Februari 28, 2018

,



























[sekat ilmiah antara kemampuan nalar dan ketidaktahuan]

Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya` nya membagi seorag [dalam aspek pengetahuannya] menjadi 4 macam.

رجل يدري و يدري أنه يدري فهو عالم فاتبعوه
 Seorang yang yang mempunyai pengetahuan dan sadar atas pengetahuannya, maka dia adalah orang yang berpengetahuan, ikutilah.

رجل يدري و  لا يدري أنه يدري فهو نائم فأيقظوه
Seorang yang mempunyai pengetahuan namun dia tidak sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang tertidur, bangunilah.

رجل لا يدري و يدري أنه لا يدري فهو مسترشد فعلموه
Ada juga seorang yang tidak tau akan sesuatu, dan dia sadar akan hal itu, maka dia adalah orang yang membutuhkan petujuk, ajarilah.

رجل لا  يدري ولا يدري أنه لا يدري فهو جاهل فاحذروه
Dan yang terakhir adalah seorang yang tidak tau akan sesuatu tapi tidak sadar akan keterbatasannya, justru malah memaksakan nalarnya dan akhirnya gagal, maka dia adalah orang yang bodoh, hati-hatilah terhadap orang yang seperti itu.

Mengutip dari bukunya P.D M. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, “ dari Al-Quran dan Hadits dapat ditemukan puluhan petunjuk mengenai sikap ilmiah yang sangat diperhatikan oleh para ulama dan cendekiawan Muslim, sehingga pada akhirnya menjadi tradisi keilmuan mereka. Tradisi ilmiah ini juga (seharusnya) berlaku bagi kalangan akademisi, baik dari kalangan pendidik maupun peserta didik, termasuk mahasiswa.Tentu saja, tradisi ilmiah ini tidak disempitkan hanya untuk kalangan ulama ataupun akademisi saja, tapi juga berlaku bagi setiap orang yang menyandang atribut sebagai pembelajar. Salah satu bentuk tradisi itu adalah kejujuran ilmiah.”

Sikap menjunjung tinggi kejujuran ilmiah berarti secara sadar memposisikan diri sebagai orang yang memiliki keterbatasan ilmu dan dengan jujur mengungkapkan apa yang tidak (belum) diketahuinya. Hal ini melahirkan, antara lain, pernyataan “Allahu’alam” (Allah lebih mengetahui) setiap selesai merampungkan suatu pernyataan yang berada di luar ruang lingkupnya dan dengan jujur menjawab “saya tidak (belum) tahu” setiap diajukan pertanyaan yang tidak diketahui secara persis jawabannya. Bahkan, bisa saja tidak memberi jawaban -meski tahu jawabnya- jika  diantara mereka ada orang yang lebih mumpuni untuk menjawabnya.

Seseorang yang diajukan kepadanya suatu pertanyaan, yang tidak ia ketahui secara persis jawabannya, maka ia hanya memiliki tiga kemungkinan: Pertama, menjawab secara tidak jujur kepada diri sendiri dan yang bertanya; kedua, berusaha meyakinkan dirinya dan yang bertanya dengan memberikan jawaban yang ilmiah, meskipun belum tentu diyakini kebenarannya; ketiga, bersikap jujur dan terbuka dengan berkata “Saya tidak tahu” atau “saat ini saya belum tahu, tapi akan saya carikan jawabnya”. Jawaban ketiga inilah yang disebut sebagai kejujuran ilmiah. Sejauh mana pengetahuan seseorang hanya sampai sebatas ia mengatakan “saya tidak tahu.”

مَنْ رَأَيْتَهُ مُجِيْباً عَنْ كُلِّ ماَ سُئِلَ وَمُعَبِّراً عَنْ كُلِّ ماَ شَهِدَ وَذاَكِراً كُلَّ ماَ عَلِمَ فَاسْتَدِلَّ بِذَلِكَ عَلَى وُجُوْدِ جَهْلِهِ
“Orang yang selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”

Sikap demikian yang tertanam di kalangan ilmuwan Muslim masa lampau. Persoalan “Wallahu a’lam”(Allah-lah yang Maha Mengetahui) atau “Saya tidak tahu” tidak banyak yang menguasainya, tidak banyak yang berani mengucapkannya. Apalagi dalam persoalan-persoalan agama. Ketika seseorang ditanya tentang komputer, jawabnya, “Saya bukan pakar komputer. Saya tidak tahu masalah itu.” Ketika ia ditanya tentang kedokteran, ia menjawab, “Saya bukan dokter. Saya tidak bisa memberikan pendapat tentang hal itu.” Tapi, saat ia ditanya tentang agama padahal spesialisasinya bukanlah di bidang fikih, ia berani mengatakan haram atau halal, memasukkan seseorang ke surga atau ke neraka, ia bisa menjawab, “Ini masalah yang sangat jelas.” Tidak, sobat. Masalah ushul (metodologi pengambilan hukum), masalah qawaid (kaidah-kaidah pengambilan hukum), masalah asas (dasar-dasar pengambilan hukum), masalah uslub (gaya/model), bukanlah masalah yang sederhana. Di dalamnya terdapat banyak persoalan. Karena itu saat ada orang dari Mesir membawa 42 pertanyaan untuk Imam Darul Hijrah (Madinah), Malik bin Anas rahimahullah, Malik hanya menjawab 6 pertanyaan saja. Selebihnya ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Orang itu berkata, “Apakah saya akan kembali ke Mesir dan mengatakan bahwa Imam Darul Hijrah hanya menjawab 6 pertanyaan saja dan membiarkan yang 36?”Beliau berkata, “Saya menjawab, ‘Saya tidak tahu.’ dan dengan izin Allah saya masuk surga itu lebih baik daripada saya memberikan fatwa terhadap perkara yang saya tidak tahu dan saya masuk neraka.”Sekarang engkau bisa menemukan orang yang sangat berani memberikan fatwa. Ibnu Mas’ud pada tahun 35 H. berkata, “Dalam sehari saya mendengar jawaban dari 10 fatwa yang andaikata Umar bin Khaththab ra. ditanya tentang hal itu ia akan mengumpulkan para peserta perang Badar.” Ini pada zaman Ibnu Mas’ud.Apalagi pada zaman kita sekarang ini. Anak kecil bisa memberikan fatwa. Orang tua dapat memberikan fatwa. Anak kecil menganggap dirinya Imam Malik. Orang tua mengakui diri sebagai Abu Hanifah. Wanita menganggap dirinya Aisyah. Subhanallahil ‘adzim.Seakan-akan agama tidak punya pemangku. Karena itu, benar apa yang dikatana Ibnu `Athaillah “Orang yang selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, serta menyebut semua yang diketahui, itu menjadi bukti atas kebodohannya.”

Sekian banyak di antara kita yang berbicara tentang segala macam ilmu seolah tidak dikenal lagi spesialisasi. Sekian banyak kita terlibat dalam pembicaraan yang bukan merupakan ranah pengetahuan kita. Sikap semacam inilah yang melahirkan isu dan pemahaman baru yang tidak komprehensif sehingga menimbulkan banyak salah penafsiran. Jika tidak tahu, katakan dengan apa adanya bahwa “saya tidak (belum) tahu” dan jika perlu cari kebenarannya. Namun, jangan pula menyembunyikan pengetahuan yang kita miliki jika memang benar-benar diperlukan. Inilah yang perlu kita tradisikan kembali dalam dunia keilmuan kita. Perkembangan IPTEK jangan membuat kita malu untuk berkata “saya tidak tahu” atau “Allahu’alam”. Namun, jangan pula ketidaktahuan tersebut membuat kita berhenti belajar. Wallahu’alam.

 Setengah ilmu adalah bertanya dan setengah sisanya adalah mengatakan aku tak tahu untuk perkara yang memang tidak diketahuinya. Abu Dawud berkata:

قَوْلُ الرَّجُلِ فِيمَا لَا يَعْلَمُ: لَا أَعْلَمُ نِصْفُ الْعِلْم

“Ucapan seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya: ‘Aku tak tahu’ adalah setengah ilmu.”
Semua ilmu yang kita ketahui tidak harus kita keluarkan.Semua mempunyai situasi dan kondisi tertentu. Itu bisa dijadikan sebagai tanda atas kebodohannya. Karena ia banyak bicara. Padahal banyak bicara bisa menyebabkan kesalahan menumpuk, yang menunjukkan kebodohan seseorang. Hingga ulama berkata, “Orang alim dapat diketahui ilmunya saat ia berbicara dan saat ia diam.”.Wallahu A`lam wa Ya`lam.

25 Februari 2018

Hayy `asyir nashr city cairo mesir

Oleh : Ahmad Mahfudz


Februari 27, 2018

,





















Senja!

Senyum hangat yang kau suguhkan
sehangat teh kopyor yang sering kau hidangkan.
Andai ada kata yang melebihi terima kasih,
Sudah tentu kuucap untukmu.

Senja!

Kau membuatku berdiri tegak bagaikan alif
dalam kelembutan akhlakmu.
Semangatmu membakar iblis-iblis yang bersua ria
di singgasananya.

Senja!

Kau menjelma sebagai hanyalah, bukan adalah.
Hingga membuatku terlena akan kecantikanmu.
Kemuliaan yang kau miliki menggumpal menjadi
taman penuh cahaya yang kuinginkan.

Senja!

Kuawali ritualku dengan bertasbih di jalanNya.
Kulantunkan butir-butir mutiara yang tersusun rapi
dalam setiap hembusan nafasku.
Desir-desir kecemburuanpun mulai tercium.
Mengguncang ketentraman kerajaan berselimut api.

Senja!

Jubah kesucian menghiasi jejakmu.
Terlukis menjadi hias pelangi.
Bertabur dalam kabut keindahan.
Hingga saatnya, aku pun menjadi senja yang bertasbih.



 Oleh: Senja Bertasbih








Februari 26, 2018

,


















Sebelum kita masuk dalam tema yang diangkat dalam tulisan ini, ada satu hal yang menurut saya penting untuk disampaikan. Di era dimana radikalisme membayangi keseharian kita, muncul sebuah stigma baru yang mengatakan bahwa sumber radikalisme itu adalah Sayyid Quthb dengan karya fenomenalnya, “fî Dzilâl al-Qur’an”.

Terlepas dari benar tidaknya pernyataan ini, stigma yang distempelkan kepada Sayyid Quthb ini barang kali akan membuat tembok pemisah bagi sebagian orang sehingga dia enggan untuk melihat karya-karyanya atau bahkan membencinya secara total; membenci keseluruhan pemikirannya karena satu pemikirannya yang tidak kita terima. Sikap seperti ini bagi saya adalah radikalisme dengan wajah yang lainnya. Alih-alih dia menjauh dari radikalisme, namun secara tidak sadar dia masuk ke dalam radikalisme dengan wajah barunya.

Di sini penting untuk saya berkata bahwa tidak ada kitab tafsir yang sempurna; jauh dari cacat dan tidak tersentuh oleh kekurangan apapun. Jika tafsir Ibnu Katsir dinilai sebagai tafsir representatif dalam genre tafsir kolaboratif antara ma’tsur dan ma’qul, maka sejatinya ia juga memuat kisah-kisah israiliyyat yang di era sekarang dipandang sebagai aib dalam penafsiran al-Qur’an. Begitu pun juga dengan tafsir Al-Thabari, Al-Zamakhsyari dan yang lainnya. Akan tetapi, bintik hitam dalam kitab tafsir tersebut janganlah membuat kita berpaling dari keindahan atau kebenaran yang ditawarkan di dalamnya.

Syaikh Muhammad Abu Musa dalam salah satu majelis ta’limnya pernah berkata, “Seandainya Iblis mempunya sebuah karya maka saya pun akan membacanya.”Jika karya Iblis saja tidak terlarang bagi kita untuk membaca dan mengambil pelajaran darinya, apalagi itu adalah karya seorang manusia yang seandainya kita bertanya, “Apakah Sayyid Quthb akan bahagia seandainya dia melihat aksi radikalisme di era kini?” maka tidak akan menemukan jawaban yang pasti. Seorang Muslim yang menghargai akal tentu sepantasnya untuk membuka diri dan menerima hikmah dari mana pun ia datang.

Lalu kemudian, pandangan seperti apa yang disuguhkan oleh Sayyid Quthb dalam mendedah keindahan al-Qur’an? Barangkali saya akan menyebutnya bahwa konsep Sayyid Quthb ini adalah perpanjangan tangan dari konsep yang dicetuskan Al-Jurjani dan dipraktekkan dengan apik oleh Al-Zamakhsyari dalam al-Kassyâf-nya. Meski saya mengakui bahwa ada sisi sentral yang sama sekali berbeda antara dua konsep tersebut; konsep nadzm Al-Jurjani dan konsep seni fantasinya Sayyid Quthb (demikian saya menyebutnya).

Jika Al-Jurjani mendedah keindahan al-Qur’an berpusat pada dialektika kata dan makna, maka Sayyid Quthb berusaha masuk ke dalam keindahan al-Qur’an melalui seni fantasi yang diplikasikan al-Qur’an setiap kali ia mengutarakan pesan dan kandungannya.

Dalam pandangan Sayyid Quthb, al-Qur’an menempuh satu jalan dalam pendeskripsiannya, baik itu berkenaan dengan berita duka atau bahagia, kisah masa lalu yang sudah atau akan terjadi, argumentasi untuk memuaskan logika atau ajakan untuk beriman, penggambaran kehidupan di dunia atau di akhirat dan penjelasan tentang yang lainnya. Satu jalan yang menjadi media pendeskripsian dalam al-Quran ini adalah “Seni Pemotretan”, begitu Sayyid Quthb menyebutnya.

Ya, Sayyid Quthb mengajak kita menyelami keindahan al-Qur’an melalui daya khayalnya yang tinggi atau pemotretannya yang benilai seni. Setiap kali membaca al-Qur’an kita dituntut hanyut dalam gambaran al-Qur’an yang hidup meski ia berbicara mengenai makna-makna logikal atau emosianal, yang bisa jadi jika ia diungkapkan oleh seorang filosof maka akan menjadi rigid dan tidak menggerakkan emosi.

Sebagai contoh, ketika al-Qur’an hendak menggambarkan goncangan akidah yang dialami oleh sebagian atau banyak orang, ketika ia hendak mendeskripsikan keimanan seseorang yang tidak berada dalam hati yang teguh, dia mengatakannya seperti ini:
و من الناس من يعبد الله على حرف ،فإن أصابه خير اطمأن به ، و إن أصابته فتنة انقلب على وجهه ، خسر الدنيا و الأخرة.
Artinya:
            Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (pinggiran). Maka tatkala dia mendapat kebajikan dia merasa tenang. Dan jika dia ditimpa suatu cobaan maka dia tersungkur ke belakang. Dia rugi di dunia dan akhirat.” (QS: al-Haj: 11)

Al-Qur’an tidak langsung mengatakan, ada sebagian manusia yang menyembah Allah dalam keraguan, atau katakanlah, akidah yang masih goyang. Namun, al-Qur’an menggambarkan keadaan jiwa yang dalam keraguan tersebut dengan pemotretan yang indah dan secara apik menggambarkan goncangan kejiwaan yang olang-aling. Al-Qur’an mengibaratkannya dengan seseorang yang beribadah di pinggiran bangunan. Tentu hatinya berdebar-debar, takut jatuh tidak karuan, terlebih jika kondisi sekitarnya tidak membuatnya tenang semisal angin yang bertiup kencang menerpannya.

Di sini, al-Qur’an menampilkan sesuatu yang maknawi menjadi sesuatu yang indrawi. Sehingga seakan kita melihat kondisi kejiwaan yang olang-aling tadi dengan mata indrawi kita. Sehingga makna yang disampaikan al-Qur’an menjadi hidup dan tidak kering-kerontang.

Inilah yang disebut Sayyid Quthb dengan “Seni Fantasi atau Pemotretan” di dalam al-Qur’an yang harus kita hadirkan setiap kali membacanya, sehingga kita bisa menikamati keindahan pemandangan yang tidak bisa dilukis dengan pensil, namun al-Qur’an melukiskannya dengan kata-kata, hingga ia menjadi gambar atau pemandangan yang berseni tinggi. Jika kita mentadabburi setiap bahasa penyampaian al-Qur’an, maka ia tidak bisa lepas dari “Seni Pemotretan” ini. (Bersambung)

Oleh: Rahmat Miskaya


Februari 25, 2018

,











Kita mungkin pernah mendengar selorohan “Jauh jauh belajar keluar Negeri, kok malah jadi petani...?”. pernah dengar gak..? , syukur kalau sudah pernah dengar. Yang belum dengar, sekarang sudah dengar kan. Ungkapan yang terkesan meremehkan dunia pertanian. Seakan-akan kita tidak pantas untuk terjun didalamnya.

Apa sih pentingnya pertanian?, Bagaimana kondisi pertanian di Negeri kita sekarang?, Kita sebagai pelajar di Universitas yang berbasis agama ini, bisa tidak berkontribusi dalam pertanian?.Yang belum ngeh, baca tulisan ini sampai selesai ya.

Perlu diketahui, mayoritas  penduduk Negeri kita adalah petani. Kebutuhan pokok seperti sandang yang kita pakai, pangan yang kita makan dan papan yang kita tempati, sebagian besar didapat dari hasil pertanian. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk juga mengambil andil dalam hal ini. Danbenar,  jangan malu untuk jadi petani. Lagian kayak sudah  putus saja, pakek malu-malu segala. Hee.

Ok, saya kutip muhadoroh Bapak Muhaimin Ikbal yang di uploud di FB Gerai Dinar miliknya tanggal 19 Okt 2017,“Mengapa setelah 2 dasawarsa lebih pengaruh ekonomi syariah masih sangat minim di masyarakat? Antara lain karena memulai dari titik yang kurang pas, mulai dari sektor keuangan yang hanya dihuni sekitar 3% lapangan perkerjaan. Seandainya ekonomi syariah mulai dari pertanian dan perdagangan, pengaruhnya akan sangat berbeda karena dua sektor ini dihuni oleh 55 % pekerja indonesia”.  Dan 32 % dari 55 % adalah sektor pertanian. Bisa dipahami kan?Kalau tidak, baca lagi.

Konsep ekonomi syariah Pak Muhaimin memang berbeda dengan aktifis ekonomi syariah pada umumnya  yang hanya fokus pada perbankan. Beliau lebih mengarah mensyariahkan sektor pertanian dan perdagangan.  Dan ini menurut saya lebih efektif dan efisien.

Berbicara masalah kondisi pertanian di Negeri kita, tentu ada baik dan tidak baiknya. Tapi, ada beberapa kejadian yang sangat ironis menurut saya, ketika Negeri yang dikenal dengan Negeri maritim; laut luas dengan ribuan pulau, pantai memanjang dipinggiran pulau-pulau, ternyata masih mengimpor garam sampai 226 ribu ton pada tahun 2017. Aneh kan? Dimana petani garam kita? padahal SDA nya sudah lebih dari cukup.

Begitu juga dengan sebutan Negeri hijau, pemilik hutan luas, air melimpah dan hujan tak kurang yang seharusnya kaya dengan peternakan, eh bulog tambah impor daging kerbau india hingga 20.000  ton. Bukankah ini semua Ironi? Benar, sakitnya itu  dimana mana “kata dangduter”dan memang yah berat seperti" kata Dilan".

Mungkin  ini hanya sebagian kecil dari berbagai problem yang dialami petani Negeri kita.  Ditambah lagi dengan sistem kapitalis yang sudah sangat terasa, ribawi yang sudah tak malu tuk diiklankan, kejenjangan sosial yang amat sangat parah dan penggunaan obat obat kimia yang sudah merambat kemana mana, dalam jangka pendek mungkin bagus, tapi dalam jangka panjang malah akan merusak.

Maka jika ditanya “kita sebagai pelajar di Universitas yang berbasis agama ini, bisa tidak  berkontribusi dalam pertanian?” Jawabannya “Tentu bisa, sangat bisa bahkan”.

Teman-teman, sebagai pelajar yang paham agama dan bahasa arab seharusnya kita berupaya agar  bisa meng extrak inti sari al-Quran dan Hadits  yang salah satunya berkaitan dengan pertanian untuk disampaikan pada petani-petani yang tidak tahu menahu tentang hal itu. Banyak lho ayat-ayat dan hadits yang membahas tentang pertanian yang bisa kita kelola dan disampaikan pada mereka. Saya coba beri contoh ya...

Pertama: Di surat Hud ayat 61 terdapat bacaan “هو أنشأكم من الأرض و استعمركم فيها  ayat ini berisi motifasi bagi kita untuk menjadi pemakmur di bumi. Jangan sampai yang memakmurkan bumi adalah mereka yang tidak paham, karena mereka akan membuat kerusakan tanpa mereka sadari dan mereka akan menjawab  إنما نحن مصلحون”.

Kedua : Di surat al-Baqarah ayat 11 ada firman yang berbunyi“لا تفسدوا في الأرض”, ayat ini berisi konsep utama dalam mengelola pertanian, yaitu tidak boleh merusak lahan pertanian, akan tetapi harus dikelola dengan baik sehingga panen sekarang lebih baik dari panen sebelumnya. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Negeri kita.

Ketiga : Di surat ‘Abasa ayat 24 tertulis “فلينظر الإنسان إلى طعامه”, ayat ini mengandung perintah agar kita selalu memperhatikan makanan yang kita makan, bukan saja ketika kita akan makan, akan tetapi kita juga harus memperhatikan proses penanaman, pengolahan, pengemasan, pengawetan dan pendistrbusian hingga sampai di meja makan kita.

Dan masih banyak lagi konsep-konsep pertanian, perkebunan dan peternakan yang disebut dalam al-Quran. Alhamdulillah, saya sudah ngerangkum. Teman teman yang ingin dan minat serius belajar pertanian dalam al-Quran bisa langsung menghubungi saya. Yang terakhir dari saya, ketika berdakwah dalam bidang ini lebih baik kita langsung terjun dalam bidangnya, maksudnya kita juga ikut praktek, insyaallah lebih cepat diterima oleh masyarakat sekitar.

Sekian oretan jempol ini saya ketik, dengan banyak kata yang tidak baku,  semoga bermanfaat dan bisa diamalkan. Salam dari saya Kholil Al-Bondos.(Menteri Pertanian 2030-2040)


Februari 23, 2018

,




Seandainya ditanya:
Sudah berapa tahun umurmu?,

dan apa saja yang kau peroleh selama itu?

Maka akan terucap beberapa jawaban yang berbeda, mungkin sebagian akan menjawabnya dengan nada rendah dan  rawut wajah sedih, karena selama dia hidup dan mampu berfikir, tak banyak yang dia perbuat dan peroleh. Ya…… mungkin dia habiskan waktu yang dimilikinya dengan hanya bersantai dan menikmati tipuan dunia ini, tanpa berfikir bahwa kelaklah kenikmatan yang sesungguhnya. Ya……. Mungkin saja dia tertipu oleh luasnya waktu yang dimilikinya, sehingga dia lupa bahwa waktu terus berjalan hingga pada akhirya waktu mempersempit ruang aktifitasnya sendiri.

Dalam model yang seperti inilah seseorang banyak tertipu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
عن ابن عباس – رضي الله عنهما – قال: قال رسول الله صلى الله وسلم : نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس الصحة والفراغ. (أخرجه البخاري)                                                                                                                                                           
“dua nikamat dimana seseorang banyak tertipu akanya, nikmat sehat dan waktu luang”

Waktu luang menjadikan seseorang berfikir, antara melakukan sesuatu dan membuat rencana hebat, atau hanya diam menikmati waktu tersebut dalam rangka mengistirahatkan fikiran dan tubuhnya, dan berfikir bahwa sebentar lagi akan datang waktu-waktu khusus; dimana mereka terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan yang dijadwalkan orang lain untuknya.

Sangat di sesalkan jika mereka hanya berdiam diri saja, dan tak ada hasil yang diperoleh, karena mungkin setelah waktu luang itu habis, mereka akan merasakan penyesalan sebagaimana kebanyakan orang pada umumya. Dan itulah ke”rugi”an sebagaimana dalam firman Alla SWT. pada awal surat Al ‘Ashr:
والعصر إن الإنسان لفي خسر
Banyak sekali penafsiran tentang ayat pertama pada surat Al ‘Ashr ini, namun ada hal yang paling mencolok untuk dikaitkan dengan “kerugian bagi mereka yang menyia-nyiakan waktu luangnya”, yaitu antara:  Qosam dengan lafadz Al- ‘Ashr dan lafadz al- Khusr pada ayat kedua setelahnya. Telah menjadi maklum, bahwa Al-‘Ashr(waktu ashar) adalah waktu yang menjadi akhir dari waktu siang, dan tahukah kita bahwa siang adalah waktu untuk bekerja dan beraktifitas? Ya…… tepat sekali……, dan tahukah kita, jika, kita memiliki waktu lowong di siang hari dan kita menyia-nyiakannya kita akan rugi dan tak mendapatkan apa-apa? Ya……….. tepat sekali……...mengapa demikian….?karena belum tentu kita bisa berbuat dan beraktifitas di malam hari, yang memang tercipta sebagai waktu beristirahat dan melepas lelah. Dan begitulah Allah SWT. menggambarkannya dalam surat al-Ashr, dimana seseorang yang menyia-nyiakan waktu luang pada akhirnya hanya akan meraskan penyesalan dan kerugian.

Namun, tak semua orang meyia-nyiakan waktu yang mereka punya. Kita tahu bahwa, Ulama’ terdahulu semasa hidupnya mereka habiskan untuk ilmu, semisal: mengarang kitab berjilid-jilid di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sejenak kita akan berfikir merenunginya, dan pada akhirnya kita takjub pada pencapaian mereka yang fenomenal dan tak mampu kita capai itu.

Mungkin kita akan bertanya-tanya akan kemampuan mereka itu, kita tahu bahwa pada masa mereka tidaklah dijumpai fasilitas modern untuk mengabadikan karya-karya yang hingga kini tak mampu kita baca secara tuntas, dan mungkin sepanjang hayat ini, kita tak mampu membacanya melainkan hanya sebagian saja. Namun, mereka mampu melakukannya di masa hidup yang sebentar itu, dan menjadikan nama mereka masih tetap di ingat hingga sekarang. Maha benar firman Allah SWT. dalam surat Al-Ashra ayat ke 3: yang

إلاالذين آمنواوعملوا الصالحات وتواصوب الحق وتوا صوب الصبر
 “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati agar  senantiasa mentaati kebenaran dan saling menasehati untuk selalu bersabar.”

Tidak ada yang tidak mungkin, selama waktu masih tersedia dan kita mampu memanfaatkannya dengan baik. Lampu merah di jalan raya yang hanya berdurasi 1 menit, akan terasa lama jika yang menuggunya menganggap itu adalah hambatan, dan akan terasa sebentar jika diabaikan, namun jika kita manfaatkan untuk berfikir meskipun sesaat saja, maka akan memberikan dampak yang besar di masa yang akan datang. Insya Allah.

Ini adalah bukti bahwa, tak ada waktu yang sedikit, melainkan akan memberikan manfaat yang besar bagi mereka yang memanfaatknnya, dan tak ada waktu yang luas, melainkan akan memberikan kerugian bagi mereka yang menyia-nyiaknnya.

Oleh: Moch. Sholeh

Follow Us @soratemplates