April 04, 2019

,
Mengapa Isra' dan Mi'raj?

Peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah serangkaian peristiwa agung yang terjadi kepada nabi Muhammad Saw. Para pemikir Islam sepakat kebenaran adanya, kendati mereka bersilang pendapat, kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi.

Para pemikir timur dan barat beradu pacu memberi tafsir bagaimana Nabi diisra'kan? Di kalangan pemikir timur hampir menemui kata sepakat bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj bagian dari mukjizat yang Allah kehendaki kepada Rasul-Nya. Tanpa meninggalkan pertanyaan bagaimana detailnya, karena mereka berangkat dari yang namanya iman. Sebagaimana jawaban Abu Bakar saat ditanya oleh orang kafir Quraish. Abu Bakar berkata, "Jika ia (Muhammad) yang berkata, saya percaya." Menurut hemat penulis jalan ini (iman) lebih mudah diterima dan berdamai dengan jiwa mukmin, dari pada harus mempersoalkan bagaimana dan mengapa.
Jalan ini berbeda dengan pemikir barat yang cenderung observatif menanggapi peristiwa agung itu. Berangkat dari teori-teori ilmiah yang mereka tuhankan, bertanya tentang keabsahannya. Bagaimana mungkin Muhammad mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan jauh melampaui kecepatan cahaya? Bagaimana ia mampu menembus gravitasi bumi? Ini sekilas pertanyaan yang diketengahkan oleh pemikir barat. Rasanya amat sulit menyelaraskan dan mengambil kesimpulan dari peristiwa yang domainnya adalah kuasa Tuhan dengan bertumpu pada teori-teori ilmiah yang bersandar pada penelitian yang berulang. Sedangkan Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali. Sehingga jalan keluar yang dihidangkan oleh sementara pemikir, jangan bertanya bagaimana Israj dan Mijraj, namun mengapa Isra' dan Mi'raj?

Berangkat dari pertanyaan kedua, saya mencoba menguraikan di sini.  Isra' dan Mi'raj terjadi setelah Nabi kembali dari Thaif. Lawatan misi dakwah kali ini sangat menguras psikis Nabi. Intimidasi yang dilakukan penduduk Thaif menyisakan pengaruh besar pada jiwa Nabi. Ia menduga kegagalan dakwah akibat kesalahannya yang membuat Tuhan tidak senang kepadanya. Di sini tampak sekali sisi kemanusiaan Nabi  sebagai utusan Allah. Merasa sedih akibat langkah-langkahnya menemui kegagalan. Di saat itulah perlu ada sandaran mampu membangkitkan kembali kaki-kaki yang lemah untuk melanjutkan langkah menggapai asa. Sifat kemanusian yang tampak ini menjadi simbol agung atas penghambaan seorang hamba di hadapan tuhannya. Tiap kali seorang hamba lemah tidak berdaya selalu butuh kepada Sang Tuan, Allah.

Keadaan yang menimpa Nabi diharapkan menjadi catatan bagi umatnya yang datang setelahnya mengganti posisi beliau sebagai penyampai risalah bahwa mereka akan menemui kesulitan-kesulitan sebagai ujian atas kesungguhan dakwahnya. Dai yang benar-benar berkhidmat kepada Agama. Bukan sebaliknya, Agama yang berkhidmat kepadanya. Agama menjadi alat untuk meraih hasrat-hasrat dunia. Wal 'Iyādzu Billah.

Isra' dan Mijra' inilah yang menjadi kehendak Allah untuk menjawab 'prasangka' kekasih-Nya. Allah tidak berkehendak meninggalkan kekasih-Nya 'terluka'. Allah perintahkan Jibril untuk menemani nabi Muhammad dalam perjalanan menemui-Nya. Pertemuan ini menjadi energi baru untuk melanjutkan risalah Allah kepada seluruh alam semesta.

                                                                                                               

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Oleh : Abdurrahman

April 02, 2019

,
"Teguh Berharap Meski Sakit dan Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan; berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu, impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap impian.

Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh. Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara. Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini? Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali. Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!

***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari menunggu istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya. Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya, segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu, terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam. Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya! "Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.

***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk  direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi. Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu... Aldi bilang seperti tadi tidak  bermaksud untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya tak ingin ia perlihatkan.

***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya, penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha terlebih dahulu guna mencari solusi.

***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan. Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri; "Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada jalan garis takdir ini!" Bersambung.

Oleh : Abas Salim




[1] Dasar bajingan!

Maret 30, 2019

,
                BERANDA FOSIKBA


Jum’at, 29 maret 2019| Forum Silatuurami Keluarga Besar Al-Khairot (FOSIKBA) kembali mengadakan acara rutinan setiap setengah bulan satu  kali, yaitu kajian dengan sistem musyawarah.  Kajian ini banyak dihadiri oleh para anggota FOSIKBA dengan tujuan untuk bisa menimba ilmu dari pemateri dan teman – teman, menuangkan pendapat,  dan bertanya apabila ada musykilah tentang apa yang sudah dipaparkan oleh pemateri.
                Tema yang diangkat dari kitab tarikh mazahib, yaitu tentang biografi imam Abul Hasan al-Asy’ari; Imam Mazhab Asy’ariyin. Kajian kali ini diisi langsung oleh Ust. Kholilurrahman Zubaidi sebagai pemateri dan Ust. Raihan Qodri untuk memimpin berjalannya kajian kali ini.
                Kajian ini dirangkum berbentuk makalah oleh pemateri agar memudahkan para anggota dalam memahami pemaparan pemateri. Sehingga dalam kajian ini bukan hanya membahas soal cikal – bakal asy’ari, tapi juga soal diksi.
                “kita bermazhab Asy’ari tapi kita tidak tahu siapa beliau, bagaiamana perjalanan hidup beliau dan atas landasan apa beliau mendirikan mazhab ini, menurut saya merupakan pengakuan palsu” tutur pemateri.
                Sampai dipertengahan kajian, kajian pun semakin seru atas dibukanya pertanyaan dan tanggapan dibuka secara umum oleh mederator. Para anggota pun saling memperkuat argumen – argumen  mereka dengan apa yang telah dia baca sebeumnya, yaitu tentang bagaimana mazhab asy’ariyah ini sebelum datangnya imam Abul Hasan al-Asy’ari. Sebelum datangnya imam abul hasan al-asy’ari apakah sudah ada Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai mazhab yang moderat??
                Tak lama kemudian hidanganpun dikeluarkan berupa  makanan ringan yang sudah disediakan oleh pengurus FOSIKBA saat itu. Selain menikmati nikmatnya suasana kajian para anggotapun juga  menikmati  hidangan.
Alhamdulilah kajian ini berjalan dengan lancar, dan para anggota pun merasa puas dengan apa  telah disediakan oleh panitia kali ini.
“mungkin kajian kali ini menjadi kajian yang terahir, karena ujian termin dua sudah semakin dekat. Dan mungkin pada tanggal 19 april  2019 kita akan mengadakan penutupan kegiatan FOSIKBA”  tutur ketua FOSIKBA  

Maret 26, 2019

,

Rindu

Rindu?
Masihkah kau tersedu?
Ataukah mulai tertutup debu?
Rindu...
Kau membuatku menggebu
Menyiksaku dalam bara ingin temu
Rindu...
Lima abjad berujung pilu
Membuat hati kian mengeluh
Tanpa sebab akibat yang perlu
Rindu...
 Rindu...
Apa yang kau mau?
Deritan sendu
Luapan kata yang bertalu?
Hatiku menampung banyak rasa
Sekian persennya adalah rindu yang membara
Membakar hati untuk amarah
Ketika pengabaianmu terasa
Laksana kaca pecah
Hatiku berhamburan kemana - mana
Tertuai oleh insan yang salah
Diriku kian buta
Tak mengerti arti sebuah rasa
Menggila
Menua
Sebuah rasa berasa tak bertahta indah
Laksana budak mengiba
Aku tercela
Terhina
Hanya karena hasildalamdada
Bila kau panggil aku tak berharga
Hanya karena aku yang mengemis rasa
Kau salah!
Kau yang tega
Kemarilah
Mampir meski hanya singgah
Menengok ruang hatiku yang terluka parah
Akibat lirikan duka
Hasil usaha dari kau yang kudamba
Masihkah hati memupuk rindu?
Sedangkan ia tak pernah subur tumbuh?
Masihkah ingin bertemu?
Ketika hatimu memilih menjauh
Kutulis aksara
Agar kau dapat membaca
Tak hanya memvonisku sebelah mata
Agar kau mengerti arti kata duka
Kutuangkan segala cairan yang berisikan racun bisamu
Biar kau tahu
Bahwa aku tak mati karena racun egomu
Aku disini tak akan mati karena rindu
Rindu...
Kau membuatku jengah
Semakin gerah
Lalu lelah
Biarkan aku mengalah
Lalu pergi ke suatu masa
Rindu...
Aku singgah di pintu hatimu
Tak ingin aku menetap sedangkan hati cemburu
Aku jatuh
Jatuh pada hatimu
Aku merindu
Rindu kau yang sendu
Bertatapan sayu
Membuatku semakin luluh

                                          

                                                                                                   Oleh :  UUM


Maret 16, 2019

,
                
BEDAH BUKU FOSIKBA

Jum’at, 15 maret 2019 |Forum silaturahmi Keluarga Besar al-Khairat (FOSIKBA), untuk kesekian kalinya mengadakan bedah buku. Dalam bedah buku yang dihadiri sekitar 30 orang kali ini, ada duah buku fenomenal dedikasi ulama kontemporer yang akan dibedah, yang di dalam memuat dua tema berkesinambungan tentang alasan pentingnya bermazhab dalam penerapan islam disetiap sendi kehidupan. Bedah buku kali ini diisi langsun oleh Ust. Zakaria Aysrof Anshori LC. Sebagai pemateri pertama dengan kitab yang ditangguhnya Islam Bila Mzahib karangan syaikh Musthafa Syak’ah. Dilanjutkan dengan pembedah kedua, Ust. Rahmat Miskaya LC. Yang memaparkan sekelumit tentang kitab Alla Mazhabiyah yang dikarang oleh Syaikh Ramadhan al-Buthi. Ada bebeapa poin yang cukup menarik perhatian peserrta bedah buku kali ini. Salah satunya ialah paradoks muslim tampa mazhab. Dikatakan bahwa muslim tak bermazhab sekalipun secara tidak langsung bermazhab, karena tanpa disdari mereka bertaqlid pada manhaj tanpa mazhab. Berikut sedikit ulasan yang dapat kami simpulkan.
                Dalam islam kita sering mendengar ada sebagian muslim menyatakan bahwa dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama kita tidak perlu menganut mazhab imam tertentu karena cukup langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan As-sunnah, karena kedangkalan ilmunya. Maka mereka menyangka bahwa para Mujtahid dan Imam Mazhab dalam beragama itu tidak berpedoman, melanggar keduanya atau memahami agama tanpa dalil dan tanpa dalil (dilarang untuk bertaqlid). Jadi, dalam beragama itu perlukah kita bermazhab?? Dan apakah hakikat bermazhab itu??
                Mazhab adalah sebuah metodologi (manhaj) fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih dalam kawasan Furu’iyah, dan ditempuh dengan syarat – syarat tertentu. Adapun syaikh Ramadan al-Buthi dalam kitabnya yang berjudulnya Alla Mazhabiyah Akhtaru Bit’atin tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyah hlaman 11 menjelaskan bahwa dimaksud dengan bermazhab (al-Tamadzhub) adalah
أن يقلد العامي أو من يبلغ رتبة الاجتهاد مذهب امام مجتهد سواء الترم واحد بعينه أو عاش يتحول من واحد علي أخر      
“bertaqlidnya orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat mampu berijtihab kepada Imam Mujtahid, baik ia terikat pada satu mazhab ke mazhab yang lainnya”.
                Oleh karena itu, ada dua golongan pemangku syariat dalam islam, mereka ialah mujtahid (menggagas metodologi) dan muqollid (pengikut mazhab). Bagi mereka yang masih belum memenuhi syarat kriteria sebagai mujtahid diharuskan baginya untuk memilih salah satu mazhab yang sudah divalidasi dalam islam. Mesli ada beberapa kelompok yang menentang hal itu,namun hakikat kebenaran dalam islam, khususnya yang berkaitan erat dengan al-Ahkam al-Ijtihadiyah (hukum – hukum praktis hasil ijtihad) akan lebih aman,  terjaga, selamat dari kekeliruan pemahaman, jauh dari ketersesatan dan lebih maslahat apabila dalam beragama umat islam bersedia mengikuti dan terikat pada salah satu mazhab yang empat  (mazhab : al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i atau al-Habali), karena paraa mazhab itu telah disepakati oleh para ulama paling memiliki otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum islam, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Juga merekalah ulama yang diberi kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran agama islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris ilmu dan amalan para Nabi terdahulu yang wajib kita ikuti dan harus kita hormati.
                Begitulah sedikit singkat dari acara bedah buku kali ini. Tapi bukan hanya berhenti disini saja, tapi menurut Ust. Syamsul Arifin sebagai ketua FOSIKBA, menuturkan bedah buku ini masih akan dilanjutkan. “bedah buku ini masih kurang. Saya kira para anggota masih belum puas, jadi mungkin ada jilid dua” tuturnya.

                Acara ini juga dihadiri oleh salah satu dewan konsultatif FOSIKBA, Ust. Lukman Fayad LC. Yang juga ikut berpatisipasi menyumbang pendapat sekaligus memberikan saran konstruksi dalam memaksimalkan efesiensi acara bedah buku dimasa selanjutnya. Penghujung acara dipurnakan dengan makan bersama dibalut senda gurawan guna memperteguh silaturahmi kekeluargaan.

Follow Us @soratemplates