Maret 24, 2016

KHILAF FIQHI


oleh : Jami'ul Ulum
 
Para ulama klasik (mutaqoddimun) telah berlalu dengan karya-karyanya yang fenomenal, dengan karya merekalah generasi Islam muda berpegang teguh sebagai landasan dan pegangan yang menuntun mereka dan melanjutkan tongkat estafet para leluhur mulia yang telah memberikan kebanggan tersendiri bagi kaum muslim pada khususnya, dan semua umat di seantero dunia pada umumnya.


Tapi yang menjadi permasalahan yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan kaum orientalis adalah keadaan umat Islam masa kini yang menurut mereka adalah aib meskipun bagi kaum muslimin sendiri adalah suatu rahmat, yaitu perbedaan atau khilaf. Seperti perbedaan dalam bersosialisasi, berpolitik, dan bahkan dalam aspek yang sangat urgen; beragama.


Dalam tulisan kecil ini, penulis tidak akan panjang lebar dalam mengusik ketenangan bahasan perbedaan dalam aspek yang begitu luas. Namun,  penulis akan mencoba memasuki nalar khilaf yang tersaji dalam aspek fikih atau furu’ yang mungkin masih menjadi pembahasan serius di berbagai kalangan; mulai dari kalangan masyarakat awam atau bahkan dalam kancah mahasiswa serta kaum terpelajar.


 Khilaf (perbedaan) dalam keterangan bahasa adalah antonim dari kata wifaq (persamaan).


Arti khilaf dalam kaca mata fikih tidak bisa lepas dari makna linguis, mereka menggunakan bahasa khilaf dengan porsi yang tidak sedikit, seperti ketika berhadapan dengan satu permasalahan yang memiliki hukum berbeda, yang ditimbulkan dari cara ulama fikih beristinbath dengan melihat berbagai sisi dari permasalahan tersebut. Misalnya satu ulama melihat dengan kaca mata muthlaq pada kata dalam nash, sedangkan ulama lainnya menganggapnya sebagai kata muqoyyad. Maka khilaf yang dimaksud di atas akan terjadi pula dalam hukum yang dihasilkan.


Kita tidak dapat memastikan kebenaran hukum yang dihasilkan oleh ulama_dalam hal ini lebih tepatnya adalah Mujtahid,_  tapi kita dapat memastikan kebenaran dari apa yang dilakukan mujtahid sebagai proses terciptanya suatu hukum. Karena kita tidak bisa dikenai hukum taklif kecuali dengan kebenaran jalan yang diambil mujtahid dalam ber-istinbath. Dengan berlandaskan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan Amr bin Ash bahwa Nabi bersabda “jika hakim telah memutuskan dan telah berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya benar, maka ia telah mendapatkan dua pahala, tapi jika ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR : Bukhari Muslim)


Meski demikian, untuk mencegah hasil dari perbedaan pendapat yang dapat menimbulkan kesalahan bahkan kehancuran paradigma awal yang pada akhirnya akan dianut oleh generasi selanjutnya, kata khilaf dalam literature fikih tidak pernah digunakan kecuali berawal dari hasil akhir ijtihad yang benar. Bahkan as-Syatibi mengatakan “ijtihad dalam syari’at ada 2 macam; pertama:  Ijtihad yang diakui syara’: yaitu ijtihad yang dihasilkan dari orang yang berpengetahuan tinggi dan layak melakukan ijtihad, ke-dua:  Ijtihad yang ditolak syara’: yaitu ijtihad yang dihasilkan dari orang yang tidak memiliki cukup ilmu yang membuatnya layak berijtihad, karena pada hakikatnya ia berijtihad dengan misi dan tujuan pribadi dan berdasarkan syahwat.


Latar Belakang Munculnya Khilaf Dalam Islam


Jika kita melihat kembali ke belakang, maka kita akan menemukan khilaf tersebut terjadi sejak masa tasyri’ atau masa dimana Rasulullah SAW. masih hidup dan wahyu masih mengalir. Meskipun pada hakikatnya khilaf di masa itu terjadi sangat sedikit disebabkan kaum muslim pada saat itu juga tergolong sedikit dan semua permasalahan akan segera diputuskan di hadapan baginda Nabi Muhammad SAW.


Syaikh Ali al-Khafif  menyatakan bahwa khilaf di masa tasyri’. Karena khilaf menurutnya adalah khilaf yang berkepanjangan dan tetap menjadi polemik setelah pendapatnya dinyatakan berbeda, adapun khilaf di masa tasyri’ bukanlah merupakan khilaf, karena khilaf tersebut akan teratasi di hadapan Rasulullah SAW.  dan berakhir dengan keputusan beliau dan tidak ada satupun sahabat yang akan menentang keputusan itu karena merupakan sebuah wahyu[1].


Berkenaan dengan khilaf dimasa tasyri’ , terdapat berbagai pendapat tentang boleh tidaknya berijtihad ketika Rasulullah SAW. masih hidup dan wahyu masih turun sebagai sumber dari perpecahan masalah, mengingat ijtihad adalah factor utama terjadinya khilaf.


Pendapat Pertama: mayoritas para muhaqqiq_salah satunya adalah Abu Bakar al-Baqillani_ berpendapat bahwa pintu ijtihad di masa tasyri’ dibuka bagi semua umat yang mampu berijtihad secara mutlak; baik ia sedang dalam keadaan jauh dari Rasulullah SAW. atau sedang dalam keadaan dekat dengan beliau (sehingga ia tidak perlu berijtihad karena dapat menanyakan langsung kepada Nabi). Akan tetapi orang yang melakukan ijtihad adalah orang yang memang berkapasitas tinggi dan atas perintah langsung dari Rasulullah SAW. Seperti yang terjadi pada sahabat Sa’ad bin Mu’adz di hadapan bani Quraidzoh. Tanpa perintah langsung dari Rasulullah SAW. sahabat tidak boleh berijtihad kecuali jika Rasulullah SAW. mengetahui dan membenarkan apa yang ia perbuat.


Pendapat Ke-dua: Abu Ali dan Abu Hasyim berpendapat bahwa ijtihad di masa tasyri’ tidak boleh secara mutlak. Karena masih ada wahyu dan Rasulullah SAW. yang menjadi rujukan. Sehingga syari’at murni dari syari’ (Allah SWT dan Rasulullah SAW)  serta tidak ada anggapan bahwa syari’at juga didasari oleh ra’yi (akal).


Pendapat Ke-tiga: al-Ghazali dan Ibn Sobbagh berpendapat untuk di tafsiil ; dengan membolehkan orang yang jauh dari Rasulullah SAW. untuk melakukan ijtihad, sedangkan orang yang berada dekat dengan Nabi tidak diperbolehkan. Demikian juga pendapat imam al-Haramain, qodi abdul Wahhab dan para ulama kalam.


Mereka berdalil dengan apa yang telah Rasululllah SAW. lakukan dengan mengutus sayyidina Ali dan sahabat Mu’adz  bin Jabal. R.A. ke Yaman. Untuk memutuskan hukum dan otomatis mengharuskan untuk melakukkan ijtihad.


Pendapat Ke-empat: Ibnu Hazm al-Zahiri juga berpendapat untuk di tafsiil; dengan membolehkan berijtihad  dalam perkara yang bukan merupakan syari’at (seperti mengharamkan atau menghalalkan), dan tidak memperbolehkan berijtihad dalam ranah syari’at.


Ibn Hazm berdalil dengan kejadian pada Abi Sanabil yang berijtihad mengenai  Sabi’ah binti Harits.


Waktu itu Sabi’ah binti Harits baru saja melahirkan setelah suaminya Sa’d bin Khoulah wafat. Setelah tuntas masa nifasnya ia berdandan dengan cantik untuk menarik perhatian al-Khattab. Dan pada waktu yang sama Abi Sanabil (kebetulan dia adalah orang yang pernah melamar Sabi’ah dan lamarannya ditolak) menghampirinya dan mengatakan bahwa wanita hamil yang ditinggalkan suaminya (karena wafat) harus menuntaskan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Tapi Sabi’ah binti Harits teringat sabda Nabi SAW. dan berkata “Rasulullah SAW. menjelaskan kepadaku bahwa aku halal setelah aku melahirkan dan belau menyuruhku untuk menikah jika memungkinkan [2]”.


Bersambung……….








[1] Syaikh Ali al-Khafif.  asbabu ikhtilaf al- fukaha


[2] Shohih Bukhori (4/1446) No. 3770, Shohih Muslim (2/1122) No.1484.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates