Februari 14, 2018

,












Kontra lawan dari kata pro, kontara = tidak setuju, pro = setuju. Seseorang yang tidak sependapat dengan orang lain berarti kontra, dan orang yang tidak disetujui disebut sebagai sosok kontroversi/ tokoh kontroversi. Baik karena pendapatnya berbeda dengan mayoritas atau kebijakannya seringkali melawan arus. Dari sini, dapat dipahami bahwa pro dan kontra merupakan keniscayaan, sebagaimana perbedaan merupakan keniscayaan.

Kita tidak akan saling melengkapi jika kita semua sama, kita tidak akan berkembang tanpa perbedaan, kita tidak akan kaya budaya dan peradaban tanpa keragaman, kita tidak akan berbagi tanpa perbedaan. Itu artinya, tuhan mau kita berbeda, Dia ciptakan baik dan buruk, suci dan najis, bersih dan kotor, malaikat dan syetan, surga dan neraka. Namun Dia perintahkan kita pada yang baik tanpa yang buruk, pada yang suci bukan yang najis, pada yang bersih bukan yang kotor, pada bisikan malaikat bukan bisikan syetan, pada surga bukan neraka.

Maka sangat berbeda antara "Menciptakan " dan "Memerintahkan". Allah SWT Pencipta alam semesta baik dan buruk, karena Dia berhak atas segala keputusan-Nya. Namun Dia hanya memerintahkan pada yang baik dan melarang dari yang buruk, karena Dia-lah Penguasa yang sesungguhnya. Allah SWT berfirman:

ۗ  اَلَالَـهُ الْخَـلْقُ وَالْاَمْرُ  ۗ  تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

" Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan seluruh alam."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 54)

Allah ciptakan manusia tidak seperti malaikat yang selalu dalam ketaatan dan tak bisa berbuat kemaksiatan, dianugerahinya kemampuan memilih kebaikan dan keburukan sebagai keistimewaan dan kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Perbedaan pendapat dan pandangan disebabkan perbedaan tingkat pemahaman, perbedaan tingkat pemahaman disebabkan perbedaan tingkat keilmuan dan pengetahuan.

Setiap orang memahami sesuai keilmuan dan pengetahuannya, semakin berilmu dan banyak belajar, semakin bijaksana dan tidak mudah mempertentangkan perbedaan. Karena pertentangan terjadi disebabkan kebutaannya pada cara pandang orang lain, karena sempitnya pandangan dan wawasannya sendiri.

Sebagaimana perkataan Plato yang dikutip Imam Muhammad Abu Zahra dalam bukunya yang berjudul  " "تاريخ المذاهب الإسلاميةYang artinya : (( Sesungguhnya tidak semua orang bisa menepati kebenaran secara utuh, tidak juga menepati kesalahan secara utuh. Tetapi, setiap orang bisa salah dari satu sisi, dan bisa benar dari sisi yang lain. Sebagaimana sekumpulan orang buta yang mendekati se ekor gajah, lalu setiap mereka meraba salah satu dari anggota tubuh gajah itu dengan tangannya. Kemudian mereka menggambarkan bentuk gajah sesuai yang dirabannya. Maka orang yang meraba kakinya berpendapat: “bentuk gajah panjang bundar seperti batang pohon”. sedang yang meraba punggung gajah berpendapat: “bentuknya seperti bukit yang tinggi”. dan yang meraba telinganya berpendapat: “bentuk gajah lebar dan tipis”. Dan semuanya telah menyampaikan sesuai pengetahuannya, dan semua saling menyalahkan yang lain, lalu menuduh saudaranya telah salah dan bodoh dalam mendefinisikan gajah. Maka lihatlah bagaimana kebenaran menyatukan mereka, dan lihatlah kebohongan dan kesalahan menjadi perpecahan! !))

Lalu Imam Muhammad Abu Zahra berkata, " Kebanyakan perbedaan bukan karena kesamarannya, melainkan karena setiap pihak tidak mengetahui cara pandang saudaranya sehingga pandangan mereka berbeda dalam satu permasalahan. Dari itulah Socrates berkata, " Jika diketahui titik permasalahan, pasti tak akan terjadi pertentangan."

Yang ingin disampaikan disini bukan persoalan pro dan kontra, bukan pula sisi perbedaan dan kesamaan, karena semua ini merupakan keniscayaan yang tidak perlu dipertentangkan. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah  "persatuan" yang seringkali diabaikan karena terlalu ambisi mempertahankan pendapatnya sendiri, lupa saudaranya sendiri. Melihat lawan bicaranya sebagai musuh bahkan melebihi musuh, dianggapnya syetan tidak ada kebaikan sedikitpun dalam dirinya - ditolak segala pendapat dan argumentasinya dianggapnya mungkar, dan pendapatnya sendiri makruf dan kebenaran sehingga yang dipupuk perpecahan untuk membinasakan persatuan.

Kita semua pasti tahu pepatah berikut, tetapi sering kita abaikan - انظرماقال ولاتنظرمن قال -
Lihat apa yang disampaikan namun jangan lihat siapa yang menyampaikan”. Andai setiap kita memahami dan menerapkan betul-betul nilai yang terkandung, pasti yang lahir toleransi dan kasih sayang, bukan kebencian, permusuhan dan pertikaian penyebab perpecahan.

Maka, sebelum mengkritik atau anti pada seseorang, yang paling pertama dan utama yang mesti diperhatikan adalah diri kita. Tanyakan, "Siapakah diri anda, pelajar atau pendidik?”. Sehingga jelas posisi anda yang sebenarnya, pelajar tugasnya belajar dan mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, bukan mengkritik seorang ilmuan yang sudah jauh lebih tinggi dan luas ilmu pengetahuan dan wawasannya dari anda. Dalam masyarakat saja, anak kecil yang berusaha menasehati orang tua akan menjadi lelucon, meskipun yang disampaikannya kebenaran. Karena anak tidak diperhitungkan. Nasehat dan argumentasi akan diperhitungkan bila datang dari orang yang sederajat keilmuan dan kedudukannya.

Karena, seorang ilmuan menyampaikan pendapatnya secara ilmiah, mereka punya data yang bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan, dalam penyampaiannya dia menggunakan kosa kata yang sesuai, dan sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bersikap. Dan semua itu tidak ada dalam diri orang kebanyakan/awam, mereka hanya bisa berkata "katanya dan kabarnya", ketika dimintai data yang valid mereka akan berkata, " tidak tahu/itu yang saya tahu/itu yang saya dengar/itu yang dikatakan guru saya/pokoknya begitu pendapat saya masa bodoh dengan orang lain/ dsb”. Untuk menutupi kebodohannya dan kesalahannya.

Kontra bukan berarti salah, boleh jadi benar dalam kondisi tertentu. Kontroversi bukan berarti mutlak tertolak, boleh jadi kontroversi dalam satu persoalan, namun tidak lantas mengklaim semua pendapatnya kontroversi. Kita boleh berbeda pendapat bahkan berseberangan, tetapi jangan sampai menjadikan kita buta, tuli, dan bisu pada kebenaran yang datang dari sosok yang kita anggap kontroversi dalam satu dua tiga persoalan saja.

Karena jika demikian, berarti kita tidak bijak menilai sesuatu, mengukur kebenaran dari tokoh, bukan mengukur tokoh dengan kebenaran itu sendiri. Sebagaimana Sayyidina Ali Ra berkata – لايعرف الحق بالرجال , اعرف الحق تعرف اهله - "Kebenaran tidak diketahui dari tokoh, maka kenalilah kebenaran itu niscaya kau akan kenali ahlinya”. Tentunya dengan terus belajar dan mengamalkannya, belajar untuk memperbaiki diri sendiri sebelum memberikannya untuk orang lain.

Ketika menemukan sesuatu yang kontroversi, dan semua pihak merasa paling benar. Sebisa mungkin hindari kebencian, keangkuhan, fanatisme dan perpecahan dengan berkata: "Kamu bisa jadi yang benar, bisa jadi aku yang salah, atau sebaliknya. Kita semua berusaha mencari kebenaran." Sebagaimana Allah Mengajarkan kita dalam Al-Qur'an untuk tetap menghargai keyakinan orang yang tidak seiman sebagai saudara sesama makhluk, apalagi dengan saudara seiman dan sesama makhluk . Allah SWT berfirman:

قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ  قُلِ اللّٰهُ   ۙ  وَاِنَّاۤاَوْاِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْفِيْضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

"Katakanlah (Muhammad), Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah, Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata."

(QS. Saba' 34: Ayat 24).

Wallahua'lam bis-showab.

By: Muhammad Amien Ghazali

Februari 13, 2018

,




























Asa yang dulu redup, kini mulai terang berenergikan cinta
Bak pucuk dedaunan, menjalar menjulang mengikuti sinar cahaya
Aku hanyalah bagian dari tetes ilmu
Sedang dirimu jauh melebihi bentang sagara luas samudera
Tuhan, anugerahkanlah kami untuk senantiasa tepat menunaikan panggilanMu...

                               ***
                Usai subuh pada musim dingin kala itu, diriku lebih memilih untuk memanjakan diri dengan dekapan hangat selimut serta ingin melanjutkan mimpi yang sempat terpotong, dari pada sekedar memuroja'ah hafalan. Kantuk yang memang tak tertahankan saat jama'ah mengiringi alunan merdu ayat-ayat al-Qur'an bacaan syeikh Mahmud Shaleh sebagai imam sholat, kini tak bisa kutahan lagi. Tak lupa alarm ponselku kuaktifkan, agar bangun tepat waktu dan tidak terlambat untuk kuliah. Benar saja, alarm membangunkanku tepat waktu, 07:30 Clt. Segera kuambil handuk menuju hammam (KM) yang hanya berada disamping kamarku.

                Jam 08:05 Clt. diriku baru keluar dari sakan, tempat aku tinggal. Salam sapa memang biasa saling terlontar dari para penghuni mulai dari lantai empat dimana aku tinggal sampai lantai paling dasar. Menunjukkan keakraban dalam ukhuwah meski kebanyakan dari mereka beraneka ragam ras dan budaya yang berasal dari negeri tanah kelahiran masing-masing. Perbedaan kulit dan lisan tak menjadikan saling membenci, tetapi bersatu dalam naungan persaudaraan seagama dan seiman.

                Dari waktu yang biasa, jam 08:10 adalah waktu yang cukup pagi untuk pergi ke Darrasah dimana aku belajar di Al-Azhar as-Syarief University, sebuah universitas Islam tertua di dunia dan sebagai kiblat ilmu pengetahuan agama. Dibangun pada masa daulah Fathimiyah (970~972/975 M) dengan manhaj Syi'ahnya yang kemudian dapat ditaklukkan sekaligus dirubah 100% menjadi Ahlus Sunah wal Jama'ah (Aswaja) oleh sang panglima tangguh Salahuddin al-Ayyubi (pertengahan abad 21).
Pada hari-hari itu, berbagai instansi pendidikan sudah mulai aktif kembali setelah lumayan lama liburan. Para pegawai sudah mulai bekerja ditempat masing-masing dan berbagai profesi lainnya sudah kembali pada aktifitas mereka sebagaimana sedia kala. Sudah sekitar seperempat jam berlalu, diriku berdiri berjejer menunggu datangnya bus di mahathah Muqatham. Terhitung sudah dua bus kota dengan jurusan "Sayidah Aisyah" kubiarkan begitu saja dengan suasana berebutan dan desak-desakan lengkap dengan kepulan polusi bercampur debu jalan. Ahhh, membuatku badmod saja melihat pemandangan itu. Mana mau aku beradu sigap untuk menaiki tangga pintu bus dengan badan super orang-orang Mesir, kenak senggol dikit bisa kelenger(pingsan,red)aku. West dah, disamping harus ngalah pada para ibuk-ibuk lansia yang tak jarang juga berebut masuk bus, kasihan dan ku utamakan mereka sebagai bentuk memuliakan orang tua. Berjalan saja mereka tertatih-tatih karena memang sudah sepuh dan dengan berat badan yang memang cukup lumayan, iya sebagaimana umumnya orang Arab.

Nah, Alhamdulillah kali ini bus ketiga kulihat dari kejauhan nampak dari kaca transparannya, penumpang tidak begitu penuh seperti bus satu dan dua tadi. Dan benar setelah semakin mendekat, memang lumayan sepi. Namun tidak kebagian tempat duduk tetap saja berlaku padaku, hemm... sehingga harus bergelantuang ditengah-tengah diantara dua apitan kanan-kiri. Ya begitulah.. bukan suatu masalah bagiku, asal cepat nyampek tujuan agar tidak telat masuk kuliah. Dan ternyata dugaanku kali ini meleset. jalan raya penuh, juga disesaki pejalan kaki serta ramai dengan suara kendaran-kendaran baik jenis mobil pribadi maupun angkot, inilah potret kota metropolitan. Ditambah dengan dengkingan klakson yang saling bersahut-sahutan layaknya bunyi gendang terompet dalam medan perang, mencekam, bising, polusi dan lain lain. Achh.. menyebalkan sekali macet ini.!

Kekesalanku juga dilengkapi dengan penat karena terlalu lama berdiri. Namun seketika menjadi teduh saat melihat seorang ibuk dengan putranya yang masih sekitar umur empat tahunan dalam pangkuannya, bercanda ria penuh kedekatan emosional kasih sayang, dibelainya, diciumnya dan digelitiknya penuh manja. Lamunanku langsung terbayang pada emak dan adek sulungku dikampung, kangen rasanya pada mereka. Aku tetap mengintip pemandangan indah itu dari celah-celah punggung penumpang didepanku sambil menikmati bayang-bayang rindu pada keluarga. Semoga semua keluargaku selalu sehat dan baik, walau aku masih belum bisa berkumpul bersama mereka dalam berbagai kesempatan.

Laju bus yang kutumpangi tak ubahnya bekicot sawah, sangat pelan. Sudah barang tentu karena efek macet panjang kala itu. Sesampainya pada tujuan pertama di Jl. Sayidah Aisyah, untuk ke kampus harus naik Tramko lagi dengan jurusan Darrasah. Tak lama aku segera menaiki Tramko dengan arah yang kutuju. Mulus, tenang dan lumayan kenceng disertai dengan lantunan tembang merdu nasyid "Qomarun" oleh Musthofa Atheif dari radio tramko yang baru ku tumpangi. Sang nasyid Mesir yang sering konser diberbagai negara termasuk di tanah air Indonesia. Tiba-tiba duarrrrttt...

Seisi tramko pada gelagapan atas insiden pristiwa itu. Kaca mobil, lampu depan kanan hancur, dan ditambah lecet-lecet dibagian lain. Sedangkan mobil yang satunya lumayan parah karena ditabrak tepat di bagian body mobil, ringsek. Sempat aku pikir meski akan dibawa kebengkel Ketok Magic sekalipun, takkan halus seperti sediakala. Rupanya telah terjadi tabrakan. Tetapi syukur tidak sampai ada korban jiwa.

Hal demikian, sudah tentu akan menimbulkan percekcokan dahsyat. Ya begitulah, kayaknya mereka memang sangat suka gaduh dan ribut dari pada berbicara secara baik-baik penuh santun. Keadaan mencekam, misuh dan segala jenis umpatan kasar saling mereka lontarkan. Juga sesekali ada yang mencoba melerainya dengan memandu kata "Shollu 'alaa sidnan Nabi!",  suasana tenang seketika seraya menjawab sholawat terhadap Nabi Muhammad Saw. Tak lama kemudian umpat-mengumpat terulang kembali; Yahrib baitak!, Yabnal kalb!, Kusy ummak !! dll. begitulah yang kutangkap dengan keterbatasan bahasa 'Ammiyahku. Sungguh membuatku sangat kesal untuk sekedar mendengarkannya.

Dalam hal ini, aku tak bisa mengaplikasikan metodologi seorang Ibn Taimiyah (udah pada tahu siapa Dia kan? he h) dalam konteks dakwahnya. "Jika engkau mengingkari/benci terhadap hal yang mungkar, maka engkau adalah termasuk dari bagian mungkar itu". Mungkin hal ini ada korelasinya terhadap manhaj dakwah islam sebagaimana telah disabdahkan oleh Nabi Saw. yaitu "Jika engkau menemukan suatu kemungkaran maka rubahlah (bukan hindari; Red) dengan tangan (kekuasaan), kemudian secara lisan (peringatan/nasihat), kemudian dengan hati. Mungkinkah maksud dari cara terakhir ini (dengan hati) hanya harus mengingkari saja? atau maksudnya adalah merubah dengan hatii (tasawuf) adalah menunjukkan paling kuatnya iman serta lebih utama dalam menyikapi suatu kemungkaran? karena secara tekstual Hadist, disana tertulis "Isyarah ba'idah" yaitu "Dzalika". Dan akupun lebih condong menerima penjelasan ini. Tetapi yang jelas, perlu kawan-kawan untuk mentela'ahnya kembali.

Kulihat jam sudah 09:15 Clt. mereka masih saling bersitegang meluapkan kemarahan satu sama lain, tampak beringas dan angkuh. Sedangkan jam kuliahku untuk mata kuliah pertama biasanya sudah dimulai dari lima belas menit berlalu. Terbayang bagaimana nanti rawut muka Duktur Rajab al-Anshor, dosen terkiler, pengampu fan "Ilmu Lughah" menanggapi keterlambatanku ini, sebagaimana yang sudah-sudah.

"Laa ilaaha illah, Astaghfirullah al-adzim.., Sur'ah hayyamsyih yasto..! gumam lirih seorang mahasiswi bercadar tepat disebelah kiriku, mungkin ia juga sedang terburu-terburu. Pada akhirnya sumpah serapah mereka bisa dilerai dengan datangnya seorang Potlantas sehingga bisa diatasi dengan cermat. Dan dapat dibuktikan bahwa hal itu memang atas keteledoran dari sang sopir satunya.
Hachhh... Kesialanku tak hanya cukup pada insiden meyebalkan tadi. Tak lama aku turun dari Tramco menyusuri gang menuju kampus, terdenging klakson sedan hitam dari arah 100 meter dibelakangku. Seketika aku menoleh dan segera menepi meski aku sangat terburu-buru. Terlihat dua pemuda berkaca mata didalam mobil itu. Sambil membuka kaca pintu mobil, salah satu dari mereka menyapaku.

Pemuda I : " Ya baalii... Whire ar yu kum brom?!" dengan bahasa Inggris yang 100% sangat amburadul sambil terbahak-bahak penuh sinis. awalnya jelas tak bisa ku pahami.
Aku : "Leih ih..? Inta 'Auz ih lau samah ? ketusku
Pemuda II: "Hach.. maa yanfash, Kherban lak, Huusy! dengan nada tinggi. Kemudian mereka berlalu seraya menutup kaca mobil. Akupun masih bengong memikirkan apa maksudnya sekaligus kesal melihat perlakuan menyebalkan mereka padaku.
    
Nah, sebuah kesempatan dan saatnya ku balas mereka sekarang, mumpung sedang antri dipintu gerbang untuk parkir. Aku lewat disamping mereka penuh cuek, dan kupukul bagian depan mobil mereka dengan tangan terbuka. Serentak mereka berteriak lantang, " Iihh daa ?! mereka memanggilku. Ku hiraukan saja panggilan mereka sambil mempercepat langkah khawatir keburu dikejar hehe.. Sepertinya mereka kesal juga dengan tindakanku tadi. Dan semakin jauh tak jelas mereka ngomel apa, aku hanya balas dengan kepalan tangan jempol kebawah. Ha ha... Yes aku puas sekali, aku menang kali ini. Tapi nggk tahu apa jadinya nanti...

***
Saudaraku
Waktumu adalah harga dirimu
Yang harus kau selalu bela dan kau junjung
Konsistensi adalah tanggung jawabmu
Yang kan kau jadikan setiap kesempatan sebagai peluang
Dan tak kan pernah kau biarkan ia mubadzir terbuang

Saudaraku...
Waktumu adalah pembelajaran
Dengan semangat dan giat
Tentu ilmu kan cepat kau dapat
Karena waktumu adalah pengetahuan maka tanpanya kau kan hanya tampak sebatangkara tanpa kawan
Serta waktumu adalah bait-bait doa
Untuk selalu kau panjatkan
Sebagai makhluk mungil taat berTUHAN
                              ***
                    Kairo, 01 Oktober 2017 M.
NB:
- Sakan : Asrama mahasiswa
- Clt : Cairo location time
- Mahathah : Terminal/Pangkalan bus
- Yaa Baalii : Hai dekil...
- Yahrib baitak : Semoga rumahmu roboh
- Yabnal kalb : Anak anjing
- Leih ih, 'Auz iih : Mau apa sih?!
- Maa yanfash, Kherban lak Huush! : Udah, nggk penting, cepet minggir brengsek!
- Iih daa...  : apa-apaan ini ?!
- Sur'ah hayyamsih yasto! : Ayok cepat berangkat pak sopir

*Di Mesir, engkau akan temukan para penduduknya yang gemar membaca, mengkhatamkan, serta háfidina lilQur'an. I Love Egypt

Oleh: Gubahan A Bas S


Februari 12, 2018

,










Pada abad kedua puluh ini, seluruh dunia terutama ummat islam sudah mulai terhegemoni oleh sebuah pemikiran yang penulis anggap sudah melenceng jauh dari konstitusi islam, baik secara politis maupun dogmatis yang dalam hal ini banyak terpropagandai oleh pihak luar(external),termasuk diantaranya adalah sebagian orientalis-missioniris yang memang inisiatif mereka ingin menghancurkan islam secara perlahan. Hal ini menurut penulis termasuk suatu hal yang wajar, sebab itu merupakan instrument lama yang bangkit kembali dan akan berlanjut ila yawmil qiyamah. Bahkan pada masa Nabipun sudah banyak terjadi bak air bah yang turun dari lereng gunung dengan pelbagai modus yang mereka tampilkan.   Pada masa setelah nabi wafat telah muncul seseorang yang mengaku islam, padahal sebenarnya dia tidak lebih baik dari seekor srigali berbulu domba semisal Abdullah bin saba yang telah membuat keruh perjalanan islam kala itu dengan berbagai propagandanya.

                Hal yang tidak wajar ini merupakan sebagaian pengaruh(hegemoni) dari mereka terhadap ummat islam. Buktinya, banyak mereka yang islam, cuman segala hukum yang ada dalam islam yang sudah jelas-jelas ditetapkan oleh syari’ mau dirombok, direvisi, atau bahkan di dekonstruksi menjadi sebuah hukum fleksibel atau sebuah hukum yang menyulutkan kontrofersi berantai yang biasa disebut dengan “pemecah belah ummat”. Suatu saat mereka mengenyampingkan istilah-istilah dalam ushul fiqh terutama hukum qiyas(nadzzomiyah, dzohiriyah, dan sebagian ahli syi’ah). Tapi dilain waktu pada kondisi dan situasi berbeda mereka malah menggunakannya. Suatu hal yang sangat tidak menggambarkan kekonsistenannya dalam berfikir.

                Dalam masalah ini, penulis klasifikasikan dua contoh yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari internal islam itu sendiri:

1.       Pada kisaran antara abad pertama dan ke10 terutama dalam masalah theologi, umat islam merundung pilu. Sebab, yang asal mulanya mereka selalu meyakini terhadap apa-apa yang ditetapkan Nabi dan tidak mempermasalahkannya. Namun pada masa selanjutnya, mereka mendapatkan berbagai masalah baru yang tidak cukup dipecahkan dengan satu malam, dua malam bahkan satu bulanpun. Mereka butuh beberapa bulan, tenaga, dan kertas yg dihabiskan hanya untuk memecahkan satu permasalahan saja. Tapi tidak sedikit juga diantara pemikiran mereka malah tidak memuaskan bahkan cendrung melambung jauh dari doktrin-doktrin islam. Semisal: syi’ah rofidloh(extrem)yang disinyalir ajarannya keluar dari islam dan tashowwuf hulu(inkarnasi)dengan pernyataannya tuhan berwujud pada diri manusia, yang kemudian dibantah oleh kaum Mu’tazilah dan Sunni.

2.    Pada kisaran antara abad ke16 sampai sekarang, mulailah umat islam berani bermanuver dalam pembaharuan hukum islam menjadi sebuah hukum baina-baina atau abal-abal yang tidak terdeteksi kevaliditasannya dengan cara menjungkir balikkan sebuah fakta yang tersirat dalam al Quran maupun hadits berdasarkan akal pemikiran mereka(rasio)tanpa mempedulikan metode pengambilan hukum dari sumbernya. Semisal: kelompok SPILIS (Sekularisme, pluralisme, dan libralisme).

Tidak salah, kalau Bernard Lewis menyindir ummat islam dengan sebuah pernyataannya bahwa: “pada abad ke20 ini, kayaknya ada yang salah pada dunia Islam dibandingkan dengan rivalnya yaitu Kristen”. Suatu pernyataan orientalis yg pernah saya  baca  dari buku teman, dan alhamdulillah masih ingat sampai sekarang.

Ketika penulis analisa dari pernyataan Bernard lewis itu, ternyata rasa-rasanya memang benar adanya. Terbukti dengan berbagai konflik yang terjadi didunia islam yang menurut hemat penulis merupakan sebuah propaganda yang memang dirancang oleh orang- orang diluar islam untuk memicu terjadinya konflik antara kelompok-klelompok islam, terutama dikalangan Negara-negara Arab. Mereka para cebong-cebong missionaris sengaja terus menggelitik negara-negara arab dengan sistem kerjasamanya, baik dibidang pertahanan atau ekonomi yang harus mengorbankan kewibawaannya demi kemakmuran negaranya saja, tanpa berfikir akan implikasi terhadap negara-negara tetangganya. Bahkan tidak jarang ditelinga atau mata kita mendengar atau melihat di medsos terjadinya disintegrasi sosial sesama negara Arabnya. Kita pasti tidak ingin melihat kembali lembaran-lembaran sejarah tentang hancurnnya hadlarah islamiah di Asbania dan Saqolli terulang kedua kali pada zaman ini. Pada  waktu itu mereka missionaris berpura-pura bermuamalah baik dengan ulama muslim dan mengambil ilmu darinya, tapi pada akhirnya mereka malah membunuhnya dan merampas kitab-kitab hasil jerih payahnya tanpa ada belas kasihan, dan rasa menyesal sama sekali, setelah mereka meneguk air dari hasil keringat ulama kita. Sungguh biadab.

Tidak hanya diranah politik saja, mereka juga berani menyelinap di berbagai sektor, bahkan dalam ranah ideologi. Dengan kefanatikan dan kerasnya negara-negara Arab dalam berkomitmen, apalagi menyangkut keyakinan atau agama, hal ini dijadikan momentum lezat atau lahan empuk oleh mereka untuk memuluskan misinya yaitu menghancurkan negara-negara Islam khususnya negara Arab dengan cara perlahan, dan terstruktur rapi. Buktinya, ketika ada ikhtilaf antara kedua negara, atau isme-isme dalam satu negara, entah itu dalam masalah keyakinan, furu atau hal-hal yang berkaitan dengan agama. Maka hal tersebut sangat sulit  diselesaikan dalam satu majlis saja, ditambah lagi adanya pengaruh dari orang luar untuk semakin dibesar-besarkan hingga terjadilah pergesekan tidak hanya batin saja tapi juga pergesekan dzohir antara keduannya. Tidak hanya sampai disitu saja, mereka juga sengaja menyalurkan amunisi dengan mudah bahkan gratis teradap keduannya, bertujuan agar semakin bertambahnya kecamuk atau gejolok diantara keduanya, dan tidak sidikit pula ada yang sampai saling membunuh. Sedangkan mereka cebong-cebong duduk empuk diatas kursinya dengan sebotol khomer dan dayang-dayang cantiknya menonton dan menertawakan hal tersebut.

                Terlepas dari pembahasan negara-negara Arab karena kita bukan orang, dan islam tidak hanya di Arab, terlebih-lebih kita juga tidak mau jadi orang Arab. kita selaku ummat islam pada umummnya, apalagi seorang Mahasiswa atau semi-mahasiswa sekalipun seperti saya atau temen-temen lain yang nota bane dengan keilmuan dan pemikirannya, harus juga berani berfikir bagaimana kita kedepannya, kontribusi apa yang harus kita berikan pada islam, khususnya di Negara kita NKRI. Kita tidak boleh pasrah dan terlena dengan waktu, kemalasan dan keenjoyan kita, kita harus memproklamerkan dan mengebarkan kesemangatan dan hittloh kita dalam segala hal demi kemaslahatan kita sendiri dan islam pada umummnya, Karena kita tidak akan mungkin hidup sendiri tanpa interaksi sosial dengan orng lain. Interaksi sosial tidak akan efektif kecuali dengan ilmu. Sedangkan ilmu tidak akan didapat kecuali dengan semangat dan rajin. dan semangat itu tidak akan didapat kecuali dengan akal dan badan yang sehat. Saya masih ingat dengan suatu bait yang disamapikan dulu oleh ustadz saya ketika masih di pondok dan masih terngiang di benak saya sampai sekarang:
بقدرالكد تكتسب المعالي # ومن طلب العلا سهر اليالي

Sebelum akhir penulis hanya ingin menyampaikan: “orientasikanlah apa yang sudah menjadi tanggungan dan beban kita  Melalui hukum-hukum syari’at yang sudah berdasarkan konsensus ulama’ dengan tanpa mengeyampingkan hukum-hukum kontemporer yang sudah ditarjih olenya. Kita tidak usah mendalami atau mempreteli sebuah permasalahan dalam islam secara mendalam sekali(mendalami hal-hal yang yang sudah qoti)dengan tujuan untuk menyelisihi masyayikh kita, atau hanya untuk mencatutkan nama sebagai salah satu diantara deretan pemikir dunia islam, yang sebagian diantara pemikirannya malah melengserkan terhadap pemahaman yang sudah kita yakini bersama menjadi sebuah pemahaman berbau libral wa akhwatuha, terutama dalam suatu masalah yang sangat sensitif akan timbulnya perpecahan dan perselisihan. Kadang pula sekalipun dia tidak SPILIS bahkan masih sepaham dengan masyayikhnya, orang yang sudah ikhlas menegukkan air jernih dari dalam lumbungnya terhadap dia, tpi kenyataanya setelah dia merasa dahaganya sudah hilang, dia malah menyinyir bahkan menendangnya. Biasa kita sebut dengan istilah “kacang lupa kulitnya”. Naudzu billahi min dzalik.

Syahdan cukuplah Ilmu yang kita dapatkan(ilmu yang baik) itu dijaga dan diamalkan disetiap detak jantung dan langkah kita, menjaga integritas dan keutuhan islam serta mampu menjadi kader-kader duta islam guna mengislamkan orang-orang diluar sana sebagaimana berbagai ekspansi yang sudah dilakukan oleh Nabi dan sahabat lainnya dalam menegakkan agama Allah diberbagai benua. Semoga kita semua mendapat syafaatnya dan bisa mengikuti jejaknya li I’lai kalimatillah. Amien.
               
By: Zainul Muttaqin

Februari 08, 2018

,

Kuliah?

Hal menarik yang bisa dinikmati oleh mereka yang belajar di Mesir adalah mereka bebas menjadi apa saja. Berbeda dengan mereka yang tengah menempuh pendidikan di Makkah atau Madinah.  Mesir atau dalam hal ini - Al-Azhar-lebih memberikan kebebasan bagi Mahasiswanya.  Ini bukan bermaksud membandingkan hanya saja saya  ingin memperlihatkan keunikan  yang ada. Saya dengar sendiri dari teman yang juga mahasiswa di Madinah bahwa mereka masih diwajibkan mengisi absensi. Dan jika lebih dari 15 kali absen maka bersiaplah tinggal dalam ruangan yang sama pada tahun berikutnya.

Al-Azhar menyajikan hal berbeda, rumah atau kiblat ilmu yang telah lebih dari 10 abad silam berkiprah menghidupkan kelimuan ini masih tidak mewajibkan pendataan absensi, dan standar kelulusan hanya bertumpu pada bagaimana para mahasiswa bisa dengan baik menjawab soal ketika ujian.
Disini memang tidak ada paksaan kuliah. Al-Azhar tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk setiap pagi mandi dan berangkat duduk manis dalam kelas. Juga tidak memaksa mahasiswanya harus rapi dengan kaki yang berpakaian sepatu. Tidak, Al-Azhar tidak menekankan  kita untuk terlalu patuh pada kostum semata. Maka saya sangat keberatan jika teman-teman Mahasiswa di Al-Azhar berseloroh: Saya malas kuliah, lagi pula gak ada Absen. Kalau anak baru yang mengatakan,  saya masih coba memakluminya tapi jika yang mengungkapkan ternyata mereka yang  sudah tak bergelar Junior maka sangat perlu untuk dipertanyakan.

Saya masih ingat, di suatu pelajaran Mantiq ketika saya tingkat 2 (setara dengan semester 3 atau 4 kalau di Indonesia) tiba-tiba ada teman Mesir yang bertanya ke dosen atau duktur biasa kami menyebutnya, "Lieh ihna mafisy kasyful hudur ya duktur?"
Artinya: " wahai duktur,Kenapa kita tidak ada absen dikuliah?"

Pertanyaan tersebut memang sering  terulang ketika ada penyuluhan kepada teman-teman Mahasiswa baru. Dan saya sendiri tidak mempermasalahkan pertanyaan tersebut,karena saya juga pernah sepemikiran. Tapi saya juga  lebih setuju dengan jawaban duktur yang mengatakan: "Kalian itu sudah dewasa, kalian bukan tingkat i'dadiyah atau tsanawiyah lagi. Sekarang pintu kelas ini terbuka untuk siapa saja yang mau masuk belajar atau keluar, kita tidak akan memaksa siapapun. Kalian sudah dewasa,  kalian sudah bisa memilih mana yang baik dan yang buruk."

Teman-teman, baik yang baru atau lama. Marilah kita ambil nilai positif dari sesuatu. Bahkan dalam keadaan apapun itu. Al-Azhar tidak terbatas pada dinding atau bangunan-bangunannya, Al-Azhar terlalu besar untuk kita remehkan.  Maka saya sangat berharap agar kita saling menguatkan. Silahkan tidak berangkat kuliah tapi tolong isilah waktu yang seharusnya kita berada dikuliah tersebut dengan melakukan hal-hal positif dan bermanfaat. Itulah mengapa saya katakan, di Mesir kalian bebas untuk menjadi apa saja. Namun jangan pernah meremehkan keputusan Al-Azhar. Tidak ada absen bukan berarti tidak ada kuliah bukan?

Saya dengar di Universitas ternama dinegara seperti Inggris semisal University of  Oxford juga tidak ada absen.  karenanya tolong jangan jadikan hal ini alasan untuk meremehkan al-Azhar. Jadilah anak-anak yang berbakti. Iya, al-Azhar adalah rumah kita. Tapi saya selalu yakin bahwa kita jauh-jauh dari Indonesia tidak hanya memiliki tujuan hanya  untuk sekedar mencari atau mengisi absen saja. Iya, Saya yakin.

By: Zis al-Hakim

Februari 05, 2018

,
SEPAK TERJANG MUNCULNYA TASAWWUF

By: zainul muttaqin


Jalur tasawwuf merupakan jalur yang sangat sulit untuk dilalui seseorang, baik dari kalangan orang yang sudah mendalam ilmu syariatnya atau apalagi yang masih dangkal. Kesulitan tersebut terjadi karena pelaku tasawwuf atau ahli sufi biasanya tidak sepenuhnya bisa menghindar dari yang namanya gemerlap dunia dan unsur-unsur dari dunia itu sendiri. Disadari atau tidak, sejatinya mulai dulu kita ingin sekali menempuh jalur sufi dan menekuninya melalui berbagai literatur buku dan kitab pedoman yang menyangkut masalah tasawwuf dan sufisme atau dikenal juga oleh orientalis Barat dengan sebutan mistisisme dalam islam. Tapi kenyataannya meskipun keinginan tersebut datang bertubi-tubi bahkan setiap waktu selalu tersemat dalam benak sanubari, sekali lagi hati kita masih belum mampu untuk sekedar menyelami dan mengganderunginya dalam rangka lebih mendekatkan diri pada ilahi sekaligus memperoleh hubungan spesial dengan­­-Nya.

Syahdan seandainya hubungan ini benar-benar terjadi, maka barang tentu akan terjalin kontak komonikasi atau dialog batin antara ruh manusia dan tuhan-Nya serta tentramnya hati karena selalu berada di hadirat-Nya.

Termasuk diantara cara menempuhnya yaitu:

Pertama, dengan cara mengasingkan diri atau mengisolsi diri(uzlah)selama mungkin, sampai pada batasan ittihad(bersatu)dengan tuhan sehingga hati merasa tidak bisa berdetak dan hidup kecuali menyatu dan berinteraksi dengannya, meskipun sebetulnya konsep ittihad ini ditentang oleh imam Ghazali yg kemudian dia menyodorkan konsep baru sebagai penggantinya yaitu  konsep makrifat, yakni pendekatan diri kepada Allah(taqorrub ilallah)tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.  
Kedua, mampu mengendalikan gejolak dunia yang selalu mengintai dalam rentetan kehidupan sampai pada batasan hati tidak terpaud lagi dengannya, melalui fase zuhud(asketisme) dan fana’(ekstase)manakala disebutkan asma tuhan dihadapannya.

Menurut Al Ghazali dalam kitab magnum opusnya Al-munqidz min adh-Dhalaal menuturkan bahwa: “jalan menuju tasawwuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah”. Ia pun berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya dan lentera kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.

Mengenai pendefinisian tasawwuf sendiri ulama berbeda pendapat, salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan oleh Junaid al Baghdadi:

التصوف حفظ الأوقات, ثم قال: وهوأن لايطالع العبدغيرحده ولايوافق غيرربه ولايقارن غيروقفه

Artinya: tashowwuf adalah memelihara waktu. Lalu ia berkata; seorang hamba tidak akan menekuni(amalan tashowwuf)tanpa aturan tertentu, tidak tepat ibadahnya tanpa tertuju kepada tuhan-Nya dan merasa tidak berhubungan dengan tuhan-Nya tanpa menggunakan waktu(beribadah .kepada-Nya)
           
           Uraian dari Junaid al Baghdadi tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa lebih menekankan pada otoritas waktu dalam tasawwuf itu sangat urgen sekali. Karena itu, bagi sebagian ahli sufi menganggap moyoritas waktu dalam kehidupannya tidak ada tujuan lain melainkan hanya untuk mengingat Allah dengan cara menggerakkan ibadah-ibadah sunnah dan dzikir. Bahkan, para ahli sufi mempunyai anggapan bahwa sistem ibadah yang hanya dikerjakan secara formal masih belum dianggap sempurna karena belum memenuhi kebutuhan sepritual kaum sufi. Sedangkan sufisme itu adalah aspek yang sangat penting, sebab sufisme tasawwuf merupakan jantung atau urat nadi dari semua aktualisasi ajaran-ajaran islam sehingga bernilai sempurna atau tidaknya suatu ibadah atau amaliah ajaran islam tergantung dengan ketasawwufannya atau kesucian hatinya.

         Terlepas dari berbagai pandangan ulama mengenai pengertian tasawwuf tadi, ternyata tasawwuf yang sering kita temui dalam kazanah dunia islam dilihat dari sudut pandang sumber atau asal-usulnya menuai konfrontasi yang sangat apik, baik dikalangan cendikiawan islam sendiri maupun non-muslim sekalipun, mereka yang kontra mengasumsikan bahwa tasawwuf islam pada dasarnya bersumber dari agama-agama lain. Pendapat yang bernada kontra tersebut diwakili oleh kalangan orientalis barat dan sebagian kelompok islam yang terpengaruh olehnya. Melalui berbagai tulisan atau jurnal, mereka semua mencoba memalingkan kerohanian tasawwuf atau mistisisme dalam islam pada sumber-sumber asing. Disamping  sumber-sumber al Quran dan kehidupan Rasulullah, mereka mengatakan: “tasawwuf dalam Islam tumbuh karena banyak terpengaruh oleh konsep-konsep kerohanian diluar islam, antara lain terpengaruh dari ajaran agama Hindu, agama Persia, agama Masehi, pemikiran Filsafat Yunani, dan ajaran Neo Platonisme”. Sungguh persepsi ini bagi penulis merupakan suatu instrumen yang sangat hoax.

         Hal ini sesuai dengan ulasan yang ditorehkan oleh al Wafa’ al Ghanimi at Taftazani bahwa sejak permulaan abad ke-19 sampai akhir-akhir ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan orientalis tentang asal-usul tasawwuf. Ada sebagian yang beranggapan tasawwuf berasal dari Masehi(Kristen), ada juga yang mengatakan dari unsur Hindu-Budha, unsur Persia, unsur Arab dan sebagainya. Sehingga dari sepak terjang yang sengaja mereka buat mengakibatkan banyaknya komentar keras dan pedas yang diajukan oleh barisan ulama yang pro terhadap keotentikan tasawwuf bersumber dari islam.
       Berbagai asumsi mengenai tasawwuf islam yang coba dilarikan pada kebeduyaan Asing, mengiringi pula pelbagai penelitian oleh kalangan orientalis dan orang yang terpengaruh olehnya sebagai bahan penguat dari hasil penelitian dalam problem tersebut. Namun, dari hasil penelitian tersebut kayaknya terlalu panjang untuk dibahas sehingga mungkin oleh penulis hanya bisa disimpulkan dengan sekilas saja. Semisal: Von Kromyor  dan Nicholson yang dibenarkan pula oleh Goldziher berpendapat bahwa tasawwuf merupakan buah kenashranian pada zaman jahiliyah. Noldiker menambahkan bahwa pakaian wol kasar(bulu domba) yang biasa dipakai oleh ahli sufi adalah milik agama Nashrani. Sementara Darwis al-Birawi mempunyai catatan bahwa ada kemiripan antara konsep tasawwuf islam dengan ibadah Hindu yang kemudian catatan tersebut ditentang oleh Qomar Kailani, dia menganggap pendapat ini terlalu ekstrim karena kalau misalkan pendapat tersebut diterima. Maka berarti pada zaman Rasulullah Ajaran Hindu sudah berkembang di Mekkah. Padahal dalam sejarah masih belum ada kesimpulan seperti itu. Dan masih banyak pendapat-pendapat lain yang juga bersimpangan dengan masalah tersebut.


          Menurut hemat penulis, kecenderungan mereka yang berpendapat bahwa asal-usul tasawwuf bersumber dari luar islam dilatar belakangi karena paradigma mereka itu hanya melihat pada keidentikan atau kemiripan ajaran islam dengan ajaran non-islam saja, tanpa menelisik lebih jauh komponen-komponen yang disuguhkan dari kedua ajaran tersebut. Sehingga, jelaslah bahwa sebenarnya antara kedua konsep dari masing-masing ajaran ini ada perbedaan sangat menonjol yang tidak ada keterkaitan antara satu sama lainnya, meskipun secara sekilas ada kemiripan yang sulit untuk dipisahkan antara keduanya. Disamping itu, paradigma mereka kebanyakan dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Paradigma tidak adil itu jelas akan melihat kemiripan-kemiripan antara satu kasus dengan kasus lainnya sebagai hal yang sama dan bersumber dari hal yang sama pula. Sedangkan bagi ahli tasawwuf muslim yang berpikiran moderat, Abdul Halim Mahmud misalnya, mengaggap bahwa faktor timbulnya tasawwuf bersumber dari al Quran dan Hadist, bukan pengaruh dari luar islam. Berdasarkan dua sumber itulah benih-benih tasawwuf itu muncul, kemudian berkembang mengiringi berkembangnya ajaran tasawwuh dari luar islam.
          

Follow Us @soratemplates