April 11, 2019

,
Keramat Abu al-Barakat; Imam Ahmad Dardir 
Abu al-Barakat adalah laqab atau panggilan umum yang disandangkan kepada Imam Ahmad Dardir (1127-1201 H). Beliau tidak sekedar dikenal sebagai orang Alim, melainkan juga al-Alim ar-Robbani yang dianugerahkan ilmu dhahir dan batin. Hal itu dikarenakan sanad keilmuan beliau dikenal jelas dan terhubung langsung kepada cahaya baginda Rasulullah Saw.
Sementara itu, aliran fikih Imam Dardir yaitu Malikiyah. Hal ini ditandai keluasaan beliau terhadap penguasaan madzhab Maliki sehingga memperoleh sematan Malikiyah al-Syaghir (Maliki kecil) dari para pengikutnya. Di samping juga karya-karyanya, terutama dalam bidang fikih Maliki, yang banyak dikonsumsi para pelajar hingga abad modern ini, seperti Syarah Mukhtasar Khalil, Aqrabul Masalik li Madzhab al-Imam Malik dan lain sebagainya.
Di pesantren dulu, karya Imam Dardir yang menjadi kajian menarik adalah kitab Isra Mikraj. Kitab ini merupakan kajian tahunan yang dibaca setiap malam Isra Mikraj mulai dari pengantar (muqaddimah) sampai selesai, yakni dimulai selesai salat Isyak sampai khatam.
Konon, ada kisah inspiratif yang populer ditelinga para pelajar, termasuk sebagian kalangan masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) tentang Imam Dardir bersama gurunya, Syeh Ali as-Soidi. Semenjak menjadi pelajar, sang guru telah mengetahui potensi Imam Dardir yang tersambung dengan baginda Rasulullah saw. Karenanya, sang guru mengirimkan pesan “Salam” melalui Imam Dardir agar disampai kepada baginda Rasul. Usai disampaikan, Rasulullah menjawab salam Ali  as-Soidi seraya menambahkan, “Kenapa dia (Ali As-Soidi) tidak mengunjungi saya ke Madinah”. Tanyanya.
Pesan Rasul ini kemudian disampaikan lagi kepada sang guru dan dengan seketika, beliau (Ali As-Soidi) menangis deras hingga akhirnya menjawab, “Wahai Dardir ! Mohon sampaikan salam saya kepada Rasulullah bahwa saya tidak mampu mengunjungi beliau di Madinah”.
Sebagai mediator yang amanah, Imam Dardir menghantarkan salam sang guru kepada Rasulullah dan Rasul pun menjawab, “Apabila dia (Ali As-Soidi) ingin mengunjungi saya, maka temuilah saya di makam (Imam) Syafii setiap hari Jum’at setelah ashar sampai fajar hari sabtu”.
Demikian komunikasi ahli makrifat, guru dan murid sama-sama Alim robbani dan terkoneksi dengan baginda Rasulullah Saw. Demikian pula jiwa dan raga mereka senantiasa tersambung dengan baginda Rasulullah Saw.
Karenanya, Habib Umar bin hafidz pernah berpesan agar kita senantiasa bergaul dan memandang orang-orang saleh supaya kelak kita dibangkitkan bersama mereka hingga puncaknya, kita dapat memandang wajah terindah, yaitu cahaya baginda Rasulullah Saw”.
Sekian semoga bermanfaat !
_____
Kisah di atas diperoleh dari sambutan Syeh Emad Khotib Masjid Abul Barakat, Imam Ahmad Dardir pada acara Haul Imam Dardir.  



                                                                                              oleh : Muchtar Makin Yahya

April 07, 2019

,

Yang Lebih Buruk dari Kegagalan

(Zis Al-Hakim)(1)


Pernahkah kawan-kawan merasa sangat semangat dan pada suatu waktu  merasa berada dititik terendah tanpa gairah? atau bercita-cita setinggi langit kemudian di saat yang lain membuangnya kepaling dasar bumi? atau berkeinginan berubah namun kemudian menyerah sebab perubahan sepertinya tidak pernah menunjukkan batang hidungnya?
Oke, saya anggap pernah, agar kita bisa lanjutkan pembahasan. Perasaan atau segala yang berkaitan dengan hati memang identik dengan  perubahan. Iman contohnya, ia naik-turun; naik dengan ketaatan, dan turun sebab melakukan keburukan-keburukan.
Jika kita sedang dianugerahkan melakukan kebaikan, jangan pernah berfikir bahwa kita tidak akan terjerumus pada lembah kehancuran. Begitupula saat kita terjerembab melakukan kesalahan jangan pernah memiliki  keyakinan bahwa kita tidak akan bisa memperbaikinya. Dua sikap inilah yang kemudian dalam terma Tasawuf dikenal dengan Khauf  (rasa khawatir) dan Raja’ (rasa harap). Dua sikap yang memungkinkan setiap orang akan bisa senantiasa  berjalan untuk melakukan dan melanjutkan  perjuangan bagaimanapun keadaannya. Mereka akan seimbang dalam keadaan kalah atau menang, dalam keadaan  puncak semangat  atau dititik terhampa keputusasaan.
Jika kawan-kawan pernah mengalami ketertinggalan dalam proses study jangan pernah berkeyakinan bahwa kawan-kawan tidak mungkin lagi  menjadi seorang yang berprestasi. Kawan-kawan masih sama-sama memiliki kesempatan yang sama, masih punya waktu untuk memperbaiki, masih bisa berusaha dengan yang lebih baik lagi. Sampai kapan? Sampai kesempatan itu tidak ada lagi, sampai -bahasa kasarnya- kita tidak bernyawa lagi.
Terkait hal ini, Ibnu Arabi pernah berpesan: “Ingatlah ! jangan pernah  kamu meninggalkan kesungguhan meskipun setelahnya kamu tidak melihat reaksi baik dari kesungguhanmu”
Kita barangkali akan sepintas menentang “ah,  buat apa sungguh-sungguh kalau hasilnya juga kayak gitu, aku rasib (ninggal kelas) lagi”. Tidak begitu kawan, ini adalah cara pandang yang kurang benar. Bukankah dalam suatu hadis Nabi memberikan motivasi “Jika matahari terbit dari arah barat dan ditanganmu ada biji kurma, maka tanamlah..” Saat yang sangat genting bukan? Tapi nabi masih memberikan motivasi agar kita memaksimalkan apa yang kita miliki untuk kita perbuat dalam urusan dunia, lalu bagaimana dengan urusan ilmu? Apakah kita tidak ingin memaksimalkan kesempatan yang kita miliki saat ini.
Dalam sebuah kesempatan, Syaikh Ma’bad Abdul Karim yang oleh Syaikh Usamah dalam kitab Asanid Al-Mishriyyin disebut sebagai Gurunya para ahli hadis di Mesir masa kini menyampaikan: “Para ulama terdahulu memang hebat, kita harus mengakuinya, tapi ingat kita juga bukan tidak apa-apanya.” Iya, kita memang tidak sebaik teman-teman lain yang lancar dalam study mereka, kita tidak seaktif organisator yang cakap dalam komunikasi atau luas dalam relasi dan juga tidak secekat para santri cemerlang yang mudah faham dan hafal semua pembahasan dikitab-kitab, tapi ingat!! kita juga bukan tidak apa-apanya.
Ada solusi menarik yang ingin saya tawarkan jika anda pernah merasakan pertanyaan-pertanyaan diatas, yaitu petuah  Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya yang berbunyi: “Tempatmu adalah sebagaimana Allah telah menempatkanmu”. Artinya, jika Allah menjadikan kita saat ini sebagai  pedagang maka seriuslah berdagang, kalau sebagai petani maka semangatlah bertani, dan jika kita menjadi pelajar maka bersungguh-sungguhlah dalam belajar.
Terakhir saya ingin menuliskan ungkpan menarik dari Ust. Zaiemuddin Abdul Adzim, salah seorang Mahasiswa terbaik pada masanya: “Yang lebih buruk dari kegagalan adalah berakarnya keyakinan bahwa tidak perlu lagi berjuang” benar, sebab kegagalan sejati adalah saat kita memutuskan untuk lalu berhenti.

(1) Nama Pena dari Zis Ahmad Zainal Abidin, Mahasiswa Al-Azhar. Fakkultas Dirasat Islamiyah Wal-Arabiyah.


                                                                                                                Oleh : Ziz Ahmad Zainal Abidin

April 04, 2019

,
Mengapa Isra' dan Mi'raj?

Peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah serangkaian peristiwa agung yang terjadi kepada nabi Muhammad Saw. Para pemikir Islam sepakat kebenaran adanya, kendati mereka bersilang pendapat, kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi.

Para pemikir timur dan barat beradu pacu memberi tafsir bagaimana Nabi diisra'kan? Di kalangan pemikir timur hampir menemui kata sepakat bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj bagian dari mukjizat yang Allah kehendaki kepada Rasul-Nya. Tanpa meninggalkan pertanyaan bagaimana detailnya, karena mereka berangkat dari yang namanya iman. Sebagaimana jawaban Abu Bakar saat ditanya oleh orang kafir Quraish. Abu Bakar berkata, "Jika ia (Muhammad) yang berkata, saya percaya." Menurut hemat penulis jalan ini (iman) lebih mudah diterima dan berdamai dengan jiwa mukmin, dari pada harus mempersoalkan bagaimana dan mengapa.
Jalan ini berbeda dengan pemikir barat yang cenderung observatif menanggapi peristiwa agung itu. Berangkat dari teori-teori ilmiah yang mereka tuhankan, bertanya tentang keabsahannya. Bagaimana mungkin Muhammad mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan jauh melampaui kecepatan cahaya? Bagaimana ia mampu menembus gravitasi bumi? Ini sekilas pertanyaan yang diketengahkan oleh pemikir barat. Rasanya amat sulit menyelaraskan dan mengambil kesimpulan dari peristiwa yang domainnya adalah kuasa Tuhan dengan bertumpu pada teori-teori ilmiah yang bersandar pada penelitian yang berulang. Sedangkan Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali. Sehingga jalan keluar yang dihidangkan oleh sementara pemikir, jangan bertanya bagaimana Israj dan Mijraj, namun mengapa Isra' dan Mi'raj?

Berangkat dari pertanyaan kedua, saya mencoba menguraikan di sini.  Isra' dan Mi'raj terjadi setelah Nabi kembali dari Thaif. Lawatan misi dakwah kali ini sangat menguras psikis Nabi. Intimidasi yang dilakukan penduduk Thaif menyisakan pengaruh besar pada jiwa Nabi. Ia menduga kegagalan dakwah akibat kesalahannya yang membuat Tuhan tidak senang kepadanya. Di sini tampak sekali sisi kemanusiaan Nabi  sebagai utusan Allah. Merasa sedih akibat langkah-langkahnya menemui kegagalan. Di saat itulah perlu ada sandaran mampu membangkitkan kembali kaki-kaki yang lemah untuk melanjutkan langkah menggapai asa. Sifat kemanusian yang tampak ini menjadi simbol agung atas penghambaan seorang hamba di hadapan tuhannya. Tiap kali seorang hamba lemah tidak berdaya selalu butuh kepada Sang Tuan, Allah.

Keadaan yang menimpa Nabi diharapkan menjadi catatan bagi umatnya yang datang setelahnya mengganti posisi beliau sebagai penyampai risalah bahwa mereka akan menemui kesulitan-kesulitan sebagai ujian atas kesungguhan dakwahnya. Dai yang benar-benar berkhidmat kepada Agama. Bukan sebaliknya, Agama yang berkhidmat kepadanya. Agama menjadi alat untuk meraih hasrat-hasrat dunia. Wal 'Iyādzu Billah.

Isra' dan Mijra' inilah yang menjadi kehendak Allah untuk menjawab 'prasangka' kekasih-Nya. Allah tidak berkehendak meninggalkan kekasih-Nya 'terluka'. Allah perintahkan Jibril untuk menemani nabi Muhammad dalam perjalanan menemui-Nya. Pertemuan ini menjadi energi baru untuk melanjutkan risalah Allah kepada seluruh alam semesta.

                                                                                                               

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Oleh : Abdurrahman

April 02, 2019

,
"Teguh Berharap Meski Sakit dan Sulit"
Sejak lama impian menjadi jembatan antara alam nyata dan alam khayal. Bisa jadi terhadap hal yang belum terjadi dan bisa juga terhadap hal yang justru tak sempat terjadi. Beginilah alam realistis mengajarkan; berada pada pilihan manapun, impian selalu cenderung mengembirakan dan memberi tawaran lain terhadap peliknya kehidupan. Dibalik semua tatanan itu, impian memang sepatutnya untuk diperjuangkan, karena apapun yang terjadi di dunia ini pasti akan melewati yang namanya tahap dan proses kesulitan, ujian, tantangan dan hambatan yang tentu tak akan mudah dilalui. Tetapi justru dengan semua itu, kita akan dikuatkan dan tentu kita sedang ditempa sebagai manusia-manusia tangguh tuk dapat mewujudkan setiap impian.

Adakah yang akan tetap bertahan tanpa mimpi dan harapan? Andaikata jika mimpi-mimpi telah tersaji di depan pelupuk mata, namun seketika kau terpaksa harus menyadari bahwa ia tidak bisa engkau rengkuh. Lantas mungkinkah engkau akan tetap semangat menjalani hidup tanpa capaian mimpi? Aldi tetap bersikeras bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban. Tubuh gagahnya kembali terguncang atas pergulatan batin yang menimpanya. Batok kepalanya serasa dipahat, sakit dan perih sekali. Matanya kini kembali sembab, seakan-akan tak bergairah lagi untuk bangkit. Juga sesekali ia terhentak, dimana jiwanya sebagai seorang laki-laki, serta dimana Aldi yang dulu. Tak mudah menyerah dan selalu bangkit dengan semangat membara. Namun, lagi-lagi ia malah semakin memberontak, mengutuk dan membenci dirinya sendiri.
"Tuhan... Kenapa kau hukum diriku seperti ini? Tak ridhaikah diri ini oleh-Mu jika aku berjihad menuntut ilmu - ilmu-Mu ke negeri seberang sana. Aku sangat merindukannya Tuhan.., tuk juga menapakkan kaki di bumi yang pernah dipijaki para Rasul-Mu. Bercengkrama dengan para kekasih-Mu. Tuhan... kenapa?" Dia kembali tersungkur diatas sejadah kumal bekas sujud mendiang ayahandanya. Tampak bekas dahi, kedua tangan juga bulu-bulu lembut sejadah itu mengelupas karena sudah berabad digunakan. Lamunannya kembali terngiang pada wajah bajingan tengik, Budali. Orang yang sangat ia benci dan ingin ia cingcang seraya mencongkel kedua matanya, merobek-robek perut dan memotong alat vi**lnya. Sesekali darah mudanya mengalir deras disetiap ujung saraf untuk membalaskan dendam tak terbalas sang mendiang ayah.
Suasana masih mencekam atas tragedi saling bacok seminggu yang lalu, antara Saheri ayah Aldi, dengan bajingan pak Budali. Perkelahian dengan latar belakang bela kehormatan sebagai seorang suami, sehingga tak peduli apakah hidupnya akan berakhir dengan luka beserta lumuran darah untuk dinyatakan sebagai sang pemberani, atau akan meraih kemenangan sebagai penjunjung kehormatan tetapi tak lain ia adalah sebagai seorang pembunuh.
Wajar saja, jika Saheri harus membela hak dan kehormatannya sebagai seorang suami dan bapak dari kedua putranya, dengan budaya yang kental dan sudah mendarah daging, dan sangat memalukan jika ia hanya pasrah atas hal yang telah dilakukan oleh Budali pada istrinya. Ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang pelecehan pada dirinya, kecuali telah menggorok leher Budali si bajingan itu. Atau ia harus siap mati dengan cap sebagai sang pemberani.
Yang sangat ironis, hal demikian serempak menyatu dalam setiap paham warga sekitar. Seakan turut bangga, jika sampai menggorok si bejat durjana atau sekalipun harus tewas karena menjunjung harga diri. Diam tanpa tindakan, hanyalah prilaku seorang pengecut. Enggan untuk melawan adalah bukan jiwa seorang lelaki. Dasar penakut!

***
Awal memasuki musim kemarau kala itu, orang-orang mulai sibuk merawat cikal si daun emas, tembakau harapan. Dengan perasaan kesal, Saheri kembali mencangkul setelah beberapa menit ia istirahat sembari menunggu istrinya, Hamidah. Sudah waktunya untuk dia sarapan karena matahari kian terik mengingat di musim kemarau, masyarakat biasa pergi ke ladang lebih awal dari pada biasanya. Sebagaimana Saheri yang sejak selesai shalat Subuh ia langsung berangkat menuju ladang tempat ia bercocok, menyiram kemudian mencangkul disela-sela tembakau kecil miliknya. Namun, yang ditunggu ternyata tak kunjung tiba juga. Tak terhitung sudah berapa teguk air ia minum untuk mengganjal kekosongan lambungnya. Beberapa saat kemudian, datanglah Pusidin dengan tergopoh-gopoh sambil berteriak memanggil namanya.
"Pak... pak Saheri... celaka, binimu pak!"
"Kenapa dengan Hamidah Din?!” Hardik Saheri dari kejauhan.
Sambil ngos-ngosan mengambil napas, Pusidin kembali menjawab.
"Wah bahaya pak... Budali buron! sebaiknya, segeralah kamu pulang pak! Aku takut akan terjadi sesuatu yang lebih parah dari apa yang sekedar saya lihat tadi di rumah sampeyan pak"
Sejurus kemudian, ia lempar cangkul yang sejak tadi ia pegang, sambil mengumpat "Korang Ajhārr!!"[1]
Si tengik Budali seketika menghilang bagai setan ditelan siang. Entah mantra dan ajimat apa yang dia kenakan, hingga kebal tak tembus senjata. Nahas sekali, di atas sebidang tanah berdebu campur darah itu, terkapar seorang lelaki dengan banyak luka sabet celurit. Tak lain ia adalah Saheri, ayah Aldi. Dengan usus terkurai, punggung tertebas nyaris putus, tiga jari tangan kirinya menghilang, mungkin sudah menjadi santapan gagak hitam. Jerit penuh histeris mengerikan!
Budaya dengan istilah "Carok" ini, adalah bagian yang tak perlu dipertahankan. Hapus tanpa bekas ke akar-akarnya! "Pulau Garam" tidak akan pernah miskin budaya. Cukup sebagai ciri dalam mengeratkan persaudaraan adalah sarat akan makna kultural. Menyelesaikan masalah tidak perlu gegabah dengan satu lawan satu atau berkelompok untuk saling membunuh. Sungguh jika tetap terjadi, nyawa sangatlah murah dan hidup seakan-akan tidak perlu diperjuangkan dengan cara yang tepat dan baik. Meski sama-sama kacau, berbeda dengan para wanita jalang, pelacur. Mereka rela menghancurkan kehormatannya, demi menyambung hidup juga kenikmatan instan dalam dunia fana. Sungguh gelap hidup ini, tanpa tuntunan agama dan syariat Tuhan.

***
Aldi pun berusaha mengembalikan keyakinan akan harapannya sebagaimana sedia kala, yang mungkin tidak akan bisa ia gapai dengan keadaan menyakitkan seperti yang ia rasakan sekarang. Hanya saja, ia tetap sadar bahwa dalam dirinya tertanam jiwa seorang santri. Kegalauan, resah dan bimbang adalah hal yang biasa. Hatinya kembali tersadarkan oleh salah satu potongan hikmah yang sangat mengesankan dan tak bosan untuk  direnungi, ditulis oleh Syeikh Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar al-Syarif masa dulu): "Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita. Sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai. Sedangkan ridha Allah, adalah destinasi yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah semata." Entah, ia bagai tersengat listrik, kepalan tangan juga sorotan kedua matanya menujukkan bara yang masih menyala.
"Walau bagaimanapun Aldi tetap harus berangkat buk!" Ia beranjak keluar dari tempat tidurnya, seraya mengiba pada ibundanya.
"Bukan ibu tidak merestuimu Nak! tetapi lihatlah keadaan ini! kematian bapakmu sungguh telah mengutuk diri ibuk sebagai seorang istri yang berbakti. Meski sesungguhnya, memang ibuk tidak pernah sedikitpun berniat untuk menghianati kesetiaan bapakmu. Ibu tidak tahu, mengapa Budali jahannam itu, tiba-tiba nyetan mendatangi ibuk saat hendak menyusul bapakmu ke ladang." Hamidah, ibunya berhenti pada kalimat itu, kemudian melanjutkan dengan linangan airmata. "Apalagi Zaen adikmu, masih terlalu kecil. Jika setiap mau berangkat sekolah bahkan setiap saat, ia akan selalu memanggil nama bapaknya yang tak kan pernah kembali lagi. Sanggupkah ibu mendengarkannya Al? Ibu tak sanggup lagi nak! Dengan keadaan seperti ini, keberadaanmu disisi ibuk, disisi Zaen, tentu lebih dibutuhkan." Suaranya kian parau, dengan air mata yang tak terbendung lagi.
"Ibu... mohon maafkan Aldi! Kepergian bapak sungguh telah menyayat hati dan semangat Aldi. Aldi masih haus akan kasih sayang ibu sama bapak. Aldi juga ingin memeluk bapak lebih lama lagi. Ibu... Aldi bilang seperti tadi tidak  bermaksud untuk meninggalkan ibu dan Zaen dengan keadaan seperti ini, Aldi cuma merasa ini adalah kesempatan Aldi untuk bisa belajar lebih giat lagi, setelah Aldi berjuang mengikuti seleksi beasiswa kemarin. Maafkan Aldi bu! Namun, ridhamu adalah tujuan utama Aldi. Mungkin Aldi bisa terima semua kenyataan ini meski terasa begitu sulit". Ungkap Aldi, seraya mengusap airmata yang sebenarnya tak ingin ia perlihatkan.

***
Apakah iya, seorang Aldi akan merelakan kesempatannya setelah sekian lama berjuang? Haruskah ia cukupkan hafalan Qur'annya, penguasaan tata bahasa Arab juga kepiawaiannya dalam mentakhrij serta beristinbath dalam suatu hukum syariah tanpa bersanad langsung kepada para ulama Timur Tengah? Ia kian ragu antara lanjut studi di negeri impian, tetapi harus melawan rasa pedih juga harus mengorbankan seribu perasaan atau apakah tepat, jika ia harus tunduk pada himpitan pahit dan sekedar pasrah pada kata "mungkin ini adalah suratan takdir." Saat itu juga ia teringat akan kalam indah dari seorang Syeikh yang sangat matang dalam ilmu tafsir, beliau adalah Muhammad Mutawalli Sya'rawi dari negeri seribu menara, Mesir. "Janganlah bersedih atas apa yang hilang darimu! karena bisa jadi ketika kamu memilikinya kesedihan akan lebih besar. Kebaikan adalah apa yang Allah pilihkan(berikan) kepadamu.
Katakan dari lubuk hatimu: "Alhamdulillah"
Aldi juga sadar, mutiara hikmah ini bukan berarti mengajarkan kita harus lemah dan pasrah pada suatu keadaan tanpa berusaha terlebih dahulu guna mencari solusi.

***
Beberapa bulan kemudian, dengan sejuta mimpi ~
Sayup-sayup indah memenuhi setiap sudut relung jiwa diantara alam nyata dan bukan hanya sekedar khayal. Ia lihat, kakinya telah benar-benar berpijak, dan tatapannya terpancar bara, inilah jalan impian.
Kemudian seketika ia roboh dan begitu hanyut dalam hening sujud di mihrab itu. Penuh ikhlas berpadu dalam balutan pasrah. Bukan tangis kepiluan, namun air mata itu adalah bukti cinta terhadap pengetahuan. Begitu haru dalam dekapan rindu.
Kali ini, seakan ia dibisiki oleh kalimatnya sendiri; "Berani memulai berarti siap untuk maju. Pantang mundur sebelum merengkuh kemenangan. Menggapai target dengan gerak lihai nan cepat. Hingga Tuhan sudi mengelus lembut ubunmu dan berfirman "Cukuplah engkau sebagai hambaku pada jalan garis takdir ini!" Bersambung.

Oleh : Abas Salim




[1] Dasar bajingan!

Maret 30, 2019

,
                BERANDA FOSIKBA


Jum’at, 29 maret 2019| Forum Silatuurami Keluarga Besar Al-Khairot (FOSIKBA) kembali mengadakan acara rutinan setiap setengah bulan satu  kali, yaitu kajian dengan sistem musyawarah.  Kajian ini banyak dihadiri oleh para anggota FOSIKBA dengan tujuan untuk bisa menimba ilmu dari pemateri dan teman – teman, menuangkan pendapat,  dan bertanya apabila ada musykilah tentang apa yang sudah dipaparkan oleh pemateri.
                Tema yang diangkat dari kitab tarikh mazahib, yaitu tentang biografi imam Abul Hasan al-Asy’ari; Imam Mazhab Asy’ariyin. Kajian kali ini diisi langsung oleh Ust. Kholilurrahman Zubaidi sebagai pemateri dan Ust. Raihan Qodri untuk memimpin berjalannya kajian kali ini.
                Kajian ini dirangkum berbentuk makalah oleh pemateri agar memudahkan para anggota dalam memahami pemaparan pemateri. Sehingga dalam kajian ini bukan hanya membahas soal cikal – bakal asy’ari, tapi juga soal diksi.
                “kita bermazhab Asy’ari tapi kita tidak tahu siapa beliau, bagaiamana perjalanan hidup beliau dan atas landasan apa beliau mendirikan mazhab ini, menurut saya merupakan pengakuan palsu” tutur pemateri.
                Sampai dipertengahan kajian, kajian pun semakin seru atas dibukanya pertanyaan dan tanggapan dibuka secara umum oleh mederator. Para anggota pun saling memperkuat argumen – argumen  mereka dengan apa yang telah dia baca sebeumnya, yaitu tentang bagaimana mazhab asy’ariyah ini sebelum datangnya imam Abul Hasan al-Asy’ari. Sebelum datangnya imam abul hasan al-asy’ari apakah sudah ada Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai mazhab yang moderat??
                Tak lama kemudian hidanganpun dikeluarkan berupa  makanan ringan yang sudah disediakan oleh pengurus FOSIKBA saat itu. Selain menikmati nikmatnya suasana kajian para anggotapun juga  menikmati  hidangan.
Alhamdulilah kajian ini berjalan dengan lancar, dan para anggota pun merasa puas dengan apa  telah disediakan oleh panitia kali ini.
“mungkin kajian kali ini menjadi kajian yang terahir, karena ujian termin dua sudah semakin dekat. Dan mungkin pada tanggal 19 april  2019 kita akan mengadakan penutupan kegiatan FOSIKBA”  tutur ketua FOSIKBA  

Follow Us @soratemplates