Agustus 05, 2018

,















Maraknya  semangat  beragama  pada sebagian kalangan menjadikan mereka lebih gemar memperhatikan yang tampak simpel dan sederhana. Beranggapan bahwa dengan terjemahan beberapa ayat dan hadis sudah cukup baginya untuk menjadi seorang  yang benar-benar mengerti agama (Red. alim). Padahal kedua sumber sakral tadi sangat tidak layak untuk dikonsumsi khalayak tanpa bekal yang memadai. Nabi bahkan sangat mengancam mereka yang berbicara mengenai al-Quran tanpailmu, “Barang siapa berbicara tentangisi al-Quran  tanpa ilmu maka bersiaplah ia mendekam dalam neraka” sedang yang berkaitan dengan hadits beliau menyampaikan, “Barangsiapa berdusta dengan sengaja atas namaku maka bersiaplah ia mendekam dalam neraka”.

Kelalaian terhadap 2 dalil tadi nampaknya mengekor pada kelengahan untuk serta-merta menyalahkan hal-hal yang tidak mereka temukan secara mata telanjang (Red. Tanpa bekal) dalam kedua nash. Maka tidak heran jika kemudian lahir berbagai sangkaan bahwa yang tidak ada dizaman Nabi ―menurut mata telanjang mereka― adalah sebuah kesesatan yang wajib dimusnahkan. Tasawuf misalnya.

Tudingan bahwa Tasawuf adalah bid’ah dan sesat akan berdampak pada penyesatan spektrum yang lain seperti Tariqah, Maulidan, Ziarah kubur atau hal serupa yang sebenarnya bertujuan melembutkan hati untuk kemudian bisa merasakan nikmatnya sebuah syariat.

Dalam sejarahnya, Tasawuf mengalami metamorfoses seperti halnya bidang ilmu yang lain. Pada masa Nabi, Tasawuf masih sebagai amaliyah dan tersimpan rapi dalam fikiran serta hati para sahabat. Baru pada generasi ketiga mulailah bermunculan berbagai karya bersama tokoh-tokohnya semisal al-Wasaya dan al-Ri’ayah karya al-Muhasibi, al-Ta’arruf Li madzhabi Ahli Tasawwuf  karya al-kalabadzi, al-Luma’ karya al-Tushi, Quwwatu al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki dan al-Risalah karya al-Qusyairi.

Kemudian lahirlah pada abad ke-5 seorang al-Ghazali bersama karya monumentalnya “Ihya’ Ulumuddin”. Bahkan banyak tokoh-tokoh setelahnya  yang sengaja menyusun biografi tokoh-tokoh pelaku tasawuf  (Red. sufi) dari abad pertama. Seperti: Tabaqat al-sufiyah, Shafwatu al-Sofwah, kaukabu al-Durriyah dan karya-karya senada lainnya. Sehingga kita mengenal sosok Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham atau Fudhail bin Iyadh. Dan dari karya-karya yang ada, kita akhirnya mengetahui Tasawuf sebagai Ilmu yang disana banyak istilah baru seperti: Sufi, Tariqah, Maqam, Kasyaf, Asrar dan sebagainya.

Sedang dari segi esensi ajaran sejatinyaTasawuf merupakan penjabaran luas tentang Ihsan dalam hadits Jibril. Ihsan yang seringkali disebut sebagai elemen ketiga agama juga tak kalah penting peranannya bagi kehidupan. Pasalnya, Tasawuf seolah oase bagi seorang hamba dalam perjalanan rigid mengarungi syariat bersama hukum-hukumnya yang cenderung militan. Lebih lugasnya, ketika syariat memungkinkan untuk menjadikan seorang sampai pada rasa lebih baik dari “orang lain” Tasawuf mengingatkan bahwa harusnya ia lebih baik dari “hari kemarin.” Jika dalam syariat membuat seorang cenderung menilai salah-benarnya “orang lain”. Namun Tasawuf yang lalu menyadarkan bahwa penilaian itu hendaknya untuk “diri sendiri”.

Dalam Tasawuf, seorang hamba digiring untuk merasakan manisnya syariat, merasakan kerinduan, cinta dan keindahan meskipun sesugguhnya lelah memangku tanggungjawab syariat. Seorang hamba diarahkan untuk lebih inten dalam upaya membersihkan hati dari sifat tercela, menghiasi dengan segala akhlak terpuji sehingga kemudian bisa melihat keindahan anugerah Tuhan dengan penuh keyakinan.

Syekh Amru wardani pernah ditanya mengenai Tasawuf, beliau dengan lugas menjawab; Tasawuf adalah sarana untuk seorang hamba belajar berkahlak.

Bertolak dari data-data yang telah terkuak diatas, semakin terang bahwa Tasawuf bukanlah suatu hal yang bid’ah atau cabang ilmu yang asing dan pantas diperselisihkan. Ia juga mengalami beberapa etape seperti ilmu-ilmu lain pada umumnya. Berawal dari Tasawuf  yang hanya sebagai “amali” menjadi Tasawuf  “Ilmi”.

Maka jika ada yang berseloroh: Tapi istilah tasawuf tidak ada di zaman Nabi, di zaman sahabatpun tidak ada yang menyebutkan dan yang ada malah banyak dari pelaku tasawuf menyimpang dengan mengabaikan syariat, karenanya kita harus menolak tasawuf. 

Kita jawab: Iya benar, Istilah Tasawuf tidak ada di zaman Nabi bahkan yang berkaitan seperti Tarikat, Maqam, Kasyaf, Asrar dan seterusnya tidak pernah ada yang menyebutkan. Begitupula ilmu Aqidah, fiqih, ulumul hadits, Jarhwa al-ta’dil dan ilmu-ilmu yang kita kenal sekarang seperti ilmu tentang obat-obatan (pharmacology), biologi, arkeologi, psyhicologi dan berbagai ilmu lain yang sudah kita rasakan bersama manfaatnya apakah lantas kita akan menolak semua ilmu itu?. Seandainya anda termasuk dari kalangan para ulama tentu anda sudah mendengar tentang sebuah kaidah masyhur yang mengatakan bahwa, “Tidak ada perdebatan dalam istilah”

Karenanya anda boleh menyebut Tasawuf adalah Ilmu Ihsan, Ilmu Tazkiyatun Nafsi atau ilmu akhlak. Jika merasa keberatan dengan istilah Tasawuf. Kita memang tidak menemukan istilah Tasawuf dimasa nabi, namun juga bukan berarti menjadi alasan untuk kita menafikan eksistensi ilmuyang secara alamiah menghiasi perjalanan Nabi dan para sahabat.

Sedang berkenaan dengan penolakan Tasawuf karena adanya oknum yang menyimpang di dalamnya, saya kira merupakan keputusan yang gegabah. Bukankah didalam ilmu hadits bisa saja seorang perawi membuat-buat riwayat palsu yang dampaknya merusak agama, bukankah ilmu aqidah juga barangkali dapat menimbulkan keraguan terhadap Tuhan dan semangat yang mengarah ke atheis atau minimal menjadi muktazilah jika terlampau menggunakan akal, dan bukankah setiap cabang ilmu memiliki potensi buruk dari oknum yang menggelutinya? Lantas apakah kita akan menolak semua cabang ilmu yang ada karena adanya penyimpangan oleh segelintir orang yang ada di dalamnya? Saya hanya tidak ingin mendengar, karena ada siswa yang bolos sekolah, lalu ada yang berdemo untuk membubarkan semua sekolah ditanah air.

Kalau kita menengok balik sejarah, banyak akan kita temukan para tokoh besar yang berkhidmah terhadap agama dan ternyata ia adalah seorang Sufi. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, penulis Fathu al-Bari syarah Sahih al-Bukhari adalah seorang Sufi, dimana beliau lalu menyusun biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang Sufi dan wali besar yang dijuluki “Raja Para Wali” di zamannya. Begitupula Imam Nawawi, pensyarah Sahih Muslim beliau adalah seorang sufi, dimana beliau mengarang Bustanu al-Arifin. Dan Imam-imam madzhab dalam bidang Aqidah dan Fiqhpun mayoritas adalah Sufi. Bahkan seorang Salahuddin al-Ayyubi, sang pembebas al-Quds pertama adalah seorang sufi.

Tasawuf sangat dibutuhkan oleh setiap zaman dan oleh setiap hamba. Selain karena memang intens topik yang diulas adalah berkaitan dengan hati sehingga memungkinkan melahirkan seorang hamba yang berkarakter, disana juga berbagai penyakit hati beserta obatnya dibahas tuntas, disana ditunjukkan bagaimana beretika baik terhadap sesama atau pencipta. Selebihnya seperti yang penulis tegaskan bahwa Tasawuf adalah oase di tengah rigidnya mempertahankan syariat.
Ilmu Syariat dan Ilmu Tasawuf adalah satu hidangan yang hendaknya seorang muslim sama-sama menyantapnya. Keduanya merupakan sepiring makanan dan segelas minuman, bayangkan jika kita hanya menikmati salah satunya, iya benar, kita tidak akan merasakan kenyang dengan sempurna [*] 

ZIS AHMAD ZAINAL ABIDIN
(MahasiswaFakultasDirasat Islamiyah Wal Arabiyah)

Juli 30, 2018

,





Episode 2

Bersama rombongan pasukan Islam yang dipimpin Qais mereka diantarkan pulang. Ditengah perjalan, tibalah waktu dzuhur. Mereka beristirahat sejenak untuk melaksanakan shalat dzuhur yang dipimpin oleh pemimpin pasukan.

“Allahu Akbar” suara takbir menggema, menyentak keras perasaan Maria yang sedang memerhatikan mereka, bergetar hatinya mendengar gemaan takbir yang dilantukkan setiap kali pindah gerakan. Entah apa yang dirasakannya saat itu, yang jelas kalimat itu mampu membuat hatinya tertegun sekaligus terombang-ambing perasaan tak menentu.

“ Apa yang mereka ucapkan itu, dan kembali diucapkan setiap pindah gerakan? “ tanyanya kemudian terhadap pendeta Syata yang berada didekatnya, yang juga sebagai tahanan.

Diluar dugaan, dengan penuh kejujuran pendeta non Muslim ini menjelaskan:
“ itu adalah kalimat untuk memulai ibadah mereka yang disebut Shalat. Seolah-olah dengan kalimat itu mereka menegaskan pada masa bahwa mereka tidak sedang berada di masa tersebut dan tidak sedang berada di dunia, seolah mereka mengatakan bahwa mereka sedang berada di hadapan Dzat yang lebih besar dari segala Wujud. Ketika mereka menyatakan kepergian mereka pada waktu, berikut konflik dan syahwat yang ada di dalamnya, berarti mereka telah memasuki ibadah (Shalat) mereka. Seolah-olah mereka menghapuskan dunia ini dari diri mereka untuk sesaat atau beberapa saat. Caranya dengan mentransendensikan diri mereka atasnya. Perhatikan, bukankah engkau menyaksikan bagaimana kalimat tersebut telah menyihir mereka. Dalam shalat, mereka tidak menoleh pada apapun, mereka begitu tenang, mereka berubah dari kondisi sebelumnya. Mereka sangat khusyu`, seperti khusyuknya para filosof besar saat termenung.”

“sungguh indah filosofi kalimat itu. Buku-buku dan teori-teori telah kelelahan untuk membuat penduduk bumi  merasakan ketenangan dari Pencipta semesta, namun kemudian datanglah Gereja-gereja sebagai tempat ibadah, yang katanya untuk mensaranai orang-orang yang butuh ketenangan menghadap Tuhan. Tempat yang dipenuhi patung-patung dan gambar-gambar sebagai media untuk menyampaikan wahyu-wahyu Tuhan agar merasakan ketenangan dengan doktriin yang dikamuflase. Dengan itu mereka melakukan misi demi keuntungan pribadi. Layaknya dia seorang yang memberi arak pada engkau yang telah dibuat candu. Jika dia tidak memberimu arak, maka kau akan merasakan sensasi diatas fantasi. Seperti itulah mereka membungkus kelezatan dengan nikmat yang mematikan. Lalu siapa yang bisa membawa gerejanya (tempat ibadah) kemana-mana seperti halnya mereka orang-orang islam yang bahkan diatas keledai dan kuda mereka?”. Ungkap Maria dengan penuh kekaguman sambil memerhatikan gerakan shalat pasukan muslimin di depannya.

“ Engkau benar, Maria..” tanggap sang puteri, Armanusya.

“ Gereja tak lain seperti sebuah taman bunga yang dibuat di suatu tempat. Keindahannya terbatas tempat. Dan menikmatinya juga harus bertempat. Sungguh nyaris tidak bisa di dapatkan Wahyu dan Tuhan kecuali di tempat itu. Gereja hanyalah gedung persegi yang mempunyai empat sisi tembok. Sedangkan mereka orang islam bahkan di empat penujuru arah dia bisa beribadah, merasakan ketenangan dan menemukan Tuhannya” ungkapnya dengan penuh ketulusan.

  “ dan ketika mereka sedang shalat, dan pada saat itu dunia telah ditaklukkan lalu  mereka tergiur dan condong terhadapnya, maka sejatinya eksistensi dari shalat pada waktu itu tidak lagi mereka dapatkan “ pendeta Syata yang berada di sampingnya menjelaskan.

“ apakah mereka akan menaklukan dunia?” tanya Maria penasaran.

“ bagaimana Dunia tidak akan ditaklukkan, sedangkan mereka datang bukan untuk memerangi dan bukan karena urusan duniawi. Mereka datang untuk memerangi segala macam kedzaliman dan kesesatan. Mereka datang dari padang pasir yang gersang dengan watak dan fisik yang kuat seperti badai topan yang teguh tegak dalam tinggi panjangnya “. Jawab sang pendeta.

“Demi Tuhan, lagi-lagi kita bertiga seolah berada di agama Amr bin Ash”. Decak kagum Maria tidak dapat lagi dibendung.

Oleh : Ahmad Mahfudz Arief

Juli 29, 2018

,





Bahagiaku adalah bahagiamu

Ketika cinta sepenuhnya kau rangkul,  begitu kuat kau genggam tanganku, agar aku tidak mudah terjatuh,  dan kau biarkan aku menangis dipundakmu sebagai sandaran, lalu kemudian tertidur pulas.  Ini bukan sebuah opini agar aku mendapatkan kasih sayang darimu, melainkan ini adalah bentuk cinta,  agar aku selalu berada dalam keluh kesahmu.

Ibu,  mama,  umi,  bunda,  mungkin adalah sebuah panggilan khusus yang tidak pernah berubah sejak manusia dilahirkan,  atau bahkan tidak akan pernah terlupakan, bahkan hingga nanti saat dunia beranjak. Disini aku mulai tersentuh akan sebuah sejarah baginda rasulullah saw,  kala baginda menangis di samping makam ibundanya,  ada haru yang sempat terlupakan dan mulai aku ingat,  bahwa baginda Nabi Saw. adalah sosok insan kamil bahkan lebih dari sempurna yang sejak balita telah hidup tanpa kedua orang tuanya,  bahkan ayah baginda meninggal sebelum baginda Saw dilahirkan.

Akan ada tangis di ujung senja, saat orang-orang tersayang beranjak pergi untuk selamanya,  begitupun dengan baginda rasulullah saw,  saat beliau berziarah duduk bersandar di samping makam ibundanya yang terletak di Abwa,  beliau menangis sejadinya seperti lazimnya kanak-kanak yang menangis pada umumnya, air mata baginda yang mubarak mulai mengalir membasahi janggutnya,  ketika itu pula baginda berkata pada para sahabatnya yang pada saat itu ikut serta bersama beliau: "Aku akan bermalam disini,  disisi ibuku pada malam ini", betapa sangat sayang rasulullah pada ibundanya, padahal para sahabat telah menyediakan kemah khusus untuk baginda istirahat dan bermalam disana.

Diceritakan oleh sayyidah Aisyah r.a beliau berkata:  "Rasulullah memimpin kami dalam melaksanakan haji wada',  kemudian baginda mendekat kubur ibunya sambil menangis sedih,  maka akupun ikut menangis karena tangisnya."

Maulana Thariq Jamil berkata:"Aku tidak pernah menangis berkali-kali menceritakan suatu kisah,  melainkan kisah baginda saw ketika menziarahi makam ibunya siti Aminah r.a pasti aku akan menangis lagi dan lagi."

“Seorang anak yang hebat,  sebab ada ibu yang lebih hebat”

Terkdang manusia berfikir kehebatan itu terlahir dengan sendirinya tanpa adanya alaqah antara dia dengan ibunya,  padahal berkat doa seorang ibu yang selalu berkeluh kesah pada tuhannya, tuhanpun memberikan sesuatu yang lebih pada dirinya. Bahkan terkadang manusia merasa lebih pintar dari seorang ibu yang telah melahirkannya, ketika pendidikan dan pangkat seorang anak lebih tinggi dari pada pendidikan dan pangkat ibunya, padahal dibalik itu semua ada sebuah bibir seorang ibu yang selalu mendoakannya, bahkan ibu lebih sering berdoa untuk anaknya dari pada berdoa untuk dirinya sendiri.

Di dalam al Quran  Allah juga memberi peringatan, agar seorang anak selalu hormat terhadap kedua orang tuanya, untuk tidak kasar walaupun hanya dengan sebuah kata "Ah" apalagi sampai menghardiknya. Firman Allah: "فلا تقل لهما أف".

“Betapa mulianya kedudukan kedua orang tua disisi Allah”

Maka karena usiaku dan usiamu sangatlah terbatas, mungkin hanya doa yang harus selalu aku panjatkan untuk ayah dan ibu. karena ada banyak hal yang juga harus dipertanggung jawabkan disisi Allah. Kemudian bagaimana jika tiba-tiba dunia beranjak, dan beralih kedunia selanjutnya, sedangkan ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua? maka wahai ibu dan ayah, aku titip surgaku padamu.


Oleh: Nafia Zaini


Juli 28, 2018

,











Hal paling mendasar yang harus diakui adalah, tuhan tidak menciptakan dunia hanya untuk satu ciptaannya saja, tapi beraneka ragam makhluk ciptaan-Nya, seperti: manusia, hewan, tumbuhan dan bahkan benda mati yang gampang dijumpai adalah bukti bahwa itu semua ada untuk ditadabburi oleh akal dan dicari hikmah dari perbedaan jenis itu. Dari masing-masing jenis juga memiliki perbedaan, seperti contoh: manusia, jenis ini memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya, baik dari bahasa, adat, warna kulit dan lain sebagainnya.

            Akal dan pemikiran adalah instrumen paling penting untuk manusia dalam memahami perbedaan-perbedaan tersebut, darinya  seseorang bisa mengenal satu sama lain, dan bahkan mengetahui jenis lain dari ciptaan yang sudah ada. Kesadaran hati yang ditopangi oleh akal dan pemikiran mestinya membantu mereka dalam memahami maksud dari perbedaan itu, serta menghilangkan arogansi pemikiran subjektif  yang menganggap ciptaan lain tidak ada gunanya. Kecenderungan manusia terhadap sikap yang seperti ini dapat menimbulkan berbagai masalah yang teramat sulit diatasi.

            Tidak hanya terhadap jenis ciptaan lain, terhadap sesama manusia kadang terjadi fenomena kekanak-kanakan tingkah dan sikap. Kecenderungan terhadap ego menyebabkan arogansi berlebihan dan berkelanjutan. Hal ini semestinya dapat diatasi melalui akal yang dianugrahkan tuhan sebagai pembeda dari jenis ciptaan yang lainnya. Namun sangat disayangkan jika faktanya terbalik, kesalahan dalam menggunakan fungsi akal sering terjadi, perselisihan sana-sini, pertikaian, dan kecamuk pendapat yang merugikan, terhambur tidak jelas tempatnya.

            Perbedaan adalah keniscayaan bagi manusia. Namun tidak seharusnya perbedaan ini dijadikan alasan untuk berpecah belah. Al-quran menegaskan dalam surah al-Hujarat ayat 13:

يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا، إن أكرمكم عند الله أتقاكم، إن الله عليم خبير.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakankamudariseoranglaki-laki dan seorangperempuan dan menjadikankamuberbangsa-bangsa dan bersuku-sukusupayakamusalingkenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantarakamudisisi Allah ialah orang yang paling takwadiantarakamu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahuilagiMahaMengenal"
Perbedaan yang Allah ciptakan pada manusia, baik itu berupa jenis, suku, bahasa dan bahkan pendapat (madzhab) seharusnya dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya, bukan sebaliknya, karena dikhawatirkan jika perbedaan ini dijadikan ajang pertikaian pendapat, dan pembenaran kelompok tertentu, akan terjadi perpecahan yang semakin meluas.
 Rasulullah SAW. bersabda:
عن معاوية بن أبي سفيان، وعبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار الا واحدة، قالوا : من هي يا رسول الله ؟ قال : من كان مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي)).
“dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Ra. dan ‘Abdillah bin ‘Umar Ra. Sesungguhnya nabi bersabda: (orang yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, dan orang Nashrani terpecah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku (umat islam) akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja). Kemudian para sahabat bertanya: wahai rasulullah, siapakah yang satu golongan itu, kemudian Rasulullah menjawa: siapa saja yang seperti saya  (mengikuti sunnahku) dan para sahabat-sahabat saya.”
Salah satu penyebab perpecahan umat yang kita jumpai akhir-akhir ini adalah perpedaan pendapat dalam semua ranah, baik dalam ranah politik, sosial dan yang paling miris dalam ranah akidah. Sangat disayangkan jika ini semua terjadi pada umat islam, karena dikhawtirkan perbedaan yang menyebabkan perpecahan akan menyebabkan semakin rapuhnya hubungan sosial antar sesama muslim, dan jika ini terjadi, mereka yang tidak menyukai islam akan dengan mudah mengadu domba mereka (Islam).
Lantas bagaimana meyikapi perbedaan yang merupakan keniscayaan ini?
Salah satu yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah akal yang diidentikan dengan ilmu pengetahuan, semakin tinggi ilmu seseorang seharusnya semakin berhati-hati pula dalam menentukan sikap dan pendapat. Dalam hal ini akal dan ilmu menjadi sangat penting bagi seseorang dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Akal dan ilmu membantu seseorang dalam mebedakan yang baik dari yang tidak baik. Oleh karena itu hal pertama yang harus diperbaiki adalah akal dan ilmu dengan cara belajar dan terus belajar.
Seseorang yang sudah mampu menfungsikan akalnya dengan baik sesuai ilmu pengetahuan yang baik pula, akan lahir dalam dirinya sifat bijak dalam menentukan sikap dan pendapat. Pernah terjadi suatu percakapan antara pengikut madzhab Imam Malik dan penganut madzhab Imam Syafi’i, tatkala pengikut madzhab Imam Malik mendengar seseorang dari pengikut madzhab Syafi’i mengatakan: barang siapa yang menginginkan madzhab yang bagus dan indah, maka hendaklah mengikuti madzhab Ibn Idris. Dia lantas menjawab: bagaimana tidak bagus, gurunya adalah Imam Malik”
Inia dalah salah satu sifat teladan yang dihasilkan oleh ilmu yang dicerna dengan baik oleh akal. Selain itu menghilangkan kefanatikan terhadap satu pendapat juga penting dalam mengantisipasi akan terjadinya perpecahan umat, Imam Syafi’I pernah mengatakan :
“Pendapatku benar, tapi kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi kemungkinan benar.”
Begitu pula Imam Malik, ketika baru saja meyelesaikan kitab Muwattha’, Khalifah Makmun dari Bani Abbasiyah meminta agar kitab itu dijadikan rujukan hukum. Namun Imam Malik menolak serta berkata:“wahai Amirul Mu’minin, biarkanlah umat memilih pandangan yang sesuai dengan diri mereka sendiri.”
Begitu juga Imam Abu Hanifah pernah berkata:“Ucapan kami ini hanyalah pendapat. Inilah yang terbaik yang dapat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan pendapat yang lebih baik dari pada kami, ia adalah yang paling dekat dengan kebenaran ketimbang kami.”
Begitulah orang berilmu menyikapi segelumit masalah perbedaan pendapat, mereka tidak serta merta menganggap pendapatnya saja yang paling benar. Mengedepankan perilaku bijak adalah hal yang paling utama agar perbedaan ini tidak berdampak pada perpecahan umat yang tidak diinginkan.
Allahu A’lam
Oleh: Moh. Sholeh


Follow Us @soratemplates