Agustus 30, 2018

,


























Jika kita berbicara tentang peradaban Islam, tentunya yang ada dalam pikiran kita adalah era keemasan Islam, yaitu kemajuan peradaban Islam dimasa lalu. Entah kemajuan tersebut ditinjau dari sisi keilmuan, kebudayaan, arteristik bangunanya, ekonomi, dan lain sebagainya. Kemajuan peradaban Islam pada waktu itu telah menjadi catatan emas yang tertulis dalam sejarah Islam, seperti contoh peradaban Islam yang bersinar ditanah Syam, Andalus, Baghdad, Konstantinopel dan lain sebagainya. Baik itu dibawah pemerintahan Dinasti Umayyah, Abbasiah, Ustmaniyyah, dan Dinasti-Dinasti yang muncul pada waktu itu. Pakar sejarawan juga telah mengakui kemajuan peradaban Islam tersebut. Betapa hebatnya umat Islam pada masa itu. Nama mereka menjadi cambuk terhadap kerajaan-kerajaan yang menjadi penentangnya, dan mereka disegani oleh sekutu-sekutunya. Mereka ditakuti pada waktu itu, dan mereka disegani pada waktu itu.

Dikarenakan majunya peradaban Islam pada waktu itu, berdampak pada kesejahteraan hidup yang dirasakan oleh umat Islam. Karena tolak ukur dari majunya suatu Negara, salah satunya dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat dalam Negara tersebut. Dan ini menjadi salah satu tolak ukur sebuah Negara maju menurut pakar ilmu. Tidak diragukan lagi bahwa peradaban Islam yang terjadi pada masa Kerajaan mampu bersaing dengan peradaban yang terjadi pada Kerajaan lainnya. Ini membuktikan bahwa, Kerajaan Islam dalam pandangan mereka, sangat diperhitungkan keberadaannya saat itu.

Jika kita bertanya tentang subjek dari kemajuan peradaban Islam saat itu, tentu saja jawabannya adalah umat Islam itu sendiri. Umat yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk menjadi pengikut utusan-Nya yang istimewa (Nabi Muhammad SAW). Dan jika kita bertanya tentang bagaimana cara mereka menempatkan diri mereka pada titik puncak peradaban tersebut, tentunya hal tersebut berada pada keinginan serta usaha yang kuat yang berada pada diri mereka. Telah kita ketahui bahwa umat Islam pada zaman itu memiliki keinginan untuk menyebarkan agama mereka dan mengajarkan agama mereka kepada orang lain yang berada di luar wilayah mereka, dengan cara melakukan ekspedisi-ekspedisi dengan menaklukan wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah kerajaan Islam saat itu. Akan tetapi, umat Islam tidak hanya menaklukan wilayah tersebut dan memperkenalkan serta mengajarkan agama Islam, akan tetapi mereka juga mempelajari serta menelaah peradaban yang terjadi di wilayah itu. Seperti contoh peradaban Yunani yang berada di Andalusia dan lain sebagainya. Dari peradaban tersebut, mereka dapat menjadikan Andalusia sebagai wilayah yang memiliki peradaban sangat maju waktu itu, yang dapat bersaing dengan wilayah-wilayah lain yang juga maju peradabannya.

Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa, peradaban Islam masa lalu maju dikarenakan beberapa faktor. Pertama, mereka melakukan ekspansi-ekspansi, dan penaklukan untuk menyebarkan agama Islam, yang mana dengan cara ini juga mereka dapat mengetahui peradaban yang ada pada wilayah tersebut. Yang kedua, mereka mendalami ilmu-ilmu yang berkembang dalam wilayah tersebut. Dan tidak dapat terlepas dari faktor trsebut ialah kecintaan mereka akan ilmu. Tidak dapat dipungkiri bahwa, kecintaan ulama-ulama terhadap ilmu pada waktu itu sangat besar. Yang mana kecintaan mereka ini, dapat menjadikan mereka sebagai pelopor ataupun first man dalam terjadinya peradaban Islam.

Akan tetapi, kemegahan serta kemajuan peradaban Islam pada saat itu harus berakhir dengan munculnya berbagai macam problem yang menyelimuti umat Islam pada saat itu. Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya peradaban Islam saat itu seperti perselisihan antara dua penguasa yang diteruskan dengan bunuh-membunuh diantara dua kubu itu, para penguasa yang hidup bermewah-mewah, kemerosotan moral, serta budaya korupsi yang telah merakar dalam diri penguasa serta pejabat-pejabat kerajaan. Inilah beberapa faktor yang terjadi pada masa kerajaan Islam yang menyebabkan merosotnya serta runtuhnya peradaban keemasan Islam saat itu. Entah itu terjadi pada masa Dinasti Umayyah, Abbasiyah, ataupun Utsmaniah. Telah kita ketahui bahwa Dinasti Islamiyah yang terakhir adalah Dinasti Ustmaniyah. Dinasti ini runtuh pada abad ke 20, yaitu awal abad ke 20. Setelah kejadian tersebut, wilayah-wilayah yang ada di bawah naungan Dinasti Ustmaniah memisahkan diri dan membangun sistem pemerintahan sendiri. Sejak saat itu eksistensi umat Islam dalam pandangan umat lain mulai runtuh. Tak seperti yang terjadi pada saat dimana peradaban Islam memperlihatkan kejayaannya, umat Islam dipandang sebelah mata, mereka tidak disegani lagi.

Memang sejatinya manusia dihiasi oleh Allah dengan hawa nafsu. Yang mana, dengan adanya hawa nafsu tersebut, manusia berjalan di jalan yang benar, dan dijalan yang salah. Memang banyak yang menyayangkan hal tersebut. Mulai dari kalangan cendekiawan, ulama, ataupun umat Islam sendiri. Yang terjadi sekarang hanya sebuah angan yang menggambarkan kejadian spektakuler tersebut. Tanpa pernah merasakan indahnya hidup dalam keadaan tersebut.

 Oleh: Rizal




















Agustus 25, 2018

,


Kata ini sering dilontarkan kepada mereka yang menerima amanah untuk mengembannya, "orang barat kini sudah menemukan kemajuan dan kejayaanya, sedangkan kita masih enak tidur dengan lelapnya atas kemunduran kita saat ini" munkin itu lebih tepatnya. Saat mendengar kata itu hati seorang muslim sejati tidaklah begitu saja menerimanya, seakan-akan ingin melontarkan kepada mereka: "tidaklah benar apa yang kau ucapkan itu!!!, sesungguhnya kemajuan mereka berawal dari kami". Teriakan itu dilontarkan begitu nyaringnya, semenjak runtuhnya Dinasti Turki Utsmani pada tahun 1924 silam dan munkin sampai saat ini.

Perlu kita renungi, mengapa mereka melontarkan sebegitu nyaringnya kata-kata itu?, apakah hal itu benar adanya?, atau malah mereka ingin mencitrakan Islam. Seolah-olah mereka ingin kita tahu bahwa kita sudah berada dalam titik ketertinggalan atau munkin sudah dianggap tidak ada lagi. Namun, kalau itu benar adanya, tidaklah perlu kita sesali, tapi perlu kita benahi mencari cara untuk menemukan kembali kejayaan yang kita dapat beberapa abad yang lalu.

Kemunduran Islam, sebagaimana menurut prof. Dr. Ali Gomaa berawal saat muslimin berhenti melahirkan ilmu untuk membantu memahami Nas. Tepatnya, terjadi kekosongan panjang pada tahun 1830 M. Dimana pada saat itu barat mulai menemukan penemuan-penemuan baru dan merubah tatanan kehidupan masyarakat. Dari ini kita memahami, bahwa kemunduran Islam berawal dari dalam Pemeluk Islam sendiri, maka oleh karena itu yang perlu kita lakukan mengembalikan hal itu kembali kepada kita. Munkin sebab ini perlu kita perhitungkan, karena dengan itu terbukti bahwa kita masih hidup dan berkeinginan untuk meraihnya kembali.

Ada yang beranggapan bahwa kemunduran Islam disebabkan dengan kekosongan pemimpin yang mengerahkan umat Islam untuk bersatu atau kerap kali disebut dengan ke-khilafaan.  masa kekhilafaan, Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, dan bisa dikatakan sudah sampai pada puncaknya. maka tidak heran jika sebagian besar dari mereka berlomba-lomba mengumandangkan kata khilafah dengan sangat nyaringnya bertujuan untuk meraih kejayaan Islam kembali. Karena, munkin dengan cara ini, Islam kembali meraih kejayaan yang telah dulu diraihnya. Namun, Saat kemal ataturk menurunkan bendera kekhilafaan, ia seolah memberi tanda bahwa kekhilafaan tidaklah cocok dengan arus perkembangan zaman. Dan ini patut kita pertimbangkan kembali, apakah Islam akan meraih kejayaanya dengan menggunakan cara ini, tatkala umat muslim masih mengalami  konflik internal? atau malah cara ini hanyalah nafsu belaka untuk merebut kekuasaan. Oleh karena itu, ini masih mengalami konflik disebagian besar umat Islam.

Lantas dengan cara apa kita meraih kembali kejayaan Islam yang telah dinikmati umat Islam beberapa abad silam. Apakah kita harus memperhitungkan cara yang telah mereka sebutkan atau malah dikumandangkan senyaring munkin dan mengambilnya?. Atau malah kita harus menangisi atas kemunduran itu dan meratapinya?. Terus -meminjam diksi syekh buthi- siapa yang akan bertanggung jawab atas kemunduran muslimin saat ini. Munkin hal ini, perlu direnungkan kembali bagi umat Islam dan mencari jalan yang tepat untuk itu. Bukan malah sibuk dengan masalah-masalah perbedaan dalam Islam itu sendiri, apalagi masih dalam konteks furu'iyah. Sedangkan barat menari-nari, bahkan mentertawai kita yang masih beradu domba satu sama lain. Wallahu a'lam bih.      
     
Oleh: Rafa

Agustus 18, 2018

,


Bulan Dzulhijjah merupakan bagian diantara bulan-bulan yang oleh Allah SWT berikan banyak keutamaan-keutamaan, karena didalamnya terdapat rukun Islam yang ke 5 yang hanya bisa dilakukan setahun sekali tepatnya di 10 Dzulhijjah yaitu ibadah haji. Disamping itu, di bulan ini kita bisa mengenang sejarah perjuangan, kesabaran, dan ketabahan keluarga Nabi Ibrahim As,  sehingga kita bisa mengambil I'brah dan Hikmah dari perjuangannya. Oleh karena itu, Allah SWT mengkatagorikan bulan ini bagian dari أشهرحرم yaitu bulan-bulan yang Allah haramkan untuk berperang. Apa saja Bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang? Ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa أشهرحرم yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab.
Allah berfirman :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِعِنْدَاللَّهِ اثْنَاعَشَرَشَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌحُرُمٌ....... الآية

Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah, di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Allah berfirman :
والفجر وليال عشر

Demi fajar, dan malam yang sepuluh,” (QS. Al-fajr: 2)

Makna sepuluh di sini, sebagaimana yang disepakati ahli tafsir, adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah.

Tidaklah Allah bersumpah dengan sesuatu melainkan karena agungnya makhluk atau waktu tersebut.
Adapun amalan-amalan yang sunnah dilakukan di bulan Dzulhijjah ini sebagai berikut :

1.       Memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda :

مَامِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا: يَارَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ: وَلاَالْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّرَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.

Artinya: “Tidak ada hari dimana suatu amal shalih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah ).” Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh ).” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzi).

2.       Puasa 9 Hari pertama dan Puasa Arofah

Abu Qatadahradliallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفّرالسنة التي قبله ،والسنة التي بعده.

Puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa.) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..” (HR. Ahmad dan Muslim).
Dari Ummul Mukminin, Hafshah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa asyura, sembilan hari pertama Dzulhijjah, dan tiga hari tiap bulan. (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Ahmad).

3.       Memperbanyak dzikir, takbir dan tahlil

Hadis dari Abdullah bin Umar , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مامن أيام أعظم عندالله ولاأحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشرفاكثروا فيهن من التهليل والتكبيروالتحميد

Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad dan Sanadnya dishahihkan Syekh Ahmad Syakir).

Bahkan para sahabat radhiallahu ‘anhum bertakbir di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَوَأَبُوهُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُالنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan kalimat takbir kemudian orang-orang pun bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Bukhari secara muallaq, Bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

4.       Shalat Idul Adha

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau berkata :

قدم رسول الله –صلى الله عليه وسلم- المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال « ماهذان اليومان ». قالوا كنا نلعب فيهما فى الجاهلية. فقال رسول الله –صلى الله عليه وسلم- « إنالله قدأبدلكم بهماخيرامنهما يوم الأضحى ويوم الفطر

Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman jahiliyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik: Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad).

5. Menyembelih Qurban

Allah berfirman:

فصل لربك وانحر

Laksanakanlah salat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar: 2).

Rasulullah bersabda :

Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya& bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” [HR. Ibnu Majah].

Semua yang penulis sebutkan di atas hanya bagian dari keutamaan-keutamaan yang Allah berikan kepada kita di bulan Dzulhijjah ini, dan masih banyak keutamaan-keutamaan lainnya yang masih belum disebutkan.

Hampir semua amal ibadah yang dilakukan, dimulai dari kegiatan-kegiatan haji sampai disunnahkannya qurban adalah kisah dari keluarga Nabi Ibrahim As. Tujuannya; disamping ada nilai-nilai ibadah, juga supaya kita bisa mengingat dan meneladani dari kisah Nabi Ibrahim yang salalu berhasil melewati rintangan-rintangan, cobaan, dan kesabaran ketika Allah menguji hamba-Nya. Mulai dari menghadapi Raja Namrud dan kaum penyembah berhala. Dibakar, dipisahkan jauh dari istri "Hajar" dan anaknya "Ismail" sampai diperintah untuk menyembelih putranya "Ismail" juga berhasil. Seperti firman Allah :

وَإِذِابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَايَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِين

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Dan yang terakhir , semoga kita bisa mengambil Hikmah, I'brah dan bisa meneladani dari kisah-kisah yang telah lampau.

Allah berfirman :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ..... الآية

Artinya : sesungguhnya telah ada pada kisah-kisah mereka pengajaran bagi orang-orang yang punya akal.

WallahuA'lam.


                                                                                                                          Oleh : Zain Jakfar

Agustus 17, 2018

,


Berbicara ilmu, sampai kapan pun tidak akan pernah ada ujungnya. Begitu banyak nas al-Qur’an dan as-Sunnah yang berbicara tentang keagungannya dan keutamaan bagi penuntutnya. Dalam kitab “al-Fawaid al-Makkiyah Fima Yahtajuhu Tholabatu as-Syafiiyah”, karya Syaikh ‘Alawi bin Ahmad bin Abdurrahman as-Saqof as-Syafii al-Makki disebutkan bahwa mayoritas Ulama Mujtahidin mengatakan: “Sesungguhnya mengembara Ilmu lebih utama daripada melakukan Sholat sunnah, apabila benar-benar diniatkan karena Allah."

Tak heran jika Ulama-ulama terdahulu begitu menguasai subtansi dari Ilmu, terlebih Ilmu Agama. Selain karena tidak terganggu dengan adanya sosmed seperti di era yang serba canggih ini, mereka juga sangat betul-betul memperhatikan tata-cara menuntut Ilmu yang diajarkan oleh sang Baginda dan para sahabat-sahabatnya. Berbeda dengan kita, yang hampir 80% dari jangka waktu satu hari satu malam, kita gunakan hanya untuk hal-hal yang bisa dikatakan sangat merugikan.

Imam Muhyiddin Zakaria Yahya bin Syarf an-Nawawi. Nama yang sangat tidak asing lagi di telinga kita, khususnya penganut Syafi’iyah. Beliau merupakan salah satu Ulama Syafiiyah yang sangat terkemuka. Begitu tabahhur (mendalami) Ilmu-ilmu agama yang berbau Syafi’i. Salah satu Ulama’ dari minoritas Ulama yang sampai akhir hayatnya tidak sempat merasakan indahnya beribadah bersama wanita (Menikah).

Suatu ketika Beliau ditanya:

“Ya Maulana, mengapa engkau tidak menikah?”

Dengan seuntai senyum dan nada lembutnya beliau menjawab:

“Aku lupa”

Saking besarnya kecintaan Imam Nawawi terhadap Ilmu, hingga membuatnya lupa bahwa di dunia ini masih ada kaum Hawa.

Berbicara keistimewaan sosok Imam Nawawi, tidak hanya sampai di situ saja, masih banyak kisah-kisah yang menceritakan sifat manusiawinya yang dapat dan baik kita teladani. Tak sedikit dari Ulama-ulama besar yang kagum terhadapnya, termasuk Imam Ibnu Malik (Pengarang nadzom Nahwu yang sangat terkenal “Alfiah Ibnu Malik”) yang merupakan Guru dari Imam Nawawi, merasa sangat kagum terhadap muridnya tersebut, sehingga Beliau mencantumkan sosok Imam Nawawi pada salah satu bait dalam kitab karangannya:

ولا يجوز الابتدا بالنكره...مالم تفد كعند زيد نمره
وهل فتى فيكم فما خل لنا...ورجل من الكرام عندنا   

Yang dimaksud oleh Ibnu Malik pada lafadz ورجل من الكرام عندنا adalah Imam Nawawi. Kemudian, tak hanya itu saja, masih banyak lagi Ulama yang semasa dengannya, bahkan Ulama yang hanya mengenal Imam Nawawi dari karya-karyanya pun sangat mengaguminya, salah satunya yaitu Imam Taqyuddin as-Subki. Diceritakan bahwa suatu ketika Imam as-Subki pergi ke suatu tempat dimana Imam Nawawi mengajar Hadist di tempat tersebut waktu hidupnya dulu. Kemudian Imam as-Subki bertanya terhadap sekelompok orang yang ada di tempat tersebut dimana posisi Imam Nawawi ketika mengajar Hadist. Lalu salah satu dari mereka memberi tahu Imam as-Subki tempat Imam Nawawi ketika mengajar seraya menunjuk pada sehelai sajadah yang diduduki Imam Nawawi. Dengan keadaan senang dan rindu terhadap sosok Imam Nawawi, Imam as-Subki langsung menundukkan kepalanya, mencium sajadah tersebut seraya berkata:

وفي دار الحديث لطيف معنى * على بسط لها أصبو وآوي
عساي أن أمس بحر وجهي * ترابا مسه قدم النووي


Ya Rob!

Jadikanlah kami sebagai orang yang tidak pernah lelah dalam mengembara Ilmu-Mu, tidak pernah menyerah dalam berusaha mendapatkan Ridlo-Mu, tidak pernah malas dalam mengharap Syafaat kekasih-Mu, Muhammad SAW.

Oleh: Senja Bertasbih

Follow Us @soratemplates