,
Assalamu
alaikuam…
Sangat
senang membaca tulisan salah satu teman di media ini. Dimana dia membahas
esensi suatu hal dan hakikatnya. Didalamnya berisi tentang pemberian nama surat
kedua al-Qur’an dengan nama al-Baqarah yang bermakna sapi. Meskipun
didalam surat itu ada beberapa kisah yang lebih bagus dari pada kisahnya sapi.
Sebab yang penting adalah esensinya.
Beberapa hari sebelumnya ada
artikel yang mengangkat tema tentang dilema mahasiswa rantau di tanah para nabi
ini (yang tentunya juga tanah para fir’aun). Mahasiswa Indonesia di Mesir
(Masisir) dengan segala dinamikanya yang dihadapi di tanah rantau penuh dengan
tantangan. Universitas al-Azhar mungkin satu-satunya kampus yang tidak
memberlakukan absen. Sehingga dengan itu para mahasiswa dengan leluasa bisa
menghadiri majlis ta’lim yang lain atau membuat kegiatan sendiri. Tidak jarang
juga sebagian mereka yang tidak hadir ke kampus karena alasan dingin, panas dan
yang terbaru yaitu naiknya ongkos bus 80 coret, hehe....Bahkan tidak sedikit
yang aktif dalam kegiatan yang kurang ilmiah dan pergi ke kampus hanya di waktu
ujian.
Disinilah perlunya kita untuk
membedakan antara tujuan utama (maqashid) dan yang menjadi perantara (wasail).
Sehingga nanti kita tidak terjebak dalam kegiatan yang kurang bermanfaat. Tapi
kita tidak boleh menutup mata bahwa perantara itu mempunyai hukum yang sama
dengan tujuan utama. Kaidah
dalam
hal
ini
yang sering kita dengar diantaranya :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو
واجب، للوسائل حكم المقاصد
Dari
kedua kaidah itu bisa kita istinbat, bahwa jika ada seorang mahasiswa tidak bisa
memenuhi kebutuhannya tanpa kerja maka dia wajib bekerja. Hanya saja permasalahan
timbul dalam hal ini. Tidak sedikit dari sebagian oknum yang terlena dalam perantara
sehingga tanpa terasa hal itu menjadi tujuan utama. Ketika mereka mendapatkan finansial
yang cukup melimpah, justru tidak pernah hadir dalam majlis ilmu.
Beberapa
kasus yang lain bisa disamakan dengan kejadian diatas terutama dalam hal
berorganisasi. Sebab tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kita sudah “kebanjiran”
organisasi. Maka diperlukan sebuah filter untuk menyaring organisasi yang bisa
menunjang terhadap akademik kita.
Kembali
lagi ke pembahasan awal, kita jangan hanya stagnan pada casing saja. Namun juga
harus mementingkan esensi dalam berorganisasi dll. Jangan sampai semua itu
menghambat tujuan utama.
Sekarang
kita tinjau permasalahan ini dari ilmu logika (mantiq), sehingga kita bisa mencerna esensi suatu hal. Salah satu
pembahasan
dalam
ilmu
ini
yaitu
kulliy
dzatiy (كلي ذاتي) dan kulliy aradliy(كلي عرضي). Kulliy dzatiy yaitu yang masuk didalam
hakikat
juz’iyyatnya. Andai kata hal
tersebut
terlepas
maka
esensinya
akan
hilang. Sebaliknya
kulliy
aradliy
tidak termasuk di dalam hakikat dan meskipun ia terlepas esensi akan tetap ada. Contoh yang pertama
yaitu “berfikir” bagi
manusia
dan
untuk yang kedua
“tertawa”.
Dari pembahasan
itu
bisa
kita
simpulkan
bahwa “berfikir” itu
merupakan
esensi
dan
tidak bisa
terlepas
dari
manusia.
Makanya
orang yang tidak bisa berfikir dengan baik disebut orang gila. Beda halnya dengan
kata “tertawa”. Sebab meskipun tidak tertawa tetap dinamakan manusia.
Nah,
sekarang kita bisa mengaplikasikan hal itu kedunia kita. Setiap kali
berkeinginan melakukan suatu hal cobalah tanyakan pada hati anda yang paling
dalam. Andai kata tidak melakukan hal ini, apakah saya tetap dinamakan mahasiswa
?.jawabannya ada di hati anda.
Terakhir saya tutup tulisan ini dengan kaidah yang berbunyi :
الاشتغال بغير المقصود إعراض عن
المقصود