Maret 06, 2020

,
Dalam hidup pasti kita merasakan apa yang dinamakan cinta. Karena hal tersebut memang telah menjadi fitrah dan naluri setiap makhluk yang bernyawa—baik cinta pada sesama, bahkan cinta pada Sang Pencipta.

Berbicara cinta memang sudah tidak asing di telinga. Kata sederhana yang mudah diucap dan teramat sangat berat dalam pijak. Kalau kita melihat ungkapan Syekh al-Fadhil dalam kitab Qomi’ut al-Tughyan: “Ketika dikatakan kepadamu: apakah kamu mencintai Allah? Maka hendaklah engkau diam, karena jika kamu mengatakan 'tidak', maka kamu telah kufur. Namun jika kamu mengatakan ’iya’, maka kamu bukan termasuk orang-orang yang cinta (kepada Allah).”

Dari ungkapan Syekh al-Fadhil kita belajar tentang kehati-hatian serta nilai berharga dari pada cinta. Ia bukan hanya ucapan kosong melainkan perbuatan nyata.
Dan di kitab yang dikarang oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Hatim bin Alwan menguatkan: "Barang siapa mengaku-ngaku atas tiga hal tanpa adanya tiga hal yang lain, maka ia dinilai berbohong. Pertama, barang siapa yang mengaku mencintai Allah namun tidak menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka ia telah berbohong. Kedua, barang siapa yang mengaku mencintai Nabi saw. tanpa mencintai orang-orang fakir, maka ia telah berbohong. Ketiga, barang siapa mengaku mencintai surga tanpa menginfakkan hartanya, maka ia telah berbohong.

Di sisi lain masih dalam kitab yang sama, Imam Sahl mengemukakan tentang cinta dan ciri-ciri orang yang bersangkutan, sebagai berikut:
"Ciri-ciri  orang yang cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur’an. Ciri-ciri orang yang cinta al-Quran adalah cinta kepada nabi Muhammad saw. Ciri-ciri cinta Nabi Muhammad saw. adalah cinta pada Sunahnya. Ciri-ciri cinta pada sunah Nabi saw. adalah cinta pada akhirat. Ciri-ciri cinta akhirat adalah benci terhadap dunia dan ciri-ciri benci dunia adalah dengan tidak mengambil suatu yang berbau duniawi sebagai bekal untuk menuju akhirat.”

Dengan hati yang bersih, keberadaan cahaya iman menyebabkan setan takut mengelilinginya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: "Jikalau setan-setan tidak mengelilingi hati anak-anak Adam, niscaya mereka dapat memandang alam Malakut yang tinggi." [HR. Ahmad]

Terlepas dari semua tulisan yang kebanyakan mengutip dari kitab Qomi’ut Tughyan ini, mari sama-sama kita intropeksi diri. Apakah cinta kita sudah benar-benar dikategorikan cinta atau hanya bual belaka. Sebab hanya dengan cinta yang sesungguhnya keindahan akan tercurah dengan seutuhnya.

Tabik,

Fath Rosi Ahmad

Maret 02, 2020

,
Tidak jarang kita dengar istilah mukjizat, namun sejauh mana kemampuan kita memahami istilah tersebut. Bahkan untuk merasionalkan pun sukar sekali karena memang kejadiannya di luar nalar. Satu-satunya mukjizat terbesar yang masih utuh keasliannya sampai saat ini adalah al-Qur'an. Disebut mukjizat terbesar karena al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Salah satu bukti lain bahwa al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar adalah Allah yang menurunkan al-Qur'an maka Allah yang menjaganya dari segala bentuk perubahan.


Al-Qur'an diturunkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau ada pertanyaan yang sekiranya butuh jawaban, maka turunlah ayat al-Qur'an untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur serta penataan ayat dan surah dalam al-Qur'an yang tidak sesuai pasca awal turunnya bisa kita cari hikmah di balik penataan serta peletakan ayat-ayat dalam al-Qur'an. Apakah ada kesinambungan antar ayat sebelum dan sesudahnya atau antar surah sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebut dengan ilmu Munāsabat Baina Suar wal Āyāt.

Ilmu Munasabat sendiri jarang disinggung oleh para mufassir karena saking detailnya ilmu tersebut, bagaimana mungkin al-Qur’an merupakan kalam ilahi,sudah barang tentu semua hal yang tercakup dan berhubungan dengan al-Quran ditetapkan oleh Allah SWT. Dari ketetapan itu pula para mufassir mencoba memahi dan membahas al-Quran dari berbagai aspek, sehingga tidak pernah berakhir untuk dibahas, sebagaimana ungkapan Syekh Abdullah Darraz: “Al-Qur’an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya.” 

Sebelum lebih lanjut mengenal munasabat, alangkah baiknya jika kita mengetahui makna munasabat itu sendiri.
Munasabat secara etimologi berarti Musyākalah (keserupaan) dan Muqarabah (kedekatan). Secara terminologi Munasabat berarti korelasi antara ayat dan ayat atau surah dan surah—sebelum dan sesudahnya, karena adanya keserupaan atau kedekatan lafadz atau makna.

Di antara hikmah mengetahui ilmu munasabat adalah memahami makna al-Qur'an dan mempermudah untuk menafsirkan ayat sesuai dengan temanya. Ada banyak macam-macam musabat dalam al-Qur'an. Namun, saya cukupkan menyebutkan satu contoh. Saya pikir sangat menarik untuk dikemukakan, yaitu: munasabat antar awal surat dengan akhir surat yang sama.

Zamakhsyari berkata: "Allah Swt. mengawali surah al-Mukminun dengan ayat: قد أفلح المؤمنون dan mengakhiri dengan ayat: إنه لا يفلح الكافرون. Dalam surah Nun Allah Swt. memulai dengan ayat: ما أنت بنعمتك ربك بمجنون dan mengakhiri dengan ayat: إنه لمجنون. 

Dan juga pembandingan antar surah al-Kautsar dengan surah sebelumnya (al-Ma'un). Allah Swt. menyifati munafik dalam surah al-Ma’un dengan empat perkara, yaitu: al-Bukhl (kikir), Tarku as-Sālah (meninggalkan shalat), Riyā' (beramal karena orang lain) dan Man'u az-Zakāh (tidak bayar zakat). Allah bandingkan sifat kikir dengan ayat: إنا أعطيناك الكوثر. Orang yang meninggalkan salat dibandingkan dengan ayat: فصل. Sifat riya' dibandingkan dengan ayat: لربك. Dan orang yang tidak bayar zakat dibandingkan dengan ayat: وانحر dengan bersedekah daging kurban.

Dari contoh munasabat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar dengan penataan ayat serta surahnya. Bukan sebatas asal meletakkan, melainkan atas perintah Allah Swt.  kepada nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan riwayat Ustman bin Affan. Suatu hari turun sejumlah ayat kepada Rasulullah. Kemudian ia memanggil sekretarisnya dan berkata: "Letakkan ayat ini bersama dengan ayat itu, dan surah ini bersama surah itu." 

Artinya, peletakan atau penataan ayat-per-ayat dan surah-per-surah murni Tauqifi dari Allah Swt. Tidak ada campur tangan makhluknya. Rahasia keserasian antar ayat dan surah hanya diketahui bagi orang-orang yang belajar dan mendalami ilmu-ilmu al-Quran.

Tabik,

Dhaifil Ihsan

Februari 27, 2020

,

Saat pagi hari aku di rumah bertemu seorang nelayan, dengan membawa jaring yang dia taruh di atas pundaknya, dan terdapat ikan yang besar hasil tangkapan hari ini, dengan wajah penuh lelah dia mendatangiku sambil menawarkan ikannya kepadaku, tanpa saya tawar saya ambil ikan itu sesuai dengan harga yang dia pasang, sambil tersenyum dia mengambil uang dan berucap terimakasih sambil berkata “Ini baru pertama kalinya ada orang yang mau membeli dengan harga yang saya pasang, semoga kebaikan anda dibalas dengan kebaikan sebagaimana anda telah baik kepadaku, dan semoga Allah jadikan kebahagiaan dalam jiwa dan hartamu”. saya pun sangat bahagia dengan doa ini dan berharap pintu langit terbuka untuk mengabulkan doanya.
Heran dan takjub memenuhi hati ini, bagaimana dia bisa tahu suatu hakikat yang tidak banyak orang mengetahuinya yaitu "ada kebahagiaan jiwa" dan "ada kebahagiaan harta".

“Apakah ada kebahagiaan selain kebahagiaan harta?” tanyaku.
Diapun tersenyum sinis dan berkata ”seandainya kebahagiaan hanya terbatas dengan harta maka saya adalah orang paling menderita di dunia ini”.
“ Apa kau anggap dirimu bahagia?” tanyaku.
Dia menjawab “iya, karena aku selalu mencari rezekiku, kehidupanku bisa dibilang cukup, aku tak pernah merasa sedih karena kekurangan rezeki serta aku pun tak pernah mengemis di tengah kemegehan dunia. Kemudian dari pintu yang mana kesedihan dan kesengsaraan merasuki hati yang penuh dengan kebahagiaan?”.
“Apa kau sudah tidak waras! bagaimana kau anggap dirimu bahagia sedangkan kau berjalan tak beralas kaki, dengan baju yang bisa dikatakan kurang layak pakai, bagaimana bisa kau anggap dirimu bahagia?” jawabku mengingkari.
Dia menjawab” Jika kebahagiaan adalah tenangnya hati dan kebahagiaan jiwa, adapun kesedihan adalah sakit hati dan gundahnya jiwa, maka saya adalah orang yang paling bahagia, karena saya tidak pernah beranggapan bahwa pakayan kusut dan makanan seadanya adalah sebuah kesedihan dan kesengsaraan, dan jika ada kebahagiaan selain itu maka hanya itulah kebahagiaan yang saya tau”.
Aku pun membantah “Apa kau tidak sedih setiap kali melihat orang kaya? pakaian bagus, kendaraan mewah serta rumah megah, para pelayan serta makanan lezat yang setiap hari mereka santap, apakah kau tak merasakan perbedaan besar ini?”.
Dia menjawab “Semua hal itu adalah hal yang sangat sepele bagiku, saya fikir kebahagiaan mereka tidaklah berbeda dengan kebahagiaan yang saya dapatkan. Makanan? jika tujuan makan cuma untuk kenyang, rasanya tak pernah saya tidur dengan perut kosong, jika maksudnya memuaskan nafsu, maka saya gak makan kecuali dalam keadaan lapar, jadi semua makanan terasa lezat bagiku, kalau soal makan kita gak jauh beda lah. Rumah mewah?, saya punya gubuk kecil, saya tidak pernah merasa gubuk kecilku terasa sempit untukku, istri dan anak-anakku bahkan terasa begitu megah dengan kebahagiaan yang menyelimuti mereka. Kendaraan?, saya pemilik kendaraan termewah di dunia, saya punya dua kaki yang tiap hari saya langkahkan untuk mengais rezeki dan mendapat ridha ilahi. Jika mengenai liburan; maka saya adalah orang yang tiap hari berlibur, cukup dengan membawa kail dan umpan berangkat ke lautan luas yang biru, burung bangau serta pantai yang dikelilingi tanaman hijau ditambah dengan sinar emas mentari membuat hati terasa sejuk, pemandangan seperti ini saya lihat setiap hari dimana tidak semua orang dapat melihatnya, orang miskin berjalan sesuka hati mereka, bagaikan burung yang terbang bebas. Sedangkan orang kaya dimanapun mereka berada mereka selalu diawasi oleh mata orang-orang yang iri dan dengki. Serta sebelum mereka pergi kemanapun mereka tak lupa berdiri di depan cermin untuk memastikan penampilan mereka dan menutupi kepribadian mereka dengan penampilan penuh wibawa. setelah bercermin, mereka keluar dan bergerak dengan gerakan yang terbatas karena takut akan rusaknya penampilan mereka dan hancurnya wibawa mereka, meskipun mereka bebas sebenarnya mereka terkurung oleh penjara kewibawaan dan penampilan dan selalu diawasi oleh mata yang dipenuhi rasa iri dan dengki.

Seharian penuh saya berada di tengah lautan dan saya kembali dengan membawa hasil tangkapan untuk dijual di pasar, ketika menjelang malam saya kembai ke rumah dengan di sambut hangat oleh senyuman istri dan tawa anak-anakku. setelah menunaikan kewajibanku sebagai kepala keluarga segera ku tunaikan kewajibanku sebagai hamba, dan akupun tertidur pulas di atas tikar yang terasa seperti ranjang yang sangat empuk. Jujur saya tidak menerima jika dikatakan saya adalah orang yang menderita, karena sebenarnya saya adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Mau tau perbedaan tipis antara diriku dan orang kaya, yaitu orang-orang tidak tunduk hormat padaku ketika aku lewat, dan mereka tidak pernah memperhatikanku ketika aku bersama mereka dan hal ini gak begitu penting bagiku, apa peduliku terhadap mereka? mau di perhatikan ataupun tidak selama tidak ada hubungan denganku dan tidak ada hubungan dengan kewajibanku sebagai hamba tidak ada pengaruhnya bagiku. Karena hubunganku yang sebenarnya adalah hubungan diantra diriku dan tuhanku, aku adalah hambaNya maka aku harus beribadah dan mengesakanNya. Terus terang hatiku tidak bisa menggabungkan keesaan Tuhan sedangkan di hatiku masih ada keagungan dari salah satu makhluknya.

Setiap kali aku keluar rumah, aku selalu membawa perasaan ragu akan kah aku akan kembali dengan membawa atau aku kembali dengan dibawa. Dunia ini ibarat lautan, dan manusia adalah ikannya, dan mailaikat maut adalah nelayan yang setiap waktu membawa kail, dan yang terpancing adalah orang yang dipilih untuk kembali kesisi tuhannya, dan orang yang selamat hari ini belum tentu selamat hari isok. Terus bagaimana mungkin aku bahagia dengan sesuatu yang bukan milikku. Bahagia terhadap titipan yang setiap saat bisa diambil kembali oleh pemiliknya. dan untuk apa saya berpegang terhadap sesuatu yang rapuh, kalau begitu maka aku adalah orang yang paling bodoh didunia.” penjelasan nelayan dengan panjang lebar.

Aku tercengang dan berbisik dalam hati “begitu bijak orang ini entah pendidikan apa yang dia lalui tapi dia menjelaskannya dengan panjang lebar. Aku iri terhadap kejernihan hati dan kebahagiaan dalam setiap detik kehidupannya” akupun melanjutkan pembicaraan “bapak! semua orang selalu mencari yang namanya kebahagiaan, tapi mereka tidak pernah mendapatkannya, sehingga mereka berkesimpulan bahwa, "kesedihan merupakan bagian dari kehidupan ini”.
Dia menjawab “Tidak!, secara fitroh manusia itu bahagia, tapi orang itu sendiri yang memasukkan kesedihan dalam jiwanya. Mereka memiliki hasrat untuk kaya sehingga mereka selalu beranggapan bahwa kaya itu merupakan suatu kebahagiaan, memiliki ambisi dan beranggapan bahwa mendapatkan apa yang dia inginkan merupakan haknya Sehingga ketika gagal mendapatkannya maka dia berdoa seakan-akan dia didzalimi dan direnggut haknya. Terlalu bahagia terhadap titipan sang pencipta, sehingga dia merasa bahwa itu adalah miliknya dan ketika diambil titipan itu dia beranggapan bahwa telah dirampas apa yang telah menjadi miliknya.

Sebenarnya kesedihan itu muncul dari dalam diri kita sendiri, ketika hati kita tidak dihiasi dengan kebaikan maka kegelapan akan merasukinya dan timbullah sikap iri yang selalu menyakiti pemiliknya, dan timbullah sifat tamak, yang semakin hari semakan melukai hati. Serta timbullah penyakit dengki yang tiap hari menusuk hati kita. maka siapapun yang ingin mencari kebahagiaan maka carilah didalam dirinya”.

Tak terasa obrolan kami sudah sangat jauh. Kemudian sang nelayan mengambil tongkatnya dan berucap “sampai ketemu lagi tuan, saya doakan kamu dengan doa yang saya sukai semoga Allah jadikan kebahagiaan di dalam jiwamu sebagaimana kebahagiaan di dalam hartamu, assalamu alaikum!”
kisah diambil dari kitab al-nadzarat lilmanfaluthi

Tabik;

Khoirut Tuqo


Februari 26, 2020

,
Telah diketahui bersama bahwa kita telah berada di era teknologi yang mana semua informasi sebagian besarnya tersebar luas dengan cepat ke berbagai pelosok. Media cetak atau online menjadi salah satu wadah dalam menuangkan informasi tersebut. Untuk mengirim surat kabar antar negara misalnya, tidak perlu waktu lama, cukup satu klik sudah sampai ke tujuan. Berbeda dengan tempo dulu tepatnya 50 tahun silam, dalam keadaan itu sebuah surat bisa sampai dengan waktu yang berbulan-bulan.

Anehnya, dalam situasi seperti sekarang masih saja ditemui beberapa orang yang menyalahgunakan keberadaan teknologi yang luar biasa ini. Mereka menjadikan itu sebagai niat buruknya, melukai lawan, memalsukan informasi bahkan memutarbalikan fakta agar publik menjauh dari hal yang sebenarnya. Itu terjadi sebab dalam diri mereka sudah tak ada maksud lain selain amarah dan dendam yang tak kunjung reda.

Oleh sebab itu, kita ataupun siapapun kamu yang suka mengkonsumsi informasi, di media sosial khususnya (Fb,Wa,IG,Twitter) agar lebih bijak dalam menanggapi hal tersebut. Tidak mudah percaya dan mengambil keputusan sebelum meneliti lebih jauh terkait informasi yang tersebar. Parahnya lagi di antara warganet malah ada yang seenaknya mencibir dan mengolok-olok saudaranya sendiri sebab dia tak satu pemahaman dengannya.

Sebenarnya jauh sebelum era ini datang Islam telah mewanti-wanti para warganya agar lebih bijak dan meneliti kembali informasi yang tersebar, apalagi jika hal itu datangnya dari mereka yang tergolong fasik. Tidak hanya itu Islam juga memberikan batasan dalam menanggapi adanya suatu informasi agar nantinya nilai kebaikan dan manfaat tetap terkandung dalam informasi tersebut.

Di sini penulis akan menyebutkan tiga batasan yang ditentukan agama dalam menanggapi suatu informasi, berikut ulasannya:

Pertama: Informasi yang mau disebarkan haruslah berupa suatu hal yang berguna dan bermanfaat. Jadi tujuan awal dalam informasi sebenarnya untuk memberikan hal yang baru dan berfaedah kepada orang lain. Memberi kabar bahwa musim hujan akan segera datang, biaya pendidikan di kampus akan diturunkan. Intinya dalam informasi tersebut terkandung suatu kebaikan.

Kedua: Meneliti dan memastikan terlebih dahulu informasi yang diterima terlebih apa yang menjadi perbincangan hangat di medsos, khususnya lagi berkaitan dengan persoalan agama. Teliti dahulu apakah sesuai dengan aturan Syariat? Jika tidak tahu jawabannya maka bertanyalah pada yang ahli jangan mudah dipercaya sebab yang menyampaikan informasi itu adalah ustadz A yang sudah terkenal dan banyak yang membagikan psotingannya. Bisa jadi apa yang disampaikannya belum tentu benar atau bisa juga hanya berlaku untuk dirinya sendiri.

Ketiga: Membuang sifat fanatisme (ta’assub) terhadap suatu hal tanpa menerapkan poin yang kedua di atas. Dalam hal ini sudah banyak terjadi di sekitar kita seperti ungkapan yang tertera di salah satu media sosial: “Saya yakin bahwa yang mengikuti pendapat itu salah sebab dalam ajaran kami tak ada hal yang semacam itu.”Jika kita tetap bersikokoh memakai jubah kefanatikan dan tak pernah rela menerima suatu perbedaan, maka akan tercipta pertengkaran, saling hujat sana sini, merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Kalau tetap saja begini kapan Negara kita akan maju, kapan keilmuan kita akan tumbuh dan berkembang?

Akhiran, semoga kita tidak tergolong dengan mereka yang mudah menyalahkan, merasa benar sendiri, dan tak mau berfikir lebih dalam terkait persoalan tertentu. Ini semua akan tercapai jika kita mulai dari diri kita sendiri sehingga nantinya akan tercipta perilaku yang baik, ketentraman bersama dan saling menghargai tanpa ada yang melukai lagi.

Tabik, 

Moh. Syamsul Arifin

Februari 24, 2020

,
Sekian lama menunggu, Divisi Kajian FOSIKBA (Forum Silaturrahmi Keluarga Besar Al-Khairot) Jum'at, 21 Februari 2020, mulai beraktifitas kembali pasca ujian termin 1. Ini merupakan kajian rutin bulanan yang bertempat di sekretariat FOSIKBA, Saqor Quraisy, Hay Asyir.

Kajian ini merupakan salah satu momentum yang sangat di tunggu oleh tiap anggota, karena kitab yang menjadi fokus kajian atau bahasan adalah kitab: Nazharat Fi Al-Islam, karya Dr.Muhammad Abdullah Diraaz.

Pertemuan perdana ini sangat menarik sekali karena Divisi Kajian FOSIKBA mendatangkan dua pemateri sekaligus. Pemateri pertama dengan tema: Tuhan dan Sains; Dialektika Paham  Ateisme dan Monoteisme, yang dipresentasikan oleh Kang Abd. Adzim, salah satu Mahasiswa Al-Azhar University Fakultas Syari'ah Islamiyah.

Menurut ilustrasi pemakalah dengan mengutip perkataan Dr. Ismail Adham: "Pada awalnya Ateisme hanyalah sebuah ide atau konsep pemikiran, yang lambat-laun terus memperdaya dan menggorogoti saya, kemudian mampu berevolusi dari sebuah ide pemikiran menjadi sebuah ideologi." Perkataan Dr. Ismail ini, menafsirkan bahwa ateisme adalah teologi yang statusnya sama dengan teologi penganut agama. Jika para penganut agama mengimani Tuhan ada, begitu juga dengan ateisme mengimani bahwa Tuhan itu tidak ada.

Tidak jauh beda dengan paparan panelis kedua, dengan tema: Problematika Akidah dan Dinamika Legislasi Modern Hukum Islam, yang dipresentasikan oleh rekan saya Moh. Hidayat El-Shirazy, salah satu Mahasiswa Al-Azhar University Fakultas Syari'ah Islamiyah.

Sekapur sirih pemakalah bahwasanya agama adalah akidah dan hukum, keduanya sangat berelasi, mungkin kita bisa rumuskan seperti ini: akidah + hukum = agama. Jadi di sinilah kita paham bahwa agama terdiri dari dua elemen; akidah {iman}, dan hukum {islam}. iman tampa islam bagaikan biji yang tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan islam tampa iman bagaikan pohon yang dicabut sebab tidak menghasilkan buah.

Kajian ini Alhamdulillah berlangsung antusias dan ramai; yang juga di hadiri beberapa Anggota baru kedatangan 2019/2020.

Kajian dimulai jam 14:30 dan berakhir jam 19:00. Terakhir saya ucapan untaian terima kasih kepada pemakalah yang telah menyelesaikan makalahnya, jaza kumullah khairon ahsanal jaza', serta segenap pengurus dan anggota yang ikut serta berpartisipasi meramaikan kajian.

Tabik,

Abd. Latif Al-Misky

Follow Us @soratemplates