Secara literal, radikalisme
berasal dari akar kata Radikal, yang memiliki beberapa arti, diantaranya bermakna tegas dalam menuntut dan bertindak,
serta keras dalam menuntut suatu perubahan, baik dalam ranah pemerintahan
di dalam menetapkan undang-undang maupun lainnya. Dalam kaca mata Wikipedia Bahasa indonesia, Radikalisme berarti suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham/ aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham untuk mengaktualisasikan paham
keagamaan yang dianut dan dipercayai untuk diterima secara paksa.
Flash back ke belakang, pada
asasnya benih-benih radikal telah bermula pada era para Sahabat, hal ini terbukti dengan adanya sekte Khawarij yang sejatinya keluar dari lingkaran Imam Ali R.A. dan syi’ah yang berpijak
pada konsep Imamiyah yang dalam ranah aplikatifnya terlalu melewati
batas akan rasa cintanya atas Imam Ali R.A. Bahkan, lebih dari itu, disebutkan
bahwa Imam Ali R.A adalah Tuhan. yakni, dengan menggulingkan argumentasi riil jika
Malaikat Jibril a.s salah alamat dalam menyampaikan wahyu yang telah
diperintahkan oleh Allah Swt. Disinilah sikap tidak rasionalisasi kelompok syi'ah sebagai acuan dasar mereka.
Sungguh, dalam hal ini,
Rasulullah saw. telah memprediksi dari jauh hari, bahwa
akan ada kelompok yang mengatas namakan dirinya sebagai islam. akan tetapi,
secara implisit akan merobohkan idology orang-orang islam itu sendiri.
حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: (إن ما أتخوف عليكم رجل قرأ القرآن حتى إذا رئيت بهجته عليه وكان
ردءاً للإسلام غيّره إلى ما شاء الله فانسلخ منه ونبذه وراء ظهره وسعى على جاره
بالسيف ورماه بالشرك. قال قلت يا نبي الله أيهما أولى بالشرك المرمي أم الرامي؟
قال: بل الرامي) رواه ابن حبان .
Artinya :
Huzaifah R.A berkata : Rasulullah swt.
Bersabda : “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian
adalah seseorang yang membaca al-qur’an. hingga terlihat agung kebesaran Al-Qur’an pada
dirinya. Dia senantiasa membela islam, kemudian dia mengubahnya, lantas dia
keluar darinya. Dia mencampakkan al-qur’an dan pergi menemui tetangganya dengan
membawa pedang dan menuduhnya syirik. Saya hudzaifah bertanya : “Wahai Nabi
Allah, siapakah diantara keduanya yang lebih berhak atas kesyirikan, yang
dituduh ataukah yang menuduh?” beliau menjawab : Yang menuduh”. (H.R: Ibnu
Hibban).
Dari sini,
bila dikolaborasikan antara hadist diatas dengan kehidupan nyata, minimalnya akan
menemukan beberapa titik temu yang cukup krusial untuk diangkat. dintaranya, tentang
pentakfiran (peng-kafiran), dan pem-bid’ahan.
Pertama masalah
pentakfiran :
secara Historis, Problematika pentakfiran dalam kancah social telah muncul mulai beberapa tahun
kedepan, hal ini terbukti dengan adanya sekte-sekte yang mengatas namakan
dirinya sebagai islam namun, dalam ranah ideology dan aplikatifnya cenderung
berbeda dengan ajaran syari’at yang menjunjung tinggi bendera wasaty (moderat)
serta mengakibatkan orang lain tidak tenang.
Semisal, sayyid Qutub yang berasumsi bahwa; pemerintahan yang tidak mempraktekkan
dirinya dengan metodologi keislaman mereka diklaim kafir. Dan kaum wahabi yang
pada gilirannya dikenal dengan sapaan salafi . Dalam realintanya, mereka
tidak segan untuk men-syirikkan siapa saja yang melakukan ibadah yang dalam
kenyataannya tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. seperti masalah
klasik; ziarah qubur, membaca tahlil dan lain sebagainya.
Dalam hal
ini Syekh Usamah Al-Azhari dalam karyanya Al-Haq Al-Mubiin mengomentari bahwa ;
“Hak prioritas pengkafiran hanyalah milik Allah swt, semata”. Jadi tidak ada
yang berhak diantara kita untuk mengkafirkan antar satu sama lainnya.
Kedua masalah pem-bid’ahan :
Diantara
definisi bid’ah Menurut Bahasa, adalah hal baru, mulai, dan pemecah. Sedangkan
secara terminology sebagaimana persepsi Imam Al-Suyuti dalam kitab Al-Mubtadi'ah yaitu “suatu perbuatan
yang tidak sejalan dengan tirai
syar’I.
Dalam kancah internasional, semua para ulama sepakat mengklasifikasikan bid’ah menjadi beberapa bagian, yaitu bid'ah wajibah (wajib), Muharramah (haram), Mandubah (sunnah), makruhah (makruh), dan Mubahah (boleh). hal ini sebagaimana yang telah diperkuat oleh Ulama Monumental sepanjang sejarah, seperti dari kalagan Imam syafi’I diwakili
oleh ; Izz bin Abdi salam, Imam Nawawi, dan
Abu syamah, dari Malikiyah; Al-qarafi, dan Al-Zarqani, dari Hanafiyah;
Ibnu ‘Abidin, dari Hanafiyah; Ibnu Al-Jauzy, serta dari golongan al-dhahiriyah
; Ibnu Hazm.
adapun tendensi tentag terbaginya bid'ah diantaranya adalah hadist Marfu' :
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة, ومن سن سنة سيئة, فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة" رواه مسلم فى صحيحه
Artinya : "Barang siapa yang berbuat perbuatan baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang lain yang mengerjakannya sampai hari kiamat, dan barang siapa yang berbuat perbuatan buruk, niscaya akan mendapatkan dosa dan dosa orang lain yang mengerjakannya sampai pada hari kiamat. (H.R: Imam Muslim dalam kitab shahihnya).
meski demikian, ada segelintir kalangan yang mendistorsi bid’ah tersebut, sehingga mengalami
penyempitan makna, dan menyudut sampingkan masyakat
kecil yang secara dasar keislamannya masih elastis.
misalkan aliran Salafy; dari aspek ideology, mereka meyakini bahwa
tawasul berimplikasi syirik, ziarah qubur, dan baca tahlil dikatakan bid’ah dan
lain sebagainya.
Menanggapi hal ini, Syekh Dr.
Ali Jum’ah dalam karyannya Al-Mutasyaddidun hal. 71 mengatakan bahwa : “tawasul
kepada Nabi Muhammad Saw. di dalam do’a versi mereka (salafi) tergolong Haram. dengan kata lain, Mereka
tidak tanggung-tanggung mengklaim seseorang yang melakukan perbuatan tersebut masuk dalam kategori
Syirik (menyekutukan diri pada Allah). Padahal, dalam masalah ini, konsensus ulama empat madzhab dengan memberi legitimasi tawasul tersebut sebagai hal yang baik, bahkan ini disunnahkan.
Sebab, ini tidak pernah dipertentangkan sama sekali, baik pada era nabi sendiri
maupun setelahnya. Kecuali Ibnu taymiyah yang tetap bersikukuh atas statemennya
dengan membedakan antara tawasul atas Nabi pada masanya dan setelahnya”.
Lantas,
menyikapi hal demikian, tidak layak-kah kita untuk tidak mengikuti langkah-langkah
para ulama terdahulu? sedangkan beliau adalah pewaris Ilmu sekaligus orang-orang
terdahulu yang telah teruji kealimannya.
Semoga kita senantiasa
berada dalam lindunganNya dan mendapat Hidayah-Nya. Amiin.
Oleh : Muchtar Makin Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar