April 17, 2019

Kata, Kalimat dan Kehendak


Dialektika kata dan makna menjadi diskusi yang menarik di meja para ahli bahasa, khususnya ulama balaghah. Sejak al-Jahizh menyatakan bahwa makna itu berseleweran di jalan;  makna bisa dipungut oleh siapa saja, baik penyair ataupun bukan, kata kemudian dipersepikan sebagai pusat dari makna.
Persepsi ini kemudian menjadi keyakinan bersama (common sense). Sehingga hal ini membuat gelisah Abdul Qahir al-Jurjani yang hidup dua abad setelah al-Jahizh. Bagi al-Jurjani, persepsi bahwa kata adalah akar dari makna, ini menciderai hakikat al-Bayan yang oleh al-Jahizh sendiri didefinisikan sebagai instrument mengungkap sebuah makna sehingga pendengar bisa sampai kepada makna yang dikehendaki oleh penutur. al-Bayan adalah media penutur dalam mengungkapkan makna yang dikehendakinya.
Sebelum al-Jurjani, makna dipersepsikan sebagai anak yang lahir dari kata, dengan bahasa yang berbeda, makna yang mengikuti kata, bukan kata yang mengikuti makna. al-Jurjani berusaha medekonstruksi pemahaman ini. Kesalahan persepsi ini bagi al-Jurjani berakar dari kesalahan sudut pandang dalam melihat kata. Jika dilihat dari sisi pendengar, maka yang tampak adalah makna mengikuti kata. Namun jika dilihat dari sisi penutur, kata lah yang mengikuti makna.
Bagi al-Jurjani, kata seharusnya tidak dilihat dari sisi pendengar, melainkan ia harus dilihat dari sisi penutur, sehingga proses terciptanya kata dimulai dari kehendak dan makna yang berada di dalam diri si penutur. Maka dalam pandangan al-Jurjani, relasi yang benar adalah kata mengikuti makna, dan makna mengikuti kehendak si penutur. Karenanya, dalam kajian ilmu balaghah, interpretasi teks atau kata harus sesuai dengan makna yang dikehendaki si penutur. Kehendak si penutur harus selalu hadir di dalam setiap interpretasi kita terhadap teks atau kata. Karenanya juga, Siyaq atau konteks menjadi sangat penting dipahami untuk memahami dan menemukan maksud dan kehendak si penutur, karena konteks lah yang mendorong si penutur untuk mengungkapkan makna dalam bentuk kata, sehingga kebenaran interpretasi, pemahaman dan pembacaan teks diukur dengan seberapa sesuai ia dengan maksud dan kehendak si penutur. Semakin dekat atau sesuai interpretasi itu dengan kehendak si penutur, semakin dekat pula ia kepada kebenaran. Sebaliknya, semakin interpretasi itu menjauhi kehendak si penutur, semakin jauh pula ia dari kebenaran.
Namun, apakah tidak ada celah dalam konsep yang dibangun al-Jurjani ini? Apakah selamanya petunjuk kata itu harus mengikuti dan sesuai dengan kehendak si penutur? Apakah setiap pemaknaan kita terhadap teks atau kata harus selalu mempertimbangkan maksud dan kehendak si penutur?
Sebenarnya dalam kajian ilmu balaghah sendiri, penutur tidak selamanya berkuasa atas bahasa, dalam artian makna kata tidak sepenuhnya berada dalam kendali si penutur. Hal ini karena watak dari bahasa itu sendiri yang bersifat kolektif. Power kolektifitas bahasa mengendalikan dan mengalahkan power kehendak si penutur.
Kolektifitas bahasa ini tidak hanya terdapat dalam kata tunggal, namun juga penyusunan kata dengan kata yang lain hingga ia menjadi kalimat yang sempurna. Hal ini terlihat dari pembagian ahli balaghah, dan juga logikawan, terhadap petunjuk kata secara koletkif (Dilalah al-Fadz al-Wadh’iyah).
Mereka membagi petunjuk kata ini ke dalam tiga bagian. Pertama,  petunjuk kata terhadap kesempurnaan maknanya (Muthabaqah). Kedua, petunjuk kata terhadap sebagian maknanya (Tadhammun). Ketiga, petunjuk kata terhadap makna luar yang menjadi keniscayaan dari makna dasarnya (Iltizam).
Ketiga dilalah ini, dalam pandangan ulama balaghah sendiri, khususnya Sa’ad al-Taftazani dalam al-Muthawwal, bersifat kolektif. Dan kita tahu bahwa tidak ada susunan bahasa baik hakikat, majas, tasybih, isti’arah dan yang lainnya, yang keluar dari tiga bagian dilalah ini. Itu artinya, kata majas pun harus tunduk terhadap kolektifitas bahasa. Penutur tidak sepenuhnya bebas menggubah kata-kata majas.
Kolektifitas dilalah kata ini menjadikan kehendak si penutur tidak bagitu penting dalam interpretasi dan pemaknaan. Petunjuk kata yang terucap tidak lagi mengikuti kehendak si penutur. Melainkan ia mengikuti kolektifitas bahasa itu sendiri. Artinya, tolak ukur kebenaran interpretasi bukan kesesuaiannya dengan kehendak si penutur, melainkan seberapa sesuai ia dengan makna yang diamini oleh kolektifitas bahasa.
Belum lagi kalau kita membicarakan pandangan Roland Barthes yang mengatakan bahwa tulisan adalah kuburan si penulis (lihat “The Death of Author”). Bagaimanakah sebenarnya hakikat relasi kata, makna dan kehendak menurut pembaca yang budiman?


                                                                                                                      Oleh : Rahmat Miskaya LC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates