika memungkinkan [2]”.


Bersambung……….








[1] Syaikh Ali al-Khafif.  asbabu ikhtilaf al- fukaha


[2] Shohih Bukhori (4/1446) No. 3770, Shohih Muslim (2/1122) No.1484.

Follow Us @soratemplates