Nikah merupakan suatu kegiatan sakeral
atau dianggap sakeral oleh kebanyakan umat manusia, baik dari kalangan umat
islam sendiri atau diluar islam sekalipun. Banyak diantara kelompak-kelompok
yang bahkan ekstim menanggapi aktualisasi nikah, baik secara adat istiadat
maupun sosio-relegius. Saat ini masalah
kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik
dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli
masalah kasta. Mereka yang fanatik menganggap bahwa pernikahan antara kedua
belah pihak yakni mempelai laki-laki dan perempuan harus terdiri dari satu suku,
kasta, warna atau wangsa. dan ini merupakan harga mati yang tidak boleh
ditolerin apalagi dipereteli.
Dalam
tanda kutip, seandainya antara masing-masing keduanya beda kasta, namun
terpaksa dinikahkan karena berangkat dari rasa cinta antar keduanya, maka bisa
jadi keduanya sama-sama disingkirkan atau lebih frontalnya diusir dari tempat asalnya
atau bahkan kadang-kadang ada yang sampai dibunuh, tergantung dengan pimpinan
atau tokoh adat di daerah tersebut. Mereka berspekulasi bahwa orang yang tetap
memaksakan pernikahan beda kasta, maka berarti dia sudah layak mendapatkan
hukuman apapun saja sebagai tebusan atas kedurhakaannya, kemaksiatannya dan tebusan
terhadap timbulnya berbagai bencana yang akan menimpa diantara kedua kasta
tersebut. Istilah kasta, warna dan wangsa itu sebenarnya muncul dari agama
hindu yang secara status sosial atau garis keturunan mereka terpetakkan menjadi
empat kasta:
a. Brahmana, termasuk kasta tertinggi dari pada kelompok yang lain.
Karena kelompok ini merupakan kumpulan
dari sebagian umat hindu yang secara kualitas kerohanian atau sepritual mereka
termasuk kalangan yang ahli, kompeten dan konsisten dalam ajarannya.
b. Ksatria, adalah suatu kasta yang berposisi sangat penting dalam
pemerintahan dan politik tradisional. Karena kasta ini merupakan himpunan dari
keturunan raja-raja pada zaman kerajaan terdahulu.
c. Waisya, merupakan kumpulan dari keturunan abdi-abdi kepercayaan
dan perajurit raja-raja yang masih setia melayani dan menjaga keluarga kerajaan.
d. Sudra, adalah kasta yang moyoritas dimiliki oleh umat hindu, akan
tetapi kasta ini merupakan kasta terendah. Namun, sekalipun dari segi status
sosial kasta ini bisa dibilang kasta terendah, bisa saja kasta ini melonjak ke
kasta yang ada di atasnya bahkan paling atas, tergantung dengan kemampuan
mereka dalam bertranformasi.
Ironisnya, seiring berjalannya waktu entah kenapa atau bagaimana
mereka orang hindu malah tidak melegitimasi adanya nikah kasta itu bersumber
dari ajarannya. Lebih parahnya lagi, mereka malah menuduh dan menuding bahwa
polemik beda kasta tersebut itu muncul dari luar ajarannya, dan mereka hanya
terhegemoni saja. Padahal secara faktual, merekalah yang sudah mempengaruhi umat
lain terlebih-lebih umat islam dalam genre adat istiadatnya, termasuk
diantaranya nikah beda kasta. Sehingga implikasi dari keterpengaruhan ini, banyak dari kalangan umat islam sendiri yang percaya
dan meyakini terhadap mitos usang belaka tersebut. Terlepas dari berbagai
pandangan mengenai hal tersebut, islam mempunyai pandangan yang berbeda, baik
secara sudut pandang historis, fikih, tasawwuf dan lain sebagainya. Penulis
akan mengusung sebuah hadits yang mungkin ada erat kaitannya dengan masalah
tersebut:
تُنكَح المرأةُ لأربعٍ: لمالها، ولحسبِها،
ولجمالها، ولدينها، فاظفرْ بذات الدين تَربتْ يداك
“Wanita dinikahi karena empat faktor; hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan keagamaannya. Carilah wanita yang memiliki
keagamaan kuat, kau akan rugi jika tidak mendapatkannya(HR. Imam Muslim)
Dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa nikah itu bebas memilih
pasangan dari suku, ras atau kasta manapun saja, yang penting antara keduanya
mempunyai ideologi dan tuhan yang
sama.
Dan sebaiknya, memilih perempuan itu berdasarkan agamanya, bukan yang lainnya.
Hal ini senada dengan perkataan Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Syarah
Minhajnya “jika sifat pada diri seorang perempuan bertentangan, maka jelas
secara mutlak yang harus dikedepankan adalah menyangkut keagamaannya, kemudiann
akal dan perangainya, kelahirannya, nasabnya, keperawanannya, kemudian kecantikannya
serta kemaslahatannya”.
Jadi,
stigma sebagian masyarakat yang seakan-akan diskriminatif menanggapi pernikahan beda kasta itu merupakan
asumsi yang bisa dikatakan salah kuadrat. Karena, dampak dari pernikahan beda kasta itu menurut hemat penulis
hanya isapan jempol belaka yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kevaliditasannya. Terbukti,
banyak pernikahan beda kasta atau suku yang ternyata pasangan tersebut
baik-baik saja, bahkan banyak yg hidupnya lebih harmonis dan romantis dari pada
yang satu suku atau satu kasta. Mialnya; Suku Madura dengan suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, minang maupun yang lainnya. Selain itu, mungkin dampak yang
selalu dihubung-hubungkan dengan pernikahan beda kasta yang berjalan sampai
sekarang memang terbukti adanya pada masa silam, tapi itu hanya sabagian dan kebetulan
saja. Namun, karena yang menetapkan peraturan itu adalah tokoh masyarakat yang
sangat disegani pada daerah tersebut, makanya oleh masyarakat yang lain
diyakini dan diikuti, sekalipun itu semua bukan ketetapan dari tuhan mereka.
Padahal, yang kita tahu masalah pembuatan dan penetapan hukum dari suatu ajaran
agama manapun adalah hak otoritas dan prerogatif tuhan mereka masing-masing.
Kesalah
kapraan pernikahan “harus satu suku” menurut penulis hanya akan membuat
masyarakat merasa terkekang dan terkesan kurang bebas, karena pada dasarnya
selera orang itu berbeda-beda, bisa jadi
selera seseorng dari suku tertentu ada pada suku yang lain, dan bisa
jadi pula seseorang dari suku tertentu tidak kunjung mendapatkan pasangan dari
suku yang sama sampai dia tua bahkan sampai dia meninggalpun tidak kunjung
mendapatkannya, karena mungkin Allah menjodohkan dia dengan seseorang yang
berada di suku yang lain. Secara yurisprudensipun tidak ada istilah beda kasta,
suku, ras, dan lain sebagainya, semuanya sama. Begitu pula manusia secara
historis kejadiannya, semuanya diciptakan dari tanah liat, sampai dengan nenek
moyang kita yakni Adam dan Hawa itu sama. Intinya,
pernikahan blaster atau disebut dengan beda warna dan semacamnya itu sangat
dilegalkan dalam kacamata islam. Dan seandainya penulis boleh mengusulkan
suatu pendapat, pernikahan balster itu tidak hanya dilegalkan saja akan tetapi
sunnah, karena orang yang berkasta bawah
akan merasa senang dan bahagia, ketika akan disunting oleh orang yang berkasta
tinggi. Coba kita lihat surat al Hujuraat ayat 13 berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai Manusia!
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling takwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal."
Dari sekulimit ayat ini saja sudah jelas bahwa
sanya Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling
mengenal antara satu sama lainnya, bukan saling jaga jarak apalagi disintegrasi
sosial. Karena yang membedakan manusia antara satu dengan lainnya, bukan karena
suku atau semacamnya, tapi yang membedakan adalah urusan agamanya yaitu ketaqwaannya
kepada allah. Seandainya perbedaan suku ini tetap dilanjutkan sampai sekarang,
maka besar kemungkinan perbedaan suku tersebut akan semakin mengakar, adu
gengsi semakin kasar dan bahkan bisa terjadi kerusuhan. Husein
Haikal mengatakan: persamaan suku ini
perlu ditonjolkan, mengingat masyarakat Arab sebelum Islam adalah masyarakat
yang terdiri dari berbagai kabilah (suku bangsa). Setiap kabilah selalu
membanggakan ‘ashabiyah (fanatisme yang tinggi terhadap keluarga,
kesukuan, dan golongan) dan nasab (asal keturunan) mereka masing-masing,
sehingga tidak mengherankan jika kehidupan komunitas tersebut selalu diwarnai
dengan pertentangan, pertikaian politik, dan konflik sosial.
Ayolah kita mulai dari sekarang belajar berfikir
secara realis dan idealis, tidak hanya asal percaya pada mitos-mitos usang
belaka saja. Berjuanglah untuk menggapai cita-cita mulia, karena mungkin itulah
yang akan membuat cita-cita tercipta. Tempuhlah pendidikan kemanapun saja, yang
penting satu jalan dan satu tujuan. Ikhlaskanlah raga dan jiwa kita untuk
mendapatkannya, sekalipun harus berjibaku dengan susah payah serta
bertumpang-tindih dengan rasa risih dan letih. Bersabarlah menghadapi proses,
karena proses itulah yang akan menentukan hasil baik atau tidaknya kita. Maka
dari itu berproseslah dengan baik tanpa memikirkan hasil, karena proses tidak
mungkin membohongi hasil. Selamat berproses dan semoga sukses. Amien
Gan, tulisan ini boleh dibes-bes,gak?😂😂
BalasHapusKritik anda sangat kami harapkan
Hapus