,
Secara
praksis manusia dituntut untuk selalu aktif bertindak positif dalam segala
nafas dan gerakannya. Hal ini merupakan kelaziman bersama terkhusus makhluk
ekonomis yang dalam kesehariannya tidak dapat dilepaskan dengan interaksi
sosial.
Kesadaran umat manusia belakangan ini semakin tidak teratur
dan cendrung bersikap personal. Banyak faktor yang melatar belakangi sikap
tersebut diantaranya karena kurang memperhatikan hubungan sosial, egoisme,
serta acuh tak acuh dalam soal tolong-menolong, baik sesama manusia maupun dengan makhluk Tuhan lainnya.
Di dalam bukunya “Slilit sang kiai” Cak Nun melukiskan
sosok kyai yang sedang masygul gotong royong memperbaiki jembatan bersama
masyarakat. Tampaknya ia lupa melaksanakan salat duhur hingga hampir tiba adzan
asar. Dengan seketika, ia langsung menuju sumur. saat melempar tali timba
tiba-tiba ada seekor semut tenggelam serasa membutuhkan pertolongan. Akhirnya,
Dengan pelan, tali timba digoyang dan ia pun sukses menyelamatkan semut
tersebut. Puncaknya, ketika menarik tali timba, tiba-tiba adzan asar
dikumandangkan. Dengan perasaan sedih, pak kyai berangkat ke masjid dan
langsung melaksanakan salat seraya berdoa _“Ya Allah hukumlah kelalaianku
sehingga kehilangan salat duhur yang kau anugerahkan, adapun mengenai semut itu
dan segala hal yang mungkin baik yang pernah kukerjakan rasa-rasanya belum
pantas kujadikan alasan memohon pahala darimu”_.
Sepintas kisah ini adalah hal kecil dan mungkin sepele
untuk diaksikan. Kisah ini menghadapkan diri kita terhadap sosok kiyai yang
tidak egois dan tidak cendrung mementingkan dirinya sendiri untuk cepat-cepat
melaksanakan ibadahnya yang dalam hal ini adalah mengambil wudhu untuk
melaksanakan salat. Logika terbaliknya, andaikan pak kyai egois dan mementingan
dirinya sendiri tentu ia tidak akan menyelamatkan seekor semut yang sedang
tenggelam. Namun, karena ia berangkat dari khalifatullah bukan ‘abdullah (hamba
Allah) atau ana insan (aku manusia) maka dirinya lebih menyelamatkan semut
tersebut atas dasar sama-sama Makhluk Allah. Terlepas bagaimana status hukum
salat dan hubungan privasi denganNya. Karenanya Rabiatul Adawiyah meminta di
dalam doanya _“Ya Tuhan, jadikan tubuhku membesar sehingga memenuhi neraka,
sehingga tidak tersedia lagi tempat di neraka itu bagi hamba-hambaMu”_.
Dalam relasi sosial, konteks tolong-menolong tidak terbatas
pada garis horisontal atau kita kenal dengan memanusiakan manusia, akan tetapi
lebih dari itu. Artinya sebagai ciptaan Tuhan yang dianugerahi akal, manusia
dihadapkan dengan makhluk tuhan lainnya sehingga terjalin hubungan hewan ‘Aqli
(berakal) dan non ‘Aqli yang pada akhirnya melahirkan lintas interaksi sesama
makhluk Tuhan.
Bahasan ini semakin menarik ketika kita tarik pada studi
kasus “Nyamuk” dimana Rasulullah saw. Sedang tidur malam. Uniknya sedikitpun
tidak terpancar memerah dari aura Rasulullah, tidak mencari-cari layaknya balas
dendam lalu menepuk membunuhnya, malah kehadiran nyamuk tersebut dianggap tamu
mulia sehingga beliau tetap bersikap tenang dan memafaatkan waktunya untuk
melaksanakan salat malam.
Dari aspek sosial, islam tidak pernah bosan mengajarkan
pengikutnya untuk selalu memberi, bersadakah atau bahasa kita lagi-lagi
menolong. Sampai saat ini, diantara pesan Nabi yang amat menggelitik adalah
ketika beliau mengatakan kepada sahabat bahwa sadakah yang paling utama adalah
air. Dalam kasus yang lain juga disebutkan bahwa Tuhan senantiasa memasukkan
kita ke dalam Surga-Nya selama kita memberikan seteguk air minum kepada
MakhlukNya.
Pesan Nabi diatas Secara esensial sangatlah relevensi
dengan kondisi umat sekarang. Pasalnya, kita terlalu nyaman hingga melupakan
saudara kita yang kehausan. Lihatlah saudara-saudara kita di daerah termarginal
seperti pedalaman afrika dan sejenisnya. Jangankan mengkonsumsi makanan bergizi,
seteguk airpun mereka sulit untuk meminumnya. Berbagai jenis makanan sulit
didapatkan, minuman jarang-jarang,
apalagi mau shoping ke mol-mol besar.
Sementara dengan kita sendiri, puji syukur alhamdulillah
masih diberi nikmat untuk bisa minum air sebanyak-banyaknya, makanan sudah ada,
dan bahkan ketika rasa gak mod datang kita langsung terbang mendatangi restoran.
Air adalah segala-galanya, jangan pernah pelit untuk
memberikannya. Pelit kepada orang lain berarti pelit kepada diri kita sendiri.
Akhirnya, benang merah dari pembahasan diatas adalah bahwa kita sangat
dianjurkan untuk bahu membahu kepada siapa saja yang kita hadapi baik manusia
maupun hewan serta bersedakahlah meskipun hanya seteguk air karena bisa jadi
kita tidak membutuhkannya tapi tidak dengan tetangga kita.
_Wallahu a’lam_
Sumber
- I’anah
Tolibin jilid II : sayyid Abi Bakar Muhammad sato al dimyati
- Bajuri
jilid I : syekh ibrahim Al Bajuri