SEPAK TERJANG MUNCULNYA TASAWWUF
By: zainul muttaqin
Jalur tasawwuf
merupakan jalur yang sangat sulit untuk dilalui seseorang, baik dari kalangan
orang yang sudah mendalam ilmu syariatnya atau apalagi yang masih dangkal.
Kesulitan tersebut terjadi karena pelaku tasawwuf atau ahli sufi biasanya tidak
sepenuhnya bisa menghindar dari yang namanya gemerlap dunia dan unsur-unsur
dari dunia itu sendiri. Disadari atau tidak, sejatinya mulai dulu kita ingin
sekali menempuh jalur sufi dan menekuninya melalui berbagai literatur buku dan
kitab pedoman yang menyangkut masalah tasawwuf dan sufisme atau dikenal juga
oleh orientalis Barat dengan sebutan mistisisme dalam islam. Tapi kenyataannya
meskipun keinginan tersebut datang bertubi-tubi bahkan setiap waktu selalu tersemat
dalam benak sanubari, sekali lagi hati kita masih belum mampu untuk sekedar
menyelami dan mengganderunginya dalam rangka lebih mendekatkan diri pada ilahi
sekaligus memperoleh hubungan spesial dengan-Nya.
Syahdan seandainya
hubungan ini benar-benar terjadi, maka barang tentu akan terjalin kontak
komonikasi atau dialog batin antara ruh manusia dan tuhan-Nya serta tentramnya hati
karena selalu berada di hadirat-Nya.
Termasuk diantara cara menempuhnya yaitu:
Pertama, dengan cara
mengasingkan diri atau mengisolsi diri(uzlah)selama mungkin, sampai pada
batasan ittihad(bersatu)dengan tuhan sehingga hati merasa tidak bisa berdetak
dan hidup kecuali menyatu dan berinteraksi dengannya, meskipun sebetulnya
konsep ittihad ini ditentang oleh imam Ghazali yg kemudian dia menyodorkan
konsep baru sebagai penggantinya yaitu
konsep makrifat, yakni pendekatan diri kepada Allah(taqorrub ilallah)tanpa
diikuti penyatuan dengan-Nya.
Kedua, mampu mengendalikan
gejolak dunia yang selalu mengintai dalam rentetan kehidupan sampai pada
batasan hati tidak terpaud lagi dengannya, melalui fase zuhud(asketisme)
dan fana’(ekstase)manakala disebutkan asma tuhan dihadapannya.
Menurut Al Ghazali dalam kitab magnum opusnya
Al-munqidz min adh-Dhalaal menuturkan bahwa: “jalan menuju tasawwuf baru
dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri
dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang
selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah”. Ia pun
berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan
hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan
moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik
lahir maupun batin, diambil dari cahaya dan lentera kenabian. Selain cahaya
kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi
penerangan.
Mengenai pendefinisian tasawwuf
sendiri ulama berbeda pendapat, salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan
oleh Junaid al Baghdadi:
التصوف حفظ الأوقات, ثم قال: وهوأن لايطالع العبدغيرحده ولايوافق
غيرربه ولايقارن غيروقفه
Artinya: tashowwuf adalah
memelihara waktu. Lalu ia berkata; seorang hamba tidak akan menekuni(amalan
tashowwuf)tanpa aturan tertentu, tidak tepat ibadahnya tanpa tertuju kepada
tuhan-Nya dan merasa tidak berhubungan dengan tuhan-Nya tanpa menggunakan
waktu(beribadah .kepada-Nya)
Uraian dari Junaid al Baghdadi
tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa lebih menekankan pada otoritas waktu
dalam tasawwuf itu sangat urgen sekali. Karena itu, bagi sebagian ahli sufi
menganggap moyoritas waktu dalam kehidupannya tidak ada tujuan lain melainkan
hanya untuk mengingat Allah dengan cara menggerakkan ibadah-ibadah sunnah dan
dzikir. Bahkan, para ahli sufi mempunyai anggapan bahwa sistem ibadah yang
hanya dikerjakan secara formal masih belum dianggap sempurna karena belum
memenuhi kebutuhan sepritual kaum sufi. Sedangkan sufisme itu adalah aspek yang
sangat penting, sebab sufisme tasawwuf merupakan jantung atau urat nadi dari
semua aktualisasi ajaran-ajaran islam sehingga bernilai sempurna atau tidaknya
suatu ibadah atau amaliah
ajaran islam tergantung dengan ketasawwufannya atau kesucian hatinya.
Terlepas dari berbagai pandangan ulama mengenai
pengertian tasawwuf tadi, ternyata tasawwuf yang sering kita temui dalam
kazanah dunia islam dilihat dari sudut pandang sumber atau asal-usulnya menuai
konfrontasi yang sangat apik, baik dikalangan cendikiawan islam sendiri maupun
non-muslim sekalipun, mereka yang kontra mengasumsikan bahwa tasawwuf islam
pada dasarnya bersumber dari agama-agama lain. Pendapat yang bernada kontra
tersebut diwakili oleh kalangan orientalis barat dan sebagian kelompok islam
yang terpengaruh olehnya. Melalui berbagai tulisan atau jurnal, mereka semua
mencoba memalingkan kerohanian tasawwuf atau mistisisme dalam islam pada sumber-sumber
asing. Disamping sumber-sumber al Quran
dan kehidupan Rasulullah, mereka mengatakan: “tasawwuf dalam Islam tumbuh karena banyak terpengaruh oleh
konsep-konsep kerohanian diluar islam, antara lain terpengaruh dari ajaran
agama Hindu, agama Persia, agama Masehi, pemikiran Filsafat Yunani, dan ajaran
Neo Platonisme”. Sungguh persepsi
ini bagi penulis merupakan suatu instrumen yang sangat hoax.
Hal ini sesuai dengan ulasan
yang ditorehkan oleh al Wafa’ al Ghanimi at Taftazani bahwa sejak permulaan
abad ke-19 sampai akhir-akhir ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan
orientalis tentang asal-usul tasawwuf. Ada sebagian yang beranggapan tasawwuf
berasal dari Masehi(Kristen), ada juga yang mengatakan dari unsur Hindu-Budha,
unsur Persia, unsur Arab dan sebagainya. Sehingga dari sepak terjang yang
sengaja mereka buat mengakibatkan banyaknya komentar keras dan pedas yang diajukan
oleh barisan ulama yang pro terhadap keotentikan tasawwuf bersumber dari islam.
Berbagai asumsi mengenai
tasawwuf islam yang coba dilarikan pada kebeduyaan Asing, mengiringi pula
pelbagai penelitian oleh kalangan orientalis dan orang yang terpengaruh olehnya
sebagai bahan penguat dari hasil penelitian dalam problem tersebut. Namun, dari
hasil penelitian tersebut kayaknya terlalu panjang untuk dibahas sehingga
mungkin oleh penulis hanya bisa disimpulkan dengan sekilas saja. Semisal: Von Kromyor dan Nicholson yang dibenarkan pula oleh
Goldziher berpendapat bahwa tasawwuf merupakan buah kenashranian pada zaman
jahiliyah. Noldiker menambahkan bahwa pakaian wol kasar(bulu domba) yang biasa
dipakai oleh ahli sufi adalah milik agama Nashrani. Sementara Darwis al-Birawi
mempunyai catatan bahwa ada kemiripan antara konsep tasawwuf islam dengan
ibadah Hindu yang kemudian catatan tersebut ditentang oleh Qomar Kailani, dia
menganggap pendapat ini terlalu ekstrim karena kalau misalkan pendapat tersebut
diterima. Maka berarti pada
zaman Rasulullah Ajaran Hindu sudah berkembang di Mekkah. Padahal dalam sejarah
masih belum ada kesimpulan seperti itu. Dan masih banyak pendapat-pendapat lain yang juga bersimpangan dengan masalah tersebut.
Menurut hemat penulis,
kecenderungan mereka yang berpendapat bahwa asal-usul tasawwuf bersumber dari
luar islam dilatar belakangi karena paradigma mereka itu hanya melihat pada
keidentikan atau kemiripan ajaran islam dengan ajaran non-islam saja, tanpa
menelisik lebih jauh komponen-komponen yang disuguhkan dari kedua ajaran
tersebut. Sehingga, jelaslah bahwa sebenarnya antara kedua konsep dari
masing-masing ajaran ini ada perbedaan sangat menonjol yang tidak ada
keterkaitan antara satu sama lainnya, meskipun secara sekilas ada kemiripan
yang sulit untuk dipisahkan antara keduanya. Disamping itu, paradigma mereka
kebanyakan dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial.
Paradigma tidak adil itu jelas akan melihat kemiripan-kemiripan antara satu
kasus dengan kasus lainnya sebagai hal yang sama dan bersumber dari hal yang
sama pula. Sedangkan bagi ahli tasawwuf muslim yang berpikiran moderat, Abdul
Halim Mahmud misalnya, mengaggap bahwa faktor timbulnya tasawwuf bersumber dari
al Quran dan Hadist, bukan pengaruh dari luar islam. Berdasarkan dua sumber
itulah benih-benih tasawwuf itu muncul, kemudian berkembang mengiringi
berkembangnya ajaran tasawwuh dari luar islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar