"Teguh Berharap Meski Sakit dan
Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata
dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga
terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan;
berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan
memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu,
impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya
tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan
mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu
kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap
impian.
Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan
harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun
seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh.
Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian
mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari
jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang
menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya
kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga
sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana
Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara.
Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya
sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini?
Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat
merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki
para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur
diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua
tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad
digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia
cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat
vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap
ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok
seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali.
Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir
dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung
kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan
kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang
telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan
bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si
bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu
dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si
bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam
tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah
bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!
***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang
mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan
kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari
menunggu
istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan
karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi
ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai
shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat
ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya.
Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak
terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan
lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh
sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri
dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali
menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya,
segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari
apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia
pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan
ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak
tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu,
terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah
Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga
jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam.
Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah
bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya!
"Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri
dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan
masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling
membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup
seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski
sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela
menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam
dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.
***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan
harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan
keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap
sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan
bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu
potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa
dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia
adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah
destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan
manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai
tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara
yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat
buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah
keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang
istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun
berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk
saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada
kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen
adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap
saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi.
Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi
nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu
lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak
sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih
sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu...
Aldi bilang seperti tadi tidak bermaksud
untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk
bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa
kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi
bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya
tak ingin ia perlihatkan.
***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya
setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya,
penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath
dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur
Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan
rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia
harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini
adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari
seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad
Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih
atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan
akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti
mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha
terlebih dahulu guna mencari solusi.
***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa
diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah
benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah
jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam
hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan
tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan.
Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri;
"Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh
kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi
mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada
jalan garis takdir ini!" Bersambung.
Oleh : Abas Salim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar