Juli 24, 2018

,






Dimanakah Allah ?
Oleh : M. Abdul Malikul Ngibad


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Sempurna, segala puja dan syukur tetap untuk-Nya. Sholawat beserta salam selalu tercurahkan kepada insan pilihan, Rasulullah Muhammad Saw. Alhamdulillah atas segala nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada kita, sehingga kita dapat beraktivitas seperti sekarang ini dalam keadaan sehat sentosa.

Seiring berjalannya waktu, berjalan pula umur kita, berjalan pula sebuah zaman, dengan artian, zaman ini akan segera berakhir, dan mendekati kehancuran. Seperti yang banyak kita temui, akhir-akhir ini masih banyak orang yang bertanya tanya tentang keberadaan Allah SWT. Seperti pertanyaan yang pasti akan kita dengar dari bibir mungil anak-anak kita kelak, “Umi, abi, dimanakah Allah?”, bagaimana jawaban yg tepat untuk mereka? Kita dapat menjawab dengan bahasa yang mudah dipahami bahwa Allah SWT itu tidak seperti apa apa, dan tidak sama dengan siapa-siapa dan apa apa, seperti yang telah difirmankan dalam kitab-Nya :
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير(الشورى : 11)
 Lalu, ketika umurnya sudah beranjak remaja, jelaskan pula bahwa tidak baik bahkan tidak boleh membayangkan Dzat Allah SWT khususnya keadaan dan bentuk dari Allah SWT. Karena ini merupakan sesuatu yang amat bahaya bagi iman kita, karena dianggap menyamakan Allah dengan mahluk-Nya. Selanjutnya jelaskan pula bahwa wujud Allah itu bisa kita rasakan melalui kekuasaan Allah dan tanda tanda Keagungan-Nya. Agar bertambah kadar keimanan kita terhadap Sang Khaliq.

            Adapun mengenai pertanyaan pertanyaan lain tentang haiah atau kondisi Allah sendiri, maka kita terangkan bahwa Allah bersifat :
واجب الوجود لايجوز عليه العدم
“Allah itu pasti ada dan tidak mungkin tidak ada “ 

وأن الغير ليس مؤثرا في وجوده تعالى, فلايعقل أن يؤثر في وجوده و صفاته الزمان و المكان

“Sesungguhnya segala jenis perubahan tidak berpengaruh terhadap wujud Allah  SWT. maka mustahil berubahnya waktu dan tempat mempengaruhi wujud Allah SWT

Bahkan, pertanyaan seperti diatas sesungguhnya kurang pantas diajukan, karena pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat ataupun waktu itu adalah sesuatu yang baru (hadistah), dan sesuatu yang baru adalah mahluk. Seperti langit, jika muncul pertanyaan “dimanakah langit?” jika dilihat dari sudut pandang manusia, maka jelas, bahwa langit itu diatas. Tetapi, jika dilihat dari sudut pandang langit itu sendiri, maka ia tetap ada dibawah, karena masih ada banyak sesuatu diatasnya.

            Para muslim dan mukmin, meyakini bahwa Allah SWT. itu Qaadim atau Dahulu, dengan artian dahulu yang tidak ada permulaannya atau dalam bahasa turatsnya
 هو عدم الأولية للوجود
Seperti dalam firman-Nya surat Al Hadid ayat 3  هو الأول dan seperti yang dikatakan baginda Nabi SAW:
 أنت الأول فليس قبلك شيء

Makna kalimat awwal disini adalah tidak ada sesuatu sebelumNya ataupun adanya sesuatu yang muncul bersamaan dengan-Nya. Dan sifat Qaadim Allah  juga termasukمخالفة الحوادث  dengan artian berbeda dengan mahluk secara keseluruhan sebagaimana yang telah disebutkan pada surat As Syuro ayat sebelas diatas dan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b :

يامحمد انسب لنا ربك فأنزل الله عز وجل (قل هو الله أحد, الله الصمد) قال : الصمد الذي (لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد) لأنه ليس شيء يولد إلا سيموت وليس شيء يموت إلا سيورث وأن الله لايموت ولايورث (ولم يكن له كفوا أحد) قال : لم يكن له شبيه ولا عدل و ليس كمثله شيء

Maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Allah SWT tidak boleh disamakan dan disifatkan dengan suatu keadaan (sifat mahluk). Dan jika ada pertanyaan yang berkaitan dengan sifat dzat Allah SWT, maka pertanyaan tersebut adalah salah, karena dimana dan bagaimanapun sifat makhluk hanya pantas disandingkan kepada makhluk itu sendiri.

            Semoga apa yang kami tuliskan menjadikan pedoman dan tambahan wawasan bagi kami khususnya dan kepada pembaca sekalian umumnya, dan semoga menjadi manfaat bagi kita semua.

*Sumber dan referensi : Kitab Fatawa An-Nisaa Karangan Maulana Syeikh Nuruddin Ali Jum’ah

والله أعلم بالصواب

Juli 21, 2018

,














Amr bin Ash merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang telah memberikan sumbangsih begitu besar bagi penyebaran islam. Di tangannya, Negeri tempat peradaban purba dunia (Mesir) dapat ditaklukkan oleh Umat islam. Ide penaklukan Mesir yang saat itu dikuasai Imperium Romawi muncul dari benak Amr bin Ash setelah umat islam berhasil menaklukan Baitul Maqdis pada tahun ke 15 H. Dia kemudian menyampaikan ide itu ke Amirul Mukminin (Umar bin khattab). Awalnya Umar bimbang atas Ide itu karena khawatir pengaruh  Islam tidak kuat di negeri-negeri yang telah ditaklukan, seperti Syam. Tetapi karena Amr bin Ash terus mendesak Umar dengan memberikan pertimbangan Mesir adalah Negeri yang subur dan sangat strategis bagi perkembangan Islam, akhirnya Umar menyetujui ide itu dan berangkatlah Amr bin Ash bersama 4000 tentara.

***

Armanusah, adalah putri dari Muqauqis, raja Mesir waktu itu. Pasalnya, sang putri dengan ditemani Maria dan segenap pasukan pengawal sedang melakukan perjalanan menuju Qaisyariah untuk diserahkan sebagai mempelai wanita terhadap tunangannya yaitu Qastantin bin Heraklius, salah satu putera Raja Romawi saat itu. Maria adalah pelayan sekaligus teman sang putri, perempuan keturunan bangsa Yunani yang dihadiahkan oleh Muqauqish untuknya. Konon, menjadi sempurna kecantikannya saat aura kecantikan Yunani tercampur dengan aura kecantikan Mesir. Dan keduanya sama-sama penyair.

Di Bilbis tepatnya, salah satu kota kuno di pinggiran Mesir bagian Utara, di sanalah Rombongan Amr bin Ash bertemu dengan rombongan sang putri dan terjadilah peperangan disana.  Akhirnya pasukan islam menang dan sang putri pun menjadi bagian dari tahanan. Namun, sebagai penghormatan terhadap Muqauqish, sang puteri dibebaskan dan dikirimkan kepada ayahnya.

Di perjalanan pulang, disanalah awal kekaguman sang puteri Armanusyah terhadap islam dan Amr bin Ash khususnya. Terjadilah bincang-bincang kecil antara puteri Armanusyah dan Maria:

“kenapa engkau bersedih wahai Maria? Saya lihat mereka bukanlah perompak seperti Romawi, mereka berperang hanya untuk menciptakan kedamaian dan keadilan bagi semua kalangan. Di Dunia ini, adakalanya sebuah kebaikan tidak bisa terwujud kecuali  dengan kekerasan dan penaklukkan  karena setelah menaklukkan, mereka bisa mengatur dunia dengan keadilan. Lihatlah, mereka menaklukan dunia dengan pedang dan akhlak, pedang mereka adalah budi pekerti mereka untuk menegakkan haq dan membasmi kebatilan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkn wahai Maria, mereka bukanlah orang-orang Romawi yang hanya mengerti dunia dengan harga, entah itu halal atau haram layaknya hewan”. Ungkap sang puteri terhadap temannya Maria yang sedang menangis dalam tenda tahanan.

“ Demi ayahmu wahai puteri Armanusyah, ini sungguh menakjubkan! Sokrates, Plato, Aristoteles dan semua ahli hikmah dan filosof kita, mereka semua telah mati. Dan mereka tidak bisa mendidik, membangun dunia dengan Hikmah atau Filsafat mereka kecuali dengan apa yang telah mereka tulis. Bahkan tulisan mereka pun tidak merubah peradaban secara universal, tapi hanya  membuat peradaban di sebagian kalangan mereka sendiri, tidak seperti halnya mereka muslimin. Bagaimana bisa Nabi mereka, Muhammad dengan tenggang waktu yang secepat ini mampu menciptakan peradaban baru yang penuh dengan kemajuan dan kejayaan, sedangkan dia hanyalah seorang Ummi (tidak bisa membaca dan menulis), tidak pernah belajar membaca dan menempuh pendidikan?”. Kata Maria mulai tenang.

“ kenapa kita seolah sedang berada di pihak Amr bin Ash dan masuk pada agamanya ya?”. Tambah Maria lagi, dan membuat mereka tertawa  lepas kemudian.

“ Ajaran dan Iman mereka telah membuat mereka yang hanya ribuan seakan ratusan ribu untuk melawan pasukan Romawi yang jumlahnya puluhan kali lipat dari mereka. Sungguh ini adalah sirrun ilahiyun yang tak bisa diterima akal “. Gumam sang puteri.

“ aku tidak pernah merasa seaman ini menjadi tahanan, bahkan tadi saat engkau memintaku mengirimkan surat kepada pimpinan mereka, Amr bin Ash untuk memerintahkan sebagian pasukannya mengawal kita kembali pulang”

“ lalu bagaimana menurutnya, apa katanya? “. Potong Armanusyah.
“ sungguh dia bersikap sebagai laki-lai yang sangat mengagumkan. Dua hal yang menuntutnya bersikap seperti itu; kemuliaan dan agamanya. Dan dia juga berkata: “katakanlah pada sang puteri, Nabi kita bersabda: perlakukanlah orang-orang Qibthi Mesir dengan baik, sesungguhnya mereka dalam lindungan kita”. Dan dia juga berkata: “katakan pada sang puteri, kita disini bukan bandit untuk merompak, tapi kita sebagai solusi menuju perubahan dan peradaban”. Jelas Maria.

“ jelaskan padaku seperti apa sosok Amr bin Ash itu wahai Maria”. sifat kewanitaannya mulai menguasainya.

“ saat itu dia sedang berada ditengah-tengah pasukan yang menunggangi kuda-kuda pilihan. Melihat mereka bagaikan melihat setan-setan yang ditunggangi setan dalam jenis yang lain. Saat aku sedang mencarinya, seorang yang menurutku itu adalah seorang penerjemah menunjukkannya padaku. Pada saat itu aku melihatnya sedang berada diatas kuda hitamnya, kuda kuwait pilihan, gagah perkasa, kekar dan panjang lehernya, terdapat poni- poni menawan dibagian kepalanya seperti poni gadis-gadis Romawi, mendengus, berjingkrak-jingkrak dengan gagah seakan kuda itu ingin mengatakan sesuatu.....”

“ aku tidak bertanya tentang kudanya!” potong sang puteri..
“ oh iya, kalau senjatanya...”
“ bukan juga tentang senjatanya, cukup jelaskan seperti apa orangnya, perawakannya, dan postur tubuhnya!!” potong puteri Armanusyah lagi merasa jengkel dengaan penjelasan Maria yang dianggap sedang menggodanya.

“ dia tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, badannya tegap mencerminkan kekuatan dan kegagahannya. Kepalanya besar menunjukkan kecerdasaanya, dahinya lapang menunjukkan kecekatannya, dan kedua bola matanya hitam pekat.....”

“ menunjukkan apa??” potong sang puteri sambil tertawa.
“ raut mukanya bersinar seperti mutiara terkena cahaya. Tatapannya tajam seakan kedua matanya tak pernah berhenti berkata-kata pada setiap mata yang memandangnya. Keningnya yang lebar tertulis disana kejeniusan pemikirannya. Dan bahasa wajahnya...” maria terdiam sejenak. “ setiap kali saya memandangnya tak ada yang bisa saya simpulkan dari bahasa tersebut, kecuali keinginan untuk memandangnya berkali-kali lagi “. Lanjut Maria kemudian, lalu mereka sama-sama terdiam seribu bahasa, membiarkan khayalan dalam menggambarkannya bergelut manja dengan perasaannya. Entah sengaja atau tidak, tiba tiba puteri Armanusyah bergumam: “begitulah Maria, beberapa hal di dunia ini kadang memang  tidak bisa di ekspresikan dengan kata dan terhadap jiwa kecuali ingin mengulanginya berkali-kali lagi, salah satunya adalah rasa nyaman itu”

“ Demi Tuhan, betapa yang kau katakan itu sangatlah benar. Sungguh aku tidak bisa memuaskan mataku dari memandangnya, keterlenaanku hampir membuatku berpikir dia bukanlah manusia. Dan teduh muka itu... terpancar kewibawaan yang luar biasa. Itulah yang membuatku tak bisa puas dengan sekali memandangnya.” Lirih Maria memejamkan mata.

“ kewibawaannya, apa kedua bola matanya yang hitam pekat itu?. Goda sang puteri  sambil tersenyum dan terbalas senyum. Sipu...

Bersambung.....

Oleh: Ach. Mahfud

Juli 20, 2018

,




Manusia dan Gemerlap Dunia

وللهِ إكمالُ الصّفاتِ تكامُلاً {÷} إلهٌ هو الرّحمنُ كُنْ مُتورِّعًا

درَيْنا هَوى الدّنيا ففيها شوائِبُ {÷} لواعيِّها وما كان مُقنّعًا

وفيها الفناءُ والنقائِصُ قبْضَةً {÷} كما حلّنا النِّسيانُ كان طبائِعًا

ولا يسقِطَن من كان يزْرحُ خطْبه {÷} على الجُحْر والوادي فكان تتابُعا

بحرالطويل ~ فعولن مفاعيلن أربع مرات

"Kesempurnaan hanyalah hak prerogatif AlLah swt. semata, Zat yang maha pengasih lagi maha penyayang. Maka jadilah engkau sebagai ahli wara'!"

"Jika kita renungkan, rugilah orang yang terbuai mencintai dunia. Ia hanya akan membuat seseorang tampak semakin rakus dan lapar."

"Dunia hanyalah ladang kehancuran dan penuh kekurangan. Sebagaimana tabiat manusia, tempat salah dan lupa."

"Tetapi, tidaklah boleh baginya terperosok pada satu jurang, untuk yang kedua atau yang kesekian kalinya (baca: keledai)"


Pelajar Rantau

سافَرْت مِنْ موْطِنٍ قِيل لَه العامِرُ {} بُعدًا عَنِ الأهلِ وَالأصْحابِ كلِّهمِ

ليَ العَزائمُ والرَّجاةُ أمْسِكُها {} كطالبِ العلمِ والتّبَرُّك الدَّائمِ

مافي العُقُول لِذي عقلٍ وذيْ نظرِ {} لفاقِدِ الشّيْءِ أنْ يَحْباه بالمُحْكَمِ

~ بحرالبسيط ~ مستفعلن فاعلن ثمان مرات

"Aku pergi jauh merantau, meninggalkan sanak kelurga dan para sahabat."

"Bagiku adalah tekad dan harapan sebagai prinsip, bak seorang pelajar yang senantiasa mengharap limpahan berkah."

"Karena tidaklah mungkin, bagi orang yang tidak memiliki sesuatu, akan memberikan sesuatu itu pula (secara otentik)."


Sajak Kaula Muda


أهلُ الشَّبابِ ذَوُوْ العزائم واعْتَنُوْا # بأمورٍ ما يسْتقْبِلون وأحْسَنوا

كمُكافِحٍ صَدْر الحماسةِ يجْهدُ # فسوى غرام الأجنبي يقْطنُ

فتَجانبوا غزْلَ الحُدودِ الجامِد # في سُحْنةٍ لقِراءةِ الدَّرْسِ اقْرِنُوا

~ بحرالكامل ~ متفاعلن ست مرات

"Para pemuda adalah mereka yang bercita-cita dan bertanggung jawab terhadap masa depannya."

"Penuh semangat sebagai pejuang dan bukan hanya sibuk dengan asmara  (baper-baperan)."

"Wahai para pemuda, jauhilah jenis pacaran! Namun selagi masih sempat, gunakanlah untuk hal bacaan."

A. Bas Salim (Mahasiswa Fakultas Lughah Arabiah Al-Azhar Kairo-Mesir)

Juli 19, 2018

,













Gombal adalah salah satu jurus terampuh seorang pria untuk menaklukkan hati wanita yang dicintainya. Tidak sedikit wanita yang terkena sihir maut dari rayuan gombal yang didayukan kepadanya. Kalau kita melihat di KBBI, kata kunci ‘Gombal’ memiliki dua arti:

 pertama, kain yang sudah tua (sobek-sobek) dan yang kedua, adalah bohong; omong kosong. Tentu, yang akan penulis bahas disini adalah makna yang kedua, yaitu gombal yang bermakna perkataan yang tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya. Lalu bagaimanakah tinjauan syariah terhadap kata-kata gombal ini? Apakah ada dalil yang membolehkan? Jika iya, apakah hukum kebolehan ini umum untuk semua orang tanpa terkecuali, dalam artian semua orang boleh melakukannya, atau hukum kebolehan ini hanya dikhusukan kepada orang-orang tertentu?

Islam adalah agama yang syāmil. Ia mencover seluruh masalah-masalah yang manusia hadapi di dalam kehidupan mereka. Tidak ada satu masalahpun yang luput dari ruang lingkup bahasan agama samawi ini. Bahkan terhadap masalah yang kelihatanya kecil (sepele) yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang tapi tidak banyak yang menyadari bahwa Islam ternyata juga dengan manhajnya yang mutakāmil telah membahasnya dengan rapi.

Didalam sebuah hadist Rasulullah saw bersabda: Semua perkataan dusta akan ditulis sebagai keburukan kecuali dalam tiga keadaan: Pertama, kebohongan yang dilakukan oleh seorang tentara perang yang ditawan musuh untuk menyembunyikan strategi rahasia-rahasia pasukannya yang diketahuinya. Kedua, kebohongan yang dilakukan seorang untuk mendamaikan dua kubu yang berseteruh. Ketiga, kebohongan yang dilakukan seorang suami untuk menyenangkan hati isterinya.(HR. al-Thabrani).

Lebih lanjut di dalam kitab ihyā’ ‘ulûm al-dîn yang ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali disebutkan: Suatu ketika Sayyidina Umar ra marah kepada isteri dari Ibn Abi Udzrah al-Du’ali dikarenakan ia mengatakan dengan berterus terang kepada suaminya bahwa ia tidak mencintainya. Lalu perempuan ini bertanya heran kepada Sayyidina Umar. “Apakah saya akan menjawabnya dengan kebohongan ketika ia bertanya kepadaku wahai amîr al-mu’minîn?” kemudian Umar berkata “Iya, berbohonglah. Ketika salah satu diantara kalian (para isteri) tidak mencintai suami kalian, maka janganlah kalian mengungkapkannya, karena rumah tangga yang mengantarkan kepada kebahagiaan adalah rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta dibawah naungan Islam.

Dari hadis diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa model kebohongan yang diperbolehkan. Diantaranya (yang berkaitan dengan bahasan kita kali ini) adalah kebohongan (atau boleh kita mengistilahkannya dengan kegombalan, karena pada dasarnya makna dari kata gombal itu sendiri –seperti yang penulis singgung diatas– adalah kebohongan) seorang suami kepada isteri tercintanya dengan tujuan membuat hatinya senang penuh dengan kegembiraan ketika mendengarnya. Maka seorang suami diperbolehkan mengeluarkan kata-kata manis bernada gombal untuk membuat suasana romantisme pasangan suami isteri lebih indah dengan berlandaskan dalil dari hadis diatas.

Namun, perlu digaris bawahi bahwa kebolehan diatas tidak menyeluruh kepada semua orang. Disitu ada batasan (qayyid) yaitu hanya diperuntukkan kepada pasangan suami isteri dan tidak diperbolehkan untuk kalangan muda-mudi untuk mempraktekkan ini di dalam hubungan mereka yang belum sah. Nah solusinya untuk bisa boleh yaitu dengan mengikat hubungan tersebut dengan tali pernikahan. Dengan demikian ketika sudah sah menjadi pasutri (pasangan suami isteri) maka ia (isteri atau suami) boleh menggombali pasangannya bahkan dengan kata-kata yang tidak sebenarnya.

Oleh: Kholil Zd

Juli 18, 2018

,




Nikah merupakan suatu kegiatan sakeral atau dianggap sakeral oleh kebanyakan umat manusia, baik dari kalangan umat islam sendiri atau diluar islam sekalipun. Banyak diantara kelompak-kelompok yang bahkan ekstim menanggapi aktualisasi nikah, baik secara adat istiadat maupun sosio-relegius. Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta. Mereka yang fanatik menganggap bahwa pernikahan antara kedua belah pihak yakni mempelai laki-laki dan perempuan harus terdiri dari satu suku, kasta, warna atau wangsa. dan ini merupakan harga mati yang tidak boleh ditolerin apalagi dipereteli.  

Dalam tanda kutip, seandainya antara masing-masing keduanya beda kasta, namun terpaksa dinikahkan karena berangkat dari rasa cinta antar keduanya, maka bisa jadi keduanya sama-sama disingkirkan atau lebih frontalnya diusir dari tempat asalnya atau bahkan kadang-kadang ada yang sampai dibunuh, tergantung dengan pimpinan atau tokoh adat di daerah tersebut. Mereka berspekulasi bahwa orang yang tetap memaksakan pernikahan beda kasta, maka berarti dia sudah layak mendapatkan hukuman apapun saja sebagai tebusan atas kedurhakaannya, kemaksiatannya dan tebusan terhadap timbulnya berbagai bencana yang akan menimpa diantara kedua kasta tersebut. Istilah kasta, warna dan wangsa itu sebenarnya muncul dari agama hindu yang secara status sosial atau garis keturunan mereka terpetakkan menjadi empat kasta:

a.  Brahmana, termasuk kasta tertinggi dari pada kelompok yang lain. Karena kelompok ini merupakan  kumpulan dari sebagian umat hindu yang secara kualitas kerohanian atau sepritual mereka termasuk kalangan yang ahli, kompeten dan konsisten dalam ajarannya.

b. Ksatria, adalah suatu kasta yang berposisi sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional. Karena kasta ini merupakan himpunan dari keturunan raja-raja pada zaman kerajaan terdahulu.

c.  Waisya, merupakan kumpulan dari keturunan abdi-abdi kepercayaan dan perajurit raja-raja yang masih setia melayani dan menjaga keluarga kerajaan.

d. Sudra, adalah kasta yang moyoritas dimiliki oleh umat hindu, akan tetapi kasta ini merupakan kasta terendah. Namun, sekalipun dari segi status sosial kasta ini bisa dibilang kasta terendah, bisa saja kasta ini melonjak ke kasta yang ada di atasnya bahkan paling atas, tergantung dengan kemampuan mereka dalam bertranformasi.

Ironisnya, seiring berjalannya waktu entah kenapa atau bagaimana mereka orang hindu malah tidak melegitimasi adanya nikah kasta itu bersumber dari ajarannya. Lebih parahnya lagi, mereka malah menuduh dan menuding bahwa polemik beda kasta tersebut itu muncul dari luar ajarannya, dan mereka hanya terhegemoni saja. Padahal secara faktual, merekalah yang sudah mempengaruhi umat lain terlebih-lebih umat islam dalam genre adat istiadatnya, termasuk diantaranya nikah beda kasta. Sehingga implikasi dari keterpengaruhan ini,  banyak dari kalangan umat islam sendiri yang percaya dan meyakini terhadap mitos usang belaka tersebut. Terlepas dari berbagai pandangan mengenai hal tersebut, islam mempunyai pandangan yang berbeda, baik secara sudut pandang historis, fikih, tasawwuf dan lain sebagainya. Penulis akan mengusung sebuah hadits yang mungkin ada erat kaitannya dengan masalah tersebut:

تُنكَح المرأةُ لأربعٍ: لمالها، ولحسبِها، ولجمالها، ولدينها، فاظفرْ بذات الدين تَربتْ يداك

 “Wanita dinikahi karena empat faktor; hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan keagamaannya. Carilah wanita yang memiliki keagamaan kuat, kau akan rugi jika tidak mendapatkannya(HR. Imam Muslim)

Dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa nikah itu bebas memilih pasangan dari suku, ras atau kasta manapun saja, yang penting antara keduanya mempunyai ideologi dan tuhan yang sama. Dan sebaiknya, memilih perempuan itu berdasarkan agamanya, bukan yang lainnya. Hal ini senada dengan perkataan Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Syarah Minhajnya “jika sifat pada diri seorang perempuan bertentangan, maka jelas secara mutlak yang harus dikedepankan adalah menyangkut keagamaannya, kemudiann akal dan perangainya, kelahirannya, nasabnya, keperawanannya, kemudian kecantikannya  serta kemaslahatannya”.

Jadi, stigma sebagian masyarakat yang seakan-akan diskriminatif menanggapi pernikahan beda kasta itu merupakan asumsi yang bisa dikatakan salah kuadrat. Karena, dampak dari pernikahan beda kasta itu menurut hemat penulis hanya isapan jempol belaka yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kevaliditasannya. Terbukti, banyak pernikahan beda kasta atau suku yang ternyata pasangan tersebut baik-baik saja, bahkan banyak yg hidupnya lebih harmonis dan romantis dari pada yang satu suku atau satu kasta. Mialnya; Suku Madura dengan suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, minang maupun yang lainnya. Selain itu, mungkin dampak yang selalu dihubung-hubungkan dengan pernikahan beda kasta yang berjalan sampai sekarang memang terbukti adanya pada masa silam, tapi itu hanya sabagian dan kebetulan saja. Namun, karena yang menetapkan peraturan itu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani pada daerah tersebut, makanya oleh masyarakat yang lain diyakini dan diikuti, sekalipun itu semua bukan ketetapan dari tuhan mereka. Padahal, yang kita tahu masalah pembuatan dan penetapan hukum dari suatu ajaran agama manapun adalah hak otoritas dan prerogatif tuhan mereka masing-masing.

                Kesalah kapraan pernikahan “harus satu suku” menurut penulis hanya akan membuat masyarakat merasa terkekang dan terkesan kurang bebas, karena pada dasarnya selera orang itu berbeda-beda, bisa jadi  selera seseorng dari suku tertentu ada pada suku yang lain, dan bisa jadi pula seseorang dari suku tertentu tidak kunjung mendapatkan pasangan dari suku yang sama sampai dia tua bahkan sampai dia meninggalpun tidak kunjung mendapatkannya, karena mungkin Allah menjodohkan dia dengan seseorang yang berada di suku yang lain. Secara yurisprudensipun tidak ada istilah beda kasta, suku, ras, dan lain sebagainya, semuanya sama. Begitu pula manusia secara historis kejadiannya, semuanya diciptakan dari tanah liat, sampai dengan nenek moyang kita yakni Adam dan Hawa itu sama. Intinya, pernikahan blaster atau disebut dengan beda warna dan semacamnya itu sangat dilegalkan dalam kacamata islam. Dan seandainya penulis boleh mengusulkan suatu pendapat, pernikahan balster itu tidak hanya dilegalkan saja akan tetapi sunnah, karena orang yang  berkasta bawah akan merasa senang dan bahagia, ketika akan disunting oleh orang yang berkasta tinggi. Coba kita lihat surat al Hujuraat ayat 13 berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Hai Manusia! sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa 
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal." 

Dari sekulimit ayat ini saja sudah jelas bahwa sanya Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal antara satu sama lainnya, bukan saling jaga jarak apalagi disintegrasi sosial. Karena yang membedakan manusia antara satu dengan lainnya, bukan karena suku atau semacamnya, tapi yang membedakan adalah urusan agamanya yaitu ketaqwaannya kepada allah. Seandainya perbedaan suku ini tetap dilanjutkan sampai sekarang, maka besar kemungkinan perbedaan suku tersebut akan semakin mengakar, adu gengsi semakin kasar dan bahkan bisa terjadi kerusuhan. Husein Haikal mengatakan: persamaan suku ini perlu ditonjolkan, mengingat masyarakat Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kabilah (suku bangsa). Setiap kabilah selalu membanggakan ‘ashabiyah (fanatisme yang tinggi terhadap keluarga, kesukuan, dan golongan) dan nasab (asal keturunan) mereka masing-masing, sehingga tidak mengherankan jika kehidupan komunitas tersebut selalu diwarnai dengan pertentangan, pertikaian politik, dan konflik sosial.

                 Ayolah kita mulai dari sekarang belajar berfikir secara realis dan idealis, tidak hanya asal percaya pada mitos-mitos usang belaka saja. Berjuanglah untuk menggapai cita-cita mulia, karena mungkin itulah yang akan membuat cita-cita tercipta. Tempuhlah pendidikan kemanapun saja, yang penting satu jalan dan satu tujuan. Ikhlaskanlah raga dan jiwa kita untuk mendapatkannya, sekalipun harus berjibaku dengan susah payah serta bertumpang-tindih dengan rasa risih dan letih. Bersabarlah menghadapi proses, karena proses itulah yang akan menentukan hasil baik atau tidaknya kita. Maka dari itu berproseslah dengan baik tanpa memikirkan hasil, karena proses tidak mungkin membohongi hasil. Selamat berproses dan semoga sukses. Amien



 Oleh: Zainul Muttaqin





Follow Us @soratemplates