Yang Lebih Buruk dari Kegagalan
(Zis Al-Hakim)(1)
Pernahkah
kawan-kawan merasa sangat semangat dan pada suatu waktu merasa berada dititik terendah tanpa gairah?
atau bercita-cita setinggi langit kemudian di saat yang lain membuangnya
kepaling dasar bumi? atau berkeinginan berubah namun kemudian menyerah sebab
perubahan sepertinya tidak pernah menunjukkan batang hidungnya?
Oke, saya
anggap pernah, agar kita bisa lanjutkan pembahasan. Perasaan atau segala yang
berkaitan dengan hati memang identik dengan
perubahan. Iman contohnya, ia naik-turun; naik dengan ketaatan, dan turun sebab melakukan keburukan-keburukan.
Jika kita sedang dianugerahkan melakukan kebaikan,
jangan pernah berfikir bahwa kita tidak akan terjerumus pada lembah kehancuran.
Begitupula saat kita terjerembab melakukan kesalahan jangan pernah
memiliki keyakinan bahwa kita tidak akan
bisa memperbaikinya. Dua sikap inilah yang kemudian dalam terma Tasawuf dikenal
dengan Khauf (rasa khawatir) dan Raja’
(rasa harap). Dua sikap yang memungkinkan
setiap orang akan bisa senantiasa
berjalan untuk melakukan dan melanjutkan
perjuangan bagaimanapun keadaannya. Mereka akan seimbang dalam keadaan
kalah atau menang, dalam keadaan puncak
semangat atau dititik terhampa
keputusasaan.
Jika kawan-kawan pernah mengalami ketertinggalan dalam
proses study jangan pernah berkeyakinan bahwa kawan-kawan tidak mungkin
lagi menjadi seorang yang berprestasi.
Kawan-kawan masih sama-sama memiliki kesempatan yang sama, masih punya waktu
untuk memperbaiki, masih bisa berusaha dengan yang lebih baik lagi. Sampai
kapan? Sampai kesempatan itu tidak ada lagi, sampai -bahasa kasarnya- kita
tidak bernyawa lagi.
Terkait
hal ini, Ibnu Arabi pernah berpesan: “Ingatlah ! jangan pernah kamu meninggalkan kesungguhan meskipun setelahnya
kamu tidak melihat reaksi baik dari kesungguhanmu”
Kita barangkali akan sepintas menentang “ah, buat apa sungguh-sungguh kalau hasilnya juga
kayak gitu, aku rasib (ninggal kelas) lagi”. Tidak begitu kawan, ini adalah
cara pandang yang kurang benar. Bukankah dalam suatu hadis Nabi memberikan
motivasi “Jika matahari terbit dari arah barat dan ditanganmu ada biji kurma,
maka tanamlah..” Saat yang sangat genting bukan? Tapi nabi masih memberikan
motivasi agar kita memaksimalkan apa yang kita miliki untuk kita perbuat dalam
urusan dunia, lalu bagaimana dengan urusan ilmu? Apakah kita tidak ingin
memaksimalkan kesempatan yang kita miliki saat ini.
Dalam
sebuah kesempatan, Syaikh Ma’bad Abdul Karim yang oleh Syaikh Usamah dalam kitab
Asanid Al-Mishriyyin disebut sebagai Gurunya para ahli hadis di Mesir masa kini
menyampaikan: “Para ulama terdahulu memang hebat, kita harus mengakuinya, tapi
ingat kita juga bukan tidak apa-apanya.” Iya, kita memang tidak sebaik
teman-teman lain yang lancar dalam study mereka, kita tidak seaktif organisator
yang cakap dalam komunikasi atau luas dalam relasi dan juga tidak secekat para
santri cemerlang yang mudah faham dan hafal semua pembahasan dikitab-kitab,
tapi ingat!! kita juga bukan tidak apa-apanya.
Ada
solusi menarik yang ingin saya tawarkan jika anda pernah merasakan
pertanyaan-pertanyaan diatas, yaitu petuah
Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya yang berbunyi: “Tempatmu
adalah sebagaimana Allah telah menempatkanmu”. Artinya, jika Allah menjadikan
kita saat ini sebagai pedagang maka
seriuslah berdagang, kalau sebagai petani maka semangatlah bertani, dan jika
kita menjadi pelajar maka bersungguh-sungguhlah dalam belajar.
Terakhir saya ingin
menuliskan ungkpan menarik dari Ust. Zaiemuddin Abdul Adzim, salah seorang
Mahasiswa terbaik pada masanya: “Yang lebih buruk dari kegagalan adalah
berakarnya keyakinan bahwa tidak perlu lagi berjuang” benar, sebab kegagalan
sejati adalah saat kita memutuskan untuk lalu berhenti.
(1) Nama Pena dari Zis
Ahmad Zainal Abidin, Mahasiswa Al-Azhar. Fakkultas Dirasat Islamiyah
Wal-Arabiyah.
Oleh
: Ziz Ahmad Zainal Abidin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar