Februari 27, 2020

,

Saat pagi hari aku di rumah bertemu seorang nelayan, dengan membawa jaring yang dia taruh di atas pundaknya, dan terdapat ikan yang besar hasil tangkapan hari ini, dengan wajah penuh lelah dia mendatangiku sambil menawarkan ikannya kepadaku, tanpa saya tawar saya ambil ikan itu sesuai dengan harga yang dia pasang, sambil tersenyum dia mengambil uang dan berucap terimakasih sambil berkata “Ini baru pertama kalinya ada orang yang mau membeli dengan harga yang saya pasang, semoga kebaikan anda dibalas dengan kebaikan sebagaimana anda telah baik kepadaku, dan semoga Allah jadikan kebahagiaan dalam jiwa dan hartamu”. saya pun sangat bahagia dengan doa ini dan berharap pintu langit terbuka untuk mengabulkan doanya.
Heran dan takjub memenuhi hati ini, bagaimana dia bisa tahu suatu hakikat yang tidak banyak orang mengetahuinya yaitu "ada kebahagiaan jiwa" dan "ada kebahagiaan harta".

“Apakah ada kebahagiaan selain kebahagiaan harta?” tanyaku.
Diapun tersenyum sinis dan berkata ”seandainya kebahagiaan hanya terbatas dengan harta maka saya adalah orang paling menderita di dunia ini”.
“ Apa kau anggap dirimu bahagia?” tanyaku.
Dia menjawab “iya, karena aku selalu mencari rezekiku, kehidupanku bisa dibilang cukup, aku tak pernah merasa sedih karena kekurangan rezeki serta aku pun tak pernah mengemis di tengah kemegehan dunia. Kemudian dari pintu yang mana kesedihan dan kesengsaraan merasuki hati yang penuh dengan kebahagiaan?”.
“Apa kau sudah tidak waras! bagaimana kau anggap dirimu bahagia sedangkan kau berjalan tak beralas kaki, dengan baju yang bisa dikatakan kurang layak pakai, bagaimana bisa kau anggap dirimu bahagia?” jawabku mengingkari.
Dia menjawab” Jika kebahagiaan adalah tenangnya hati dan kebahagiaan jiwa, adapun kesedihan adalah sakit hati dan gundahnya jiwa, maka saya adalah orang yang paling bahagia, karena saya tidak pernah beranggapan bahwa pakayan kusut dan makanan seadanya adalah sebuah kesedihan dan kesengsaraan, dan jika ada kebahagiaan selain itu maka hanya itulah kebahagiaan yang saya tau”.
Aku pun membantah “Apa kau tidak sedih setiap kali melihat orang kaya? pakaian bagus, kendaraan mewah serta rumah megah, para pelayan serta makanan lezat yang setiap hari mereka santap, apakah kau tak merasakan perbedaan besar ini?”.
Dia menjawab “Semua hal itu adalah hal yang sangat sepele bagiku, saya fikir kebahagiaan mereka tidaklah berbeda dengan kebahagiaan yang saya dapatkan. Makanan? jika tujuan makan cuma untuk kenyang, rasanya tak pernah saya tidur dengan perut kosong, jika maksudnya memuaskan nafsu, maka saya gak makan kecuali dalam keadaan lapar, jadi semua makanan terasa lezat bagiku, kalau soal makan kita gak jauh beda lah. Rumah mewah?, saya punya gubuk kecil, saya tidak pernah merasa gubuk kecilku terasa sempit untukku, istri dan anak-anakku bahkan terasa begitu megah dengan kebahagiaan yang menyelimuti mereka. Kendaraan?, saya pemilik kendaraan termewah di dunia, saya punya dua kaki yang tiap hari saya langkahkan untuk mengais rezeki dan mendapat ridha ilahi. Jika mengenai liburan; maka saya adalah orang yang tiap hari berlibur, cukup dengan membawa kail dan umpan berangkat ke lautan luas yang biru, burung bangau serta pantai yang dikelilingi tanaman hijau ditambah dengan sinar emas mentari membuat hati terasa sejuk, pemandangan seperti ini saya lihat setiap hari dimana tidak semua orang dapat melihatnya, orang miskin berjalan sesuka hati mereka, bagaikan burung yang terbang bebas. Sedangkan orang kaya dimanapun mereka berada mereka selalu diawasi oleh mata orang-orang yang iri dan dengki. Serta sebelum mereka pergi kemanapun mereka tak lupa berdiri di depan cermin untuk memastikan penampilan mereka dan menutupi kepribadian mereka dengan penampilan penuh wibawa. setelah bercermin, mereka keluar dan bergerak dengan gerakan yang terbatas karena takut akan rusaknya penampilan mereka dan hancurnya wibawa mereka, meskipun mereka bebas sebenarnya mereka terkurung oleh penjara kewibawaan dan penampilan dan selalu diawasi oleh mata yang dipenuhi rasa iri dan dengki.

Seharian penuh saya berada di tengah lautan dan saya kembali dengan membawa hasil tangkapan untuk dijual di pasar, ketika menjelang malam saya kembai ke rumah dengan di sambut hangat oleh senyuman istri dan tawa anak-anakku. setelah menunaikan kewajibanku sebagai kepala keluarga segera ku tunaikan kewajibanku sebagai hamba, dan akupun tertidur pulas di atas tikar yang terasa seperti ranjang yang sangat empuk. Jujur saya tidak menerima jika dikatakan saya adalah orang yang menderita, karena sebenarnya saya adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Mau tau perbedaan tipis antara diriku dan orang kaya, yaitu orang-orang tidak tunduk hormat padaku ketika aku lewat, dan mereka tidak pernah memperhatikanku ketika aku bersama mereka dan hal ini gak begitu penting bagiku, apa peduliku terhadap mereka? mau di perhatikan ataupun tidak selama tidak ada hubungan denganku dan tidak ada hubungan dengan kewajibanku sebagai hamba tidak ada pengaruhnya bagiku. Karena hubunganku yang sebenarnya adalah hubungan diantra diriku dan tuhanku, aku adalah hambaNya maka aku harus beribadah dan mengesakanNya. Terus terang hatiku tidak bisa menggabungkan keesaan Tuhan sedangkan di hatiku masih ada keagungan dari salah satu makhluknya.

Setiap kali aku keluar rumah, aku selalu membawa perasaan ragu akan kah aku akan kembali dengan membawa atau aku kembali dengan dibawa. Dunia ini ibarat lautan, dan manusia adalah ikannya, dan mailaikat maut adalah nelayan yang setiap waktu membawa kail, dan yang terpancing adalah orang yang dipilih untuk kembali kesisi tuhannya, dan orang yang selamat hari ini belum tentu selamat hari isok. Terus bagaimana mungkin aku bahagia dengan sesuatu yang bukan milikku. Bahagia terhadap titipan yang setiap saat bisa diambil kembali oleh pemiliknya. dan untuk apa saya berpegang terhadap sesuatu yang rapuh, kalau begitu maka aku adalah orang yang paling bodoh didunia.” penjelasan nelayan dengan panjang lebar.

Aku tercengang dan berbisik dalam hati “begitu bijak orang ini entah pendidikan apa yang dia lalui tapi dia menjelaskannya dengan panjang lebar. Aku iri terhadap kejernihan hati dan kebahagiaan dalam setiap detik kehidupannya” akupun melanjutkan pembicaraan “bapak! semua orang selalu mencari yang namanya kebahagiaan, tapi mereka tidak pernah mendapatkannya, sehingga mereka berkesimpulan bahwa, "kesedihan merupakan bagian dari kehidupan ini”.
Dia menjawab “Tidak!, secara fitroh manusia itu bahagia, tapi orang itu sendiri yang memasukkan kesedihan dalam jiwanya. Mereka memiliki hasrat untuk kaya sehingga mereka selalu beranggapan bahwa kaya itu merupakan suatu kebahagiaan, memiliki ambisi dan beranggapan bahwa mendapatkan apa yang dia inginkan merupakan haknya Sehingga ketika gagal mendapatkannya maka dia berdoa seakan-akan dia didzalimi dan direnggut haknya. Terlalu bahagia terhadap titipan sang pencipta, sehingga dia merasa bahwa itu adalah miliknya dan ketika diambil titipan itu dia beranggapan bahwa telah dirampas apa yang telah menjadi miliknya.

Sebenarnya kesedihan itu muncul dari dalam diri kita sendiri, ketika hati kita tidak dihiasi dengan kebaikan maka kegelapan akan merasukinya dan timbullah sikap iri yang selalu menyakiti pemiliknya, dan timbullah sifat tamak, yang semakin hari semakan melukai hati. Serta timbullah penyakit dengki yang tiap hari menusuk hati kita. maka siapapun yang ingin mencari kebahagiaan maka carilah didalam dirinya”.

Tak terasa obrolan kami sudah sangat jauh. Kemudian sang nelayan mengambil tongkatnya dan berucap “sampai ketemu lagi tuan, saya doakan kamu dengan doa yang saya sukai semoga Allah jadikan kebahagiaan di dalam jiwamu sebagaimana kebahagiaan di dalam hartamu, assalamu alaikum!”
kisah diambil dari kitab al-nadzarat lilmanfaluthi

Tabik;

Khoirut Tuqo


Februari 26, 2020

,
Telah diketahui bersama bahwa kita telah berada di era teknologi yang mana semua informasi sebagian besarnya tersebar luas dengan cepat ke berbagai pelosok. Media cetak atau online menjadi salah satu wadah dalam menuangkan informasi tersebut. Untuk mengirim surat kabar antar negara misalnya, tidak perlu waktu lama, cukup satu klik sudah sampai ke tujuan. Berbeda dengan tempo dulu tepatnya 50 tahun silam, dalam keadaan itu sebuah surat bisa sampai dengan waktu yang berbulan-bulan.

Anehnya, dalam situasi seperti sekarang masih saja ditemui beberapa orang yang menyalahgunakan keberadaan teknologi yang luar biasa ini. Mereka menjadikan itu sebagai niat buruknya, melukai lawan, memalsukan informasi bahkan memutarbalikan fakta agar publik menjauh dari hal yang sebenarnya. Itu terjadi sebab dalam diri mereka sudah tak ada maksud lain selain amarah dan dendam yang tak kunjung reda.

Oleh sebab itu, kita ataupun siapapun kamu yang suka mengkonsumsi informasi, di media sosial khususnya (Fb,Wa,IG,Twitter) agar lebih bijak dalam menanggapi hal tersebut. Tidak mudah percaya dan mengambil keputusan sebelum meneliti lebih jauh terkait informasi yang tersebar. Parahnya lagi di antara warganet malah ada yang seenaknya mencibir dan mengolok-olok saudaranya sendiri sebab dia tak satu pemahaman dengannya.

Sebenarnya jauh sebelum era ini datang Islam telah mewanti-wanti para warganya agar lebih bijak dan meneliti kembali informasi yang tersebar, apalagi jika hal itu datangnya dari mereka yang tergolong fasik. Tidak hanya itu Islam juga memberikan batasan dalam menanggapi adanya suatu informasi agar nantinya nilai kebaikan dan manfaat tetap terkandung dalam informasi tersebut.

Di sini penulis akan menyebutkan tiga batasan yang ditentukan agama dalam menanggapi suatu informasi, berikut ulasannya:

Pertama: Informasi yang mau disebarkan haruslah berupa suatu hal yang berguna dan bermanfaat. Jadi tujuan awal dalam informasi sebenarnya untuk memberikan hal yang baru dan berfaedah kepada orang lain. Memberi kabar bahwa musim hujan akan segera datang, biaya pendidikan di kampus akan diturunkan. Intinya dalam informasi tersebut terkandung suatu kebaikan.

Kedua: Meneliti dan memastikan terlebih dahulu informasi yang diterima terlebih apa yang menjadi perbincangan hangat di medsos, khususnya lagi berkaitan dengan persoalan agama. Teliti dahulu apakah sesuai dengan aturan Syariat? Jika tidak tahu jawabannya maka bertanyalah pada yang ahli jangan mudah dipercaya sebab yang menyampaikan informasi itu adalah ustadz A yang sudah terkenal dan banyak yang membagikan psotingannya. Bisa jadi apa yang disampaikannya belum tentu benar atau bisa juga hanya berlaku untuk dirinya sendiri.

Ketiga: Membuang sifat fanatisme (ta’assub) terhadap suatu hal tanpa menerapkan poin yang kedua di atas. Dalam hal ini sudah banyak terjadi di sekitar kita seperti ungkapan yang tertera di salah satu media sosial: “Saya yakin bahwa yang mengikuti pendapat itu salah sebab dalam ajaran kami tak ada hal yang semacam itu.”Jika kita tetap bersikokoh memakai jubah kefanatikan dan tak pernah rela menerima suatu perbedaan, maka akan tercipta pertengkaran, saling hujat sana sini, merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Kalau tetap saja begini kapan Negara kita akan maju, kapan keilmuan kita akan tumbuh dan berkembang?

Akhiran, semoga kita tidak tergolong dengan mereka yang mudah menyalahkan, merasa benar sendiri, dan tak mau berfikir lebih dalam terkait persoalan tertentu. Ini semua akan tercapai jika kita mulai dari diri kita sendiri sehingga nantinya akan tercipta perilaku yang baik, ketentraman bersama dan saling menghargai tanpa ada yang melukai lagi.

Tabik, 

Moh. Syamsul Arifin

Februari 24, 2020

,
Sekian lama menunggu, Divisi Kajian FOSIKBA (Forum Silaturrahmi Keluarga Besar Al-Khairot) Jum'at, 21 Februari 2020, mulai beraktifitas kembali pasca ujian termin 1. Ini merupakan kajian rutin bulanan yang bertempat di sekretariat FOSIKBA, Saqor Quraisy, Hay Asyir.

Kajian ini merupakan salah satu momentum yang sangat di tunggu oleh tiap anggota, karena kitab yang menjadi fokus kajian atau bahasan adalah kitab: Nazharat Fi Al-Islam, karya Dr.Muhammad Abdullah Diraaz.

Pertemuan perdana ini sangat menarik sekali karena Divisi Kajian FOSIKBA mendatangkan dua pemateri sekaligus. Pemateri pertama dengan tema: Tuhan dan Sains; Dialektika Paham  Ateisme dan Monoteisme, yang dipresentasikan oleh Kang Abd. Adzim, salah satu Mahasiswa Al-Azhar University Fakultas Syari'ah Islamiyah.

Menurut ilustrasi pemakalah dengan mengutip perkataan Dr. Ismail Adham: "Pada awalnya Ateisme hanyalah sebuah ide atau konsep pemikiran, yang lambat-laun terus memperdaya dan menggorogoti saya, kemudian mampu berevolusi dari sebuah ide pemikiran menjadi sebuah ideologi." Perkataan Dr. Ismail ini, menafsirkan bahwa ateisme adalah teologi yang statusnya sama dengan teologi penganut agama. Jika para penganut agama mengimani Tuhan ada, begitu juga dengan ateisme mengimani bahwa Tuhan itu tidak ada.

Tidak jauh beda dengan paparan panelis kedua, dengan tema: Problematika Akidah dan Dinamika Legislasi Modern Hukum Islam, yang dipresentasikan oleh rekan saya Moh. Hidayat El-Shirazy, salah satu Mahasiswa Al-Azhar University Fakultas Syari'ah Islamiyah.

Sekapur sirih pemakalah bahwasanya agama adalah akidah dan hukum, keduanya sangat berelasi, mungkin kita bisa rumuskan seperti ini: akidah + hukum = agama. Jadi di sinilah kita paham bahwa agama terdiri dari dua elemen; akidah {iman}, dan hukum {islam}. iman tampa islam bagaikan biji yang tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan islam tampa iman bagaikan pohon yang dicabut sebab tidak menghasilkan buah.

Kajian ini Alhamdulillah berlangsung antusias dan ramai; yang juga di hadiri beberapa Anggota baru kedatangan 2019/2020.

Kajian dimulai jam 14:30 dan berakhir jam 19:00. Terakhir saya ucapan untaian terima kasih kepada pemakalah yang telah menyelesaikan makalahnya, jaza kumullah khairon ahsanal jaza', serta segenap pengurus dan anggota yang ikut serta berpartisipasi meramaikan kajian.

Tabik,

Abd. Latif Al-Misky
,

Hal menarik yang perlu diangkat ke khalayak umum untuk diperbincangkan secara intens; bagaimana atau dari mana asal usul keyakinan terhadap eksistensi tuhan? Karena memang perihal keyakinan atau akidah orang awam khususnya, masih hangat diperdebatkan: apakah keyakinan itu timbul dari dasar hati nurani yang didasari logika, atau hanya mengikuti nenek moyang mereka?

Dalam kehidupan terdapat dua hukum yang mesti keberadaannya: pertama, Hukum Kausalitas, kedua, Hukum Teleologi. Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Diraz hadir sebagai orang yang mengenalkan kedua konsep tersebut dalam buku yang bertajuk al-Din, ia menjelaskan bahwa setiap sesuatu tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa sebab dan asal-muasal yang mempengaruhinya keberadaanya. Keberadaan kita sebagai manusia keberadaannya tergantung dari hubungan ayah dan ibu, kakek dan nenek dan seterusnya hingga sampai pada satu titik yang menjadi awal dari segalanya. Selanjutnya kehidupan sendiri mempunyai hukum atau undang-undang yang mengatur segala aspek perbuatan di dunia yang berakhir kepada suatu tujuan yang pasti.

Pada awalnya Konsep ini terlihat hampir sama seperti daur dan tasalsul dalam istilah ilmu kalam, namun keduanya mustahil, karena tidak berakhir kepada suatu tujuan yang pasti melainkan keduanya terus berputar pada porosnya sendiri. Berbeda dengan hukum kausalitas dan teleologi yang dikemukakan oleh Muhammad Abdullah Diraz di atas.

Keyakinan terhadap eksistensi tuhan sebenarnya merupakan sebuah fitrah manusia mulai ia lahir. Keyakinan itu sudah tertanam rapi seperti gubus-gubus kecil dalam sendi-sendi otak mereka, hanya saja dalam mengekspresikan keyakinan itu terkadang masih menemukan jalan buntu sehingga kebanyakan dari mereka tertipu atau terjebak dalam pemikiran atheisme yang mengingkari keberadaan tuhan.

Latar belakang maraknya atheisme ditandai dengan cara pandang orang yang gagal paham atau paham gagal tentang teks keagamaan, kemudian pemahaman itu banyak dikonsumsi oleh kalangan orang masih dangkal pemahaman dan pemikirannya terhadap agama. Kemudian disampaikan di atas podium-podium dakwah kepada orang-orang awam. Hal seperti ini banyak terjadi belakangan ini, bahkan mayoritas masyarakat lebih suka belajar kepada orang yang baru masuk Islam dari pada belajar kepada orang yang lebih dulu memeluk agama Islam yang kualitas ilmunya tak diragukan lagi.

Bagaimanapun, sejauh manusia berfikir, mereka tidak akan sampai pada hakikat wahyu —pemikiran manusia sangat pendek dan terbatas. Ia tidak mampu menembus cakrawala semesta yang begitu luas membahana untuk sampai kepada Sang Pencipta. Oleh karenanya, Allah mengutus para utusan untuk membimbing mereka kepada jalan yang lurus, jalan menuju Sang Pencipta.

Rumus yang meliputi setiap elemen-elemen pengetahuan untuk sampai kepada sang pencipta, yaitu: keyakinan + undang-undang = agama = Sang Pencipta.


Tabik,

Achmad Sholehuddin

Februari 19, 2020

,

Teriakan seorang yang umurnya tidak terlalu muda terdengar dari kejauhan, dengan nada agak sedikit keras dan tajam. Tertuju pada seorang pemuda yang ada di pinggir jalan yang sedang asyik bersantai dan berfoya-foya seraya menikmati sunrise pada sore hari menjelang magrib tiba. Teriakan terdengar lagi dari seorang laki-laki tua menggema dengan nada teguran dan sedikit mengoyak hati pemuda yang rambutnya sedikit berbeda karena diwarnai dengan aneka warna.

Teriakan itu mungkin bertujuan untuk menegur dan menyalahkan tingkah-laku para anak muda tersebut, agar mereka berhenti melakukan hal-hal yang luar dari norma baik. Seorang dari generasi sebelumnya mengatakan: "Anak muda sekarang ya kelakuannya minta ampun." Diucapkan dengan nada seakan-akan dirinya tidak punya tanggung jawab apapun terhadap anak-anak milenial itu.

Mungkin kalau melihat dari tujuan dari generasi Old ini terhadap generasi jaman Now, sangatlah baik, bahkan pantas. Tapi, apakah mereka pernah berpikir mengapa mereka (generasi Milenial ini) melakukan hal tersebut? Atau, sudah benarkah cara menyikapinya dan bagaimana seharusnya teguran itu disampaikan? Ini yang menjadi permasalahan.

Generasi hari ini adalah keberlanjutan dari generasi sebelumnya. Setiap generasi punya warisan watak dan krakter berbeda dari generasi yang lain. Maka tidak heran bahwa setiap generasi punya permasalahan dan tanggung jawab masing-masing terhadap zamannya. Di sini yang harus digaris bawahi, bahwa setiap generasi mempunyai tanggung jawab besar terhadap generasi setelahnya. Oleh karena itu generasi pendahulu harus meletakkan rasa kepedulian dan rasa kepunyaan yang besar terhadap generasi selanjutnya ini.

Hal paling penting yang wajib dilakukan oleh generasi Old adalah memahami permasalahan yang terjadi terhadap para milenial ini, baik yang berhubungan dengan perbuatan, harapan mereka, faktor-faktor yang bisa membahagiakan mereka, serta sebab-sebab pembangkangan yang mereka lakukan. Salah total jika generasi awal ini menampakkan rasa ketidakpedulian dan kebodohan terhadap apa-apa yang terjadi pada mereka anak baru gede ini. Bukan semerta-merta hanya menegur tanpa punya dosa.

Termasuk kesalahan generasi Old, jika ia tidak berusaha memahami bahwa generasi sekarang punya tanggung jawab besar terhadap zaman yang mereka jalani dan zaman yang akan datang. Maka oleh karena itu penting kiranya ada perhatian khusus terhadap hal-hal yang menunjang kemajuan dan bergeraknya daya berpikir dari masing-masing anak milenial ini dalam menjalani hidup yang baik. Jika hal ini dilakukan akan ada ketersambungan—baik dari generasi hari ini ke generasi setelahnya dan tidak akan ada yang disalahkan dalam permasalahan apapun.

Kalau kita berusaha menarik lagi dari sejarah awal, bahwa Nabi pun sangatlah memperhatikan para anak muda pada saat itu. Dibuktikan dengan adanya beberapa sahabat yang masih muda diberikan tanggung jawab atas mengerjakan sesuatu—baik yang berkaitan dengan tanggung jawab memimpin kaumnya ataupun menyampaikan ajaran Agama. Dan itu sudah terjadi begitu banyak tanpa dijelaskan di sini. (Bisa dilihat di beberapa kitab sejarah, misal Fiqh as-Siroh an-Nabawiah milik Syaikh al-Buthi).

Hal yang harus dikoreksi kembali juga oleh generasi awal, ialah memahami sikap mereka sendiri dalam mengatasi permasalahan dan ketidakpatuhan generasi jaman Now, serta memedulikan mereka dengan memberi kepedulian khusus. Agar nantinya tidak akan terjadi semacam 'perang dingin' dan ketidakpedulian serta munculnya kebencian antara generasi Old dengan generasi jaman Now.

Habib Ali Jufri dalam kitab al-Insaniyah Qobla at-Tadayyun, berusaha memberikan solusi terhadap permasalahan ini, dengan cara membuka pintu dialog antara generasi Old dengan generasi jaman Now dalam menuntaskan permasalahan ini. Mestinya harus dengan cara dialog yang dihias dengan rasa cinta dan kasih sayang, dialog yang menghasilkan solusi bukan melahirkan masalah baru, dialog yang berusaha memuliakan akal anak muda, menganggap mereka ada dan peduli. Bukan teriakan keras dan tajam.

Sikap ini pernah dilakukan oleh Nabi kita Muhammad saw. Di suatu ketika, Muazin Rosul mengumandangkan azan dengan gagahnya di depan Mekkah pasca penaklukan. Tiba-tiba ada segerombolan anak muda kota ini mengikuti suara dari muazin tersebut dengan maksud mengolok-olok. Kemudian Rasul memanggil dan menyuruh mereka untuk mendengarkan azan. Ternyata ada salah satu dari anak muda ini mempunyai suara yang sangat merdu, bergegas Nabi memanggilnya: "Ta'al (kemari)," ucapnya. Seraya Rasul memberikan tempat duduk di dekat beliau pada si pemuda tersebut, dan mengusap ubun-ubun dia sambil mengajarkan kalimat azan yang baik. Dan Rasul berkata kepadanya: "Pergilah, dan kumandangkan azan di Bait al-Haram." Kemudian Rasul mengangkat dia sebagai muazin tetap di kota Mekkah al-Mukarromah. Karena kejadian ini, yang awalnya pemuda ini sangat membenci Nabi berubah menjadi tumpukan rasa cinta dan kasih sayang terhadap beliau, Nabi bergelar rahmatan li al-'Alamin. Pemuda ini bernama Abu Mahdzurah al-Jumahi.

Begitu lembutnya sikap baginda Rasulullah dalam mendidik dan mengajarkan sesuatu pada anak muda. Lemah-lembut menghadapi kerasnya bebatuan, memberikan cahaya cinta dan kasih sayang, memberikan segelas air di gurun pasir yang gersang. Maka Kami sebagai umatnya, patut dan harus meneladani Nabi kita Muhammad saw. dalam bersikap dan di segala tindakan kita, termasuk mendidik anak muda.
Sekian.

Tabik,

Oleh : Fadal Mohammad

Follow Us @soratemplates