oleh : Jami'ul Ulum
Para ulama
klasik (mutaqoddimun) telah berlalu dengan karya-karyanya yang fenomenal,
dengan karya merekalah generasi Islam muda berpegang teguh sebagai landasan dan
pegangan yang menuntun mereka dan melanjutkan tongkat estafet para leluhur
mulia yang telah memberikan kebanggan tersendiri bagi kaum muslim pada
khususnya, dan semua umat di seantero dunia pada umumnya.
Tapi yang
menjadi permasalahan yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan kaum orientalis
adalah keadaan umat Islam masa kini yang menurut mereka adalah aib meskipun
bagi kaum muslimin sendiri adalah suatu rahmat, yaitu perbedaan atau khilaf.
Seperti perbedaan dalam bersosialisasi, berpolitik, dan bahkan dalam aspek yang
sangat urgen; beragama.
Dalam
tulisan kecil ini, penulis tidak akan panjang lebar dalam mengusik ketenangan
bahasan perbedaan dalam aspek yang begitu luas. Namun, penulis akan mencoba memasuki nalar khilaf
yang tersaji dalam aspek fikih atau furu’ yang mungkin masih menjadi pembahasan
serius di berbagai kalangan; mulai dari kalangan masyarakat awam atau bahkan dalam
kancah mahasiswa serta kaum terpelajar.
Khilaf (perbedaan) dalam keterangan bahasa
adalah antonim dari kata wifaq (persamaan).
Arti
khilaf dalam kaca mata fikih tidak bisa lepas dari makna linguis, mereka
menggunakan bahasa khilaf dengan porsi yang tidak sedikit, seperti ketika
berhadapan dengan satu permasalahan yang memiliki hukum berbeda, yang
ditimbulkan dari cara ulama fikih beristinbath dengan melihat berbagai sisi
dari permasalahan tersebut. Misalnya satu ulama melihat dengan kaca mata muthlaq
pada kata dalam nash, sedangkan ulama lainnya menganggapnya sebagai kata
muqoyyad. Maka khilaf yang dimaksud di atas akan terjadi pula dalam
hukum yang dihasilkan.
Kita
tidak dapat memastikan kebenaran hukum yang dihasilkan oleh ulama_dalam hal ini
lebih tepatnya adalah Mujtahid,_ tapi
kita dapat memastikan kebenaran dari apa yang dilakukan mujtahid sebagai proses
terciptanya suatu hukum. Karena kita tidak bisa dikenai hukum taklif kecuali dengan
kebenaran jalan yang diambil mujtahid dalam ber-istinbath. Dengan
berlandaskan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan Amr bin Ash bahwa Nabi
bersabda “jika hakim telah memutuskan dan telah berijtihad, kemudian hasil
ijtihadnya benar, maka ia telah mendapatkan dua pahala, tapi jika ijtihadnya
salah, maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR : Bukhari Muslim)
Meski
demikian, untuk mencegah hasil dari perbedaan pendapat yang dapat menimbulkan
kesalahan bahkan kehancuran paradigma awal yang pada akhirnya akan dianut oleh
generasi selanjutnya, kata khilaf dalam literature fikih tidak pernah digunakan
kecuali berawal dari hasil akhir ijtihad yang benar. Bahkan as-Syatibi
mengatakan “ijtihad dalam syari’at ada 2 macam; pertama: Ijtihad yang diakui syara’: yaitu ijtihad yang
dihasilkan dari orang yang berpengetahuan tinggi dan layak melakukan ijtihad, ke-dua:
Ijtihad yang ditolak syara’: yaitu
ijtihad yang dihasilkan dari orang yang tidak memiliki cukup ilmu yang
membuatnya layak berijtihad, karena pada hakikatnya ia berijtihad dengan misi
dan tujuan pribadi dan berdasarkan syahwat.
Latar Belakang
Munculnya Khilaf Dalam Islam
Jika kita
melihat kembali ke belakang, maka kita akan menemukan khilaf tersebut terjadi
sejak masa tasyri’ atau masa dimana Rasulullah SAW. masih hidup dan wahyu
masih mengalir. Meskipun pada hakikatnya khilaf di masa itu terjadi sangat
sedikit disebabkan kaum muslim pada saat itu juga tergolong sedikit dan semua
permasalahan akan segera diputuskan di hadapan baginda Nabi Muhammad SAW.
Syaikh
Ali al-Khafif menyatakan bahwa khilaf di
masa tasyri’. Karena khilaf menurutnya adalah khilaf yang berkepanjangan
dan tetap menjadi polemik setelah pendapatnya dinyatakan berbeda, adapun khilaf
di masa tasyri’ bukanlah merupakan khilaf, karena khilaf tersebut akan
teratasi di hadapan Rasulullah SAW. dan
berakhir dengan keputusan beliau dan tidak ada satupun sahabat yang akan
menentang keputusan itu karena merupakan sebuah wahyu.
Berkenaan
dengan khilaf dimasa tasyri’ , terdapat berbagai pendapat tentang boleh
tidaknya berijtihad ketika Rasulullah SAW. masih hidup dan wahyu masih turun
sebagai sumber dari perpecahan masalah, mengingat ijtihad adalah factor utama terjadinya
khilaf.
Pendapat Pertama:
mayoritas para muhaqqiq_salah satunya adalah Abu Bakar
al-Baqillani_ berpendapat bahwa pintu ijtihad di masa tasyri’ dibuka
bagi semua umat yang mampu berijtihad secara mutlak; baik ia sedang dalam
keadaan jauh dari Rasulullah SAW. atau sedang dalam keadaan dekat dengan beliau
(sehingga ia tidak perlu berijtihad karena dapat menanyakan langsung kepada
Nabi). Akan tetapi orang yang melakukan ijtihad adalah orang yang memang
berkapasitas tinggi dan atas perintah langsung dari Rasulullah SAW. Seperti
yang terjadi pada sahabat Sa’ad bin Mu’adz di hadapan bani Quraidzoh. Tanpa
perintah langsung dari Rasulullah SAW. sahabat tidak boleh berijtihad kecuali
jika Rasulullah SAW. mengetahui dan membenarkan apa yang ia perbuat.
Pendapat Ke-dua:
Abu Ali dan Abu Hasyim berpendapat bahwa ijtihad di masa tasyri’ tidak
boleh secara mutlak. Karena masih ada wahyu dan Rasulullah SAW. yang menjadi
rujukan. Sehingga syari’at murni dari syari’ (Allah SWT dan Rasulullah
SAW) serta tidak ada anggapan
bahwa syari’at juga didasari oleh ra’yi (akal).
Pendapat Ke-tiga:
al-Ghazali dan Ibn Sobbagh berpendapat untuk di tafsiil ; dengan
membolehkan orang yang jauh dari Rasulullah SAW. untuk melakukan ijtihad,
sedangkan orang yang berada dekat dengan Nabi tidak diperbolehkan. Demikian
juga pendapat imam al-Haramain, qodi abdul Wahhab dan para ulama kalam.
Mereka
berdalil dengan apa yang telah Rasululllah SAW. lakukan dengan mengutus
sayyidina Ali dan sahabat Mu’adz bin
Jabal. R.A. ke Yaman. Untuk memutuskan hukum dan otomatis mengharuskan untuk
melakukkan ijtihad.
Pendapat Ke-empat:
Ibnu Hazm al-Zahiri juga berpendapat untuk di tafsiil; dengan
membolehkan berijtihad dalam perkara
yang bukan merupakan syari’at (seperti mengharamkan atau menghalalkan), dan
tidak memperbolehkan berijtihad dalam ranah syari’at.
Ibn Hazm
berdalil dengan kejadian pada Abi Sanabil yang berijtihad mengenai Sabi’ah binti Harits.
Waktu itu
Sabi’ah binti Harits baru saja melahirkan setelah suaminya Sa’d bin Khoulah
wafat. Setelah tuntas masa nifasnya ia berdandan dengan cantik untuk menarik
perhatian al-Khattab. Dan pada waktu yang sama Abi Sanabil (kebetulan dia
adalah orang yang pernah melamar Sabi’ah dan lamarannya ditolak) menghampirinya
dan mengatakan bahwa wanita hamil yang ditinggalkan suaminya (karena wafat)
harus menuntaskan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Tapi Sabi’ah binti
Harits teringat sabda Nabi SAW. dan berkata “Rasulullah SAW. menjelaskan
kepadaku bahwa aku halal setelah aku melahirkan dan belau menyuruhku untuk
menikah jika memungkinkan ”.
Bersambung……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar