April 02, 2019

cerpen motivasi

"Teguh Berharap Meski Sakit dan Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan; berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu, impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap impian.

Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh. Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara. Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini? Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali. Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!

***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari menunggu istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya. Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya, segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu, terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam. Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya! "Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.

***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk  direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi. Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu... Aldi bilang seperti tadi tidak  bermaksud untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya tak ingin ia perlihatkan.

***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya, penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha terlebih dahulu guna mencari solusi.

***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan. Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri; "Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada jalan garis takdir ini!" Bersambung.

Oleh : Abas Salim




[1] Dasar bajingan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates