Oktober 15, 2022

,

 




Oleh: Afifuddin

Hadis merupakan sumber ke dua di dalam agama Islam setelah al-Qur’an, dan juga para ulama’ sering menyebut sumber kedua ini dengan Sunnah. Dalam segi bahasa Sunnah adalah sirah yang artinya adalah perilaku, baik ataupun buruk.¹  Adapun istilah sunnah menurut ulama’ hadis ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. Di antara ke dua sumber syari’at Islam ini (al-Quran dan Sunnah) mempunyai hubungan yang sangat kuat, sehingga umat Islam tidak bisa meninggalkan salah satunya. Sunnah merupakan suatu hal yang sangat strategis bagi umat Islam, ia (Sunnah) yang menjabarkan dasar-dasar ajaran Islam yang terdapat dalam sumber utamanya. Al-Qur’an memerlukan penjelasan dan rincian supaya dapat dilaksanankan, dan penjelasan serta rincian tersebut tertuang di dalam Sunnah.

Mereka adalah suatu kelompok dari umat Islam, yang mengingkari atau tidak butuh kepada Sunnah, dan mencukupkan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dalam syari’at Islam. Mereka juga sering menyebut dirinya dengan sebutan Al-qur’aniyyun. Rasulullah telah mewanti-wanti jauh sebelum 14 abad yang lalu akan adanya kelompok tersebut, dengan memberi tau kepada para sahabatnya bahwa akan muncul sebuah kelompok yang tidak percaya dan mengingkari sunnah.

Awal mula munculnya inkar Sunnah pada abad kedua (hijriah), dan Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menghadapi mereka, dengan membantah syubhat-syubhat mereka di dalam kitabnya al-Umm.²  Tidak sedikit dari para ulama’ yang menulis sebuah kitab terkait pendapatnya tentang orang-orang yang mengingkari Sunnah, dan orang yang mencukupkan untuk kembali ke Al-Qur’an saja. Diantaranya; Imam Syatibi pada kitabnya Al-Muwafaqot fi usul As-syari’ah, dan begitu juga Imam Suyuti yang beliau beri nama kitabya Miftah al-Jannah fi Ihtijaji bi as-Sunnah, beliau membantah habis-habisan pendapat-pendapat nyeleneh ingkar Sunnah. Dari para ulama Azhar sendiri telah menjelaskan dan mengeluarkan pendapatnya tentang permasalahan ini, diantaranya; Dr. M Sayyid Tantawi mensifati setiap orang yang butuh kepada al-Qur’an saja dan mengenyampingkan Sunnah dengan sifat bodoh yang tidak tau akan agamanya, serta beliau juga menjelaskan bahwa Sunnah adalah ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya, adapun lafadznya dari Rasul akan tetapi ma’nanya wahyu dari Allah. Al-Imam al-Akbar Syekh Ahmad Toyyib berkata dalam permasalhan ini “ bermain-main terhadap sunnah dan meragukan atas kesuciannya, itu adalah permasalahan yang sejak dulu ada, dan tidak akan hilang selama agama ini tetap kokoh berdiri”.

Di anatara dalil mereka yang sering di jadikan hujjah, bahwa al-Qur’an telah menerangkan semua tentang syari’at ini secara terperinci, dengan berdasarkan nash al-Quran: 

ما فرطنا فى الكتاب من شيء

Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab.³

ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء

Dan Kami turunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.⁴

Inkar Sunnah menyimpulkan dengan ke dua ayat di atas, bahwa al-Qur’an telah menjelaskan dan mencakup segala hal pada syari’at islam. Lalu apa gunanya masih butuh kepada Sunnah? Kalau seandainya Al-Qur’an masih butuh kepada penjelasan Sunnah, maka secara tidak langsung di dalam al-Qur’an terdapat kontradiksi sedangkan adanya kontradiksi pada al-Qur’an itu mustahil.  

Pemikiran seperti ini, tidak lain karena adanya kejahilan seperti yang telah disifati oleh para ulama kita. Sangat betul bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan semua tentang syari’at ini, seperti halnya kaidah-kaidah hukum dan pondasi syari’at, namun al-Quran sendiri menjelaskan sebagiannya saja, dan meninggalkan sebagiannya yang lain untuk Rasulullah jelaskan kepada ummatnya, Allah berfirman :

وأنزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون

Dan Kami turunkan ad-Zikr (al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.

Dari ayat ini bahwa Rasulullah diperintah langsung oleh Allah, untuk menjelaskan kepada umat Islam apa-apa yang ada di dalam al-Qur’an, maka sangat tidak masuk akal dengan orang-orang yang hanya mencukupkan kepada al-Qur’an, dan inkar terhadap Sunnah, sedangkan salah satu fungsi dari pada Sunnah adalah menerangkan dan menjelaskan yang ringkas (mujmal) di dalam al-Qur’an. Seperti halnya Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk mendirikan shalat, sedangkan al-Qur’an sama sekali tidak menjelaskan jumlah waktu solat siang dan malam, dan berapa jumlah raka’at pada setiap shalat, serta  bacaan apa yang harus dibaca ketika shalat. Semua itu Sunnahlah yang menjelaskan semuanya.  Begitu juga tentang permasalahan zakat, haji dan ibadah serta hukum-hukum pada syari’at ini.

Dengan syubhat ini secara tidak langsung, mereka (Inkar Sunnah) ingin membutakan umat Islam pada hakikat al-Qur’an, sebab tidak sempurna syari’at Islam tanpa adanya penjelasan dari Sunnah. Seringkali ada permasalahan halal dan haram, perintah dan larangan di dalam Sunnah, yang mana al-Qur’an tidak menyebutkan hal tersebut, dan ketika umat Islam sudah buta, atas perintah apa yang dimaksud oleh Allah dalam sumber utamanya (al-Qur’an), di saat itu juga umat Islam akan meninggalkan al-Qur’an. Mereka (inkar Sunnah) pada hakikatnya tidak percaya kepada al-Qur’an, dan tujuannya adalah ingin menghancurkan Islam dengan mempelajari al-Qur’an dan Sunnah, padahal mereka tidak iman kepada dua sumber syari’at Islam tersebut.

Kita sebagai umat Islam sangatlah butuh kehati-hatian  dalam menjaga syari’at ini, sebagaimana para ulama telah menjaga utuh apa yang di sampaikan oleh Rasulullah. Guru merupakan peran penting untuk menentukan karakter individu seorang muslim, untuk membentengi dari paham-paham nyeleneh seperti halnya paham syi’ah, wahabi dan paham ingkar sunnah, Imam Ibnu Sirin berkata: “Ilmu ini adalah sebagian dari agama, maka lihatlah (perhatikanlah) dari siapa kalian memperoleh ilmu agama.” Wallahu a’lam....

Refrensi : 


¹ Al-Maliki, Sayyid Muhammad. “Kitabu al-Minha al-Latif” hal 9.

² Lihat buku Subhat haula al-Hadis (diktat kuliah tk2) hal 14.

³ Surat al-An’am, ayat 38.

⁴ Surat an-Nahl, ayat 89

Oktober 11, 2022

,

 


         Safinah, seorang budak wanita yang pernah mengabdikan dirinya pada keluarga Rasulullah. Ia membantu pekerjaan rumah, dari menumbuk gandum, membuat roti, memasak dan lain sebagainya. Meski berstatus budak, ia dianggap seperti keluarga sendiri. Karena itulah Safinah bahagia dapat melayani Rasulullah dan keluarganya. Bahkan meski ia telah dibebaskan Rasulullah dari statusnya sebagai budak, Safinah enggan dikenal orang kecuali sebagai budak Rasulullah. Ia mengenalkan dirinya sebagai Safinah maula Rasulullah, yakni bekas budak Rasulullah. Kemana pun Safinah pergi, ia selalu menyebut dirinya maula Rasulullah dengan bangga.


        Suatu hari, Safinah pergi ke kawasan pantai. Ia kemudian menumpang sebuah perahu. Diarunginya lautan tanpa menduga sebuah bencana ada di hadapannya. Tiba-tiba perahu yang ditumpanginya pecah terhempas ombak. Penumpangnya berhamburan ke lautan. Ada yang tenggelam, ada yang selamat. Safinah adalah salah satu penumpang yang selamat. Saat perahu yang ditumpanginya pecah, Safinah sempat tenggelam. Namun dengan cekatan ia segera mengambil salah satu papan perahu yang pecah tersebut. Ia pun terapung-apung di atas papan kayu itu seorang diri, Safinah terapung di lautan. Ia hanya bisa pasrah mengikuti ke mana ombak akan membawanya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya bertawakkal. Lalu tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Ombak di lautan menjadi sangat ganas. Tubuh Safinah terpelanting mengikuti arah angin. Tak terbayangkan bagaimana wanita itu bertahan hidup seorang diri di tengah lautan. Allah lah yang Maha Menyelamatkan. Ternyata angin itu justru membawa tubuh Safinah ke daratan. Safinah mendarat di sebuah pulau yang berisi hutan belantara. Ia pun memasuki hutan itu dengan keberaniannya. Safinah merasa aman berada di dalam hutan. Ia tak lagi terombang-ambing di lautan. Ia terus menelusuri hutan itu mencari jalan keluar. Berharap ada sebuah kampung di balik hutan belantara yang lebat itu. Namun Safinah terus berjalan dan berjalan. Ia tersesat tak menemukan jalan keluar. Alih-alih keluar dari hutan, Safinah justru bertemu dengan seekor singa. Sang raja hutan menghampiri Safinah hendak menerkam. Namun Safinah ternyata sosok wanita yang sangat pemberani. Ia tahu semua hewan adalah hamba Allah dan menghormati Rasulullah. Ia pun menyeru kepada Abu Haris, julukan bangsa Arab untuk si raja hutan.

“Wahai Abu Haris, aku ini maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” kata Safinah.

Ternyata singa itu mengerti ucapan Safinah. Ia mengangguk-angguk lalu menahan diri dari menerkam Safinah. Namun singa itu tetap mendekat, bukan untuk melahap Safinah, melainkan ingin mengantar sang maula Rasulullah. Dengan bahunya, singa itu mendorong-dorong tubuh Safinah. Ia ingin Safinah melalui suatu jalan yang ternyata adalah jalan keluar dari hutan. Singa itu mengantar Safinah hingga ke pinggir sebuah jalan menuju pemukiman.


         Setelah mengantar Safinah, singa itu pun mengaum lalu kembali memasuki hutan. Safinah memaknai auman itu sebagai ucapan selamat tinggal dari si singa. Safinah begitu takjub, senang, sekaligus bersyukur atas kekuasaan dan rahmat Allah. Safinah pun selamat dari perjalanan yang sangat melelahkan lagi membahayakan itu. saat kembali, ia senang mengisahkan pengalaman ajaibnya. Yakni pengalaman diselamatkan singa karena statusnya sebagai maula Rasulullah. Bahkan seekor singa pun menghormati dan menyayangi Rasulullah, keluarganya, shahabatnya, bahkan maulanya.


Berikut cerita dari lisan Safinah yang termaktub dalam Kitab Al Isti’ab. 

“Ketika itu, aku menumpang perahu, tak kusangka perahuku pecah. Aku menyelamatkan diri dengan menaiki salah satu papan perahu itu. Tiba-tiba, angin kencang melemparkanku hingga aku berada dalam hutan yang dihuni seekor singa. Singa tersebut menghampiriku, maka aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Haris, aku ini maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kepalanya mengangguk. Dia mendekatiku lalu mendorong-dorongku dengan bahunya hingga keluar hutan. Aku diantarkan sampai ke pinggir sebuah jalan. Setelah itu, singa tersebut mengaum. Sepengetahuanku, ia mengucapkan selamat tinggal. Demikianlah akhir pertemuanku dengan seekor singa.”

Dari kisah ini Imam Syarofuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Sa’id Al-Bushiri, atau yang masyhur dengan sebutan Imam Bushiri bersya’ir dalam kitab burdahnya, yang berbunyi:


             إن تلقه الأسد في آجامها تجم   ومن تكن برسول الله نصرته     ***                

“ barang siapa yang menolong rasulullah dalam berperang melawan musuh-musuhnya (orang-orang kafir), maka jika seandainya dia bertemu dengan segerombolan singa di tengah hutan belantara, niscaya singa-singa itu akan terdiam, sedikitpun tak akan bergerak karena merasakan rasa takut yang luar biasa kepadanya.”


Betapa dahsyatnya wibawa Rasulullah yang mengalir kepada siapapun orang yang mau menolong dalam perjuangannya.


Namun Imam Al-Bajuri menyebutkan dalam syarah kitab Burdah Al-Bushiri miliknya:

Sesungguhnya tidak bisa disebut sebagai orang yang menolong Rasulullah kecuali dengan mengikuti sunnah-sunnahnya dan meninggalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan syari’atnya; yakni dengan bertaqwa kepada Allah Swt. Adapun pendorong manusia untuk bisa bertaqwa adalah adanya rasa takut kepada Allah Swt. dan barang siapa takut kepada Allah, maka setiap sesuatu akan takut kepadanya. sampai singa-singa yang ada ditengah hutan belantara juga akan takut kepadanya. Maka barang siapa telah sampai pada derajat ini, maka hati musuh-musuh seketika akan kosong disebabkan rasa takut ketika berjupa dengannya, dan juga dia akan selamat dari musuh-musuhnya.

Semoga kita semua selalu diberikan taufiq dan hidayah oleh Allah, sehingga bisa selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya amin.


Zainal Abidin Jailani

Jum’at 23 september 2022

Darb el-Ahmar Cairo

Oktober 01, 2022

,


 

Sholawat bisa mengantarkan kita ke surga? emang benar ya berkah dari sholawat sedahsyat itu?. Nah mari kita bahas bersama kedahsyatan dari sholawat sendiri yang mungkin sudah sering kita lupain, atau mungkin ada beberapa dari kita yang pura-pura lupa.

Sholawat sendiri merupakan pujian kita kepada Nabi Saw, bentuk hormat kita kepada Nabi Muhammad Saw. selaku utusan dan mahluk yang paling dicintai Allah Swt.

Teman-teman tau gak sih ? Sholawat bukan sekedar ibadah sepele yang dengan mudahnya kita meninggalkan sholawat sembari berdalih "banyak amal ibadah lain yang lebih sempurna dari pada sholawat".

Sholawat merupakan amal ibadah yang paling mudah, namun bukan berarti sholawat adalah ibadah yang murah, jika kita kaji kembali sebenarnya sholawat merupakan amal ibadah yang paling mudah mengantarkan kita ke jannah, mengapa demikian? Sholat kita belum tentu diterima Allah, taubat kita masih perlu dipertanyakan maqbul tidaknya, puasa kita masih teramang-amang, namun sholawat satu-satunya ibadah yang pasti diterima Allah Swt. kenapa? Karena sholawat itu ada Nabi Muhammad Saw, serta merupakan doa kepada Allah Swt, untuk Nabi Muhammad Saw.

Sebagaimana perkataan Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani: "adimi sholata ala nabiyyi Muhammadin, faqobuluha hatmun biduni taroddudi".

Sudah terbukti bukan bahwa dengan bersholawat kita bisa melakukan amal ibadah secara praktis, tanpa harus meluangkan banyak energi, meluangkan uang dan dahsyatnya lagi kemaqbulannya sudah pasti. Namun, masih banyak dari teman teman yang sudah mengetahui the power of sholawat tapi tetap saja jarang bersholawat, bukan karena mereka tidak ingin melakukannya atau tidak memiliki waktu luang untuk bersholawat. Pada nyatanya semua pemikiran tersebut tercipta karena kurang kemauan untuk bersholawat.

Ibaratnya nih ya, kita diundang mengikuti kajian pada jam 14.00, di pihak lain kita juga diharap untuk berpartisipasi melakukan pertandingan futsal pada jam yang sama, saat inilah adalah penentu, apakah kita lebih memprioritaskan kajian atau futsal ? Kalau kita benar-benar memprioritaskan kajian pasti kita akan bersedia untuk menolak pertandingan futsal yang diadakan pada waktu yang sama.

Begitu pula ketika kita tengah beraktifitas, jika kita benar-benar memiliki minat yang besar untuk bersholawat pasti kita sempat untuk melakukannya, lagi pula sholawat bukan sebuah aktifitas yang berat, sehingga kita harus meninggalkan aktifitas yang lain untuk bersholawat. Bisa saja kita tengah bermain bola sambil bersholawat, memasak sembari dua tiga kali melantunkan sholawat atau bahkan menulis sambil bersholawat. Semua tergantung bagaimana cara kita memprioritaskan sholawat.

Dengan demikian kita mampu membiasakan diri untuk terus beribadah. namun, ternyata permasalahannya tidak cukup sampai di situ, karna tugas kita bukan sekedar bersholawat sekali dua kali dalam setahun, tugas kita sebenarnya yaitu membiasakan diri untuk terus bersholawat (Istiqomah).

Agar bisa Istiqomah dalam menjalaninya tentu saja banyak jalan yang harus kita lewati, cara sederhananya dimulai dari me-mu-lai, jika langkah pertama sudah terpenuhi maka langkah kedua yaitu membiasakan, pasti banyak rintangan tersendiri yang akan kita hadapi, seperti rasa malas, bosan dan banyak kegiatan lain yang membuat kita berhenti bersholawat.

Jika kita sudah mampu membiasakan diri bersholawat maka lanjutkan agar sholawat yang sudah kita lantunkan setiap harinya, bisa menjadi sebuah hobi yang nantinya berkarakter di dalam diri kita. Sama halnya ketika kita sudah terbiasa makan tiga kali sehari maka ganjal rasanya ketika kita hanya makan dua kali sehari, hal itu bisa terjadi karna kebiasaan yang kita jalani mulai tertanam di dalam diri dan menjadi sebuah karakter.

Secara sederhana, Allah dan malaikat saja bersholawat kepada baginda Nabi Muhammad Saw, bagaimana dengan kita ? Yang hanya sekedar mahluk lemah dan penuh salah sebagaimana tertulis di dalam surah Al-Ahzab 56 : "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". 

Teman-teman, indah bukan ketika kita mampu bersholawat setiap saat, apalagi jika kita mampu melafalkannya sebanyak 1000 kali perhari, pasti hati dan jiwa kita terasa tentram.


Oleh: Khatibul Khairi al-Azizi

 02 Mei 2022

September 26, 2022

,

 



Refrensi: Kitab Ta’arrof ‘ala Habibikal Musthofa Saw. Hal. 51-53. Karya Syekh Mutawalli Asy-Sya’rowi

Penerjemah: Zainal Abidin Jailani

Darbul Ahmar, Cairo, 11 Juli 2022 M.

Dan ketika ada orang mengatakan: Bahwasannya pengetahuan Nabi itu merupakan kejeniusan yang boleh jadi tampak pada seorang hamba dari beberapa hamba Allah, kendatipun dia tidak pernah belajar dan membaca.

Maka saya jawab: Kejeniusan yang macam apa ini ? yang mana kejeniusan ini tampak tiba-tiba pada saat umur empat puluh tahun. Sedangkan kejeniusan dan keistimewaan itu biasanya tampak pada usia muda dan tidak menunggu sampai semacam umur empat puluh tahun ini. Maka ketika di katakan: boleh jadi kejeniusan dan keistimewaan itu tampak pada usia muda, namun kemudian disimpan oleh Rasulullah sampai umur beliau mencapai empat puluh tahun. Maka saya jawab: Siapa yang memberi tahu Nabi Muhammad Saw. bahwasannya dia akan hidup sampai umur empat puluh tahun ? Sedangkan dia melihat ayahnya telah meninggal sebelum dia dilahirkan, dan ibunya meninggal ketika dia masih kanak-kanak, kemudian dia tumbuh besar dalam keadaan yatim piatu. Maka setiap peluang hidupnya, bahwasannya kematian itu bisa merenggut manusia pada saat usia muda, sebagaimana telah merenggut ayah dan ibunya. Maka apakah Nabi itu menyimpan kejeniusannya hingga sampai umur empat puluh tahun ? Andai kata bahwa ayah dan ibu Nabi itu merupakan manusia yang paling membela dan besar pengaruhnya dalam hidup Nabi, maka niscaya mereka akan tetap hidup sampai umur enam puluh atau empat puluh tahun. Maka pastinya saya akan menjawab bahwasannya hal itu merupakan peluang Nabi bisa hidup sebagaimana kedua orang tuanya hidup. Namun kematian dini ini selamanya tidak menghilangkan rasa percaya diri Nabi bahwasannya dia akan bisa hidup mencapai umur empat puluh tahun.

Dan begitu juga sifat ummi ini menjadi kemuliaan bagi Rasulullah Saw. dan menjadi keharusan untuk menolak pengakuan orang-orang yang berkata bathil, dan juga menjadi sesuatu yang meyakinkan hati orang-orang yang beriman. karena sesungguhnya setiap sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah itu tiada lain  adalah wahyu yang turun dari Allah Swt.

Dan sifat Iradat Allah telah menghendaki Nabi Muhammad untuk tumbuh besar dalam keadaan yatim, Sehingga tidak bisa dikatakan bahwasannya dia mempergunakan kekuasaan ayahnya, atau bersandar pada kekuasaan selain kekuasaan Allah. Dan dia juga merupakan seorang bayi, dan ibunya akan menyusukannya kepada orang yang mengambil jasa menyusui, sehingga dia tumbuh di sebuah desa di pedalaman sebagai anak yang kuat. dan akan datang sekelompok perempuan dari desa pedalaman untuk memilih bayi yang akan mereka susui, dan mereka akan memilih bayi yang masih memiliki ayah, sekiranya bisa memberikan suatu pemberian sebagai upah bagi mereka. 

Saya temui bahwasannya tidak ada satupun dari orang perempuan kecuali Rasulullah diajukan kepadanya untuk disusui. kemudian ketika diucapakan kepadanya bahwasannya Nabi adalah anak yang telah yatim, maka mereka menolak untuk mengabilnya. karena sesungguhnya setiap satu persatu dari mereka menginginkan harta dari ayah bayi yang mereka susui. Maka ketika dia tahu bahwasannya Nabi adalah bayi yang telah yatim, maka dia langsung berpaling dari Nabi. Kecuali hanya satu wanita saja, yaitu Halimah As-Sa’diyah yang mana dia termasuk sebagian dari kelompok wanita yang menjadi juru menyusui, namun dia tidak menemukan bayi untuk dia susui. Dan ketika dia mengetahui bahwasannya dirinya adalah satu-satunya perempuan yang tidak berhasil untuk mendapatkan bayi untuk dia susui, Maka dia berkata: Demi Allah ! Sesungguhnya aku tidak suka jika diantara sahabat-sahabatku, hanya aku sendirilah yang kembali dengan tanpa membawa bayi untuk aku susui. Demi Allah ! Sungguh aku akan pergi ke anak yatim itu dan sungguh aku akan mengambilnya, semoga Allah mejadikan keberkahan bagiku sebab anak yatim itu. Dan Halimah berkata: Dan tidaklah mendorongku untuk mengambilnya kecuali dikarenakan tidak adanya bayi lain yang akan aku susui. 

Halimah mengambil bayi yang telah yatim, kemudian rumahnya menjadi penuh dengan berkah sebab hadirnya anak yatim tersebut, dan hewan ternaknya pun menemukan rerumputan, kemudian memakannya dan menjadi besar dan gemuk. Sedangkan hewan ternak orang lain semuanya tidak ada yang menemukan rerumputan sama sekali di bumi Bani Sa’ad yang gersang. Dan kambing-kambing Halimah ketika itu bisa menghasilkan susu yang berlimpah dari hasil perahannya, sedangkan kambing-kambing orang lain, setetes pun tidak menghasilkan susu dari perahannya. Sehingga semua orang pada zaman itu sama-sama berkata kepada pengembala suruhannya; Mengembalalah kalian di suatu tempat, yang mana kambing Halimah digembalakan di sana.

September 17, 2022

,

 



Refrensi: Kitab Ta’arrof ‘ala Habibikal Musthofa Saw. Hal. 51-53. Karya Syekh Mutawalli Asy-Sya’rowi

Penerjemah: Zainal Abidin Jailani

Darbul Ahmar, Cairo, 11 Juli 2022 M.


Karena apa Allah Swt. memilih Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi-Nya ? Padahal dia adalah orang yang ummi.

Imam Asy-Sya’rowi Ra. berkata:

Sebelum menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw., Allah Swt. menjauhkan setiap sifat syubhat basyariyah (keserupaan dengan manusia) dari diri Rasulullah Saw. yakni semisal seperti contoh bahwasannya wahyu yang akan diterima oleh Nabi Muhammad Saw. kemungkinan adalah ilmu yang manusiawi, baik itu berupa budaya ummat-ummat yang terdahulu atau mungkin ilmu yang dibaca dari kitab-kitab dan sebagainya.

Oleh karena itu, Allah Swt. memilih Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw) yang ummi. Makna ummi sendiri adalah: keberadaannya yaitu sebagaimana dia dilahirkan oleh ibunya (tidak belajar ilmu dari manusia). Dan sifat Ummi ini merupakan kemuliaan bagi Rasulullah Saw. kenapa demikian? Alasannnya yaitu karena Allah Swt. yang mana telah memilihnya sebagai akhir dari para utusan-Nya ingin mengajarinya dengan dzat-Nya sendiri, dan Allah Swt. menginginkan agar Rasulullah Saw. tidaklah mempelajari ilmu melainkan ilmu samawi (ilmu dari Allah Swt.). Oleh karena itu Allah Swt. menjadikannya sebagai orang yang ummi, dan hal itu juga merupakan indahnya pengaturan Allah Swt dalam mengutus Nabi Muhammad Saw.

Maka jika seandainya Rasulullah Saw itu bisa membaca dan menulis, maka orang-orang kafir pada masa itu pasti akan berkata bahwasannya Nabi mengambil ilmu (wahyu) dari apa yang telah dia baca, atau mengambil ilmu dari kitab-kitab orang terdahulu atau dari budaya-budaya ummat pada masa itu. Oleh karena itu, Allah Swt. menjadikannya tumbuh besar sebagai orang yang ummi, sehingga semua orang akan tau bahwasannya semua ilmu yang dimiliki oleh Rasulullah Saw. adalah ilmu yang datang dari langit. Hanya saja pemilihan Allah Swt. beserta hikmah yang terkandung di dalamnya ini telah dilupakan oleh orang-orang kafir, dan mereka mengakui bahwasannya Rasulullah Saw. itu diajari oleh sesama manusia. dan juga mereka mengakui bahwasannya Rasulullah mendapat ilmu tersebut dari mitos yang dibuat oleh orang-orang terdahulu.

Maka Allah Swt menolak pengakuan (perkataan) mereka, dan menyebutkan mukjizat keummian yang dimiliki oleh Rasulullah Saw melalui firman-Nya. Allah Swt berfirman:

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْ مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِيْنِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ

Artinya: Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab sebelum (Al-Qur’an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya. (QS. Al ‘Ankabut: Ayat 48)

Jadi Allah Swt. memalingkan semua sifat basyariyah dari Nabi Muhammad, sehingga Allah Swt menjadikannya sebagai orang yang ummi, sehingga dengannya Allah menolak atas pengakuan orang-orang yang berkata bathil dan yang memusuhi keimanan, yang mana mereka  berkata bahwasannya Rasulullah Saw mendapatkan Al-Qur’an dari hasil belajarnya sendiri. Oleh karena itu Allah Swt berkata pada Rasulullah: Jika seandainya engkau pernah membaca atau menulis sebelum datangnya nubuwah kepadamu, maka itu bisa menjadi hujah (dalil) bagi mereka orang-orang yang berkata bathil untuk mengatakan bahwasannya Al-Qur’an ini adalah sesuatu yang dihasilkan oleh dirimu sendiri. Tapi kenyataannya engkau tidak pernah membaca dan menulis, dan engkau tidak pernah membaca dan menulis satu kalimat pun dalam hidupmu sebelum datangnya Risalah. Jadi hujah-hujah yang mereka lontarkan, itu semuanya bathil dan tidak ada sanadnya, baik secara hak atau hakikat. Bahkan tak lain itu hanyalah bentuk penentangan karena ketidakimanan mereka, dan juga sebagai hujah bagi kekufuran mereka. Adapun hujah mereka itu di tolak. Dan dalam hal itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya untuk menolak pengakuan-pengakuan mereka (orang orang ahli bathil):

قُلْ لَّوْ شَاءَ اللهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَىكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمْرًا مِّنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum turun Al-Qur’an). Apakah kamu tidak mengerti? (QS.Yunus: Ayat 16).

Dan begitu juga Allah juga menuntut kepada Rasulullah untuk menolak pengakuan mereka dan berkata; Bahwasannya dia telah hidup bersama mereka selama 40 tahun (yakni waktu yang lama), dan tidak pernah berkata kepada mereka bahwasannya dia telah diberi wahyu. Jika seandainya mereka mau berfikir dengan akal mereka tentang seberapa lama masa Rasulullah hidup bersama mereka sebelum diberi wahyu, dan mereka tidak mengaku-ngaku perkataan bathil apapun, maka hal itu sudah cukup bagi mereka untuk bisa membenarkan Rasulullah Saw.

Follow Us @soratemplates