November 17, 2016

,

Modernisasi bukanlah hal yg bisa kita jadikan tuduhan atas kegagalan. Namun jauh dari itu dalam menghadapi era modernisasi seperti sekarang, dimana semuanya disajikan secara instan dengan fasilitas-fasilitas canggih adalah sebuah kesempatan bagi kita untuk mengukur sejauh mana kepribadian kita, sejauh mana kemampuan kita dalam bertindak. Bukan berarti kami melarang untuk tidak mendekati hal-hal yg berbau kemodernisasian karna itu bisa dikatakan upaya kuper terselubung. Semua orang berhak bertindak apa saja, setiap orang memiliki jalur pendakian sendiri menuju puncak keberhasilan. kami tidak akan melingkari gaya hidup seseorang dalam kehidupan sehari-hari selagi, dalam lingkup normalisasi seperti yang iwan fals syairkan ‘’ masalah moral masalah ahklak biar kami cari sendiri, urus saja moralmu, urus saja ahklakmu, peraturan yang sehat yang kami mau’’ ya begitulah.

Namun mirisnya itu semua di bantah  oleh mereka yang melihat kemodernisasian dengan cara tidak sehat. Bagi mereka yang melihat dengan sebelah mata, apapun itu bentuknya kalau dilihat dari satu sisi saja tanpa melihat sisi yang lain akan mereka anggap jauh dari kenormalisasian, sehingga dengan kewibawaan yang mereka miliki dengan mudah mengklaim seseorang yg mereka anggap salah, justru itu dalam ilmu filsafat di sebut sebagai kesesatan dalam berfikir.

Gunakanlanlah akal sehat dalam kehidupan sehari-hari. Apapun hasilnya, apapun dampaknya kita tidak bisa mengklaim bahwa kemodernisasian adalah aktor dari kegagalan kita. Tidak bisa menampik fakta bahwa kitalah aktor dari segalanya dalam menjalani dinamika kehidupan. Jadi kembalikanlah kegagalan pada diri kita sendiri, karena itu semua ada pada cara kita dalam upaya menyerap subtansi kehidupan. Semakin terjal jalan yang ditempuh justru akan membuat sang aktor menjadi lebih tangguh, semakin tinggi gunung yg didaki maka akan semakin indah pemandangan yang didapat. Bukankan mereka tidak akan mendapatkan mutiara tanpa menyelami lautan?. Maksudnya apa, semakin kita menyelami era kemodernisasian yang bisa di katakan penuh dengan cobaan dengan tanda kutip memanfaatkannya dengan sebaik mungkin, tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi lebih tangguh dari ulama’-ulama’ terdahulu, karna cobaan yang kita hadapi di sekitar kita saat ini jauh tidak sama dengan cobaan yang mereka hadapi dulu. Contohnya kalau di zaman dulu para wanita lebih asik di dalam rumah mereka masing-masing dengan pakaian-pakaian yg normal dan sesuai dengan syariat, akan tetapi kalau sekarang banyak kita jumpai para wanita di jalanan bahkan dengan pakaian mereka yg jauh dari syariat islam. Ini merupakan segelintir tantangan yang harus kita hadapi di era modern ini. Sejauh mana kemampuan pribadi kita dalam menjauhi sesi negatif kemodernisasian?. Sekali lagi siapapun yang bisa bertahan di tengah hantaman adalah mereka yang berdedikasi tinggi termasuk tahan terhadap cobaan ketika merintis karir. Seseorang akan di katakan hebat kalau sudah terlepas dari segala bentuk tantangan yang mereka jalani. Mereka yg hanya terdiam dalam rumah tanpa melakukan hal apapun, kendatipun mereka bisa dikatakan jauh dari kemaksiatan tidaklah dikatan seseorang yg tangguh. Jadi mereka tidak bisa mengklaim diri mereka hebat kaerna tidak sedikit pun menyentuh kemaksiatan dengan hanya berdiam diri dalam bermalas malasan tanpa mekakukan apapun. Bisa jadi mereka tidak melakukan kemaksiatan bukan karna mereka kuat akan tetapi karna mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat maksiat, jadi mereka tidak bisa mengklaim diri sendiri lebih baik dari mereka yg berjuang keras menerobos kemodernisasian.

Memanfaatkan kemodernisasian merupakan jalan satu-satunya bagi kita untuk hidup sekarang. Kita tidak bisa lepas dari itu, karna kita hidup di zaman modern melepaskan diri dari ke modernisasian justru akan membuat kita sedikit kuper.

Positif thingkinglah dalam mengambil tindakan, akan tetapi bukan berarti kita tidak menghiraukan sesi negatif dari tindakan tersebut, namun setidaknya sesi negatif tidak mempengaruhi langkah kita dalam mengambil tindakan. Seseorang tidak akan bersepeda kalau sebelum bersepeda mempunyai rasa takut jatuh. Wallahu a’lam

Oleh ;
Wafie Faroby

( Darul Lughah, Mutawassith II )

November 14, 2016

,

Kehidupan merupakan sebuah perjalan yang harus dilewati oleh seseorang tanpa harus terhenti di tengah jalan. Dinamika kehidupan yang lalu, saat ini, dan masa yang akan datang merupakan rancangan tuhan di masa lampau yang harus kita jalani penuh dengan keikhlasan. Namun meski demikian, Allah masih memberi kesempatan terhadap hambanya untuk berusaha memberikan yang terbaik dalam hidupnya, karena hidup adalah sebuah pilihan, jika seorang hamba menginginkan kebahagian maka ikutilah jalannya dan sabarlah menghadapi cobaannya dan jika menginginkan kesengsaraan maka ikuti jua perjalanannya dan sabarlah menghadapi akibatnya. Semuanya kita yang menentukan mau di bawa kemana perjalanan hidup kita, apakah ke pintu kebahagiaan atau ke pintu kesengsaraan. Tentunya semua akan sesuai dengan takdir ilahi karena dialah yang berhak untuk menentukan kita berada di pintu kebahagiaa atau kesengsaraan. Kita hanyalah bisa berusaha dan berdoa dan menerima apapun keputusannya, dan kita hanyalah seorang hamba yang hina dan penuh dengan keterbatasan, hamba yang selalu mengharap keridoaan dari sang pengatur kehidupan.

Perjalanan hidup memanglah sulit tuk kita jalani, terkadang kejadian-kejadian yang  tidak di harapkan selalu datang menghambat perjalan kita. kekecewaan, kesedihan, ketakutan ataupun kebahagiaan pasti akan mengiringi perjalanan kita, tanpa harus mengeluh dan merasa kecewa dengan takdir Allah yang telah di tentukan. Kehidupan laksana menaiki sebuah kendaraan yang terus berjalan mengikuti poros takdir tuhan, kita hanyalah seorang sopir, dan tujuan kita adalah terminal kebahagiaan dunia akhirat, dan pemilik kendaraan adalah Allah sang maha rahman, serta yang memiliki dan mengatur lika-liku perjalanan kendaraan yang kita tunggangi. Seorang sopir harus mengikuti rambu-rambu yang telah di tentukan oleh sang pengatur jalan agar tidak di beri sangsi serta tidak menyalah gunakan kendaraan yang sedang dia tunggangi. Karena kendaraan itu hanyalah sebuah pinjaman yang mana pada suatu hari nanti harus di kembalikan kepada sang pemiliknya yaitu Allah tuhan semesta Alam. Begitupun dengan kehidupan jika kita keluar dari rambu-rambu Allah yang telah di tentukan, maka kita harus menerima hukuman yang sesuai dengan pelanggaran, namun sebaliknya jika sebuah kebahagiaan yang kita inginkan maka patuhi peraturan itu, walau terkadang kita masih menemui hambatan yang tak diinginkan, hambatan yang tiba-tiba datang tanpa berpamitan namun itulah cobaan yang harus di hadapi dengan kesabaran karena pada waktu itu Allah masih sayang kepada kita. 

Di saat kita tengah krisis kebahagiaan, sirna akan senyuman, semua tidak sesuai dengan harapan, dan usaha selalu gagal, percayalah bahwasanya Allah masih sayang kepada kita. Boleh jadi sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik menurut Allah, karena Allah pasti akan memberikan yang terbaik dalam hidup kita, bukan memberikan apapun yang kita inginkan. Tidakkah kita menyadari bahwa Allah lebih mengetahui terhadap akibat sesuatu?. Memang kita terkadang sulit menerima keputusan Allah, namun apakah kita bisa menentang atau mengubah yang telah terjadi dalam hidup kita?. Manusia tidak akan pernah bisa memutar kembali kehidupan, manusia tidak bisa menentukan alur kehidupannya karena manusia penuh dengan keterbatasan. Apapun yang terjadi dalam hidup kita semuanya akan menjadi mutiara hikmah yang tak ternilai harganya. Lakukanlah yang terbaik dalam hidup kita tanpa harus menoleh-noleh kebelakang dan teruslah maju untuk menjadi sang jawara kehidupan, serta menjadi orang yang diridhoi sang pengatur alam dengan mengikhlaskan apapun yang terjadi dalam kehidupan. Semua itu yang akan mengantarkan kita kepada gerbang kebahagiaan.

Kehidupan memanglah sebuah histori yang tiada batasnya dan masing-masing akan memiliki histori yang berbeda, alur yang berbeda dan dinamika yang berbeda jua. Sebab semuanya akan saling mewarnai dan saling melengkapi. Kehidupan tidak akan pernah menemui titik keindahan tanpa adanya warna-warni kehidupan. Lihatlah rangkaian warna-warni pelangi yang begitu indah nan pesona, dan lihatlah berbagai macam hewan yang ada di muka bumi. Ini semuanya memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebuah kehidupan tidak akan pernah indah tanpa adanya perbedaan. Jika profesi kita saat ini adalah seorang petani maka syukurilah, jika kita saat ini adalah berprofesi sebagai guru maka syukurilah dan apapun profesi kita asalkan bukan berprofesi sebagai koruptor, maling, pembunuh bayaran serta profesi lainnya yang di larang oleh agama islam, maka syukurilah karena semuanya akan saling melengkapi satu sama lain. Dan hargailah sebuah perbedaan tanpa adanya rasa iri dan dengki terhadap profesi orang lain, semuanya sudah menjadi takdir dari masing-masing insan yang telah di tentukan oleh Allah semasa kita berada dalam kandungaan.

Oleh ;
Fauzul Bari Abd. Hamid



November 13, 2016

,

Indonesia sebagaimana negara lain. Sempat saya berbicara dengan salah satu sahabat, mengenai problematika yang menimpa Indonesia. Dari berbagai jenis problem yang beragam sebetulnya berasal dari satu kepentingan, yaitu kekuasaan. Hal semacam ini bukanlah tragedi baru, melainkan tragedi lama, hanya saja dengan pemeran, tempat dan masa yang berbeda. Sebenarnya ketika ditelusuri, problematika di negara kita adalah tidak meratanya keadilan, sebab ketika masyarakat kecil bersalah, seakan hukum hidup membasmi kecurangan, tetapi ketika seorang pejabat bersalah, seakan hukum tidak lagi berlaku. Entah ini sebuah kepentingan mayoritas atau kepentingan pribadi, sehingga hukum hanya pantas diterapkan kecuali pada pejabat pemerintah.
Dari kutipan di atas saya teringat hadis nabi Muhammad Saw.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: 
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sesungguhnya umat sebelum kamu musnah (kerana sikap pilih kasih). Apabila golongan bangsawan mencuri mereka dilepaskan, manakala golongan bawahan mencuri barulah dilaksanakan hukuman. Demi allah! Jika fatimah anak perempuan muhammad (sendiri yang) mencuri pasti aku akan (tetap) memotong tangannya (melaksanakan hukum allah tanpa pilih kasih atau kasta)”
           
Ternyata apa yang menjadi sabda nabi betul-betul terjadi, ini bukan lantas kebetulan, akan tetapi merupakan bukti kongket bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah seorang nabi dan rosul, karena merupakan kemustahilan jika kabar itu bukan didapat dari wahyu Allah.

Kekuasaan merupakan kedudukan mulia, bukan sesuatu yang buruk, sehingga pantas jika setiap orang memiliki ambisi untuk menjadi penguasa, terlepas dari niat dan tujuannya. Tetapi yang jelas ketika kekuasaan jatuh pada orang yang salah, maka hancurlah sebuah tatanan masyarakat sebagai pondasi persatuan negara hanya Karena tidak meratanya keadilan. Ketika berbicara soal keadilan, sepertinya setiap kelompok memiliki barometer tersendiri sebagai tolak ukur kongkret tidaknya sebuah pemahaman. Namun meskipun demikian, ketika setiap kelompok saling menyerang dan saling menjatuhkan, maka yang terjadi adalah perpecahan. Dan itu lebih buruk dari sekedar perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi bisa diselasaikan dengan empat mata, sedangkan perpecahan negara tidak akan dapat dipersatukan kecuali dengan nyawa dan kehormatan.

Jika dahulunya Indonesia tidak dipersatukan dengan satu tujuan (Kemerdekaan), maka saat ini dunia tidak akan pernah tahu kalau di dunia ini ada NKRI (Negara kesatuan republik Indonesia) sebagai negara yang menerima keragaman. Sehingga tidaklah mengherankan apabila bumi Indonesia menjadi rebutan sampai saat ini karena kekayaan buminya. Mulai dari sabang sampai merauke bumi pertiwi adalah tanah surga.

Jadi tidak ada alasan untuk menjadikan perbedaan agama sebagai perselisihan, perbedaan suku sebagai permasalahan, perbedaan budaya sebagai perpecahan. Karena pada dasarnya bangsa Indonesia tahu bahwa, bukanlah bangsa Indonesia tanpa keragaman dan persatuan. Dan kenyataannya ini yang menjadikan bangsa Indonesia semakin kuat dan dewasa, jadi sangatlah cocok dengan semboyan bangsa idonesia yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu)”.

Ayo,,,,,,Kita kembali pada niat mulia pahlawan bangsa Indonesia,,,,!!!

Cairo. Minggu, 13 November - 2016

Oleh ;
Amin Ghazali


November 12, 2016

,
 
 
Dalam kehidupan yang sebentar ini, kita dituntut untuk selalu berprilaku baik dalam segala aspek, baik itu dari segi tingkah maupun kata. Dan juga kita dituntut untuk selalu membantu sesama dalam hal kebaikan di manapun kita berada.
 
Sebagai manusia kita selalu membutuhkan satu sama lain dalam mencapai tujuan kita masing-masing. Maka dari itu, kehidupan tidak akan lepas dari intraksi sosial. Baik itu dengan keluarga ataupun masyarakat. Karena, hidup bersosial adalah sebuah fitrah dan keniscayaan bagi umat manusia untuk memudahkan mereka dalam memenuhi segala kebutuhannya. Seperti kebutuhan primer, sekunder, jasmani dan rohani. 
 
Hal ini juga di singgung oleh Ibnu Khaldun dalam beberapa statemennya dalam membangun sebuah peradapan, "Ketahuilah! Sesungguhnya kehidupan bersosial adalah suatu kebutuhan bagi umat manusia". Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak bisa lepas dari yang  namanya bersosial dalam menjalani lembaran harinya.
 
Keharusan manusia bersosial ini bisa kita lihat dalam perjalanan mereka yang selalu membentuk sebuah komonitas. Mulai dari komonitas kecil yang meliputi keluarga, terus ke komonitas kabilah, masyarakt hingga terbentuklah bangsa atau negara. 
 
Sebenarnya kalau kita cermati lebih teliti hikmah di balik keharusan manusia untuk hidup bersosial yang terjadi sejak manusia pertama diciptakan adalah, manusia tidak bisa hidup secara individu dan mengerjakan semua pekerjaan tanpa bantuan dari orang lain karena mereka adalah makhluq lemah. Mungkin ini selaras dengan firman Sang Maha Pencipta dalam surah al-nisa :28
وخلق اﻹنسان ضعيفا
“Karen manusia diciptakan (bersifat) lemah”
 

Oleh; Sholehuddinn Ibnu Sabil

November 11, 2016

,

Kemarin saya sempat membaca salah satu artikel yang mengangkat tema “Sistem Imunitas Pengetahuan Agama”. Di dalam artikel tersebut menyinggung bagaimana seharusnya seseorang memahami ajaran agamanya; dengan nalar bayanikah atau dengan burhanikah? Dalam pembacaan saya, artikel tadi memberikan gambaran bahwa menggunakan nalar bayani dalam memahami agama akan menghasilkan pemahaman yang rigid dan juga akan mengundang aksi ofensif. Nalar pikir bayani nantinya akan membuat penggunanya mengklaim bahwa kebenaran yang dihasilkan olehnya adalah kebenaran absolut. Sehingga dengan nalar pikir seperti ini, ungkapan atau bahkan tindakan kekerasan akan sering terjadi dan dianggap sebagai kebenaran agama. Pada akhirnya, penulis artikel ini menyangsikan nalar bayani dan menganggapnya tidak relevan dengan cara keberagamaan kita saat ini. Lalu kemudian, dia mencari jalan lain dalam memahami agama—al-Quran dan Hadis—yaitu dengan mengaplikasikan nalar burhani. Nalar burhani dinilai efektif dalam menghasilkan keberagamaan yang benar dan inklusif. Sehingga ungkapan dan tindakan kekerasan tidak menjadi ideologi yang selalu dipertahankan.

Di sini saya sebagai pembaca artikel di atas sangat tidak setuju dengan hasil opini yang diangkat. Opini itu menciderai salah satu metodologi ulama Islam yang digunakan sejak zaman Islam klasik hingga sekarang. Yaitu nalar bayani tadi yang diklaim sebagai sumber dari cara beragama yang eksklusif dan ofensif. Akan tetapi, saya juga tidak menolak penggunaan nalar burhani dalam memahami teks keagamaan. Di sini saya tidak ingin menciderai salah satu dari dua metodogi tadi. Sehingga bagi saya, ada baiknya dalam menggunakan nalar burhani, tidak menciderai nalar bayani. Begitupun sebaliknya, dalam menggunakan nalar bayani, kita juga dituntut untuk menyelaraskannya dengan cara pikir yang burhani.

Sebelum masuk pada topik terdalam dalam opini saya ini, ada baiknya kita mengenali terlebih dahulu apa itu nalar pikir bayani dan apa itu burhani? Sehingga dengan pemahaman yang benar terhadap metodologi ini, kita dapat melihat bagaimana sebenarnya cara kerja dari keduanya.

Nalar bayani, sesuai maknanya secara leterlek (al-Bayân/penjelasan), adalah sebuah cara memahami yang menjadikan teks sebagai titik tolak. Kebenaran pemahaman diukur oleh bagaimana teks itu digunakan. Atau dengan kata lain, logika teks adalah kunci paling mendasar dalam menghasilkan pemahaman yang benar terhadap teks-teks keagamaan—al-Quran dan Hadis. Sedangkan nalar burhani merupakan nalar yang menjadikan akal sebagai kunci utama dalam memahami agama. Atau dengan bahasa yang berbeda, logika akal adalah tolok ukur pertama dalam menilai kebenaran sebuah pemaknaan terhadap sebuah teks.

Jika kita flashback kepada sejarah pemikiran Arab Islam, mungkin kita akan menemukan bahwa nalar bayani merupakan nalar yang digunakan oleh ulama abad pertama dan kedua Hijriah, khsusnya ahli Hadis dan ahli fikih. Sedangkan nalar pikir yang bergenre burhani adalah suatu manhaj berpikir yang digunakan oleh ulama abad setelahnya, khususnya ulama kalam di abad ketiga Hijriah. Di abad ketiga, dalam sejarah ilmu kalam, kita melihat bagaimana Muktazilah mendeklarasikan pemikiran keagamaannya yang dinilai sebagai kaum rasionlis atau ahli ra’yi. Sepintas kita melihat bahwa dahulu kala, kedua cara pandang ini—bayani dan burhani—sudah dianggap sesuatu yang bertolak belakang. Keduanya seakan tidak bisa dipertemukan dalam memahami teks keagamaan.

Namun jika kita jeli, di sinilah kita menemukan kejanggalan. Jika di masa Islam awal, manhaj bayani adem ayem tidak mengalami penolakan dan penentangan, kenapa di era setelahnya—khususnya oleh kaum rasionalis—dan bahkan sekarang seperti dalam artikel yang saya singgung di atas, dipandang sebagai cara pandang yang tidak absah atau bahkan harus dihapus dari cara berpikir kita dalam beragama? Dari sini sebenarnya saya melihat ada semacam kesalahan dalam melihat cara kerja manhaj bayani ini. Jadi, pada dasarnya, jika terdapat kesalahan dalam memahami teks sehingga menimbulkan sikap kasar dan semacamnya—seperti yang dipraktekkan oleh kaum Khawarij yang dinilai sebagai kaum tekstualis, itu bukan berarti nalar bayaninya yang salah, melainkan cara memakainya yang keliru. Dan kalau kita membaca sejarah Muktizilah yang diklaim sebagai kaum paling terdepan dalam membela rasio, maka kita juga dapat menemukan sikap arogan dan kasar dalam membela ideologinya. Tragedi fitnah khalq al-Quran adalah potret sejarah kelam perjalanan ilmu kalam. Itu artinya, manhaj burhani pun bisa menimbulkan sikap yang ofensif. Namun bukan berarti saya menyalahkan manhaj itu, melainkan cara memakainya yang tidak benar. Metodologi ibaratkan pisau, ia dapat menimbulkan malapetaka, tapi juga mampu mengundang beragam manfaat yang serba berguna.

Kesalahan dalam melihat cara kerja nalar bayani inilah yang kemudian mengundang sesorang untuk menolak manhaj ini. Nalar bayani dianggap sebagai nalar yang kaku dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Ia diklaim sebagai manhaj yang melihat teks sebagai benda mati semata, sehingga tidak mampu memberikan pemahaman yang hidup dan dinamis. Dan pemahaman seperti ini, bagi saya, adalah pandangan yang kesalahannya sangat fatal dan tentunya harus segera diperbaiki. Karena secara aklamatis, pandangan seperti itu mengancam keberadaan nalar bayani yang dipegang erat oleh ahli Hadis dan fikih, sepeti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

Sebagian mengira—termasuk penulis artikel yang saya singgung ini—bahwa pemahaman dengan memakai nalar bayani sebagai jalannya, merupakan pemahaman tekstualis dan jauh dari kata logis. Tentu ini sangat keliru. Imam Syafi’i, misalnya, sebagai salah satu Imam mazhab yang hingga kini masih dianut, dengan sangat jelas dan juga dengan logika yang matang, menjelaskan dalam kitab fenomenalnya, al-Risâlah bagaimana seharusnya nalar bayani yang digunakan dalam mengistinbat hukum Islam dari sumbernya—al-Qur’an dan Hadis. Pembahasan penting dalam kitabnya ini dimulai dengan menanyakan bagaimana bayân yang benar dalam pandangan syariat dengan merefer kepada cara Sahabat dan juga Nabi dalam mencetuskan sebuah hukum. Ringkasnya, teks al-Quran dalam nalar bayani haruslah dipahami dengan teks al-Quran. Dalam artian, sebagian al-Quran menjelaskan sebagiannya yang lain. Jika tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Quran, maka dicari dari Hadis Nabi. Jika tidak tidak ditemukan juga, maka melalui jalan kiyas. Kiyas yang secara lahiriah ini bersandar kepada rasio, pada dasarnya ia tetap bersandar kepada teks.

Di sini kita melihat hukum dalam Islam itu haruslah bersumber dari teks. Sehingga secara kasat mata ia bisa saja dinilai jauh dari rasionalitas. Namun, pandangan ini menjadi mentah kalau kita melihat lebih lanjut esensi dari teks atau lebih tepatnya esensi dari nalar bayani ini. Untuk menjelaskan hal ini saya akan menggunakan pendekatan ahli bahasa dalam memahami teks. Jika di dalam pandangan ahli fikih—khususnya Imam Syafi’i—bayan hanya digunakan dalam membaca teks untuk mengetahui sebuah hukum, maka ahli bahasa mempunyai konsep bayan yang lebih luas. Al-Jahizh di dalam al-Bayân wa al-Tabyîn-nya menjelaskan, bayan tidak hanya digunakan untuk memahami, namun juga digunakan untuk memberikan pemahaman. Bayan, perspektif ahli bahasa, bukan hanya berhubungan dengan pembaca, namun juga tidak bisa dilepaskan dari pembicara.

Logika nazhm Al-Jurjani dapat membantu kita dalam memahami cara kerja al-Bayân perspektif ahli bahasa. Dalam pandangan Al-Jurjani, sesuatu yang paling fundamental dalam bahasa dan penyampaian adalah makna. Menurutnya, sebuah kata mengikuti makna yang bersemayam dalam benak pembicara atau pemilik teks. Sehingga untuk mengungkap keindahan konstruksi bahasa, kita dituntut untuk menggali dan mengetahui keindahan makna. Pendeknya, keindahan kata berada dalam keindahan maknanya.

Jika kita telaah lebih dalam logika nazhm Al-Jurjani ini, maka pada dasarnya kata atau bahasa dalam bentuk yang lebih umum, mempunyai hubungan yang berkelindan dengan akal. Makna ibarat jembatan untuk menghubungkan keduanya—bahasa dan akal. Karena makna yang terdapat dalam benak manusia adalah esensi dari bahasa yang diujarkannya. Itu artinya, untuk memasuki makna sebuah teks, tidak cukup hanya dengan mengetahui maknanya secara leterlek. Akan tetapi, kita diharuskan untuk memasuki ruang terdalam dari makna, yaitu akal pembicara--manusia. Sehingga di sinilah, di titik yang paling mendasar ini, nalar bayani yang bersandar kepada teks dan nalar burhani yang bersandar kepada rasio, berkolaborasi dan menemukan keharmonisannya.

Secara sederhana, kita dapat membuat lingkaran nalar bayani yang mencakup kedalam tiga horizon. Pertama, teks itu sendiri. Kedua, pembicara atau pemilik teks. Ketiga, lawan bicara (mukhathab). Untuk memasuki tiga cakrawala ini tentu bukan hal yang mudah. Karena dalam horizon teks, kita harus mengetahui bagaimana ia dipahami dan digunakan saat ia diujarkan. Di sisi lain, kita juga dituntut untuk mengetahui karekteristik dan gaya penyampaian sebuah bahasa di masa di mana ia diungkapkan. Sedangkan untuk masuk kedalam cakrawala pembicara atau pemilik teks dan lawan bicara (mukhathab), kita dituntut untuk mengetahui sosio kultural yang mengitari keduanya. Karena bahasa, selain ia sebagai sarana komunikasi, ia juga merupakan potret atau cerminan dari sosialnya. Sehingga dengan memahami ketiga cakrawala ini, apa yang dinginkan dalam nalar bayani menemukan keutuhannya dalam memahami dan memaknai sebuah teks atau bahasa dan penyampaian.

Mugnkin di sini kita merasa bahwa logika mengenai teks yang saya bicarakan ini tidak relevan dengan teks al-Quran. Karena seperti yang jamak diketahui, al-Quran bukanlah sabda Nabi Muhammad Saw., sehingga bangunan bahasanya tidak tersentuh oleh keinginan dalam diri Nabi. Ya, saya setuju bahwa satu huruf pun dari al-Quran tidak hadir mengikuti keinginan nabi Muhammad Saw., melainkan ia murni dari Tuhan semata. Namun bukan berarti kita dalam memahami makna dari teks al-Quran harus terlepas dari siyâqnyaalur cerita dari sebuah penyampaian atau keadaan di mana kata itu diungkapkan. Karena memahami teks tanpa melihat siyâqnya cenderung menghasilkan pemaknaan yang keliru, dan bahkan akan menghasilkan pemikiran yang radikal dan juga dangkal. Sedangkan siyâq di sini merupakan tali penghubung antara ketiga horizon teks di atas. Pentingnya memahami siyâq ini tersurat dalam kaidah ahli bahasa yang menyatakan “li kulli maqâm maqâl” (dalam setiap kondisi dan keadaan terdapat sebuah ungkapan). Kaidah dasar dalam ilmu balaghah ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan pemahaman yang benar terhadap sebuah teks, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari konteks atau siyâqnya. Karena konteks inilah yang kemudian membentuk ungkapan yang berbeda-beda, atau dengan bahasa yang berbeda, kontekslah yang mengundang pembicara menghadirkan bahasa dalam beragam konstruk dan bentuknya.

Akan tetapi, penting untuk dicatat, siyâq atau konteks bukan titik fokus kita dalam nalar bayani, melainkan ia hanyalah salah satu dari alat bantu paling mendasar dalam sebuah pemaknaan. Titik fokus utama yang sebenarnya di dalam nalar bayani adalah teks itu sendiri. Oleh karenanya memahami karekteristik sebuah bahasa, baik dari gramatika, suara dan bentuknya, juga sangatlah urgen dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan ini, nalar bayani tidaklah terjebak hanya pada konteksnya saja atau teksnya saja. Namun ia berusaha menggabungkan keduanya untuk menghasilkan pemaknaan yang utuh dan menyeluruh. Oleh karenanya, orang yang menolak nalar bayani sebagai manhaj yang absah hanyalah orang yang tidak memahami bahasa dan beragam ilmu yang mengitarinya. WalLâhu ta’âlâ a’lam.aa


Oleh ;
Rahmat Hidayat Biekaa

Follow Us @soratemplates