Juli 30, 2018

,





Episode 2

Bersama rombongan pasukan Islam yang dipimpin Qais mereka diantarkan pulang. Ditengah perjalan, tibalah waktu dzuhur. Mereka beristirahat sejenak untuk melaksanakan shalat dzuhur yang dipimpin oleh pemimpin pasukan.

“Allahu Akbar” suara takbir menggema, menyentak keras perasaan Maria yang sedang memerhatikan mereka, bergetar hatinya mendengar gemaan takbir yang dilantukkan setiap kali pindah gerakan. Entah apa yang dirasakannya saat itu, yang jelas kalimat itu mampu membuat hatinya tertegun sekaligus terombang-ambing perasaan tak menentu.

“ Apa yang mereka ucapkan itu, dan kembali diucapkan setiap pindah gerakan? “ tanyanya kemudian terhadap pendeta Syata yang berada didekatnya, yang juga sebagai tahanan.

Diluar dugaan, dengan penuh kejujuran pendeta non Muslim ini menjelaskan:
“ itu adalah kalimat untuk memulai ibadah mereka yang disebut Shalat. Seolah-olah dengan kalimat itu mereka menegaskan pada masa bahwa mereka tidak sedang berada di masa tersebut dan tidak sedang berada di dunia, seolah mereka mengatakan bahwa mereka sedang berada di hadapan Dzat yang lebih besar dari segala Wujud. Ketika mereka menyatakan kepergian mereka pada waktu, berikut konflik dan syahwat yang ada di dalamnya, berarti mereka telah memasuki ibadah (Shalat) mereka. Seolah-olah mereka menghapuskan dunia ini dari diri mereka untuk sesaat atau beberapa saat. Caranya dengan mentransendensikan diri mereka atasnya. Perhatikan, bukankah engkau menyaksikan bagaimana kalimat tersebut telah menyihir mereka. Dalam shalat, mereka tidak menoleh pada apapun, mereka begitu tenang, mereka berubah dari kondisi sebelumnya. Mereka sangat khusyu`, seperti khusyuknya para filosof besar saat termenung.”

“sungguh indah filosofi kalimat itu. Buku-buku dan teori-teori telah kelelahan untuk membuat penduduk bumi  merasakan ketenangan dari Pencipta semesta, namun kemudian datanglah Gereja-gereja sebagai tempat ibadah, yang katanya untuk mensaranai orang-orang yang butuh ketenangan menghadap Tuhan. Tempat yang dipenuhi patung-patung dan gambar-gambar sebagai media untuk menyampaikan wahyu-wahyu Tuhan agar merasakan ketenangan dengan doktriin yang dikamuflase. Dengan itu mereka melakukan misi demi keuntungan pribadi. Layaknya dia seorang yang memberi arak pada engkau yang telah dibuat candu. Jika dia tidak memberimu arak, maka kau akan merasakan sensasi diatas fantasi. Seperti itulah mereka membungkus kelezatan dengan nikmat yang mematikan. Lalu siapa yang bisa membawa gerejanya (tempat ibadah) kemana-mana seperti halnya mereka orang-orang islam yang bahkan diatas keledai dan kuda mereka?”. Ungkap Maria dengan penuh kekaguman sambil memerhatikan gerakan shalat pasukan muslimin di depannya.

“ Engkau benar, Maria..” tanggap sang puteri, Armanusya.

“ Gereja tak lain seperti sebuah taman bunga yang dibuat di suatu tempat. Keindahannya terbatas tempat. Dan menikmatinya juga harus bertempat. Sungguh nyaris tidak bisa di dapatkan Wahyu dan Tuhan kecuali di tempat itu. Gereja hanyalah gedung persegi yang mempunyai empat sisi tembok. Sedangkan mereka orang islam bahkan di empat penujuru arah dia bisa beribadah, merasakan ketenangan dan menemukan Tuhannya” ungkapnya dengan penuh ketulusan.

  “ dan ketika mereka sedang shalat, dan pada saat itu dunia telah ditaklukkan lalu  mereka tergiur dan condong terhadapnya, maka sejatinya eksistensi dari shalat pada waktu itu tidak lagi mereka dapatkan “ pendeta Syata yang berada di sampingnya menjelaskan.

“ apakah mereka akan menaklukan dunia?” tanya Maria penasaran.

“ bagaimana Dunia tidak akan ditaklukkan, sedangkan mereka datang bukan untuk memerangi dan bukan karena urusan duniawi. Mereka datang untuk memerangi segala macam kedzaliman dan kesesatan. Mereka datang dari padang pasir yang gersang dengan watak dan fisik yang kuat seperti badai topan yang teguh tegak dalam tinggi panjangnya “. Jawab sang pendeta.

“Demi Tuhan, lagi-lagi kita bertiga seolah berada di agama Amr bin Ash”. Decak kagum Maria tidak dapat lagi dibendung.

Oleh : Ahmad Mahfudz Arief

Juli 29, 2018

,





Bahagiaku adalah bahagiamu

Ketika cinta sepenuhnya kau rangkul,  begitu kuat kau genggam tanganku, agar aku tidak mudah terjatuh,  dan kau biarkan aku menangis dipundakmu sebagai sandaran, lalu kemudian tertidur pulas.  Ini bukan sebuah opini agar aku mendapatkan kasih sayang darimu, melainkan ini adalah bentuk cinta,  agar aku selalu berada dalam keluh kesahmu.

Ibu,  mama,  umi,  bunda,  mungkin adalah sebuah panggilan khusus yang tidak pernah berubah sejak manusia dilahirkan,  atau bahkan tidak akan pernah terlupakan, bahkan hingga nanti saat dunia beranjak. Disini aku mulai tersentuh akan sebuah sejarah baginda rasulullah saw,  kala baginda menangis di samping makam ibundanya,  ada haru yang sempat terlupakan dan mulai aku ingat,  bahwa baginda Nabi Saw. adalah sosok insan kamil bahkan lebih dari sempurna yang sejak balita telah hidup tanpa kedua orang tuanya,  bahkan ayah baginda meninggal sebelum baginda Saw dilahirkan.

Akan ada tangis di ujung senja, saat orang-orang tersayang beranjak pergi untuk selamanya,  begitupun dengan baginda rasulullah saw,  saat beliau berziarah duduk bersandar di samping makam ibundanya yang terletak di Abwa,  beliau menangis sejadinya seperti lazimnya kanak-kanak yang menangis pada umumnya, air mata baginda yang mubarak mulai mengalir membasahi janggutnya,  ketika itu pula baginda berkata pada para sahabatnya yang pada saat itu ikut serta bersama beliau: "Aku akan bermalam disini,  disisi ibuku pada malam ini", betapa sangat sayang rasulullah pada ibundanya, padahal para sahabat telah menyediakan kemah khusus untuk baginda istirahat dan bermalam disana.

Diceritakan oleh sayyidah Aisyah r.a beliau berkata:  "Rasulullah memimpin kami dalam melaksanakan haji wada',  kemudian baginda mendekat kubur ibunya sambil menangis sedih,  maka akupun ikut menangis karena tangisnya."

Maulana Thariq Jamil berkata:"Aku tidak pernah menangis berkali-kali menceritakan suatu kisah,  melainkan kisah baginda saw ketika menziarahi makam ibunya siti Aminah r.a pasti aku akan menangis lagi dan lagi."

“Seorang anak yang hebat,  sebab ada ibu yang lebih hebat”

Terkdang manusia berfikir kehebatan itu terlahir dengan sendirinya tanpa adanya alaqah antara dia dengan ibunya,  padahal berkat doa seorang ibu yang selalu berkeluh kesah pada tuhannya, tuhanpun memberikan sesuatu yang lebih pada dirinya. Bahkan terkadang manusia merasa lebih pintar dari seorang ibu yang telah melahirkannya, ketika pendidikan dan pangkat seorang anak lebih tinggi dari pada pendidikan dan pangkat ibunya, padahal dibalik itu semua ada sebuah bibir seorang ibu yang selalu mendoakannya, bahkan ibu lebih sering berdoa untuk anaknya dari pada berdoa untuk dirinya sendiri.

Di dalam al Quran  Allah juga memberi peringatan, agar seorang anak selalu hormat terhadap kedua orang tuanya, untuk tidak kasar walaupun hanya dengan sebuah kata "Ah" apalagi sampai menghardiknya. Firman Allah: "فلا تقل لهما أف".

“Betapa mulianya kedudukan kedua orang tua disisi Allah”

Maka karena usiaku dan usiamu sangatlah terbatas, mungkin hanya doa yang harus selalu aku panjatkan untuk ayah dan ibu. karena ada banyak hal yang juga harus dipertanggung jawabkan disisi Allah. Kemudian bagaimana jika tiba-tiba dunia beranjak, dan beralih kedunia selanjutnya, sedangkan ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua? maka wahai ibu dan ayah, aku titip surgaku padamu.


Oleh: Nafia Zaini


Juli 28, 2018

,











Hal paling mendasar yang harus diakui adalah, tuhan tidak menciptakan dunia hanya untuk satu ciptaannya saja, tapi beraneka ragam makhluk ciptaan-Nya, seperti: manusia, hewan, tumbuhan dan bahkan benda mati yang gampang dijumpai adalah bukti bahwa itu semua ada untuk ditadabburi oleh akal dan dicari hikmah dari perbedaan jenis itu. Dari masing-masing jenis juga memiliki perbedaan, seperti contoh: manusia, jenis ini memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya, baik dari bahasa, adat, warna kulit dan lain sebagainnya.

            Akal dan pemikiran adalah instrumen paling penting untuk manusia dalam memahami perbedaan-perbedaan tersebut, darinya  seseorang bisa mengenal satu sama lain, dan bahkan mengetahui jenis lain dari ciptaan yang sudah ada. Kesadaran hati yang ditopangi oleh akal dan pemikiran mestinya membantu mereka dalam memahami maksud dari perbedaan itu, serta menghilangkan arogansi pemikiran subjektif  yang menganggap ciptaan lain tidak ada gunanya. Kecenderungan manusia terhadap sikap yang seperti ini dapat menimbulkan berbagai masalah yang teramat sulit diatasi.

            Tidak hanya terhadap jenis ciptaan lain, terhadap sesama manusia kadang terjadi fenomena kekanak-kanakan tingkah dan sikap. Kecenderungan terhadap ego menyebabkan arogansi berlebihan dan berkelanjutan. Hal ini semestinya dapat diatasi melalui akal yang dianugrahkan tuhan sebagai pembeda dari jenis ciptaan yang lainnya. Namun sangat disayangkan jika faktanya terbalik, kesalahan dalam menggunakan fungsi akal sering terjadi, perselisihan sana-sini, pertikaian, dan kecamuk pendapat yang merugikan, terhambur tidak jelas tempatnya.

            Perbedaan adalah keniscayaan bagi manusia. Namun tidak seharusnya perbedaan ini dijadikan alasan untuk berpecah belah. Al-quran menegaskan dalam surah al-Hujarat ayat 13:

يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا، إن أكرمكم عند الله أتقاكم، إن الله عليم خبير.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakankamudariseoranglaki-laki dan seorangperempuan dan menjadikankamuberbangsa-bangsa dan bersuku-sukusupayakamusalingkenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantarakamudisisi Allah ialah orang yang paling takwadiantarakamu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahuilagiMahaMengenal"
Perbedaan yang Allah ciptakan pada manusia, baik itu berupa jenis, suku, bahasa dan bahkan pendapat (madzhab) seharusnya dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya, bukan sebaliknya, karena dikhawatirkan jika perbedaan ini dijadikan ajang pertikaian pendapat, dan pembenaran kelompok tertentu, akan terjadi perpecahan yang semakin meluas.
 Rasulullah SAW. bersabda:
عن معاوية بن أبي سفيان، وعبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار الا واحدة، قالوا : من هي يا رسول الله ؟ قال : من كان مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي)).
“dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Ra. dan ‘Abdillah bin ‘Umar Ra. Sesungguhnya nabi bersabda: (orang yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, dan orang Nashrani terpecah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku (umat islam) akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja). Kemudian para sahabat bertanya: wahai rasulullah, siapakah yang satu golongan itu, kemudian Rasulullah menjawa: siapa saja yang seperti saya  (mengikuti sunnahku) dan para sahabat-sahabat saya.”
Salah satu penyebab perpecahan umat yang kita jumpai akhir-akhir ini adalah perpedaan pendapat dalam semua ranah, baik dalam ranah politik, sosial dan yang paling miris dalam ranah akidah. Sangat disayangkan jika ini semua terjadi pada umat islam, karena dikhawtirkan perbedaan yang menyebabkan perpecahan akan menyebabkan semakin rapuhnya hubungan sosial antar sesama muslim, dan jika ini terjadi, mereka yang tidak menyukai islam akan dengan mudah mengadu domba mereka (Islam).
Lantas bagaimana meyikapi perbedaan yang merupakan keniscayaan ini?
Salah satu yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah akal yang diidentikan dengan ilmu pengetahuan, semakin tinggi ilmu seseorang seharusnya semakin berhati-hati pula dalam menentukan sikap dan pendapat. Dalam hal ini akal dan ilmu menjadi sangat penting bagi seseorang dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Akal dan ilmu membantu seseorang dalam mebedakan yang baik dari yang tidak baik. Oleh karena itu hal pertama yang harus diperbaiki adalah akal dan ilmu dengan cara belajar dan terus belajar.
Seseorang yang sudah mampu menfungsikan akalnya dengan baik sesuai ilmu pengetahuan yang baik pula, akan lahir dalam dirinya sifat bijak dalam menentukan sikap dan pendapat. Pernah terjadi suatu percakapan antara pengikut madzhab Imam Malik dan penganut madzhab Imam Syafi’i, tatkala pengikut madzhab Imam Malik mendengar seseorang dari pengikut madzhab Syafi’i mengatakan: barang siapa yang menginginkan madzhab yang bagus dan indah, maka hendaklah mengikuti madzhab Ibn Idris. Dia lantas menjawab: bagaimana tidak bagus, gurunya adalah Imam Malik”
Inia dalah salah satu sifat teladan yang dihasilkan oleh ilmu yang dicerna dengan baik oleh akal. Selain itu menghilangkan kefanatikan terhadap satu pendapat juga penting dalam mengantisipasi akan terjadinya perpecahan umat, Imam Syafi’I pernah mengatakan :
“Pendapatku benar, tapi kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi kemungkinan benar.”
Begitu pula Imam Malik, ketika baru saja meyelesaikan kitab Muwattha’, Khalifah Makmun dari Bani Abbasiyah meminta agar kitab itu dijadikan rujukan hukum. Namun Imam Malik menolak serta berkata:“wahai Amirul Mu’minin, biarkanlah umat memilih pandangan yang sesuai dengan diri mereka sendiri.”
Begitu juga Imam Abu Hanifah pernah berkata:“Ucapan kami ini hanyalah pendapat. Inilah yang terbaik yang dapat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan pendapat yang lebih baik dari pada kami, ia adalah yang paling dekat dengan kebenaran ketimbang kami.”
Begitulah orang berilmu menyikapi segelumit masalah perbedaan pendapat, mereka tidak serta merta menganggap pendapatnya saja yang paling benar. Mengedepankan perilaku bijak adalah hal yang paling utama agar perbedaan ini tidak berdampak pada perpecahan umat yang tidak diinginkan.
Allahu A’lam
Oleh: Moh. Sholeh


Juli 26, 2018

,



Perbedaan ideologi dan keyakinan adalah hal yang lumrah terjadi dimana saja. Dewasa ini banyak di temui pertentangan antar sesama dalam menanggapi perbedaan tersebut. Bahkan ada sebagian kalangan yang terlalu ekstrim dan hanya membenarkan kelompoknya sendiri. Terjadinya bom bunuh diri di Surabaya beberpa bulan lalu adalah salah satu contoh sikap yang keterlaluan dan begitu eksrim dalam menangapi adanya perbedaan keyakinan dalam beragama. Hal seperti inilah yang akan menimbulkan pernyataan bahwa islam adalah agama yang keras dan akan menindas mereka yang berbeda keyakinan. Padahal islam sendiri datang dengan membawa rahmat (kasih sayang) untuk semesta alam.

Ada dua hal terkait perbedaan yang kita temui:

Pertama, berbeda dalam berpendapat dan pemikiran, namun masih dalam satu agama. Perbedaan seperti ini banyak terjadi di sekitar kita. Dalam hal ini perlu adanya prilaku yang baik, santun, saling menghormati antar sesama, Serta tidak keras kepala meski pendapat orang lain berbeda dengan kita, selama perbedaan tersebut tidak melanggar ajaran islam. Dan hal yang paling penting ialah meminimalisir adanya perpecahan. Karena adanya perpecahan dan pertentangan antar sesama dapat mengakibatkan kegagalan dalam membentuk kehidupan yang baik.
Ajaran islam sebenarnya mudah serta menyenangkan untuk diterapkan. Adanya empat madzhab fikih adalah contoh adanya perbedaan pendapat namun begitu asyik ketika diterapkan. Bahkan dengan adanya mereka ajaran islam menjadi lebih baik. Sebagai Contoh, Bagi jamaah haji syarat sahnya melaksanakan Tawaf di Baitullah haruslah berwudu’. Namun tersentuhnya kulit selain jenis bisa saja terjadi, sebab ibadah yang satu ini tak pernah sepi bahkan sampai berdesakan. Dalam mazhab Syafi’i adanya sentuhan kulit selain jenis dapat membatalkan wudu’, sedangkan mazhab Hanafi mengatakan tidak batal. nah disinilah adanya perbedaan pendapat antar madzhab sebagai solusi dan rahmat bagi umat. Maka, bagi jamaah haji yang mengalami hal semacam ini diperbolehkan mengambil pendapat mazhab Hanafi, dengan syarat mengikuti aturan yang berlaku dan tanpa adanya talfiq (semene-mena berpindah mazhab tanpa syarat).

Kedua, berbeda agama. Dalam hal ini sikap toleransi dan saling menghormati sangat ditekankan. Hidup rukun antar sesama, berprilaku baik, adil dan tidak membenci bahkan membunuh mereka, karena kehormatan mereka sebagai cucu adam haruslah kita jaga. hal ini selaras dengan apa yang ada dalam  al Quran, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu.” (al Mumtahinah:8).

Maka hal yang paling penting bagi kita agar tidak keterlaluan dalam menanggapi adanya perbedaan di sekitar, serta tidak mementingkan keyakinan sendiri tanpa melihat dampak buruk bagi yang lain adalah dengan menjahui sikap keras terhadap mereka yang berbeda haluan. Kalau perlu kita flashbacklah ke zaman sahabat Nabi, mengkaji dan memahami dengan benar bagaimana risalah Islam ini tersebar. Karenanya memahami tentang Islam dengan benar akan berpengaruh baik bagi semua, serta tidak akan meresahkan bagi yang lain.

M. Syarief


Juli 24, 2018

,






Dimanakah Allah ?
Oleh : M. Abdul Malikul Ngibad


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Sempurna, segala puja dan syukur tetap untuk-Nya. Sholawat beserta salam selalu tercurahkan kepada insan pilihan, Rasulullah Muhammad Saw. Alhamdulillah atas segala nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada kita, sehingga kita dapat beraktivitas seperti sekarang ini dalam keadaan sehat sentosa.

Seiring berjalannya waktu, berjalan pula umur kita, berjalan pula sebuah zaman, dengan artian, zaman ini akan segera berakhir, dan mendekati kehancuran. Seperti yang banyak kita temui, akhir-akhir ini masih banyak orang yang bertanya tanya tentang keberadaan Allah SWT. Seperti pertanyaan yang pasti akan kita dengar dari bibir mungil anak-anak kita kelak, “Umi, abi, dimanakah Allah?”, bagaimana jawaban yg tepat untuk mereka? Kita dapat menjawab dengan bahasa yang mudah dipahami bahwa Allah SWT itu tidak seperti apa apa, dan tidak sama dengan siapa-siapa dan apa apa, seperti yang telah difirmankan dalam kitab-Nya :
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير(الشورى : 11)
 Lalu, ketika umurnya sudah beranjak remaja, jelaskan pula bahwa tidak baik bahkan tidak boleh membayangkan Dzat Allah SWT khususnya keadaan dan bentuk dari Allah SWT. Karena ini merupakan sesuatu yang amat bahaya bagi iman kita, karena dianggap menyamakan Allah dengan mahluk-Nya. Selanjutnya jelaskan pula bahwa wujud Allah itu bisa kita rasakan melalui kekuasaan Allah dan tanda tanda Keagungan-Nya. Agar bertambah kadar keimanan kita terhadap Sang Khaliq.

            Adapun mengenai pertanyaan pertanyaan lain tentang haiah atau kondisi Allah sendiri, maka kita terangkan bahwa Allah bersifat :
واجب الوجود لايجوز عليه العدم
“Allah itu pasti ada dan tidak mungkin tidak ada “ 

وأن الغير ليس مؤثرا في وجوده تعالى, فلايعقل أن يؤثر في وجوده و صفاته الزمان و المكان

“Sesungguhnya segala jenis perubahan tidak berpengaruh terhadap wujud Allah  SWT. maka mustahil berubahnya waktu dan tempat mempengaruhi wujud Allah SWT

Bahkan, pertanyaan seperti diatas sesungguhnya kurang pantas diajukan, karena pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat ataupun waktu itu adalah sesuatu yang baru (hadistah), dan sesuatu yang baru adalah mahluk. Seperti langit, jika muncul pertanyaan “dimanakah langit?” jika dilihat dari sudut pandang manusia, maka jelas, bahwa langit itu diatas. Tetapi, jika dilihat dari sudut pandang langit itu sendiri, maka ia tetap ada dibawah, karena masih ada banyak sesuatu diatasnya.

            Para muslim dan mukmin, meyakini bahwa Allah SWT. itu Qaadim atau Dahulu, dengan artian dahulu yang tidak ada permulaannya atau dalam bahasa turatsnya
 هو عدم الأولية للوجود
Seperti dalam firman-Nya surat Al Hadid ayat 3  هو الأول dan seperti yang dikatakan baginda Nabi SAW:
 أنت الأول فليس قبلك شيء

Makna kalimat awwal disini adalah tidak ada sesuatu sebelumNya ataupun adanya sesuatu yang muncul bersamaan dengan-Nya. Dan sifat Qaadim Allah  juga termasukمخالفة الحوادث  dengan artian berbeda dengan mahluk secara keseluruhan sebagaimana yang telah disebutkan pada surat As Syuro ayat sebelas diatas dan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b :

يامحمد انسب لنا ربك فأنزل الله عز وجل (قل هو الله أحد, الله الصمد) قال : الصمد الذي (لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد) لأنه ليس شيء يولد إلا سيموت وليس شيء يموت إلا سيورث وأن الله لايموت ولايورث (ولم يكن له كفوا أحد) قال : لم يكن له شبيه ولا عدل و ليس كمثله شيء

Maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Allah SWT tidak boleh disamakan dan disifatkan dengan suatu keadaan (sifat mahluk). Dan jika ada pertanyaan yang berkaitan dengan sifat dzat Allah SWT, maka pertanyaan tersebut adalah salah, karena dimana dan bagaimanapun sifat makhluk hanya pantas disandingkan kepada makhluk itu sendiri.

            Semoga apa yang kami tuliskan menjadikan pedoman dan tambahan wawasan bagi kami khususnya dan kepada pembaca sekalian umumnya, dan semoga menjadi manfaat bagi kita semua.

*Sumber dan referensi : Kitab Fatawa An-Nisaa Karangan Maulana Syeikh Nuruddin Ali Jum’ah

والله أعلم بالصواب

Follow Us @soratemplates