Dialektika kata
dan makna menjadi diskusi yang menarik di meja para ahli bahasa, khususnya
ulama balaghah. Sejak al-Jahizh menyatakan bahwa makna itu berseleweran di
jalan; makna bisa dipungut oleh siapa
saja, baik penyair ataupun bukan, kata kemudian dipersepikan sebagai pusat dari
makna.
Persepsi ini
kemudian menjadi keyakinan bersama (common sense). Sehingga hal ini
membuat gelisah Abdul Qahir al-Jurjani yang hidup dua abad setelah al-Jahizh.
Bagi al-Jurjani, persepsi bahwa kata adalah akar dari makna, ini menciderai
hakikat al-Bayan yang oleh al-Jahizh sendiri didefinisikan sebagai
instrument mengungkap sebuah makna sehingga pendengar bisa sampai kepada makna
yang dikehendaki oleh penutur. al-Bayan adalah media penutur dalam
mengungkapkan makna yang dikehendakinya.
Sebelum
al-Jurjani, makna dipersepsikan sebagai anak yang lahir dari kata, dengan
bahasa yang berbeda, makna yang mengikuti kata, bukan kata yang mengikuti
makna. al-Jurjani berusaha medekonstruksi pemahaman ini. Kesalahan persepsi ini
bagi al-Jurjani berakar dari kesalahan sudut pandang dalam melihat kata. Jika
dilihat dari sisi pendengar, maka yang tampak adalah makna mengikuti kata.
Namun jika dilihat dari sisi penutur, kata lah yang mengikuti makna.
Bagi al-Jurjani,
kata seharusnya tidak dilihat dari sisi pendengar, melainkan ia harus dilihat
dari sisi penutur, sehingga proses terciptanya kata dimulai dari kehendak dan
makna yang berada di dalam diri si penutur. Maka dalam pandangan al-Jurjani,
relasi yang benar adalah kata mengikuti makna, dan makna mengikuti kehendak si
penutur. Karenanya, dalam kajian ilmu balaghah, interpretasi teks atau kata
harus sesuai dengan makna yang dikehendaki si penutur. Kehendak si penutur
harus selalu hadir di dalam setiap interpretasi kita terhadap teks atau kata.
Karenanya juga, Siyaq atau konteks menjadi sangat penting dipahami untuk
memahami dan menemukan maksud dan kehendak si penutur, karena konteks lah yang
mendorong si penutur untuk mengungkapkan makna dalam bentuk kata, sehingga kebenaran
interpretasi, pemahaman dan pembacaan teks diukur dengan seberapa sesuai ia
dengan maksud dan kehendak si penutur. Semakin dekat atau sesuai interpretasi
itu dengan kehendak si penutur, semakin dekat pula ia kepada kebenaran.
Sebaliknya, semakin interpretasi itu menjauhi kehendak si penutur, semakin jauh
pula ia dari kebenaran.
Namun, apakah
tidak ada celah dalam konsep yang dibangun al-Jurjani ini? Apakah selamanya
petunjuk kata itu harus mengikuti dan sesuai dengan kehendak si penutur? Apakah
setiap pemaknaan kita terhadap teks atau kata harus selalu mempertimbangkan
maksud dan kehendak si penutur?
Sebenarnya dalam
kajian ilmu balaghah sendiri, penutur tidak selamanya berkuasa atas bahasa, dalam
artian makna kata tidak sepenuhnya berada dalam kendali si penutur. Hal ini
karena watak dari bahasa itu sendiri yang bersifat kolektif. Power kolektifitas
bahasa mengendalikan dan mengalahkan power kehendak si penutur.
Kolektifitas
bahasa ini tidak hanya terdapat dalam kata tunggal, namun juga penyusunan kata
dengan kata yang lain hingga ia menjadi kalimat yang sempurna. Hal ini terlihat
dari pembagian ahli balaghah, dan juga logikawan, terhadap petunjuk kata secara
koletkif (Dilalah al-Fadz al-Wadh’iyah).
Mereka membagi
petunjuk kata ini ke dalam tiga bagian. Pertama, petunjuk kata terhadap kesempurnaan maknanya (Muthabaqah).
Kedua, petunjuk kata terhadap sebagian maknanya (Tadhammun). Ketiga,
petunjuk kata terhadap makna luar yang menjadi keniscayaan dari makna dasarnya
(Iltizam).
Ketiga dilalah
ini, dalam pandangan ulama balaghah sendiri, khususnya Sa’ad al-Taftazani dalam
al-Muthawwal, bersifat kolektif. Dan kita tahu bahwa tidak ada susunan
bahasa baik hakikat, majas, tasybih, isti’arah dan yang lainnya, yang keluar
dari tiga bagian dilalah ini. Itu artinya, kata majas pun harus tunduk terhadap
kolektifitas bahasa. Penutur tidak sepenuhnya bebas menggubah kata-kata majas.
Kolektifitas
dilalah kata ini menjadikan kehendak si penutur tidak bagitu penting dalam
interpretasi dan pemaknaan. Petunjuk kata yang terucap tidak lagi mengikuti
kehendak si penutur. Melainkan ia mengikuti kolektifitas bahasa itu sendiri.
Artinya, tolak ukur kebenaran interpretasi bukan kesesuaiannya dengan kehendak
si penutur, melainkan seberapa sesuai ia dengan makna yang diamini oleh
kolektifitas bahasa.
Belum lagi kalau
kita membicarakan pandangan Roland Barthes yang mengatakan bahwa tulisan adalah
kuburan si penulis (lihat “The Death of Author”). Bagaimanakah sebenarnya
hakikat relasi kata, makna dan kehendak menurut pembaca yang budiman?
Oleh
: Rahmat Miskaya LC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar