Februari 16, 2018

Bersosial dengan Lingkungan
























Secara praksis manusia dituntut untuk selalu aktif bertindak positif dalam segala nafas dan gerakannya. Hal ini merupakan kelaziman bersama terkhusus makhluk ekonomis yang dalam kesehariannya tidak dapat dilepaskan dengan interaksi sosial.

Kesadaran umat manusia belakangan ini semakin tidak teratur dan cendrung bersikap personal. Banyak faktor yang melatar belakangi sikap tersebut diantaranya karena kurang memperhatikan hubungan sosial, egoisme, serta acuh tak acuh dalam soal tolong-menolong, baik sesama manusia maupun  dengan makhluk Tuhan lainnya. 

Di dalam bukunya “Slilit sang kiai” Cak Nun melukiskan sosok kyai yang sedang masygul gotong royong memperbaiki jembatan bersama masyarakat. Tampaknya ia lupa melaksanakan salat duhur hingga hampir tiba adzan asar. Dengan seketika, ia langsung menuju sumur. saat melempar tali timba tiba-tiba ada seekor semut tenggelam serasa membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Dengan pelan, tali timba digoyang dan ia pun sukses menyelamatkan semut tersebut. Puncaknya, ketika menarik tali timba, tiba-tiba adzan asar dikumandangkan. Dengan perasaan sedih, pak kyai berangkat ke masjid dan langsung melaksanakan salat seraya berdoa _“Ya Allah hukumlah kelalaianku sehingga kehilangan salat duhur yang kau anugerahkan, adapun mengenai semut itu dan segala hal yang mungkin baik yang pernah kukerjakan rasa-rasanya belum pantas kujadikan alasan memohon pahala darimu”_.

Sepintas kisah ini adalah hal kecil dan mungkin sepele untuk diaksikan. Kisah ini menghadapkan diri kita terhadap sosok kiyai yang tidak egois dan tidak cendrung mementingkan dirinya sendiri untuk cepat-cepat melaksanakan ibadahnya yang dalam hal ini adalah mengambil wudhu untuk melaksanakan salat. Logika terbaliknya, andaikan pak kyai egois dan mementingan dirinya sendiri tentu ia tidak akan menyelamatkan seekor semut yang sedang tenggelam. Namun, karena ia berangkat dari khalifatullah bukan ‘abdullah (hamba Allah) atau ana insan (aku manusia) maka dirinya lebih menyelamatkan semut tersebut atas dasar sama-sama Makhluk Allah. Terlepas bagaimana status hukum salat dan hubungan privasi denganNya. Karenanya Rabiatul Adawiyah meminta di dalam doanya _“Ya Tuhan, jadikan tubuhku membesar sehingga memenuhi neraka, sehingga tidak tersedia lagi tempat di neraka itu bagi hamba-hambaMu”_.

Dalam relasi sosial, konteks tolong-menolong tidak terbatas pada garis horisontal atau kita kenal dengan memanusiakan manusia, akan tetapi lebih dari itu. Artinya sebagai ciptaan Tuhan yang dianugerahi akal, manusia dihadapkan dengan makhluk tuhan lainnya sehingga terjalin hubungan hewan ‘Aqli (berakal) dan non ‘Aqli yang pada akhirnya melahirkan lintas interaksi sesama makhluk Tuhan.

Bahasan ini semakin menarik ketika kita tarik pada studi kasus “Nyamuk” dimana Rasulullah saw. Sedang tidur malam. Uniknya sedikitpun tidak terpancar memerah dari aura Rasulullah, tidak mencari-cari layaknya balas dendam lalu menepuk membunuhnya, malah kehadiran nyamuk tersebut dianggap tamu mulia sehingga beliau tetap bersikap tenang dan memafaatkan waktunya untuk melaksanakan salat malam.

Dari aspek sosial, islam tidak pernah bosan mengajarkan pengikutnya untuk selalu memberi, bersadakah atau bahasa kita lagi-lagi menolong. Sampai saat ini, diantara pesan Nabi yang amat menggelitik adalah ketika beliau mengatakan kepada sahabat bahwa sadakah yang paling utama adalah air. Dalam kasus yang lain juga disebutkan bahwa Tuhan senantiasa memasukkan kita ke dalam Surga-Nya selama kita memberikan seteguk air minum kepada MakhlukNya.

Pesan Nabi diatas Secara esensial sangatlah relevensi dengan kondisi umat sekarang. Pasalnya, kita terlalu nyaman hingga melupakan saudara kita yang kehausan. Lihatlah saudara-saudara kita di daerah termarginal seperti pedalaman afrika dan sejenisnya. Jangankan mengkonsumsi makanan bergizi, seteguk airpun mereka sulit untuk meminumnya. Berbagai jenis makanan sulit didapatkan, minuman  jarang-jarang, apalagi mau shoping ke mol-mol besar.
Sementara dengan kita sendiri, puji syukur alhamdulillah masih diberi nikmat untuk bisa minum air sebanyak-banyaknya, makanan sudah ada, dan bahkan ketika rasa gak mod datang kita langsung terbang mendatangi restoran.

Air adalah segala-galanya, jangan pernah pelit untuk memberikannya. Pelit kepada orang lain berarti pelit kepada diri kita sendiri. Akhirnya, benang merah dari pembahasan diatas adalah bahwa kita sangat dianjurkan untuk bahu membahu kepada siapa saja yang kita hadapi baik manusia maupun hewan serta bersedakahlah meskipun hanya seteguk air karena bisa jadi kita tidak membutuhkannya tapi tidak dengan tetangga kita. 
_Wallahu a’lam_
Sumber
-              I’anah Tolibin jilid II : sayyid Abi Bakar Muhammad sato al dimyati
-              Bajuri jilid I : syekh ibrahim Al Bajuri
-              Slilit sang kiai : Emha Ainun Nadjib

By: Mukhtar Makin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates