Memahami
esensi kisah seseorang, maka secara tidak langsung kita dihadapkan setidaknya dua
komponen penting yang terdapat di dalamnya. Pertama; latar belakang orang itu
sendiri. Kedua; perjalanan hidupnya mulai dari kecil sampai dewasa. Hal ini
menjadi tolok-ukur objektivitas bagi siapa saja ketika hendak menyikapi sesuatu
yang terjadi dalam kisah tersebut.
Ada hadis menjelaskan
silsilah keturunan Yusuf As “Nabiyyun Ibn Karim Ibn karim”. Bahwa dia merupakan
putra dari Ayyub (Karim) bin Ishak (Karim) yang mana keduanya merupakan Nabi. Pun
demikian Yusuf sendiri merupakan nabi, dia salah satu Nabi yang telah
mengajarkan kepada umat Islam midan dakwah yang tidak mengenal waktu dan
tempat. Seperti yang telah diterangkan dalam ayat 36-41 perjuangan dakwahnya
dalam penjara.
Kemudian
sejarah hidupnya dimuat dalam al-Quran secara terperinci tanpa terpisah-pisah
di surat ketiga belas dalam urutan mushaf Usmani. tidak seperti kisah-kisah nabi
sebelumnya atau setelahnya yang disebutkan di banyak tempat terpisah. Hal ini
merupakan keistimewahan yang dimiliki Yusuf As. Sekaligus sebagai Ibrah bagi
kita untuk meneladani jejak hidupnya. Bagaimana tidak? Allah Swt. telah menyiapkannya
menjadi pemimpin sekaligus petunjuk bagi umat manusia.
Ada
percakapan menarik terekam antara dua cendekiawan; Muhammad Ragab al-Bayumi
(MRA) dan Mahmud fahmi al-Bayumi (MFA) mengenai awal mula kisah Yusuf As. dalam
kitab “Min al-Qimah al-Insaniyah fi al-Islam” karya Muhammad Ragab
al-Bayumi.
Di saat
keduanya selesai menyimak Surat Yusuf yang dibacakan, sepontan MRA mengatakan
bahwa kisah Yusuf berporos pada kisah Gamis. Gamis yang berlumuran darah
palsu yang dibuat oleh saudara-saudaranya guna mengelabui ayahnya ketika
berusah menjauhnya dari sang ayah. Gamis yang ditarik sampai robek oleh istri
raja Mesir saat Yusuf hendak menyelamatkan diri dari tipu muslihatnya, serta Gamis
yang dikirimkan kepada ayahnya yang membuat mata Nabi Yakqub melihat Kembali.
Kemudian MFA
menyanggahnya: wahai saudaraku! bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?
MRA: itu hanya logic theory dari surat tadi.
Kemudian MFA
menyanggahnya lagi; jika demikian, maka ru’ya sadikah bisa juga menjadi pilihan
yang lain sebagai porosnya karena kisah itu berawal dan berakhir dengan mimpi;
di waktu kecil Yusuf bermimpi melihat Matahari, Bulan serta sebelas bintang
sujud di hadapannya, dia juga menafsirkan mimpi dari dua rekan saat di penjara,
juga menafsirkan mimpi raja Mesir hingga kemudian dia menunjukkan makna mimpinya
waktu kecil di hadapan ayahnya. Namun apakah kamu setuju dengan kritisi seperti
itu?
Terlepas
dari persepsi tadi, akan lebih baik jika mengatakan bahwa poros kisahnya adalah
bentuk dari esensi sifat kepribadian serta keistimewahan yang dimiliki Yusuf yaitu
berupa sifat ihsan. Sedang makna ihsan seperti dikutib dari hadis Jibril “An
Takbudallaha Kaannaka Tarahu Wainlam Takun Tarahu Wa Innahu Yaraka”. hadis
ini diartikan ‘sampainya seorang ke level kesempurnaan di setiap amaliyahnya’.
Hal ini dapat terlihat dalam pribadi dan tindak laku Yusuf mulai dari kecil
sampai dewasa, (imbuhnya).
Walaupun
tidak dapat dipungkiri bahwa sifat ihsan telah menjadi kriteria wajib seorang Nabi,
namun ihsan yang terdapat dalam Surat Yusuf merupakan salah satu hal terpenting
untuk dipelajari dan diambil ibrahnya. Bagaimana tidak? Yusuf yang memilki
paras wajah tampan menolak ajakan **** wanita tercantik saat itu. Serta ihsan ketika
dia memilih masuk penjara walaupun dia tidak bersalah demi meredam sindiran, cacian
serta hinaan yang mengarah kepada keluarga al-Aziz kala itu. Juga ihsan ketika
menafsirkan mimpi dari rekannya di penjara. Serta ihsan ketika dia
mengungkapkan identitasnya kepada saudaranya. ihsan yang difirmankan Allah Swt.
dalam ayat 22 dan 56, ihsan yang diakui rekannya di penjara dalam ayat ke-36, ihsan
yang diakui oleh saudaranya ketika Yusuf masih kecil dan tumbuh dewasa di ayat 4
dan 78 serta Ihsan yang diakui Yusuf sendiri dalam ayat ke 90.
Maka dari
sini, kita dapat melihatnya dengan mata telanjang bahwa kisah Yusuf berporos di
sifat ihsan. Serta Surat ini menyatakan makna Ihsan itu luas tidak terkhusus
kepada sedekah yang masyhur dipahami sementara ini. Amaliyah Yusuf seolah-olah
menjelaskan kepada kita dalam bait kisahnya bahwa kita harus berbuat ihsan di
setiap tindak laku. Seperti sabda Nabi “Ida Dabahtum wa Ahsin al-Dibhatah”.
Wallahu’alam.......
Penulis : Ust. Ach. Shalehuddin, Lc.